Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Arus globalisasi ekonomi yang menimbulkan hubungan interdependensi dan

integrasi dalam bidang finansial, produksi dan perdagangan telah membawa dampak yang

cukup luas pada perekonomian Indonesia. Dampak dari arus globalisasi ekonomi ini lebih

terasa lagi setelah dikembangkannya prinsip liberalisasi perdagangan (trade

liberalization) yang telah diupayakan dan didukung secara bersama-sama oleh negara-

negara di dunia dalam bentuk kerjasama ekonomi regional. ASEAN yang merupakan

salah satu kerjasama regional merupakan bentuk kekuatan baru di benua Asia, karena

menjadi salah satu kawasan dengan jumlah potensi pasar terbesar di dunia.

Sejak didirikan pada tahun 1967, ASEAN memang bertujuan untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan kebudayaan di kawasan Asia

Tenggara. Untuk tujuan tersebut, negara-negara anggota ASEAN telah berusaha untuk

saling membantu dalam usaha-usaha yang menjadi perhatian dan kepentingan bersama

dari negara-negara anggota ASEAN, khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan

termasuk masalah-masalah sosial, kebudayaan dan ilmu pengetahuan antara lain dengan

memanfaatkan secara efektif berbagai sektor seperti pertanian dan industri serta

memperluas perdagangan mereka, termasuk perdagangan komoditi internasional.

Pada tahun 1991 para pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk kawasan

perdagangan bebas ASEAN atau yang dikenal dengan AFTA yang pembentukannya

berlangsung selama 10 (sepuluh) tahun. Sebuah lembaga setingkat menteri dibentuk

untuk mengawasi, mengkoordinasikan, dan mengkaji pelaksanaan program menuju

AFTA. Adapun isi persetujuannya berupa kerangka dalam meningkatkan kerja sama
ekonomi ASEAN (Framework Agreement on Exchanging ASEAN Economic

Coorporation- FAEAEC) yang ditandatangani presiden dan perdana menteri tiap-tiap

negara ASEAN pada bulan Januari 1992.

Pada tahun 1996, China secara resmi menjadi salah satu dialog partner serta mitra

strategis bagi ASEAN, dan pada bulan November tahun 2000 bertepatan dengan diadakan

KTT ASEAN-China, seluruh kepala negara menyepakati gagasan pembentukan ACFTA

yang dilanjutkan dengan pembentukan ASEAN-China Economic Expert Group pada

bulan Maret 2001. Kerjasama dengan China tidak dipungkiri merupakan potensi

pengembangan pasar yang sangat besar bagi kurang lebih 1,3 milyar penduduk China

yang merupakan potensi sebagai FTA terbesar didunia secara populasi dan terbesar ketiga

di dunia secara ekonomi tersebut membuat kepala negara-negara anggota ASEAN

sepakat untuk menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic

Cooperation Between ASEAN and The PRC pada bulan November tahun 2002, yang

diratifikasi oleh pemerintah pada tahun 2004 dalam bentuk Keppress yaitu Keppres

Nomor 48 Tahun 2004 tentang Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama

Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia

Tenggara dan Republik Rakyat China, dalam hal ini negara Indonesia diwakili oleh

Presiden Megawati Sukarnoputri. Selama 2 (dua) tahun perundingan berjalan, akhirnya

kesepakatan ACFTA pun disepakati dan ditandai dengan adanya penandatanganan

Agreement on Trade in Goods pada bulan November tahun 2004, Indonesia pada saat itu

diwakili oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.

ACFTA yang merupakan persetujuan antara negara-negara anggota ASEAN dan

China merupakan kesepakatan yang bersifat regional. Oleh karena itu, dengan ikut
menandatangani kesepakatan tersebut, maka Indonesia terikat dalam sebuah perjanjian

internasional yang tentunya harus dilaksanakan. Meskipun, ternyata dalam

implementasinya telah memberikan dampak yang tidak baik bagi beberapa sektor industri

nasional. Jika dicermati, kedudukan Indonesia dalam kesepakatan ACFTA bila dilihat dari

dalam pertumbuhan industri bahkan ketahanan terhadap dampak negatif pemberlakuan

ACFTA tidaklah pada posisi yang kuat. Bahkan lebih lemah dibanding dengan negara-

negara tetangga Indonesia sendiri seperti Singapura, Malaysia, Filiphina bahkan

Thailand. Dalam kerangka ACFTA, terlihat bahwa industri dalam negeri khusunya sektor

manufaktur dan UMKM dirugikan sebab tidak memiliki daya saing.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dalam paper ini adalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana proteksi hukum nasional yang ideal terhadap produk industri dalam

negeri khususnya sektor Usaha mikro, kecil dan Menengah (UMKM) dalam

implementasi perjanjian ACFTA?


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Proteksi hukum yang telah diberikan kepada Industri dalam negeri

Anda mungkin juga menyukai