Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KORUPSI

ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA DAERAH (APBD)

1. PENDAHULUAN

Seiring gelombang otonomi daerah, ada beberapa perubahan dalam hubungan antara
eksekutif dengan legislatif. Pertama, eksekutif bersama dewan mempunyai otonomi
penuh untuk membuat kebijakan-kebijakan lokal; dan kedua, anggota dewan memiliki
otonomi penuh dan mempunyai peluang besar dalam proses legislasi. Kewenangan
dewan dalam membuat kebijakan tidak terbatas hanya dalam memilih kepala daerah,
tetapi juga berwenang membuat undang-undang, pengawasan, investigasi, dan bersama-
sama dengan eksekutif menyusun APBD yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.
Implikasi lain dari otonomi daerah adalah pelimpahan dana ini dibarengi dengan
dilaksanakannya reformasi penganggaran dan reformasi sistem akuntansi keuangan
daerah (Halim, 2003). Reformasi penganggaran yang terjadi adalah munculnya
paradigma baru dalam penyusunan anggaran yang mengedepankan prinsip akuntabilitas
publik, partisipasi masyarakat, dan transparansi anggaran. Disamping itu, anggaran harus
dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented), prinsip efisien dan efektif
(Value For Money), keadilan dan kesejahteraan dan sesuai dengan disiplin anggaran
(Mardiasmo, 2003).

Namun, euforia otonomi daerah ternyata banyak memunculkan dampak negatif.


Menurut Khudori (2004) salah satu yang menonjol adalah munculnya "kejahatan
institusional". Baik eksekutif maupun legislatif seringkali membuat peraturan yang tidak
sesuai dengan logika kebijakan publik. Jika kejahatan institusional itu dipraktikkan secara
kolektif antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang mestinya mengawasi kinerja
eksekutif justru ikut bermain dan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama
dengan cara yang "legal". "Legal" karena dilegitimasi dengan keputusan.

Korupsi di Indonesia benar-benar sangat sistemik, bahkan korupsi yang terjadi sudah
berubah menjadi vampir state karena hampir semua infra dan supra struktur politik dan
sistem ketatanegaraan sudah terkena penyakit korupsi. Agenda pemberantasan korupsi
sampai detik ini hanyalah dijadikan komoditas politik bagi elit politik, lebih banyak pada
penghancuran karakter (character assasination) bagi elit yang terindikasikan korupsi
dibanding pada proses hukum yang fair dan adil. Law enforcement bagi koruptor juga
menjadi angin lalu, padahal tindakan korupsi yang dilakukan koruptor sangatlah
merugikan rakyat Masduki (2002) dalam Klitgaard, dkk (2002).

Fenomena korupsi tersebut diatas menurut Baswir (1996) pada dasarnya berakar pada
bertahannya jenis birokrasi patrimonial di negeri ini. Dalam birokrasi ini, dilakukannya
korupsi oleh para birokrat memang sulit dihindari. Sebab kendali politik terhadap
kekuasaan dan birokrasi memang sangat terbatas. Penyebab lainnya karena sangat
kuatnya pengaruh integralisme di dalam filsafat kenegaraan bangsa ini, sehingga
cenderung masih mentabukan sikap oposisi. Karakteristik negara kita yang merupakan
birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi
pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu.
Menurut Susanto (2001) korupsi pada level pemerintahan daerah adalah dari sisi
penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang
publik untuk kepentingan pribadi. Sementara tipe korupsi menurut de Asis (2000) adalah
korupsi politik, misalnya perilaku curang (politik uang) pada pemilihan anggota legislatif
ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian
konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang). Tipe
korupsi yang terakhir yaitu clientelism (pola hubungan langganan).

Bentuk tindak pidana korupsi pada level legislatif adalah korupsi APBD untuk pos
keuangan DPRD yang terjadi akhir-akhir ini dan marak diberitakan di berbagai media.
Pidana korupsi APBD kebanyakan melanggar PP 110/2000 walaupun sekarang telah
diganti dengan PP 24/2004 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Kasus Kampar
misalnya, sejumlah 45 anggota DPRD telah dijadikan tersangka karena telah
menganggarkan pesangon. Di Kota Padang Sumatra Barat 43 anggota DRPD telah
dijatuhi vonis karena merugikan uang negara sebanyak 10,4 M. Demikian juga DPRD
Bali telah melakukan penggelapan uang Tirtayatra (persembahyangan di India) sejumlah
112 juta. Deretan kasus penyimpangan APBD juga terjadi di jawa Timur seperti di DPRD
Kota Surabaya 2,7 M, DPRD Sidoarjo 20,3 M, DPRD Tulungagung 1,6 M, DPRD
Nganjuk 5,3 M, DPRD Banyuwangi 225 juta, DPRD Kota Blitar 1,5 M dan masih
banyak lagi (Kompas, 8/9/04)

Demikian pula kasus korupsi APBD juga terjadi di wilayah Malang Raya yang
menjadi objek penelitian. Di Kota Malang misalnya kasus sisa anggaran 2,1 M dan
pesangon dewan senilai 1,7 M sampai saat ini belum ada kepastian hukum sementara
uang tersebut sudah masuk ke kantong anggota dewan yang terhormat. Di Kabupaten
Malang penyimpangan dana APBD juga dilakukan untuk kepentingan pejabat dan
keluaraganya seperti penyelewengan sekwan 22,5 juta, umrah gate dan Dem-deman
Mobil. Di Kota Batu mark-up APBD telah digunakan untuk kepentingan Pilihan Kepala
Daerah (MCW,2004).

Kalau dicermati penyimpangan PP 110/2000 untuk pos keuangan DPRD yang


dikorupsi dalam APBD rata-rata dapat berupa: tunjangan keluarga dan beras, uang
kehormatan, uang rapat, biaya perjalanan dinas, biaya pemeliharaan rumah, biaya
tunjangan perumahan, biaya kegiatan adeksi, biaya lain-lain penunjang kelancaran tugas,
biaya penunjang anggota fraksi, biaya kegiatan fraksi, biaya kegiatan, panitia legislasi,
biaya penunjang kegiatan sosial kemasyarakatan, bantuan biaya peningkatan SDM,
bantuan biaya koordinasi pimpinan daerah, bantuan biaya komunikasi, serta biaya purna
tugas (Data diolah yang tidak berdasarkan PP 110/2000).

Penelitian komprehensif mengenai berbagai tindak pidana korupsi APBD di masing-


masing daerah dalam rangka memberikan pemikiran tentang tata pemerintahan lokal
yang demokratis sesuai dengan prinsip-prinsip good governance yang bersih dan bebas
dari korupsi sangat diperlukan. Sepengetahuan penulis, penelitian tentang korupsi masih
sangat sedikit khususnya di Malang Raya. Oleh karena itu penulis sangat tertarik untuk
meneliti permasalahan ini, sehingga dapat dirumuskan sebuah permasalah dalam
penelitian ini adalah faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya korupsi
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di Malang Raya?

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris mengenai berbagai
faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) khususnya di Malang Raya. Dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
bukti kongkrit dalam diskursus korupsi dan upaya strategi pemberantasan korupsi, juga
sebagai bahan untuk mendidik publik untuk mengetahui struktur dan komponen APBD
atau kelompok anggaran yang selama ini di korupsi serta besarnya ongkos sosial ekonomi
yang ditimbulkan dari korupsi APBD.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

A. Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari suatu kata dalam bahasa Inggris yaitu corrupt, yang berasal dari
perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan
rumpere yang berarti pecah dan jebol. Menurut Bernardi (1994) istilah korupsi juga dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena
adanya suatu pemberian. Sementara Hermien H.K. (1994) mendefinisikan korupsi
sebagai kekuasaan tanpa aturan hukum. Oleh karena itu, selalu ada praduga pemakaian
kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan selain tujuan yang tercantum dalam pelimpahan
kekuasaan tersebut.

B. Pola-Pola Korupsi

Baswir (1993) menjelaskan ada 7 pola korupsi yang sering dilakukan oleh oknum-
oknum pelaku tindak korupsi baik daari kalangan pemerintah maupun swasta. Ketujuh
pola tersebut meliputi : (1) pola konvensional, (2) pola upeti, (2) pola komisi, (4) pola
menjegal order, (5) pola perusahaan rekanan, (6) pola kuitansi fiktif dan (7) pola
penyalahgunaan wewenang. Untuk menanggulangi terjadinya korupsi yang bermacam-
macam jenisnya ini diperlukan strategi khusus dari semua bidang, meskipun untuk
menghilangkan sama sekali praktik korupsi adalah sesuatu yang mustahil, tertapi
setidaknya-tidaknya ada upaya untuk menekan terjadinya tindak korupsi. Strategi yang
dibentuk hendaknya melibatkan seluruh lapisaan masyarakat dan pejabat struktur
pemerintahan.

Sementara menurut Fadjar (2002) pola terjadinya korupsi dapat dibedakan dalam
tiga wilayah besar yaitu ; Pertama, bentuk penyalahgunaan kewenangan yang berdampak
terjadinya korupsi adalah pertama; Mercenery abuse of power, penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh orang yang mempunyai suatu kewenangan tertentu yang
bekerjasama dengan pihak lain dengan cara sogok-menyogok, suap, mengurangi standar
spesifikasi atau volume dan penggelembungan dana (mark up). Penyalahgunaan
wewenang tipe seperti ini adalah biasanya non politis dan dilakukan oleh level pejabat
yang tidak terlalu tinggi kedudukannya.
Kedua, Discretinery abuse of power, pada tipe ini penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh pejabat yang mempunyai kewenangan istimewa dengan mengeluarkan
kebijakan tertentu misalnya keputusan Walikota/Bupati atau berbentuk peraturan
daerah/keputusan Walikota/Bupati yang biasanya menjadikan mereka dapat bekerjasama
dengan kawan/kelompok (despotis) maupun dengan keluarganya (nepotis).

Ketiga, Idiological abuse of power, hal ini dilakukan oleh pejabat untuk mengejar
tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi dukungan
kelompok pada pihak tertentu untuk menduduki jabatan strategis di birokrasi/lembaga
ekskutif, dimana kelak mereka akan mendapatkan kompensasi dari tindakannya itu, hal
ini yang sering disebut politik balas budi yang licik. Korupsi jenis inilah yang sangat
berbahaya, karena dengan praktek ini semua elemen yang mendukung telah mendapatkan
kompensasi.

C. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi

Terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) sistem pemerintahan
dan birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan, (2) belum adanya
sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan dan
perundang-perundangan yang tegas. Faktor lainnya menurut Fadjar (2002) adalah tindak
lanjut dari setiap penemuan pelanggaran yang masih lemah dan belum menunjukkan
greget oleh pimpinan instansi. Terbukti dengan banyaknya penemuan yang ditutup
secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas serta tekad dalam pemberantasan korupsi dan
dalam penuntasan penyimpangan yang ada dari semua unsur tidak kelihatan. Disamping
itu kurang memadainya sistem pertanggungjawaban organisasi pemerintah kepada
masyarakat yang menyebabkan banyak proyek yang hanya sekedar pelengkap laporan
kepada atasan.

Menurut Arifin (2000) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) aspek
prilaku individu organisasi, (2) aspek organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat
individu dan organisasi berada. Sementara menurut Lutfhi (2002) faktor-faktor penyebab
terjadinya korupsi adalah: (1) motif, baik motif ekonomi maupun motif politik, (2)
peluang, dan (3) lemahnya pengawasan. Berdasarkan uraian sebelumnya, dalam
penelitian ini penulis mengelompokkan empat aspek yang menyebabkan terjadinya
korupsi APBD di wilayah Malang Raya yaitu:

1. Aspek Prilaku individu

Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat
berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat,
atau kesadaran untuk melakukan. Sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan
korupsi antara lain : (a) sifat tamak manusia, (b) moral yang kurang kuat menghadapi
godaan, (b) penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, (d) kebutuhan
hiduop yang mendesak, (e) gaya hidup konsumtif, (f) tidak mau bekerja keras, (g) ajaran-
ajaraan agamaa kurang diterapkan secara benar.
Dalam teori kebutuhan Maslow, demikian dikatakan Sulistyantoro (2004) korupsi
seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling
bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan
yang bertahan hidup, namum saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya, pendidikan
tinggi. Selanjutnya, poling yang dilakukan oleh Malang Corruption Watch (MCW)
berdasarkan jawaban dari 9273 responden, hasilnya menunjukkan sekitar 30,2% korupsi
terjadi karena aspek individu demi kepentingan pribadinya. Pola-pola penyimpangan
yang terjadi biasanya tidak bekerja pada saat jam kantor (14,2%), pemakaian fasilitas
kantor untuk kepentingan pribadi dan keluarganya (10%), dan (6)% adalah biaya
pengurusan sesuatu yang berkaitan dengan adminstarsi (MCW, 2004). Berdasarkan hasil
pooling tersebut penulis membuat hipotesis sebagai berikut:

H1: Aspek prilaku individu berkorelasi negatif dan secara signifikan


mempengaruhi terjadinya korupsi APBD.

2. Aspek Organisasi Kepemerintahan

Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau
dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka
peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Bilamana organisasi
tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk melakukan korupsi,
maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut
pandang organisasi ini meliputi: (a) kurang adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak
adanya kultur organisasi yang benar, (c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah
kurang memadai, (d) manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.

Berdasarkan jejak pendapat yang dilakukan oleh Kompas 29/7/2004 di kota


Surabaya, Medan, Jakarta dan Makasar, menyebutkan bahwa korupsi yang terjadi di
tubuh organisasi kepemerintahan (eksekutif) maupun legislatif. Tidak kurang dari 40
persen responden menilai bahwa tindakan korupsi dilingkungan birokrasi kepemerintahan
dan wakil rakyat di daerahnya semakin menjadi-jadi. hanya 20 persen responden saja
yang berpendapat bahwa prilaku korupsi di pemkot dan DPRD masing-masing sudah
berkurang. dengan demikian hipotesa yang bisa dikembangkan penulis adalah :

H2: Aspek organisasi kepemerintahan berkorelasi negatif dan secara signifikan


mempengaruhi terjadinya korupsi APBD.

3. Aspek Peraturan Perundang-Undangan

Tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan


perundang-undangan, yang dapat mencakup: (a) adanya peraturan perundang-undangan
yang monolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan konco-konco presiden, (b)
kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai, (c) peraturan kurang
disosialisasikan, (d) sangsi yang terlalu ringan, (e) penerapan sangsi yang tidak konsisten
dan pandang bulu, (f) lemahnya bidang evalusi dan revisi peraturan perundang-undangan.
Beberapa ide strategis untuk menanggulangi kelemahan ini telah dibentuk oleh
pemerintah diantaranya dengan mendorong para pembuat undang-undang untuk
melakukan evaluasi atas efektivitas suatu undang-undang secara terencana sejak undang-
undang tersebut dibuat.

Lembaga-lembaga ekskutif (Bupati/Walikota dan jajarannya) dalam melakukan


praktek korupsinya tidak selalu berdiri sendiri, akan tetapi melalui suatu kosnpirasi
dengan para pengusaha atau dengan kelompok kepentingan lainnya misalnya, dalam hal
penentuan tender pembangunan yang terlebih dahulu pengusaha menanamkan saham
kekuasaannya lewat proses pembiayaan pengusaha dalam terpilihnya bupati/Walikota
tersebut. Kemudian mereka secara bersama-sama dengan DPRD, Bupati/Walikota
membuat kebijakan yang koruptif yang hanya menguntungkan sebagian kecil
masyarakat yaitu para kolega, keluarga maupun kelompoknya sendiri. Dengan
kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha kepada pejabat publik yang
berupa uang sogokan, hadiah, hibah dan berbagai bentuk pemberian yang mempunyai
motif koruptif telah berhasil membawa pengusaha melancarkan aktifitas usahanya yang
berlawanan dengan kehendak masyarakat, sehingga masyarakat hanya menikmati sisa-
sisa ekonomi kaum borjuasi atau pemodal yang kapitalistik. Dari kasus ini dapat
disimpulkan bahwa terjadinya korupsi APBD sangat mungkin jika aspek peraturan
perundang-undangan sangat lemah atau hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Hal
senada juga dikemukakan oleh Basyaib, dkk (2002) yang menyatakan bahwa lemahnya
sistem peraturan perundang-undangan memberikan peluang untuk melakukan tindak
pidana korupsi.

Hasil pooling yang dilakukan oleh Malang Corruption Watch (MCW) berdasarkan
jawaban dari 9273 responden menunjukan bahwa sekitar 22,2% korupsi terjadi di Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) (MCW, 2004). Bentuk korupsi ini terjadi karena lemahnya
peraturan perundang-undangan didaerah. Sehingga hipotesis penelitian ini adalah:

H3: Aspek peraturan perundang-undangan berkorelasi negatif dan secara


signifikan mempengaruhi terjadinya korupsi APBD.

4. Aspek Pengawasan

Pengawasan yang dilakukan instansi terkait (BPKP, Itwil, Irjen, Bawasda) kurang
bisa efektif karena beberapa faktor, diantaranya (a) adanya tumpang tindih pengawasan
pada berbagai instansi, (b) kurangnya profesionalisme pengawas, (c) kurang adanya
koordinasi antar pengawas (d) kurangnya kepatuhan terhadap etika hukum maupun
pemerintahan oleh pengawas sendiri. hal ini sering kali para pengawas tersebut terlibat
dalam praktik korupsi. belum lagi berkaitan dengan pengawasan ekternal yang dilakukan
masyarakat dan media juga lemah, dengan demikian menambah deretan citra buruk
pengawasan APBD yang sarat dengan korupsi. Hal inis sejalan dengan pendapatnya
Baswir (1996) yang mengemukakan bahwa negara kita yang merupakan birokrasi
patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan,
sehingga merebaklah budaya korupsi itu.
Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal
(pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) serta pengawasan
bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dan masyarakat). Dimana pengawasan ini
kurang bisa efektif karena adanya beberapa faktor, diantaranya adanya tumpang tindih
pengawasan pada berbagai instansi, kurang profesionalismenya pengawas serta
kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri.
Dan berkaitan dengan hal ini pengawas sendiri sering kali terlibat dalam praktek korupsi.
Sehingga hipotesis penelitian ini adalah:

H4: Aspek pengawasan berkorelasi negatif dan secara signifikan mempengaruhi


terajdinya korupsi APBD.

D. Korupsi APBD

Secara umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Daerah (APBD) adalah
pernyataan tentang rencana pendapatan dan belanja daerah dalam periode tertentu (1
tahun). Pada awalnya fungsi APBD adalah sebagai pedoman pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan daerah untuk satu periode. Selanjutnya, sebelum anggaran
dijalankan harus mendapat persetujuan dari DPRD sebagai wakil rakyat maka fungsi
anggaran juga sebagai alat pengawasan dan pertanggungjawaban terhadap kebijakan
publik. Dengan melihat fungsi anggaran tersebut maka seharusnya anggaran merupakan
power relation antara eksekutif, legislatif dan rakyat itu sendiri (Sopanah & Wahyudi,
2004).

Semenjak DPRD mempunyai otoritas dalam penyusunan APBD terdapat perubahan


kondisi yang menimbulkan banyak masalah. Pertama, sistem pengalihan anggaran yang
tidak jelas dari pusat ke daerah. Kedua, karena keterbatasan waktu partisipasi rakyat
sering diabaikan. Ketiga, esensi otonomi dalam penyusunan anggaran masih dipelintir
oleh pemerintah pusat karena otonomi pengelolaan sumber-sumber pendapatan masih
dikuasai oleh pusat sedangkan daerah hanya diperbesar porsi belanjanya. Keempat,
ternyata DPRD dimanapun memiliki kesulitan untuk melakukan asessment prioritas
kebutuhan rakyat yang harus didahulukan dalam APBD. Kelima, volume APBD yang
disusun oleh daerah meningkat hingga 80% dibandingkan pada masa orde baru, hal ini
menimbulkan masalah karena sedikit-banyak DPRD dan pemerintah daerah perlu
berkerja lebih keras untuk menyusun APBD. Keenam, meskipun masih harus melalui
pemerintah pusat namun pemerintah menurut UU No 25 tahun 1999 memiliki
kewenangan untuk melakukan pinjaman daerah baik ke dalam negeri maupun ke luar
negeri.

Kondisi yang berubah diatas memicu beberapa kecenderungan. Pertama,, adanya


jargon dari pemerintah daerah yang begitu kuat untuk meningkatkan PAD (Pendapatan
Asli Daerah) dalam rangka otonomi daerah. Dengan demikian bagi beberapa daerah yang
miskin SDA akan memilih menggali PAD dengan meningkatan pajak. Bagi daerah kaya
sekalipun meningkatkan pajak adalah alternatif yang paling mudah karena tidak perlu
melakukan banyak investasi dibandingkan jika mengekplorasi SDA. Oleh karena itu
tidak heran bila kecenderungan meningkatkan pajak ini terjadi di banyak daerah bahkan
daerah yang kaya sekalipun.

Dengan mengingat bahwa tingkat korupsi birokrasi daerah di Indonesia masih tinggi,
hal ini ditunjukkan dalam survey kecenderungan korupsi birokrasi yang diselenggarakan
oleh PERC. Pada tahun 1999, angka kecenderungan korupsi birokrasi menunjukkan
angka 8,0 dari skala 0-10. Dimana angka nol berarti mutlak bersih dan 10 berarti mutlak
memiliki kecenderungan korupsi. Dan satu tahun kemudian, tahun 2000, angka ini tidak
mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka meningkatkan PAD
akan lebih baik bila diprioritaskan dengan cara mengurangi kebocoran pendapatan
pemerintah daerah yang selama ini ada bukan dengan cara meningkatkan pajak karena
akan menyengsarakan rakyat (Ardyanto, 2002)

Kedua, otoritas yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun APBD dan menyusun
anggaran untuk DPRD sangat memungkinkan terjadinya korupsi APBD karena tidak ada
pengawasan yang sistematis kecuali jika rakyat mempunyai kesadaran yang tinggi.
Dengan demikian kembali pada kenyataan bahwa anggaran adalah power relation maka
kemungkinan terjadinya suap (bribery) terhadap DPRD untuk menyetujui pos anggaran
tertentu yang tidak dibutuhkan rakyat sangat mungkin terjadi.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa korupsi begitu merajalela di Indonesia?


Secara teoritis Tanzi (1998) menunjukkan terjadinya korupsi APBD dipengaruhi oleh
faktor permintaan dan faktor penawaran. Dari sisi permintaan dimungkinkan karena
adanya (1) regulasi dan otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi, (2)
karakteristik tertentu dari sistem perpajakan, dan (3) adanya provisi atas barang dan jasa
di bawah harga pasar. Sedangkan dari sisi penawaran dimungkinkan terjadi karena (1)
tradisi birokrasi yang cenderung korup, (2) rendahnya gaji di kalangan birokrasi, (3)
kontrol atas institusi yang tidak memadai, dan (4) transparansi dari peraturan dan hukum.
Lebih Lengkap lihat catatan atas kelompok Anggaran (Helmi, Ahmad dkk, 2002).

Pos Anggaran Catatan


Pendapatan 1. Darimana komponen PAD berasal, dan bagaimana pengaruhnya
bagi masyarakat. Apakah keinginan daerah untuk mengejar target
PAD seringkali ditempuh dengan cara membebani masyarakat,
misalnya menaikkan pajak dan retribusi.

2. Dana Perimbangan (selain DAU dan DAK) memang terlihat


memiliki angka prosentase yang cukup besar bagi daerah. Namun
sumber-sumber daya tersebut hanya berada di beberapa daerah
tertentu.
Belanja 1. Pada dasarnya, selain gaji pegawai, pengeluaran-pengeluaran dalam
Aparatur belanja aparatur daerah potensial untuk dimanipulasi daan
Daerah digunakan oleh pegawai pemerintah untuk mencari pendapatan
tambahan.
2. Adanya pos-pos titipan dari unit kerja lain, misalnya, tunjangan
anggota DPRD yang dititipkan di Sekwan.
3. Pemberian honor kepada petugas atau unit tertentu, padahal tugas
tersebut sebenarnya adalah tugas pokok dan fungsinya sendiri.
4. Jumlah anggaran yang diperbesar, misalnya dengan mempertinggi
frekuensi kegiatan atau acara-acara pejabat dengan anggaran yang
bisa diambil dari dana taktis dan sesudahnya dikembalikan berdasar
pembebanan atau urusan dari dinas-dinas. Contoh lain adalah
pengadaan barang/ATK/Kendaraan dinas/percetakan yang disertai
pemberian komisi atau potongan yang tidak dicatat.
5. Biaya perjalanan dinas dari berbagai sumber untuk tujuan
perjalanan yang sama, misalnya dari biaya rutin kantor dan dari
anggaran beberapa proyek. Selain itu, sering terjadi penyimpangan
berupa perhitungan yang dilebihkan, jumlah orang diperbanyak dan
biaya perjalanan dinas yang tidak wajar.
6. Pengeluaran tidak wajar atas suatu kegiatan tertentu dan
penggandaan jumlah kebutuhan dalam kaitan dengan belanja barang
misal ATK tidak dibelikan karena sudah dipenuhi dari anggaran
proyek dinas tersebut.

7. Overlapping sumber pengeluaran, misalnya dana untuk pembelian


obat-obatan atau peralatan Rumah sakit yang sangat banyak
sumbernya.
Belanja 1. Pemerintah cenderung tidak mengakomodir adanya perbedaan atau
Pelayanan karakteristik masing-masing daerah. Adanya penyeragaman pos-pos
Publik pengeluaran menyulitkan daerah untuk optimalisasi dana yang ada
pada jenis-jenis pengeluaran yang sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan masyarakat.
2. Dari segi alokasi dana, dalam belanja pelayanan publik masih
belum dilandasi ukuran/indikator kinerja yang jelas.
3. Sering terjadi suatu proyek diselenggarakan lebih dari satu kali,
telah masuk dalam satu sektor tetapi masuk juga dalam sektor lain.

4. Pos anggaran biaya administrasi proyek potensial untuk dijadikaan


side income bagi pejabat.

Berdasarkan hipotesis yang telah dikembangkan maka model penelitian yang berjudul
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Korupsi APBD ditunjukan oleh gambar 1.

Tabel 4: Hasil Regresi Hipotesis Pertama

No. Keterangan n R2 F Sig Koefisien t-value p-value


1. Sampel 165 1 1,61 0.20
3,77 19,21 0,00
Konstanta
0,06 1,26 0,20
Aspek Perilaku Individu

Tabel 5: Hasil Regresi Hipotesis Kedua

No. Keterangan n R2 F Sig Koefisien t-value p-value


1. Sampel 165 11,7 21,61 0,00
2,86 11,44 0,00
Konstanta
0,27 4,649 0,00
Aspek Organisasi Kepemerintahan

Tabel 6: Hasil Regresi Hipotesis Ketiga

No. Keterangan n R2 F Sig Koefisien t-value p-value


1. Sampel 165 17,8 35,24 0,00
3,00 17,48 0,00
Konstanta
0,25 5,93 0,00
Aspek Peraturan Per UU-an

Tabel 7: Hasil Regresi Hipotesis Keempat

No. Keterangan n R2 F Sig Koefisien t-value p-value


1. Sampel 165 27 60,25 0,00
2,82 18,12 0,00
Konstanta
0,30 7,76 0,00
Aspek Pengawasan

Tabel 8: Hasil Multipel Regresi

No. Keterangan n R2 F Sig Koefisien t-value p-value


Sampel 165 32,4 19,13 0,00 2,18 7,57 0,00
Konstanta
1 Aspek Perilaku Individu -0,01 -2,62 0,79
2 Aspek Organisasi Kepemerintahan 0,18 3,30 0,01
3 Aspek Peraturan Per UU-an 1,98 3,03 0,03
4 Aspek Pengawasan 0,26 4,934 0,00

Lampiran Kuesioner

ASPEK INDIVIDU PRILAKU (X1)

No PERTANYAAN 1 2 3 45
1.Sifat
tamak manusia membuat seseorang melakukan tindak pidana STS TS TT S SS
korupsi
2.Korupsi
disebabkan karena moral seseorang yang kurang kuat dalam STS TS TT S SS
menghadapi godaan
3.Seseorang
tergoda melakukan korupsi karena penghasilan kurang STS TS TT S SS
mencukupi kebutuhan hidup yang wajar
4.Adanyakebutuhan hidup yang mendesak, seseorang dapat melakukan STS TS TT S SS
tindak pidana korupsi
5.Korupsi
dapat disebabkan karena gaya hidup konsumtif dan STS TS TT S SS
bermewah-mewahan
6.Sesorangmelakukan tindak pidana korupsi karena tidak mau bekerja STS TS TT S SS
keras atau bermalas-malasan
7.Ajaran
agama yang kurang diterapkan secara benar berakibat pada STS TS TT S SS
seseorang berani melakukan tindak pidana korupsi

ASPEK ORGANISASI KEPEMERINTAHAN (X2)

No PERTANYAAN 1 2 3 45
1.Kurangadanya teladan dari pimpinan pemerintah menyebabkan STS TS TT S SS
seseorang melakukan tindak pidana korupsi
2.Korupsi terjadi karena tidak adanya kultur pemerintahan yang benar STS TS TT S SS
3.Sistem
akuntabilitas yang kurang memadai memberi peluang untuk STS TS TT S SS
melakukan korupsi
4.Manajemen yang tidak transparan cenderung menutupi korupsi di STS TS TT S SS
dalam instansi pemerintah
5.Adanya korupsi disebabkan karena Birokrasi yang panjang dan STS TS TT S SS
berbelit-belit
6.Pelayanan publik yang rendah memberi peluang untuk melakukan STS TS TT S SS
korupsi.
7.Korupsidisebabkan karena lemahnya sistem pengendalian instansi STS TS TT S SS
pemerintah

ASPEK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (X3)

No PERTANYAAN 1 2 3 45
1. Peraturan perundang-undangan yang monolistik dan menguntungkan STS TS TT S SS
kerabat menjadi peluang untuk melakukan korupsi
2. Kualitas perundang-undangan yang tidak memadai menyebabkan STS TS TT S SS
korupsi tinggi
3. Tidak adanya sosialisasi perundang-undangan memberi peluang bagi STS TS TT S SS
seseorang untuk melakukan korupsi
4. Seseorang melakukan korupsi karena sanksi yang dijatuhkan sangat STS TS TT S SS
ringan
5. Korupsi terjadi karena penerapan sanksi yang tidak konsisten dan STS TS TT S SS
pandang bulu
6. Lemahnya bidang evaluasi dan revisi perundang-undangan STS TS TT S SS
menyebabkan korupsi semakin tinggi
7. Belum adanya Perda kebebasan informasi dan tatacara penyampaian STS TS TT S SS
aspirasi memberi peluang melakukan korupsi

ASPEK PENGAWASAN (X4)

No PERTANYAAN 1 2 3 45
1. Korupsi terjadi karena masyarakat lemah dalam melakukan STS TS TT S SS
pengawasan
2. Korupsi merajalela karena lembaga pengawas tidak independen STS TS TT S SS
3. Lemahnya pengawasan dari partai membantu pejabat melakukan STS TS TT S SS
korupsi
4. Media lemah dalam memberikan kontrol terhadap jalannya STS TS TT S SS
kepemerintahan sehingga korupsi terus berjalan
5. Korupsi disebabkan karena tidak ada mekanisme pengawasan yang STS TS TT S SS
dapat dipertanggungjawabkan
6. Korupsi terjadi karena DPRD lemah dalam mengawasi kinerja STS TS TT S SS
eksekutif
7. Lembaga peradilan yang tidak independen membuat seseorang berani STS TS TT S SS
melakukan korupsi

KORUPSI APBD (Y)

No PERTANYAAN 1 2 3 45
1. Kenaikan pajak dan retribusi yang tidak wajar merupakan bagian dari STS TS TT S SS
tindak pidana korupsi
2. Korupsi bisa berbentuk pemberian dana perimbangan (DAU & DAK) STS TS TT S SS
yang tidak proporsional
3. Adanya korupsi disebabkan karena manipulasi dan meninggikan STS TS TT S SS
harga pada pos belanja rutin
4. Adanya pos titipan dari dinas atau unit kerja lain adalah bagian dari STS TS TT S SS
tindak pidana korupsi
5. Pemberian honor kepada petugas atau unit kerja tertentu bagian dari STS TS TT S SS
tindak pidana korupsi
6. Modus tindak pidana korupsi biasanya dilakukan dengan cara STS TS TT S SS
memperbesar jumlah anggaran
7. Biaya perjalanan dinas dari berbagai sumber merupakan tindak STS TS TT S SS
pidana korupsi apalagi untuk tujuan perjalanan yang sama
8. Pengeluaran yang tidak wajar atas kegiatan tertentu merupakan STS TS TT S SS
bentuk tindak pidana korupsi
9. Bentuk tindak korupsi bisa berupa pengeluaran anggaran yang tidak STS TS TT S SS
sesuai dengan prioritas pembangunan
10. Belanja publik yang tidak dilandasi dengan ukuran/indikator kinerja STS TS TT S SS
yang jelas merupakan tindak pidana korupsi
11. Tindak pidana korupsi bisa berupa penganggaran proyek yang lebih STS TS TT S SS
dari satu kali dalam satu tahun anggaran
12. Biaya administrasi proyek dapat dijadikan pendapatan STS TS TT S SS

Anda mungkin juga menyukai