Difteria
Oleh :
Perseptor :
dr. Rinang Mariko, Sp.A(K)
a. Definisi Difteria
Difteria adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheriae. Difteria merupakan penyakit yang sangat menular dan ditandai dengan
pembentukan pseudo-membran pada kulit dan atau mukosa.1
b. Etiologi Difteria
Penyebab terjadinya difteria adalah kuman basil Gram-positif yang bersifat
aerob, Corynebacterium diphtheriae. Kuman ini memiliki karakteristik tidak
bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan
60oC, dan tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman tampak
dalam susunan palisade, berbentuk L atau V, atau membentuk formasi huruf cina.1
Ciri khas C. diphtheriae adalah kemampuannya membentuk eksotoksin.
Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak
tahan panas/ cahaya, dan mempunyai dua fragmen, yaitu fragmen A (amino-
terminal) dan B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk
eksotoksin dapat dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya dapat dibentuk
oleh C. diphtheria yang terinfeksi bakteriofag yang mengandung toxigene.1
Secara umum, dikenal 3 tipe utama C. diphtheria,yaitu tipe gravis,
intermedius, dan mitis. Namun, berdasarkan antigenitasnya, basil ini memiliki
spesies yang heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Pada membran
mukosa manusia C. diphtheria dapat hidup bersama-sama dengan kuman
diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk
membedakannya diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen,
kanji, glukosa, maltosa, dan sukrosa.5
c. Epidemiologi Difteria
Difteria tersebar di seluruh dunia. Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan
penyakit yang sering menyebabkan kematian. Namun, sejak mulai diadakannya
program imunisasi DPT di Indonesia pada tahun 1974, kasus dan kematian akibat
difteria berkurang sangat banyak.2
Difteri terjadi di seluruh dunia, tetapi kasus-kasus klinis lebih banyak terjadi
di daerah beriklim sedang . Di Amerika Serikat pada era pretoxoid, insiden tertinggi
berada di Tenggara selama musim dingin.4
Setelah program pengembangan imunisasi yang menyeluruh /Expanded
Program Immunization (EPI) dilaksanakan dengan pemberian toksoid difteri, difteri
hampir hilang terutama di negara maju.1 Indonesia telah melaksanakan Program
Pengembangan Imunisasi (PPI) sesuai dengan EPI sejak tahun 1976, dan telah
melaksanakan vaksinasi dengan tiga dosis DPT pada bayi dengan cakupan yang
tinggi.6
Dampak dari PPI, sejak tahun 1986 tidak diketemukan lagi kasus difteri yang
dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin,
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, yang merupakan rumah sakit rujukan
di provinsi Jawa Barat. Diharapkan dengan melaksanakan dan mempertahankan
program imunisasi secara terus menerus maka penyakit difteria dapat menghilang.
Wabah difteri di Jawa barat hampir selalu ada, dilaporkan pada tahun 2006, 2007,
2008 masing 54, 50, 28 kasus, dan tahun 2010 dilaporkan 28 kasus dengan angka
kematian yang cukup tinggi. Subdit KLB Dirjen P2MPL Kementrian Kesehatan
melaporkan peningkatan kasus difteri di beberapa provinsi di Indonesia seperti Jawa
Timur, Jawa Tengah, DKI, Lampung, dan beberapa tempat lain di Indonesia.
Kenyataan tersebut menimbulkan kekuatiran berjangkitnya kembali penyakit difteri.6
f. Diagnosis Difteria
Diagnosis difteria harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, karena
penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien sebagai efek dari
penyebaran eksotoksin yang dihasilkan C. diphtheria. Penentuan kuman difteria
secara langsung kurang dapat dipercaya. Diagnosis pasti difteria ditegakkan dengan
melakukan isolasi kuman C. diphtheria dengan pembiakan pada media Loeffler,
dilanjutkan dengan tes toksinogenesitas secara in vitro (tes Elek) dan in vivo
(marmut). Cara yang lebih akurat adalah dengan melakukan identifikasi dengan cara
fluorescent antibodi technique, namun diperlukan seorang ahli untuk melakukan
identifikasi tersebut.1
g. Diagnosis Banding
1. Difteria Hidung, terdapat beberapa penyakit yang menyerupai difteria hidung,
yaitu: rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam
hidung, snuffles (lues kongenital).
2. Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang
disebabkan oleh Streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononucleosis
infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer,
moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.
3. Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat menyerupai
infectious croups yang lain, yaitu: spasmodic croup, angioneurotic edema pada
laring, dan benda asing dalam laring.
4. Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang
disebabkan oleh Streptokokus atau Stafilokokus.1
h. Imunisasi
Imunitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteri
sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan sampai 2-3 minggu.
Sedangkan kekebalan aktif diperoleh setelah menderita sakit atau inapparent
infection dan imunisasi dengan toksoid difteri. Imunitas terhadap difteri dapat diukur
dengan uji schick dan uji moloney.1
Schick test : menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap difteri. Tes dilakukan
dengan menyuntikan toksin difteri (dilemahkan) secara intrakutan. Bila tidak
terdapat kekebalan antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif.
Moloney test : menentukan sensitivitas terhadap produk kuman difteri. Tes
dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid difteri toxoid secara suntikan
intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema >10 mm. Ini berarti
bahwa :
pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas.
pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.
Imunitas aktif dapat diperoleh dengan melakukan imunisasi difteri. Imunisasi
ini tergabung dalam vaksin DTp yang jadwal pemberiannya dapat dimulai paling
cepat usia 6 minggu dengan interval pemberian 4-8 minggu. Namun, berdasarkan
rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), DTP-1 dapat diberikan pada usia
2 bulan, DTP-2 pada usia 4 bulan, dan DTP-3 pada bulan 6 bulan. Ketiga DTP
tersebut di atas tergabung dalam DTP Primer. Selanjutnya DTP-4 pada usia 18-24
bulan, DTP-5 pada usia 5 tahun, DTP-6 usia 10-12 tahun, dann DTP-7 pada usia 18
tahun. Keempat DTP di atas termasuk ke dalam tahap booster dari program
imunisasi difteria, Tetanus, dan Pertusis.3
Dosis pemberian vaksin DTP adalah 0,5 ml, dengan cara pemberian secara
intramuscular. Jenis vasin DTP ada 2, yaitu DTwP dan DTaP. DTwP adalah
singkatan dari Diphtheria Tetanus whole cell-Pertusis, sedangkan DTaP adalah
singkatan dari Diphtheria Tetanus acellular-Pertusis. DTwP berisi suspensi kuman B.
Pertussis dan DTaP mengandung komponen toksin B. Pertussis yang dapat
menginduksi pembentukan antibodi spesifik.3
i. Pengobatan Difteria
Pengobatan pada difteria harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya
gejala yang berat akibat penyebaran eksotoksin yang diproduksi oleh C. diphtheria.
Pasien harus dirawat di ruang isolasi rumah sakit untuk menghindari penularan
kepada pasien lainnya.2
Pengobatan ditujukan untuk menginaktivasi toksin yang belum berpenetrasi
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeleminasi kuman C. diphtheria untuk mencegah penularan, serta mengobati
gejala penyerta dan penyulit difteria.1
Pengobatan pada difteria dapat diklasifikan menjadi 2, yaitu secara umum
dan khusus.
1. Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya, lama isolasi pasien difteria lebih
kurang 2-3 minggu. Selama isolasi, pasien istirahat tirah baring dan diberikan
terapi cairan dan diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dengan risiko
obstruksi jalan nafas, harus dipantau agar nafas tetap bebas, dan dijaga
kelembapan udara dengan menggunakan humidifier. 1
2. Khusus
Terdapat beberapa pengobatan khusus pada difteria, yaitu :
a) Antitoksin Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Dengan penundaan pemberian antitoksin lebih dari
hari ke-6 dapat menyebabkan angka kematian meningkat 30%.1
Tabel Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe Difteria Dosis ADS Cara Pemberian
Difteria hidung 20.000 i.m.
Difteria tonsil 40.000 i.m. atau i.v.
Difteria faring 40.000 i.m. atau i.v.
Difteria laring 40.000 i.m. atau i.v.
Kombinasi 80.000 i.v.
Difteria + bullneck 80.000-120.000 i.v.
Terlambat berobat (>72 jam), 80.000-120.000 i.v.
lokasi dimana saja
Sumber: Krugman, 2004 dalam Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata, karena
pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik. Untuk mengatasi hal
tersebut harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam spuit. Uji kulit
dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis
1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi >
10 mm. 1
Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10
dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis.
Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva
bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi (Besredka).1
Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan
sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan
berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien,
berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas.
Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml
glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping
obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya
Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat
(serum sickness).1
b) Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan
untuk mengeradikasi kuman penyebab difteria yaitu C. diphtheriae. Dengan
demikian, produksi toksin dapat dihentikan dan penularan kuman dengan
cara droplet dapat dicegah. Antibiotik yangdiberikan adalah Penisilin
prokain dengan dosis 50.000-100.000 IU/ kgBB/ hari selama 10 hari.
Sebelum pemberian antibiotik penisilin prokain, juga harus dilakukan skin
test terlebih dahulu. Apabila terjadi reaksi hipersensitivitas, antibiotik yang
diberikan adalah eritromisin dengan dosis 40 mg/kgBB/hari.1
c) Kortikosteroid
Pemberian kostrikosteroid dianjurkan pada pasien yang memiliki gejala
berikut ini, yaitu: obstruksi jalan nafas bagian atas (dengan ataupun tanpa
bullneck) dan apabila terdapat miokarditis. Kortikosteroid yang diberikan
adalah prednison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, kemudian
dosis diturunkan secara bertahap (tapering off).1
j. Komplikasi
Penyulit difteria dapat terjadi sebagai akibat respon inflamasi local maupun
akibat penyebaran eksotoksin ke jaringan tubuh lain. penyulit difteria dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Obstruksi jalan nafas
Obstruksi jalan nafas pada difteria disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas
oleh membran difteria, atau karena edema pada tonsil, faring, daerah
submandibular, dan servikal
2. Dampak toksin
Dampak penyebaran toksin C. diphtheriae dapat bermanifestasi pada jantung,
saraf, dan ekstremitas. Pada jantung, eksotoksin dapat menimbulkan miokarditis
dan biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatka antitoksin difteri.
Miokarditis dapat muncul baik pada difteria ringan maupun sedang. Miokarditis
biasanya muncul pada minggu ke dua, tetapi bisa paling dini muncul pada
minggu pertama dan paling lambat pada minggu ke enam. Klinis yang dapat
ditemui pada miokarditis adalah takikardia, suara jantung redup, terdengar bising
jantung, aritmia, dan pada beberapa kondisi bias berupa gagal jantung. Kelainan
pemeriksaan EKG pada pasien miokarditis difteria berupa elevasi segment ST,
PR interval memanjang, dan heart block.1
Dampak penyebaran toksin pada system saraf biasanya muncul lebih lambat,
bersifat bilateral, terutama mengenai saraf motorik, dan akan sembuh sempurna.
Pada minggu ke-3, bila terjadi kelumpuhan pada otot pallatum molle dapat
terjadi suara sengau, regurgutasi nasal, dan sukar menelan. Pada minggu ke-5
hingga minggu ke-7 dapat terjadi paralisis otot mata.1
Paralisis pada ekstremitas terjadi secara bilateral dan simetris, terjadi
kehilangan deeptendon reflexs, peningkatan kadar protein likuor serebrospinal.
Pada minggu ke-5 minggu ke-7 dapat terjadi paralisis otot diafagma akibat
neuritis saraf frenikus. Kondisi ini dapat menyebabkan kematian apabila tidak
dibantu dengan ventilator mekanik. Dan apabila terjadi kelumpuhan pada pusat
vasomotor dapat terjadi hiptensi dan gagal jantung.1
3. Infeksi sekunder bakteri
Penyulit berupa infeksi sekunder saat ini telah jarang terjadi dengan
berkembangnya penggunaan antibiotic secara luas.1
k. Prognosis
Prognosis difteria lebih baik dari sebelumnya setelah ditemukannya Anti
Difteria Serum (ADS) dan antibiotik. Di Indonesia, kasus difteria berat dengan
prognosis buruk dapat ditemui pada daerah yang belum terjamah dengan imunisasi
DPT. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteri disebabkan oleh:
obstruksi jalan nafas akibat terlepasnya membran difteria, miokarditis dan gagal
jantung, dan paralisis diafragma sebagai akibat neuritis frenikus. Anak yang pernah
miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria pada umumnya dapat sembuh
sempurna tanpa gejala sisa, walaupun demikian pernah dilaporkan gejala yang
menetap.
Prognosa tergantung pada :
1. Usia penderita
Makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan pada
anak-anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik oleh membran
difteri.
2. Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin.
3. Tipe klinis difteri
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring
(48,4%) dan faring (10,5%)
4. Keadaan umum penderita
Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik.
l. Pencegahan Infeksi Difteria
Pencegahan terhadap difteria dapat dilakukan secara umum maupun khusus.
Pencegahan seara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan
mengenai infeksi difteria dan bahayanya bagi anak. Pencegahan secara khusus dapat
dilakukan dengan memberikan vaksin DPT dan pengobatan carrier. Seorang anak
yang telah mendapatkan imunisasi DPT secara lengkap akan memiliki antibodi
terhadap toksin difteria namun tidak mempunyai antibodi terhadap organismenya,
inilah sebabnya mengapa bisa adanya individu yang menjadi carrier difteria.1
BAB II
Laporan Kasus
A. IDENTITAS PASIEN
Nama :M
Jenis kelamin : Laki - laki
Tanggal Lahir : 14 April 2008
Umur : 7 tahun 1 bulan
Alamat : Sungai Limau Kuranji Hilir
Tanggal Masuk : 5 Mei 2015
B. ALLOANAMNESIS
1. Keluhan Utama : demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, tinggi, hilang timbul, tidak
menggigil, tidak berkeringat, tidak disertai kejang.
Batuk sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, berdahak, darah tidak ada,
disertai pilek. Sesak nafas tidak ada, suara serak tidak ada.
Nyeri menelan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
Tampak bercak keputihan pada tenggorokan disadari orang tua sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit
Mual tidak ada, muntah tidak ada
Nafsu makan anak menurun sejak sakit. Anak biasanya makan 2-3 kali
sehari, menghabiskan 1 porsi makanan. Saat ini anak makan 1-2 kali sehari,
menghabiskan 1/3 porsi makanan dari biasanya.
Riwayat imunisasi dasar tidak lengkap, Booster tidak diberikan, anak belum
mendapatkan vaksin dT-ORI
Buang air kecil warna dan jumlah biasa
Buang air besar warna dan konsistensi biasa
Anak sebelumnya telah dibawa berobat ke spesialis anak dan dirujuk ke
RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan keterangan susp. difteri tonsil.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium : 5 Mei 2015
Hb = 11,1 g/dL
Leukosit = 20.040/mm3
Hitung jenis leukosit = 0/0/6/53/37/4
Trombosit = 254.000/mm3
E. DIAGNOSIS
Susp. Difteria Tonsil
F. PENATALAKSANAAN
Terapi:
ML 1400 kkal
ADS 80.000 IU drip dalam NaCl 0,9% 200 cc, habis dalam 2 jam, 30 tetes/menit
(makro).
Penicillin prokain 1 x 900.000 IU i.m. (skin test terlebih dahulu)
Paracetamol 180 mg (bila T 38,5oC )
Rencana :
Swab tenggorok (pewarnaan gram, kultur)
Pemeriksaan EKG berkala
Rencana : EKG/hari
BAB III
DISKUSI