Anda di halaman 1dari 10

IMUNISASI PADA ANAK DENGAN DEFISIENSI IMUN DAN KEADAAN KHUSUS

Kusnandi Rusmil
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS.Hasan Sasikin/
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

I. PENDAHULUAN

Imunisasi merupakan intervensi yang paling efektif dalam pencegahan berbagai


penyakit infeksi, dan merupakan salah satu perangkat terpenting dalam pemeliharaan
kesehatan masyarakat dan kesehatan anak.1,2 Imunisasi rutin pada anak-anak telah
menyebabkan penurunan secara bermakna kejadian penyakit infeksi di berbagai negara pada
akhir abad ke-20, dan menyelamatkan lebih dari 3 juta jiwa setiap tahun sekitar 10 ribu jiwa
perhari- serta melindungi jutaan anak dari penyakit dan kecacatan menetap.2,3 Pada
umumnya, jadwal vaksinasi ditujukan pada anak sehat akan tetapi beberapa kondisi atau
keadaan khusus dapat menempatkan anak pada risiko kesakitan atau kemungkinan
menghadapi efek samping yang lebih berat akibat tindakan imunisasi. Untuk kondisi khusus
ini mungkin membutuhkan vaksin khusus, atau memerlukan penundaan bahkan dapat
merupakan suatu kontraindikasi pemberian vaksin.4-7 Oleh karena itu, perlu diidentifikasi
apakah bayi atau anak yang akan dilakukan imunisasi termasuk ke dalam kelompok berisiko
atau tidak. Kelompok berisiko dibagi atas bayi berisiko dengan ibu berisiko. Pada bayi/anak
yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi atau perhatian khusus diperlukan
panduan. Kelompok ini termasuk bayi atau anak yang menderita defisiensi imun
/imunokompromais seperti bayi/ anak yang menderita infeksi HIV, anak dengan penyakit
keganasan, anak yang mendapat pengobatan imunosupresi, radioterapi, transplantasi sumsum
tulang/organ dari splenektomi, dan bayi prematur atau mereka yang pernah menderita reaksi
efek samping yang serius setelah imunisasi.4-9 Kelompok ibu yang berisiko dapat menularkan
infeksi yang diderita terhadap bayi yang dilahirkan, perlu mendapat pertimbangan saat bayi
akan diimunisasi seperti pada ibu yang menderita HIV, hepatitis B, dan tuberkulosis. Dalam
kesempatan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pemberian imunisasi pada anak dengan
kondisi khusus yaitu bayi atau anak dalam keadaan defisiensi imun dan keadaan khusus
lainnya secara garis besar.

II. IMUNISASI PADA ANAK IMUNOKOMPROMAIS


A. IMUNISASI PADA BAYI KURANG BULAN DAN BERAT LAHIR RENDAH
Usia gestasi dan berat badan lahir tidak membatasi pemberian vaksin sesuai jadwal bila
secara klinis kondisinya stabil. Pada prinsipnya imunisasi pada bayi kurang bulan dan berat
badan lahir rendah yang telah mencapai usia kronologis 2 bulan dan masih dirawat di rumah
sakit, dapat dipertimbangkan bila kondisinya stabil sehingga imunitas dan safety vaksin akan
optimal. Kondisi bayi dianggap stabil bila telah tertanganinya masalah kardiovaskuler,
respirasi, infeksi berat, penyulit metabolik dan adanya kenaikan berat badan yang sesuai.10,11
Vaksin Hepatitis B merupakan satu-satunya vaksin yang terbukti menimbulkan respon
lebih rendah pada bayi prematur dan berat badan lahir rendah, sehingga pada bayi yang lahir
dari ibu Hb-Ag negatif pemberiannya ditunda hingga bayi mencapai berat 2000 gram atau
usia 1 bulan. Bayi yang lahir dari ibu seropositif diberikan Imunoglobulin Hepatitis B
(HBIG) dalam 12 jam pertama dan vaksin HBV 0, selanjutnya 2 dosis selanjutnya pada usia
kronologis 1 dan 6 bulan. Sedangkan pada bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2000
gram, vaksin HBV selanjutnya diberikan 3 kali pada usia kronologis 1, 2-3, dan 6-7 bulan
(Tabel 1).8,12
1
Tabel 1 Skema imunoprofilaksis Hepatitis B pada bayi kurang bulan dan BBLR
Status Ibu Bayi > 2000 gram Bayi < 2000 gram
HBs positif HBV + HBIG (12 jam paska lahir) HBV+HBIG (12 jam paska lahir)
3 dosis HBV (0,1,6 bulan) 4 dosis HBV (0,1,2-3 bulan, 6-7
bulan)
HbsAg dan ant HBs negatif, HbsAg dan ant HBs negatif,
imunisasi 3 dosis dengan interval 2 imunisasi 3 dosis dengan interval
bulan kemudian periksa kembali 2 bulan kemudian periksa
serologi kembali serologi

HBs tidak HBV (12 jam) + HBIG (dalam 7 hari HBV + HBIG (12 jam paska
diketahui paska lahir) bila ibu seropositif lahir)
Periksa serologi ibu segera Periksa serologi ibu segera, bila
tidak tersedia dalam 12 jam,
berikan HBIG

HBs negatif HBV saat lahir HBV 1 pada usia kronologis 30


hari (bila stabil) atau saat keluar
dari RS sebelum usia 30 hari
3 dosis HBV (usia kronologis 0-2, 1- 3 dosis HBV saat usia kronologis
4 dan 6-18 bulan) 1-2, 2-4 dan 6-18 bulan
HBV kombinasi dapat diberikan HBV kombinasi dapat diberikan
mulai usia kronologis 6-8 minggu mulai usia kronologis 6-8 minggu
Tidak diperlukan pemeriksaan Tidak diperlukan pemeriksaan
serologis serologis
Sumber : Saari, 2003 8

B. IMUNISASI PADA ANAK IMUNOKOMPROMAIS


Sebelum memberikan vaksinasi pada anak dengan imunokompromais, harus dilakukan
penilaian terlebih dahulu atas hal-hal sebagai berikut, yaitu:
Intensitas dan lama pemberian zat imunosupresan
Risiko dan keuntungan yang diperoleh dalam usaha menghindari tertular suatu
penyakit

Kondisi imunokompromais dapat terjadi primer dan sekunder. Gangguan imunitas


primer berkaitan dengan defek bawaan yang melibatkan defek sel B ,sel T, atau defek pada
sistim komplemen dan fungsi fagosit, sehingga respon imun tidak berjalan sebagaimana
mestinya dan anak menjadi rentan terhadap penyakit infeksi. Kondisi imunokompromais
sekunder atau didapat pada penderita infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ atau
splenektomi, pengobatan imunosupresif, antimetabolik atau radiasi dan penyakit lain yang
mengganggu sistem imun seperti malnutrisi berat.10
Respon imun pada anak dengan keganasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang
terkait dengan pemberian kemoterapi dan transfusi komponen darah. Selama kemoterapi fase
intensif, vaksin biasanya tidak efektif. Kemoterapi menurunkan respons imun sehingga
vaksinasi tidak akan optimal apabila diberikan pada sebelum atau segera setelah kemoterapi,
terapi ,atau terapi dengan kortikosteroid dosis tinggi/prednison 2 mg/kg/hari selama minimal
14 hari. Seorang anak tidak dianggap mengalami imunosupresi bila mendapat kortikosteroid
sistemik dosis rendah sampai sedang, termasuk pemberian topikal dan injeksi lokal.13,14

2
Anak dengan keganasan memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami kejadian
ikutan paska imunisasi (KIPI) dibandingkan anak sehat.10 Pengaruh obat imunosupresan lebih
besar pada respons imun primer dibandingkan pemberian booster.10,12,13,15 Untuk anak yang
mendapat kortikosteroid dosis tinggi selama lebih dari 2 minggu, imunisasi ditunda
sedikitnya 1 bulan dan bila steroid dosis tinggi diberikan kurang dari 2 minggu imunisasi
hanya ditunda 2 minggu setelah dosis terakhir.13,15
Vaksin yang berisi virus/bakteri hidup (MMR, BCG, varisela, tifoid oral, polio oral,
yellow fever, influenza intranasal) merupakan kontraindikasi pada anak dalam keadaan
imunosupresi dan pemberiannya harus ditunda sampai respons imun kembali normal. Khusus
pada anak penderita leukemia limfoblastik akut (ALL) yang mendapat kemoterapi, AAP
merekomendasikan pemberian vaksin hidup bila penderita telah remisi selama 1 tahun, hitung
limfosit total mencapai 700/mm3 dan trombosit diatas 100.000/mm3 atau 24 bulan setelah
transplantasi sumsum tulang tanpa penyakit rejeksi jaringan.
Transfusi darah turut mempengaruhi respons terhadap vaksin berisi virus hidup
sehingga diperlukan waktu washout, yakni periode waktu tertentu yang diperlukan oleh tubuh
untuk mengembalikan respon imun setelah diberikan imunoglobulin atau komponen darah
sehingga optimal untuk memberikan respon terhadap vaksin hidup, yang lamanya tergantung
pada jumlah dan jenis komponen yang diberikan (tabel 2).13,15
Vaksin yang berisi bakteri/virus inaktif atau komponen atau konjugat bukan
kontraindikasi bagi anak dengan kondisi imunosupresi. Vaksinasi DTaP, IPV, HiB, influenza,
pneumokokus dan meningokokus dapat diberikan setelah 3 minggu sampai 1 tahun setelah
kemoterapi atau imunosupresan, dan dengan mempertimbangkan anak telah dalam kondisi
imun yang adekuat, yaitu hitung limfosit total lebih dari 1000/mm. Vaksinasi dapat pula
diberikan selama kemoterapi fase maintainance, dengan ditambahkan booster setelah 3 bulan
kemoterapi selesai.12 13,15 Perhatian khusus mengenai vaksinasi bagi anak imunokompromais
meliputi pemberian vaksinasi terhadap anggota keluarga/kontak serumah dan petugas
kesehatan terhadap penyakit infeksi yang berpotensi menular. Anggota keluarga harus
mendapat imunisasi varisela, MMR, IPV dan influenza. Sedangkan OPV tidak disarankan
untuk diberikan kepada anggota keluarga karena berpotensi menjadi sumber penularan bagi
anak imunokompromais.13-15

3
Tabel 2 Periode washout untuk pemberian imunisasi MMR setelah transfusi komponen
darah
Produk Indikasi Dosis Interval
(bulan)
Imunoglobulin Hepatitis A
Profilaksis Kontak 0.2 ml/kg 3
International travel 0.3 ml/kg 3
Profilaksis Campak
Kontak normal 0.25 ml/lg 5
Kontak imunokompromais 0.5ml/kg 6
IVIG Terapi defisinesi antibodi 160mg/kg 7
320mg/kg 8
640mg/kg 9
Terapi ITP atau penyakit Kawsaki >1280mg/kg >10 bulan
HBIG Profilaksis Hepatitis B 0.06ml.kg 3
IG Rabies Profilaksis rabies 20 IU/kg 4
IG Tetanus Profilaksis tetanus 250 IU 3
IG Varisela Profilaksis varisela 125 IU/10 kg 5
Zoster
Washed red cell 10ml/kg 0
Packed red cell 10ml/kg 6
Whole blood 10ml/kg 6
Plasma/ trombosit 10ml/kg 7
IG RSV 75mg/kg 10
Sumber : Sung dkk,2001 15

C. IMUNISASI PADA ANAK DENGAN INFEKSI HIV


Imunogenitas dan efektivitas vaksinasi bagi anak dengan infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) telah banyak dipelajari dan WHO merekomendasikan
pemberian vaksin bagi anak dengan infeksi HIV meskipun secara umum responnya lebih
rendah dibandingkan anak sehat. Respons imun yang tidak optimal setelah vaksinasi
berkaitan dengan defek respons memori atau tidak adanya sel memori pada anak dengan
infeksi HIV. Komplikasi serius pernah dilaporkan setelah pemberian vaksinasi BCG dan
yellow fever. Panduan vaksinasi yang dikeluarkan WHO untuk anak yang lahir dari ibu
terinfeksi HIV sedikit berbeda dengan panduan umum imunisasi, terutama pemberian
vaksinasi BCG dan yellow fever yang tidak dianjurkan bagi anak dengan infeksi HIV
simtomatik. Selain itu imunisasi berpotensi mengaktivasi proliferasi sel T, pelepasan sitokin
dan meningkatkan replikasi HIV-1 sehingga menimbulkan gangguan imunologis.16,17
Risiko meningkatnya morbiditas dan mortalitas penyakit yang dapat dicegah melalui
imunisasi pada anak dengan HIV dipertimbangkan lebih berbahaya dibandingkan efek
samping dari vaksinasi tersebut, sehingga WHO membuat rekomendasi imunisasi rutin yang
dimodifikasi untuk anak dengan infeksi HIV. Anak yang telah diketahui atau dicurigai
terinfeksi HIV namun asimptomatik direkomendasikan untuk mendapat semua imunisasi
rutin dengan modifikasi;
Dosis ekstra imunisasi campak pada usia 6 bulan yang ditujukan untuk mendapatkan
perlindungan terhadap penyakit lebih awal dibandingkan anak yang tidak terinfeksi
HIV
Anak dengan infeksi HIV simtomatik tidak diberikan imunisasi BCG, hal ini
didasarkan pada risiko paparan tuberkulosis.Anak dengan HIV asimtomatis , bila
4
daerah risiko TBC tinggi maka tetap diberikan BCG pada saat baru lahir, sesuai
jadwal standar pada Expanded Programme on Immunization. Sebaliknya bila risiko
TBC rendah dan maka pemberian imunisasi BCG tidak diperlukan
Anak dengan infeksi HIV simtomatik tidak diberikan vaksin hidup yellow fever.16

Pemberian imunisasi pada anak dengan infeksi HIV dalam rekomendasi WHO dan
Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) dirangkum dalam tabel 3.

D. IMUNISASI PADA ANAK DENGAN ASPLENIA/HIPOSPLENIA


Asplenia anatomis maupun fungsional menyebabkan peningkatan risiko terjadinya
bakteriemai fulminan dengan angka kematian yang tinggi. Pneumokokus dan HiB merupakan
mikroorganisme penyebab tersering, selanjutnya yaitu meningokokus, streptokokus lainnya,
serta E. coli. Pemberian vaksin konjugat pneumokokus dan meningokokus serta HiB sangat
dianjurkan.
Pada splenektomi dianjurkan untuk pemberian imunisasi pneumokok dan Hib sebelum
pengangkatan limpa. Pemberian profilaksis antibiotik dengan penisilin dianjurkan untuk
penderita anemia sickle cell dan thalasemia terhadap infeksi pneumokok. Dosis yang
dianjurkan 2 x 125mg sehari untuk anak kurang dari 5 tahun dan 2 x 250mg sehari untuk
anak > 5 tahun. Dapat juga profilaksis dengan amoksilin 20 mg/kg sehari. Harus dijelaskan
kepada orang tua bahwa walaupun sudah mendapat profilaksis antibiotika anaknya masih
dapat menderita infeksi oleh kuman lain, sehingga bila demam harus segera berobat untuk
menghindarkan sepsis.4,5,9

Tabel 3. Rekomendasi Imunisasi pada anak dengan infeksi HIV


WHO/ UNICEF ACIP
Vaksin
Asimptomatik Simptomatik Anak dengan HIV/AIDS
BCG Lahir Tidak Tidak
DPT Usia 6,10,14 Tidak DTaP
minggu
OPV Usia 0,6,10,16 Ya Tidak (gunakan IPV)
minggu
Campak Usia 6 dan 9 bulan Ya (tidak bila Ya (tidak bila CD4+ <
(dalam MMR) imunodefisiensi 15%)
berat)
Hepatitis B Ya (anak tidak Ya Ya
terinfeksi)
Yellow fever Ya Tidak Ya
Pneumokokus Ya Ya Ya
Hib Ya Ya Ya
Meningokokal Ya Ya Ya
Influenza Setiap tahun Setiap tahun Ya (usia >6 bulan)
Varisela Ya Ya (tidak bila CD4+ Bila ada indikasi
<15%)
Antraks Belum ada rekomendasi Bila ada indikasi
Sumber : Obaro dkk, 2004; Pickering dkk,2006 10,17

5
E. IMUNISASI PADA ANAK YANG MENERIMA TRANSPLANTASI

Resipien transplantasi sumsum tulang (TST) alogenik akan menjadi defisiensi imun
disebabkan 4 komponen (1) pengobatan imunosupresi terhadap penyakit primer, (2)
kemoterapi dan radioterapi yang diberikan pada pejamu (3) reaktivitas imunologi antara graft
dan pejamu, serta (4) pengobatan imunsupresi yang diberikan setelah transplantasi dilakukan.
Sedangkan pada transplantasi sumsum tulang otology hanya komponen (1) dan (2) yang
berperan. Rekomendasi yang dianjurkan pada pasien transplantasi sumsum tulang tampak
pada Tabel 3. Pada TST alogenik, system imun resipien digantikan oleh system imun
pejamu.4-6
Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan, pada pasien diberikan imunisasi polio dan
DPT terlebih dahulu; karena terbukti setelah transplantasi, imunitas terhadap virus polio,
tetanus, dan difteri hampir tidak ada. Penelitian klinis menunjukkan bahwa bila donor
diberikan imunisasi difteri dan tetanus sebelum transplantasi dilakukan kemudian segera
setelah itu diberikan imunisasi pada resipien dengan antigen yang sama akan memberikan
respons yang baik. Hal yang sama dapat dilakukan dengan vaksin inaktif pertusis, Hib,
hepatitis B, pneumokok dan IPV (inactivated polio vaccine).
Pada TST otologus tidak terdapat perbedaan imunologik antara graft dan pejamu,
sehingga regenerasi sistem imun lebih cepat dan bahaya infeksi pun tidak seperti pada
transplantasi alogenik. Pada transplantasi TST alogenik, sistem imun resipien digantikan oleh
sistem imun pejamu. Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan diberikan imunisasi terlebih
dahulu kepada resipien.7-9
Imunisasi influenza dapat diberikan 1 tahun setelah transplantasi, dan diulangi setiap
tahun sebelum epidemi tiba. Imunisasi dengan hepatitis B diberikan setelah 1 tahun
transplantasi. Pasien berumur di atas 12 tahun yang akan mendapat organ transplantasi
sebaiknya diperiksa terlebih dahulu titer antibodi campak, rubela dan varisela. Mereka yang
berisiko tinggi harus mendapat imunisasi MMR sebelum transplantasi dilakukan. Waktu
terbaik adalah 1 bulan sebelum transplantasi dilakukan. Titer antibodi setelah setahun
transplantasi sebainya diperiksa. Pada mereka yang rentan infeksi bila kontak dengan pasien
campak, varisela dan rubella sebaiknya diberikan imunisasi pasif dengan imunoglonulin dan
bila mungkin titer antibodi diperiksa terlebih dahulu. Karena hanya sedikit data mengenai
imunisasi pada pasien transplantasi, setiap senter mempunyai pengalaman dan cara yang
berbeda.5

6
Tabel 4. Rekomendasi imunisasi untuk pasien transplantasi sumsum tulang
Vaksin Transplantasi Transplantasi Keterangan
TST alogenik TST otologus
DPT Ya Ya
Polio (IPV) Ya Ya
Campak Epidemik Hanya pada Tidak diberikan dalam 24 bulan
campak penderita anak setelah transplantasi. Tidak pada
GVHD.
Rubella Ya Ya Terutama wanita
Hib Ya Ya 2 dosis mulai 6-12 bulan setelah
transplantasi
Hepatitis B Ya Ya 12 bulan setelah transplantasi.
Pneumokok Ya ? Hasil tidak baik pada GVHD.
Varisela Tidak Anak dan Tidak dalam masa 24 bulan
dewasa muda setelah transplantasi. Tidak pada
GVHD.
4
Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin SA, 2004
Keterangan : TST = Transplantasi Sumsum Tulang, GVHD = Graft Versus Host Disease

F. IMUNISASI SEHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN PRODUK DARAH YANG


MENGANDUNG ANTIBODI
Vaksin inaktif dapat secara aman diberikan secara simultan pada tempat yang berbeda
dengan jalur pemberian produk darah mengandung antibodi, tanpa menyebabkan kehilangan
imunogenisitas dan efikasinya (kecuali pemberian RIG 7 hari setelah pemberian vaksin
rabies). Vaksin hidup seperti MMR dan varisela harus dihindari sekurangnya 3 bulan setelah
pemberian produk darah, demikian juga produk darah tersebut dihindari diberikan
sekurangnya 2 minggu setelah pemberian vaksin di atas. Bila terlanjur terjadi, maka perlu
diperiksakan respon serologi dan re-vaksinasi bila diperlukan. Vaksin tifoid oral, OPV,
LAIV, dan yellow fever vaccine dapat diberikan kapan saja sehubungan dengan pemberian
produk darah yang mengandung antibodi tersebut.6

III.IMUNISASI DALAM KEADAAN KHUSUS LAINNYA


A.IMUNISASI PADA ANAK SAKIT
Seluruh imunisasi ditunda hanya pada kasus dengan keadaan sakit yang serius. Vaksinasi
boleh diberikan saat anak mengalami infeksi saluran pernafasan atas yang ringan maupun
dengan diare ringan, sehingga jadwal imunisasi tidak terlewat. Anak yang dirawat dapat
melengapi jadwal imunisasinya segera setelah dipulangkan dari rumah sakit.6

B.IMUNISASI PADA ANAK DENGAN PENYAKIT KRONIS


Anak dengan kelainan neurologis, endokrinologis (diabetes), liver, renal, hematologi,
kardiologi, pulmonal dan gaastrointestinal sangat peka terhadap infeksi, sehingga harus
diberikan imunisasi seperti anak sehat, kecuali sudah terjadi defisiensi imun sekunder. Vaksin
hidup dapat diberikan secara aman pada anak-anak ini. Sangat dianjurkan untuk imunisasi
terhadap influenza dan pneumokokus. Imunogenisitas dan efikasi serta durasi proteksi vaksin
memang lebih rendah dibandingkan anak sehat, sehingga penting untuk secara berkala
memeriksakan titer antibodi terhadap vaksin dan dipertimbangkan pemberian boosters.5,6

7
C.IMUNISASI PADA ANAK DENGAN RIWAYAT ALERGI
Pada anak yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah imunisasi, harus
diberikan imunisasi berikutnya di rumah sakit dengan pengawasan dokter. Imunisasi pada
anak dengan riwayat hipersensitivitas dan anafilaksis terhadap komponen vaksin tentunya
merupakan kontraindikasi. Produk vaksin harus selalu diperiksa baik tanggal pembuatan,
nomor batch, kandungan pengawet dan antibiotika di dalamnya. Anak dengan riwayat alergi
protein telur sebaiknya tidak menerima vaksin influenza dan yellow fever, namun dengan
aman dapat menerima vaksin lain termasuk campak dan MMR. Rekasi hipersensitivitas yang
ringan tidak menjadi suatu kontraindikasi terhadap pemberian vaksin tersebut kembali.
Dengan demikian, setelah pemberian vaksin, maka anak perlu dimonitor sekurangnya 15
menit untuk melihat adanya reaksi alergi. Dengan demikian perlu disiapkan alat resusitasi
pada tempat yang memberikan pelayanan vaksinasi.5,7

D.IMUNISASI PADA RIWAYAT PAPARAN DENGAN PENYAKIT INFEKSI


MENULAR
Pemberian vaksinasi setelah terpapar dengan penyakit menular bertujuan untuk mencegah
penyebaran penyakit, sebagai bagian dari sistem surveilans epidemiologi. Berikut adalah
jadwal pemberian imunisasi setelah paparan dengan penyakit infeksi menular.4,6

Tabel 5 Imunisasi dan kondisi terpapar infeksi


Paparan infeksi Inkubasi Pemberian vaksinasi
Campak 8-12 hari 0-72 jam paparan
Varisela 14-16 hari 0-72 jam paparan
Rubella 14-23 hari Tidak perlu
Gondongan 12-25 hari Tidak perlu
Hepatitis B 14-160 hari Perlu aktif dan pasif segera dalam 12 jam
Tetanus 24jam beberapa Perlu aktif dan pasif
bulan
Hepatitis A 15-50 hari Tidak perlu

E.IMUNISASI PADA ANAK DENGAN GANGGUAN PERDARAHAN DAN ATAU


MENERIMA TERAPI ANTIKOAGULAN
Bila tidak merupakan kontraindikasi, jalur pemberian vaksinasi yaitu secara subkutan.
Pada vaksin yang mengandung adjuvan alumunium yang hanya bisa diberikan secara
intramuskuler, pemberian ditunda sampai anak mendapat terapi antikoagulan, dengan
menggunakan jarum berukuran paling kecil, dan setelah disuntik dilakukan penekanan
sekurangnya 5 menit untuk membantu pembekuan dan mencegah perdarahan.6

D.IMUNISASI PADA IBU MENDERITA TUBERKULOSIS


Bayi dilahirkan ibu menderita (TB) paru aktif sesaat sebelum, sesudah lahir, dan
mendapat pengobatan kurang 2 bulan sebelum melahirkan, tidak cukup terlindungi dengan
vaksinasi BCG. Tindakan yang dilakukan,
Jangan diberi BCG pada saat setelah lahir.
Beri pencegahan dengan isoniazid (INH) 5 mg/kg BB sekali sehari per oral.
Pada umur 8 minggu evaluasi bayi kembali, berat badan, dan lakukan pemeriksaan uji
tuberkulin dan foto dada bila memungkinkan.
Apabila ditemukan kemungkinan TB aktif, mulai diberi pengobatan anti TB sesuaikan
program pengobatan TB pada bayi.
8
Apabila kondisi bayi baik dan hasil uji tuberkulin negatif lanjutkan pencegahan
dengan isoniazid dalam waktu 6 bulan.
Tunda pemberian BCG sampai 2 minggu setelah pengobatan selesai. Bila BCG sudah
terlanjur diberikan, ulangi pemeriksaan 2 minggu setelah pengobatan INH selesai.
Yakinkan ibu bahwa ASI tetap boleh diberikan dan catat berat badan bayi tiap 2
minggu.

IV. KESIMPULAN
Pada keadaan khusus, dimana kemungkinan respon vaksinasi tidak adekuat atau
dikhawatirkan terjadi efek samping dari vaksin yang mungkin merugikan, maka pemberian
vaksinasi harus dipertimbangkan secara individual. Dengan pengetahuan dan keterampilan
yang memadai mengani vaksinasi, maka dapat dijadwalkan pemberian vaksin yang aman dan
dapat memberikan efek proteksi maksimal bagi setiap anak.

DAFTAR PUSTAKA
1. Peter G. Immunization practices. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders
Co;2004.h.1174-84.
2. Kane Mark, Lasher H. The Case for childhood immunization. Washington: Chidrens
vaccine program, 2002.
3. Halsey NA, Asturias EJ. Immunization. Dalam: McMillan JA, DeAngelis CD, Feigin
RD, Warshaw JB, editor. Oskis pediatrics principles and practice. Edisi ke-3.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999.h.479-91.
4. Syawitri P S Imunisasi Kelompok Beresiko . Dalam Ranuh IGN, Soeyitno H,
Hadinegoro SR, Kartasasmita C, Ismudiyanto, Soedjatmiko, penyunting . Buku
imunisasi di Indonesia. Jakarta: Satgas Imunisasi IDAI, 2008:2008:303-314.
5. Center for Disease Control. Immunization programme. 2009 (diakses 20 Desember
2011). Diunduh dari www.cdc.gov.
6. IAPCOI. Immunization in special situations. 2006 (diakses 20 Desember 2011).
Diunduh dari www.iapcoi.com
7. Succi RC, Farhat CK. Vaccination in special situations. Jour Ped. 2006;82(3):S91-100.
8. Saari TN. Immunization of preterm and low birth weight infants. Pediatrics.
2003;112(1):193-8.
9. Thomas C. Immunization consideration for children receiving immunosuppressive
therapy. 2008 (diakses 20 Desember 2011). Diunduh dari www.childrenhospital.go.th
10. Pickering L, Baker C, Kimberlin D, Long S. Red Book Online: 2009 Report of the
Committee on Infectious Diseases.Edisi ke 27. Elk Grove Village: American Academy
of Pediatrics; 2009.
11. Tavares E, Ribeiro J, Oliveira L. Active and passive immunization in the extremely
preterm infant. J Pediatr. 2005;81:s89-s94.
12. Esposito S, Serra D, Gualtieri L, Cesati L, Principi N. Vaccines and preterm neonates:
why, when and with what. Earl Hum Dev. 2009;85:S43-S5.
13. Allen U. Immunizations for children with cancer. Pediatr Blood Cancer. 2007;49:1102-
8.
14. Gedalia A, Shetty A. Chronic steroid and immunosuppressant therapy in children. Ped
Rev. 2004;25:425-34.
15. Sung L, Heurter H, Zokvic K, Ford-Jones E, Weitzman S, Freedman R, dkk. Practical
vaccination guidelines for chidren with cancer. Pediatr Child Health. 2001;6(6):379-83.

9
16. Moss W, Clements C, Halsey N. Immunization of children at risk of infection with
human immunodeficiency virus. Bull WHO. 2003;81(1):61-70.
17. Obaro S, Pugatch D, Luzuriaga K. Immunogenicity and efficacy of childhood vaccines
in HIV-1-infected children. Lancet Infect Dis. 2004;4:510-8.

10

Anda mungkin juga menyukai