1. PENDAHULUAN
Seiring gelombang otonomi daerah, ada beberapa perubahan dalam hubungan antara
eksekutif dengan legislatif. Pertama, eksekutif bersama dewan mempunyai otonomi
penuh untuk membuat kebijakan-kebijakan lokal; dan kedua, anggota dewan memiliki
otonomi penuh dan mempunyai peluang besar dalam proses legislasi. Kewenangan
dewan dalam membuat kebijakan tidak terbatas hanya dalam memilih kepala daerah,
tetapi juga berwenang membuat undang-undang, pengawasan, investigasi, dan bersama-
sama dengan eksekutif menyusun APBD yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.
Implikasi lain dari otonomi daerah adalah pelimpahan dana ini dibarengi dengan
dilaksanakannya reformasi penganggaran dan reformasi sistem akuntansi keuangan
daerah (Halim, 2003). Reformasi penganggaran yang terjadi adalah munculnya
paradigma baru dalam penyusunan anggaran yang mengedepankan prinsip akuntabilitas
publik, partisipasi masyarakat, dan transparansi anggaran. Disamping itu, anggaran harus
dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented), prinsip efisien dan efektif
(Value For Money), keadilan dan kesejahteraan dan sesuai dengan disiplin anggaran
(Mardiasmo, 2003).
Korupsi di Indonesia benar-benar sangat sistemik, bahkan korupsi yang terjadi sudah
berubah menjadi vampir state karena hampir semua infra dan supra struktur politik dan
sistem ketatanegaraan sudah terkena penyakit korupsi. Agenda pemberantasan korupsi
sampai detik ini hanyalah dijadikan komoditas politik bagi elit politik, lebih banyak pada
penghancuran karakter (character assasination) bagi elit yang terindikasikan korupsi
dibanding pada proses hukum yang fair dan adil. Law enforcement bagi koruptor juga
menjadi angin lalu, padahal tindakan korupsi yang dilakukan koruptor sangatlah
merugikan rakyat Masduki (2002) dalam Klitgaard, dkk (2002).
Fenomena korupsi tersebut diatas menurut Baswir (1996) pada dasarnya berakar pada
bertahannya jenis birokrasi patrimonial di negeri ini. Dalam birokrasi ini, dilakukannya
korupsi oleh para birokrat memang sulit dihindari. Sebab kendali politik terhadap
kekuasaan dan birokrasi memang sangat terbatas. Penyebab lainnya karena sangat
kuatnya pengaruh integralisme di dalam filsafat kenegaraan bangsa ini, sehingga
cenderung masih mentabukan sikap oposisi. Karakteristik negara kita yang merupakan
birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi
pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu.
Menurut Susanto (2001) korupsi pada level pemerintahan daerah adalah dari sisi
penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang
publik untuk kepentingan pribadi. Sementara tipe korupsi menurut de Asis (2000) adalah
korupsi politik, misalnya perilaku curang (politik uang) pada pemilihan anggota legislatif
ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian
konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang). Tipe
korupsi yang terakhir yaitu clientelism (pola hubungan langganan).
Bentuk tindak pidana korupsi pada level legislatif adalah korupsi APBD untuk pos
keuangan DPRD yang terjadi akhir-akhir ini dan marak diberitakan di berbagai media.
Pidana korupsi APBD kebanyakan melanggar PP 110/2000 walaupun sekarang telah
diganti dengan PP 24/2004 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Kasus Kampar
misalnya, sejumlah 45 anggota DPRD telah dijadikan tersangka karena telah
menganggarkan pesangon. Di Kota Padang Sumatra Barat 43 anggota DRPD telah
dijatuhi vonis karena merugikan uang negara sebanyak 10,4 M. Demikian juga DPRD
Bali telah melakukan penggelapan uang Tirtayatra (persembahyangan di India) sejumlah
112 juta. Deretan kasus penyimpangan APBD juga terjadi di jawa Timur seperti di DPRD
Kota Surabaya 2,7 M, DPRD Sidoarjo 20,3 M, DPRD Tulungagung 1,6 M, DPRD
Nganjuk 5,3 M, DPRD Banyuwangi 225 juta, DPRD Kota Blitar 1,5 M dan masih
banyak lagi (Kompas, 8/9/04)
Demikian pula kasus korupsi APBD juga terjadi di wilayah Malang Raya yang
menjadi objek penelitian. Di Kota Malang misalnya kasus sisa anggaran 2,1 M dan
pesangon dewan senilai 1,7 M sampai saat ini belum ada kepastian hukum sementara
uang tersebut sudah masuk ke kantong anggota dewan yang terhormat. Di Kabupaten
Malang penyimpangan dana APBD juga dilakukan untuk kepentingan pejabat dan
keluaraganya seperti penyelewengan sekwan 22,5 juta, umrah gate dan Dem-deman
Mobil. Di Kota Batu mark-up APBD telah digunakan untuk kepentingan Pilihan Kepala
Daerah (MCW,2004).
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris mengenai berbagai
faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) khususnya di Malang Raya. Dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
bukti kongkrit dalam diskursus korupsi dan upaya strategi pemberantasan korupsi, juga
sebagai bahan untuk mendidik publik untuk mengetahui struktur dan komponen APBD
atau kelompok anggaran yang selama ini di korupsi serta besarnya ongkos sosial ekonomi
yang ditimbulkan dari korupsi APBD.
A. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari suatu kata dalam bahasa Inggris yaitu corrupt, yang berasal dari
perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan
rumpere yang berarti pecah dan jebol. Menurut Bernardi (1994) istilah korupsi juga dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena
adanya suatu pemberian. Sementara Hermien H.K. (1994) mendefinisikan korupsi
sebagai kekuasaan tanpa aturan hukum. Oleh karena itu, selalu ada praduga pemakaian
kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan selain tujuan yang tercantum dalam pelimpahan
kekuasaan tersebut.
B. Pola-Pola Korupsi
Baswir (1993) menjelaskan ada 7 pola korupsi yang sering dilakukan oleh oknum-
oknum pelaku tindak korupsi baik daari kalangan pemerintah maupun swasta. Ketujuh
pola tersebut meliputi : (1) pola konvensional, (2) pola upeti, (2) pola komisi, (4) pola
menjegal order, (5) pola perusahaan rekanan, (6) pola kuitansi fiktif dan (7) pola
penyalahgunaan wewenang. Untuk menanggulangi terjadinya korupsi yang bermacam-
macam jenisnya ini diperlukan strategi khusus dari semua bidang, meskipun untuk
menghilangkan sama sekali praktik korupsi adalah sesuatu yang mustahil, tertapi
setidaknya-tidaknya ada upaya untuk menekan terjadinya tindak korupsi. Strategi yang
dibentuk hendaknya melibatkan seluruh lapisaan masyarakat dan pejabat struktur
pemerintahan.
Sementara menurut Fadjar (2002) pola terjadinya korupsi dapat dibedakan dalam
tiga wilayah besar yaitu ; Pertama, bentuk penyalahgunaan kewenangan yang berdampak
terjadinya korupsi adalah pertama; Mercenery abuse of power, penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh orang yang mempunyai suatu kewenangan tertentu yang
bekerjasama dengan pihak lain dengan cara sogok-menyogok, suap, mengurangi standar
spesifikasi atau volume dan penggelembungan dana (mark up). Penyalahgunaan
wewenang tipe seperti ini adalah biasanya non politis dan dilakukan oleh level pejabat
yang tidak terlalu tinggi kedudukannya.
Kedua, Discretinery abuse of power, pada tipe ini penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh pejabat yang mempunyai kewenangan istimewa dengan mengeluarkan
kebijakan tertentu misalnya keputusan Walikota/Bupati atau berbentuk peraturan
daerah/keputusan Walikota/Bupati yang biasanya menjadikan mereka dapat bekerjasama
dengan kawan/kelompok (despotis) maupun dengan keluarganya (nepotis).
Ketiga, Idiological abuse of power, hal ini dilakukan oleh pejabat untuk mengejar
tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi dukungan
kelompok pada pihak tertentu untuk menduduki jabatan strategis di birokrasi/lembaga
ekskutif, dimana kelak mereka akan mendapatkan kompensasi dari tindakannya itu, hal
ini yang sering disebut politik balas budi yang licik. Korupsi jenis inilah yang sangat
berbahaya, karena dengan praktek ini semua elemen yang mendukung telah mendapatkan
kompensasi.
Terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) sistem pemerintahan
dan birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan, (2) belum adanya
sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan dan
perundang-perundangan yang tegas. Faktor lainnya menurut Fadjar (2002) adalah tindak
lanjut dari setiap penemuan pelanggaran yang masih lemah dan belum menunjukkan
greget oleh pimpinan instansi. Terbukti dengan banyaknya penemuan yang ditutup
secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas serta tekad dalam pemberantasan korupsi dan
dalam penuntasan penyimpangan yang ada dari semua unsur tidak kelihatan. Disamping
itu kurang memadainya sistem pertanggungjawaban organisasi pemerintah kepada
masyarakat yang menyebabkan banyak proyek yang hanya sekedar pelengkap laporan
kepada atasan.
Menurut Arifin (2000) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) aspek
prilaku individu organisasi, (2) aspek organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat
individu dan organisasi berada. Sementara menurut Lutfhi (2002) faktor-faktor penyebab
terjadinya korupsi adalah: (1) motif, baik motif ekonomi maupun motif politik, (2)
peluang, dan (3) lemahnya pengawasan. Berdasarkan uraian sebelumnya, dalam
penelitian ini penulis mengelompokkan empat aspek yang menyebabkan terjadinya
korupsi APBD di wilayah Malang Raya yaitu:
Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat
berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat,
atau kesadaran untuk melakukan. Sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan
korupsi antara lain : (a) sifat tamak manusia, (b) moral yang kurang kuat menghadapi
godaan, (b) penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, (d) kebutuhan
hiduop yang mendesak, (e) gaya hidup konsumtif, (f) tidak mau bekerja keras, (g) ajaran-
ajaraan agamaa kurang diterapkan secara benar.
Dalam teori kebutuhan Maslow, demikian dikatakan Sulistyantoro (2004) korupsi
seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling
bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan
yang bertahan hidup, namum saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya, pendidikan
tinggi. Selanjutnya, poling yang dilakukan oleh Malang Corruption Watch (MCW)
berdasarkan jawaban dari 9273 responden, hasilnya menunjukkan sekitar 30,2% korupsi
terjadi karena aspek individu demi kepentingan pribadinya. Pola-pola penyimpangan
yang terjadi biasanya tidak bekerja pada saat jam kantor (14,2%), pemakaian fasilitas
kantor untuk kepentingan pribadi dan keluarganya (10%), dan (6)% adalah biaya
pengurusan sesuatu yang berkaitan dengan adminstarsi (MCW, 2004). Berdasarkan hasil
pooling tersebut penulis membuat hipotesis sebagai berikut:
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau
dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka
peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Bilamana organisasi
tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk melakukan korupsi,
maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut
pandang organisasi ini meliputi: (a) kurang adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak
adanya kultur organisasi yang benar, (c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah
kurang memadai, (d) manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
Hasil pooling yang dilakukan oleh Malang Corruption Watch (MCW) berdasarkan
jawaban dari 9273 responden menunjukan bahwa sekitar 22,2% korupsi terjadi di Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) (MCW, 2004). Bentuk korupsi ini terjadi karena lemahnya
peraturan perundang-undangan didaerah. Sehingga hipotesis penelitian ini adalah:
4. Aspek Pengawasan
Pengawasan yang dilakukan instansi terkait (BPKP, Itwil, Irjen, Bawasda) kurang
bisa efektif karena beberapa faktor, diantaranya (a) adanya tumpang tindih pengawasan
pada berbagai instansi, (b) kurangnya profesionalisme pengawas, (c) kurang adanya
koordinasi antar pengawas (d) kurangnya kepatuhan terhadap etika hukum maupun
pemerintahan oleh pengawas sendiri. hal ini sering kali para pengawas tersebut terlibat
dalam praktik korupsi. belum lagi berkaitan dengan pengawasan ekternal yang dilakukan
masyarakat dan media juga lemah, dengan demikian menambah deretan citra buruk
pengawasan APBD yang sarat dengan korupsi. Hal inis sejalan dengan pendapatnya
Baswir (1996) yang mengemukakan bahwa negara kita yang merupakan birokrasi
patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan,
sehingga merebaklah budaya korupsi itu.
Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal
(pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) serta pengawasan
bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dan masyarakat). Dimana pengawasan ini
kurang bisa efektif karena adanya beberapa faktor, diantaranya adanya tumpang tindih
pengawasan pada berbagai instansi, kurang profesionalismenya pengawas serta
kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri.
Dan berkaitan dengan hal ini pengawas sendiri sering kali terlibat dalam praktek korupsi.
Sehingga hipotesis penelitian ini adalah:
D. Korupsi APBD
Secara umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Daerah (APBD) adalah
pernyataan tentang rencana pendapatan dan belanja daerah dalam periode tertentu (1
tahun). Pada awalnya fungsi APBD adalah sebagai pedoman pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan daerah untuk satu periode. Selanjutnya, sebelum anggaran
dijalankan harus mendapat persetujuan dari DPRD sebagai wakil rakyat maka fungsi
anggaran juga sebagai alat pengawasan dan pertanggungjawaban terhadap kebijakan
publik. Dengan melihat fungsi anggaran tersebut maka seharusnya anggaran merupakan
power relation antara eksekutif, legislatif dan rakyat itu sendiri (Sopanah & Wahyudi,
2004).
Dengan mengingat bahwa tingkat korupsi birokrasi daerah di Indonesia masih tinggi,
hal ini ditunjukkan dalam survey kecenderungan korupsi birokrasi yang diselenggarakan
oleh PERC. Pada tahun 1999, angka kecenderungan korupsi birokrasi menunjukkan
angka 8,0 dari skala 0-10. Dimana angka nol berarti mutlak bersih dan 10 berarti mutlak
memiliki kecenderungan korupsi. Dan satu tahun kemudian, tahun 2000, angka ini tidak
mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka meningkatkan PAD
akan lebih baik bila diprioritaskan dengan cara mengurangi kebocoran pendapatan
pemerintah daerah yang selama ini ada bukan dengan cara meningkatkan pajak karena
akan menyengsarakan rakyat (Ardyanto, 2002)
Kedua, otoritas yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun APBD dan menyusun
anggaran untuk DPRD sangat memungkinkan terjadinya korupsi APBD karena tidak ada
pengawasan yang sistematis kecuali jika rakyat mempunyai kesadaran yang tinggi.
Dengan demikian kembali pada kenyataan bahwa anggaran adalah power relation maka
kemungkinan terjadinya suap (bribery) terhadap DPRD untuk menyetujui pos anggaran
tertentu yang tidak dibutuhkan rakyat sangat mungkin terjadi.
Berdasarkan hipotesis yang telah dikembangkan maka model penelitian yang berjudul
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Korupsi APBD ditunjukan oleh gambar 1.
Lampiran Kuesioner
No PERTANYAAN 1 2 3 45
1.Sifat
tamak manusia membuat seseorang melakukan tindak pidana STS TS TT S SS
korupsi
2.Korupsi
disebabkan karena moral seseorang yang kurang kuat dalam STS TS TT S SS
menghadapi godaan
3.Seseorang
tergoda melakukan korupsi karena penghasilan kurang STS TS TT S SS
mencukupi kebutuhan hidup yang wajar
4.Adanyakebutuhan hidup yang mendesak, seseorang dapat melakukan STS TS TT S SS
tindak pidana korupsi
5.Korupsi
dapat disebabkan karena gaya hidup konsumtif dan STS TS TT S SS
bermewah-mewahan
6.Sesorangmelakukan tindak pidana korupsi karena tidak mau bekerja STS TS TT S SS
keras atau bermalas-malasan
7.Ajaran
agama yang kurang diterapkan secara benar berakibat pada STS TS TT S SS
seseorang berani melakukan tindak pidana korupsi
No PERTANYAAN 1 2 3 45
1.Kurangadanya teladan dari pimpinan pemerintah menyebabkan STS TS TT S SS
seseorang melakukan tindak pidana korupsi
2.Korupsi terjadi karena tidak adanya kultur pemerintahan yang benar STS TS TT S SS
3.Sistem
akuntabilitas yang kurang memadai memberi peluang untuk STS TS TT S SS
melakukan korupsi
4.Manajemen yang tidak transparan cenderung menutupi korupsi di STS TS TT S SS
dalam instansi pemerintah
5.Adanya korupsi disebabkan karena Birokrasi yang panjang dan STS TS TT S SS
berbelit-belit
6.Pelayanan publik yang rendah memberi peluang untuk melakukan STS TS TT S SS
korupsi.
7.Korupsidisebabkan karena lemahnya sistem pengendalian instansi STS TS TT S SS
pemerintah
No PERTANYAAN 1 2 3 45
1. Peraturan perundang-undangan yang monolistik dan menguntungkan STS TS TT S SS
kerabat menjadi peluang untuk melakukan korupsi
2. Kualitas perundang-undangan yang tidak memadai menyebabkan STS TS TT S SS
korupsi tinggi
3. Tidak adanya sosialisasi perundang-undangan memberi peluang bagi STS TS TT S SS
seseorang untuk melakukan korupsi
4. Seseorang melakukan korupsi karena sanksi yang dijatuhkan sangat STS TS TT S SS
ringan
5. Korupsi terjadi karena penerapan sanksi yang tidak konsisten dan STS TS TT S SS
pandang bulu
6. Lemahnya bidang evaluasi dan revisi perundang-undangan STS TS TT S SS
menyebabkan korupsi semakin tinggi
7. Belum adanya Perda kebebasan informasi dan tatacara penyampaian STS TS TT S SS
aspirasi memberi peluang melakukan korupsi
No PERTANYAAN 1 2 3 45
1. Korupsi terjadi karena masyarakat lemah dalam melakukan STS TS TT S SS
pengawasan
2. Korupsi merajalela karena lembaga pengawas tidak independen STS TS TT S SS
3. Lemahnya pengawasan dari partai membantu pejabat melakukan STS TS TT S SS
korupsi
4. Media lemah dalam memberikan kontrol terhadap jalannya STS TS TT S SS
kepemerintahan sehingga korupsi terus berjalan
5. Korupsi disebabkan karena tidak ada mekanisme pengawasan yang STS TS TT S SS
dapat dipertanggungjawabkan
6. Korupsi terjadi karena DPRD lemah dalam mengawasi kinerja STS TS TT S SS
eksekutif
7. Lembaga peradilan yang tidak independen membuat seseorang berani STS TS TT S SS
melakukan korupsi
No PERTANYAAN 1 2 3 45
1. Kenaikan pajak dan retribusi yang tidak wajar merupakan bagian dari STS TS TT S SS
tindak pidana korupsi
2. Korupsi bisa berbentuk pemberian dana perimbangan (DAU & DAK) STS TS TT S SS
yang tidak proporsional
3. Adanya korupsi disebabkan karena manipulasi dan meninggikan STS TS TT S SS
harga pada pos belanja rutin
4. Adanya pos titipan dari dinas atau unit kerja lain adalah bagian dari STS TS TT S SS
tindak pidana korupsi
5. Pemberian honor kepada petugas atau unit kerja tertentu bagian dari STS TS TT S SS
tindak pidana korupsi
6. Modus tindak pidana korupsi biasanya dilakukan dengan cara STS TS TT S SS
memperbesar jumlah anggaran
7. Biaya perjalanan dinas dari berbagai sumber merupakan tindak STS TS TT S SS
pidana korupsi apalagi untuk tujuan perjalanan yang sama
8. Pengeluaran yang tidak wajar atas kegiatan tertentu merupakan STS TS TT S SS
bentuk tindak pidana korupsi
9. Bentuk tindak korupsi bisa berupa pengeluaran anggaran yang tidak STS TS TT S SS
sesuai dengan prioritas pembangunan
10. Belanja publik yang tidak dilandasi dengan ukuran/indikator kinerja STS TS TT S SS
yang jelas merupakan tindak pidana korupsi
11. Tindak pidana korupsi bisa berupa penganggaran proyek yang lebih STS TS TT S SS
dari satu kali dalam satu tahun anggaran
12. Biaya administrasi proyek dapat dijadikan pendapatan STS TS TT S SS