Anda di halaman 1dari 50

Kata Pengantar

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat,
inayah, taufik, hinayah, dan karunia-Nya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menyusun dan menyelesaikan tugas presentasi kasus yang berjudul Efusi Pleura.
Penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna baik dalam hal isi maupun penyajiaannya,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak agar
pada kesempatan yang akan datang penulis dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.
Shalawat dan salam semoga penulis curahkan kepada baginda tercinta nabi Muhammad
SAW.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. A Widiatmoko, Sp
P sebagai pembimbing yang telah membantu menyempurnakan presentasi kasus ini. Semoga
tugas ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

1
BAB I

Status Pasien

I. Identitas
Nama : Ny. U S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 55 tahun
Alamat : Sukadanau, Cikarang Barat
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal Masuk: 29 Mei 2013

II. Anamesis
Keluhan Utama
Sesak nafas sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 2 minggu sebelum masuk
rumah sakit. Sesak dirasakan pasien saat pasien melakukan aktifitas.
Pasien juga mengeluh batuk sejak 2 bulan tetapi hanya terkadang kadang
(sehari 3 5 kali batuk), tidak berdahak. Pasien juga mengeluhkan nyeri dada sebelah
kanan. Pasien tidak ada pilek, keringat malam, mual, muntah, lemas, nafsu makan
pasien juga normal. Pasien juga tidak ada riwayat benturan didada. Pasien belum
pernah mengikuti pengobatan paru 6 bulan. Pasien tidak merokok dan jarang terpapar
polusi.
Pasien belum berobat sama sekali sejak merasa sesak

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak memiliki penyakit kencing manis, darah tinggi, hanya saja pada
tahun 1999 pasien pernah di diagnosa dokter dengan penurunan fungsi ginjal,
akhirnya pasien menjalankan program diet rendah protein hingga sekarang.

2
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki penyakit sama seperti pasien.

III. Pemeriksaan Fisik


Kesadaran : Compos Mentis,
Keadaan Umum : pasien tampak sakit sedang
Tekanan Darah : 130 / 80 mmHg
Nadi : 95 x / menit
Pernafasan : 28 x / menit
Suhu : 36 0 C
Ikterus :-/-
Oedema :-/-
Cyanotik :-/-
Anemia :-/-
Ptechia :-
Turgor Kulit : baik
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 50 kg

Kepala
Bentuk : Normal, simetris
Rambut : Hitam
Mata :
o Konjungtiva tidak anemis
o Sklera Ikterik
o Pupil Isokor kanan = kiri
o Refleks cahaya (+)
Telinga :
o Bentuk Normal
o Simetris
o Membran tympani intak
Hidung :
o Bentuk normal

3
o Tidak ada deviasi
o Tidak ada krepitasi
o Tidak ada hiperemis
Mulut :
o Bibir tidak sianostik
o Tidak hiperemis
o Tidak ada nyeri menelan
Leher
Bentuk normal
Deviasi Trakea (-)
Pembesaran KGB (+) Parotis
Pembesaran Tiroid (-)

Thoraks
Inspeksi :
o Bentuk dada kiri = kanan simetris
o Pergerakan nafas kiri > kanan statis dan dinamis
o Iktus Kordis tampak
o Perbandingan anterior dan lateral = 2 : 1
Palpasi :
o Fremitus taktil kanan < kiri
o Fremitus vokal kanan < kiri
o Iktus cordis teraba pada sela iga ke V linea
midclavicularis sinistra
o Tidak teraba masa
o Tidak ada nyeri tekan maupun lepas
Perkusi :
o Redup mulai ICS IV paru dextra
o Batas Pingang Jantung : ICS III linea sternalis sinistra
o Batas Kanan Jantung : tidak dapat dinilai
o Batas Kiri Jantung : ICS V linea midclavicularis
sinistra
o Batas paru hati : ICS VI linea midclavicularis dextra

4
o Peranjakan paru +

Auskultasi :
o Pernafasan vesikuler kanan menurun
o Rhonki - / -, Wheezing - / -
o Bunyi Jantung I II murni, reguler
Abdomen
Inspeksi :
o Perut datar Simetris
o Umbilikus tidak menonjol
Auskultasi :
o Bising Usus (+) Nomal
Palpasi :
o Nyeri tekan maupun nyeri lepas (-)
o Pembesaran Lien (-)
o Undulasi (-)
o Ballotement in toto (-)
Perkusi :
o Timpani pada 4 quadran
o Shifting dullness (-)

Ekstremitas
Superior :
o hangat
o Petechie - / -
o Sianostik - / -
o Oedema - / -
Inferior :
o Hangat
o Petechie - / -
o Sianostik - / -
o Oedema - / -

5
Neurologi
GCS :
o E = 4, M = 6, V = 5

Refleks Fisiologis :
o Baik
Refleks Patologis :
o Kaku kuduk, Babinski dan Babinski Grup (-)
Kekuatan Otot :
o 5
Fungsi Sensorik :
o Baik kanan dan kiri

IV. Pemeriksaan Penunjang


Tanggal 29 Mei 2013
Hb : 10,4
Leukosit : 15.200
LED : 115
Hitung Jenis
Basofil :0
Eusinofil :1
Batang :2
Segmen : 84
Limfosit : 10
Monosit :3
Eritrosit : 5,01 juta
Hematokrit : 35,0
Trombosit : 498 ribu
SGOT : 13
SGPT : 16
GDS : 116
Ureum : 12
Creatinin : 0,6

6
Tanggal 30 Mei 2013
Protein Total : 4,3
Albumin : 2,8
Globulin : 1,5

7
Pada Foto Thoraks

Kekerasan foto cukup


Tidak terdapat deviasi trakea
Skapula masih berada didalam lapangan paru
Inspirasi maksimal
Jaringan ekstrapulmonal baik
Tulang Intak
Sinus Costofrenikus sinistra lancip diafragma berbentuk kubah
Corakan bronkovaskular sinistra <2/3
CTR tidak dapat dinilai
Sinus Costofrenikus kiri tumpul
Diafragma dextra tidak dapat dinilai

8
V. Diagnostik Kerja
Efusi Pleura ec infeksi bakterial
a. Diagnosis Banding
b. Efusi Pleura ec Keganasan
c. Efusi Pleura ec infeksi TB paru
d. Anemia
e. Limfadenitis Submandibularis ec

Penatalaksanaan

Umum

Tirah Baring

Oksigen nasal kanul 2 liter / menit

Medikamentosa

IVFD RL 500 cc 26 tetes/menit (2500cc per hari)

Ampisilin IV 100 150 mg/kg/bb/hari terbagi dalam 6 jam 1gr per pemberian (skin
test)

Albumin

Pemasangan WSD

9
Tanggal 30 05 2013 31 05 2013 01 06 - 2013
Keluhan Sesak Tidak ada Tangan tempat
nyeri dada keluhan infus bengkak

Lab Protein Total Protein Total


4,3 5,6
Albumin 2,8 Albumin 3,3
Globulin Total Globulin Total
1,5 2,3
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran
TD CM CM CM
Nadi 120/70mmhg 100/60mmhg 120/80mmhg

Pernafasan 80x/mnt 78x/mnt 80x/mnt

Suhu 28x/mnt 24x/mnt 24x/mnt


360 C 360 C 360 C
Mata
Conjungtiva (-) (-) (-)
Anemis
Sklera Ikterik (-) (-) (-)
Toraks Ves Kanan Ves Kanan Ves Kanan
melemah melemah melemah

Rh - / - Rh - / - Rh - / -
Wh - / - Wh - / - Wh - / -
BJ I/II Reguler BJ I/II Reguler BJ I/II Reguler
Diagnosis Efusi Pleura Efusi Pleura Efusi Pleura

VI. Resume
Seorang perempuan datang ke Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bekasi
dengan keluhan sesak. Sesak dirasakan pasien sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit, sesak semakin bertambah ketika pasien melakukan aktivitas.

10
Kesadaran pasien composmentis dan pasien tampak sakit sedang, tekanan
darah pasien 130/80 mmHg, pernafasan 28x/meneit, nadi 95x/menit, suhu 36C. Pasien
juga merasakan nyeri dada sebelah kanan, pasien juga batuk sudah 2 bulan tidak
berdahak. Pasien tidak demam, nafsu makan tidak menurun, berat badan tidak
menurun, tidak ada keringat malam. Pasien juga pernah mengalami penurunan fungsi
ginjal pada tahun 1999 dan sampai saat ini masih menjalani diet rendah protein. Dari
hasil pemeriksaan laboraturium didapatkan Hb 10,4, Leukosit 15.200, LED 115,
Hematokrit 35.0, protein total 4,3, albumin 2,8, globulin 1,5.
Pasien sebelumnya belum pernah mengalami sakit seperti ini, dan belum
menjalani pengobatan.

VII. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanactionam : ad bonam

11
BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi dan Fisiologi Pleura


Pleura terbentuk dari dua membran serosa, yakni pleura visceral yang melapisi paru
serta pleura parietal yang melapisi dinding toraks bagian dalam. Pada hakikatnya kedua
lapis membran ini saling bersambungan di dekat hilus, yang secara anatomis disebut
sebagai refleksi pleura. Pleura visceral dan parietal saling bersinggungan setiap kali
manuver pernapasan dilakukan, sehingga dibutuhkan suatu kemampuan yang dinamis
dari rongga pleura untuk saling bergeser secara halus dan lancar. Ditinjau dari permukaan
yang bersinggungan dengannya, pleura visceral terbagi menjadi empat bagian, yakni
bagian kostal, diafragama, mediastinal, dan servikal. (1)
Setiap paru dipisahkan dari dinding thoraks dan struktur lain disekitarnya oleh
suatu kantung tertutup berdinding rangkap yaitu kantung pleura. Interior kantung pleura
dikenal sebagai rongga pleura. Dalam gambar, ukuran rongga pleura sangat diperbesar
untuk memudahkan visualisasi; pada kenyataannya, lapisan lapisan kantung pleura
berkontrak erat satu sama lain. Permukaan pleura mengeluarkan suatu cairan intrapleura
tipis, yang melumasi permukaan pleura selagi keduanya saling bergeser sewaktu
pergerakan nafas. (2)
Tekanan intrapleura merupakan tekanan di dalam kantung pleura. Tekanan ini,
yang juga dikenal sebagai tekanan intrathoraks, adalah tekanan yang ditimbulkan diluar
paru di dalam rongga thoraks. Tekanan intrapleura biasanya lebih rendah dari pada
tekanan atmosfer, rerata 756 mmHg saat istirahat. Seperti tekanan darah yang dicatat
dengan menggunakan tekanan atmosfer sebagai titik refrensi (yaitu, tekanan darah
sistolik 120 mmHg adalah 120 mmHg lebih besar dari tekanan atmosfer 760 mmHg atau
dalam kenyataan, 880mmHg), 756 mmHg kadang kadang disebut sebagai tekanan -4
mmHg. Namun, sebenarnya tidak ada tekanan negatif absolut. Tekanan -4 mmHg
menjadi negatif karena dibandingkan dengan tekanan atmosfer normal sebesar 760
mmHg. Untuk menghindari kebingungan, kita akan menggunakan nilai positif absolut
sepanjang pembahasan kita mengenai pernafasan. (2)
Tekanan intrapleura tidak menyeimbangkan diri dengan tekanan atmosfer atau
intra-alveolus karena tidak ada komunikasi langsung antara rongga pleura dengan
atmosfer atau paru. Karena kantung pleura adalah suatu kantung tertutup tanpa lubang,

12
maka udara tidak dapat masuk atau keluar meskipun mungkin dapat terdapat gradien
tekanan antara kantung pleura dan daerah sekitar. (2)
Rongga toraks lebih besar daripada paru yang tidak teregang karena dinding
thoraks tumbuh lebih cepat daripada paru sewaktu perkembangan. Namun, dua gaya
daya kohesif (rekat) cairan intrapleura dan gradien transmural menahan dinding thoraks
dan paru saling berdekatan, meregangkan paru untuk mengisi rongga thoraks yang lebih
besar. (2)
Daya Kohesif Cairan Intrapleura, molekul molekul air didalam cairan
intrapleura menahan tarikan yang memisahkan mereka karena molekul molekul ini
bersifat polar dan saling tarik. Daya rekat yang terbentuk di cairan intrapleura cenderung
menahan kedua permukaan pleura menyatu. Karena itu, cairan intrapleura dapat
dianggap sebagai lem antara bagian dalam dinding thoraks dan paru. Pernahkah anda
mencoba memisahkan kedua permukaan licin yang disatukan oleh suatu lapisan tipis
cairan, misalnya dua kaca obyek basah? Jika sudah, anda mengetahui bahwa kedua
permukaan bertindak seolah keduanya direkatkan oleh lapisan tipis air. Meskipun anda
dapat dengan mudah menggeser kaca obyek maju mundur relatif satu sama lain (seperti
cairan intrapleura yang mempermudah gerakan paru terhadap permukaan interior dinding
thoraks), anda dapat memisahkan kedua kaca obyek tersebut hanya dengan tenaga besar
karena molekul molekul di dalam cairan diantara kedua kaca menolak dipisahkan.
Hubungan ini ikut berperan dalam kenyataan bahwa perubahan dalam dimensi paru ;
yaitu, ketika thoraks mengembang, paru karena melekat ke dinding thoraks oleh daya
rekat cairan intrapleura ikut mengembang. Alasan lebih penting mengapa paru mengikuti
gerakan dinding dada adalah adanya gradien tekanan transmural yang terdapat di kedua
sisi dinding paru. (2)
Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kontak antarmembran maupun
yang mendukung pemisahan antarmembran. Faktor yang mendukung kontak
antarmembran adalah: (1) tekanan atmosfer di luar dinding dada dan (2) tekanan atmosfer
di dalam alveolus (yang terhubung dengan dunia luar melalui saluran napas). Sementara
itu faktor yang mendukung terjadi pemisahan antarmembran adalah: (1) elastisitas
dinding toraks serta (2) elastisitas paru.4 Pleura parietal memiliki persarafan, sehingga
iritasi terhadap membran ini dapat mengakibatkan rasa alih yang timbul di regio dinding
torako-abdominal (melalui n. interkostalis) serta nyeri alih daerah bahu (melalui n.
frenikus).

13
Antara kedua lapis membran serosa pleura terdapat rongga potensial, yang terisi oleh
sedikit cairan yakni cairan pleura. Rongga pleura mengandung cairan kira-kira sebanyak
0,3 ml kg-1 dengan kandungan protein yang juga rendah (sekitar 1 g dl-1). Secara umum,
kapiler di pleura parietal menghasilkan cairan ke dalam rongga pleura sebanyak 0,01 ml
kg-1 jam-1. Drainase cairan pleura juga ke arah pleura parietal melalui saluran limfatik
yang mampu mendrainase cairan sebanyak 0,20 ml kg-1 jam-1. Dengan demikian rongga
pleura memiliki faktor keamanan 20, yang artinya peningkatan produksi cairan hingga 20
kali baru akan menyebabkan kegagalan aliran balik yang menimbulkan penimbunan
cairan pleura di rongga pleura sehingga muncul efusi pleura.

14
Gambar 2 adalah bentuk kompartmen pleuropulmoner yang tersimplifikasi. Terdapat lima
kompartmen, yakni mikrosirkulasi sistemik parietal, ruang interstisial parietal, rongga
pleura, intestisium paru, dan mikrosirkulasi visceral. Membran yang memisahkan adalah
kapiler endotelium, serta mesotel parietal dan visceral. Terdapat saluran limfatik yang
selain menampung kelebihan dari interstisial juga menampung keleibhan dari rongga
pleura (terdapat bukaan dari saluran limfatik pleura parietal ke rongga pleura yang disebut
sebagai stomata limfatik. Kepadatan stomata limfatik tergantung dari regio anatomis
pleura parietal itu sendiri. Sebagai contoh terdapat 100 stomata cm-2 di pleura parietal
interkostal, sedangkan terdapat 8.000 stomata cm-2 di daerah diafragma. Ukuran stomata
juga bervariasi dengan rerata 1 m (variasi antara 1 40 m)4.

Sama seperti proses transudasi cairan pada kapiler, berlaku pula hukum
Starling untuk menggambarkan aliran transudasi (Jv) antara dua kompartmen. Hukum ini
secara matematis dinyatakan sebagai berikut

Jv = Kf [(PH1 PH2) - (1 - 2)]

Kf merupakan koefisien filtrasi (yang tergantung kepada ukuran pori membran


pemisah antara dua kompartmen), PH dan berturut-turut adalah tekanan hidrostatik dan
koloidosmotik, serta merupakan koefisien refleksi (=1 menggambarkan radius dari zat
terlarut lebih besar dari pori sehingga zat terlarut tak akan mampu melewati pori,
sebaliknya =0 menggambarkan seluruh zat terlarut lebih kecil ukurannya dari pori yang
mengakibatkan aliran zat terlarut dapat berlangsung secara bebas).

15
Gambar 3 Gambar (a) merupakan hipotesis Neggard (1927) yang menggambarkan
hipotesis tentang pembentukan serta drainase cairan pleura. Hipotesis ini terlalu
sederhana karena mengabaikan keberadan interstisial dan limfatik pleura; sedangkan (b)
merupakan teori yang saat ini diterima berdasarkan percobaan terhadap kelinci.

Filtrasi cairan pleura terjadi di plura parietal (bagian mikrokapiler sistemik) ke rongga
interstitium ekstrapleura. Gradien tekanan yang kecil mendorong cairan ini ke rongga
pleura.3 Nilai antara intersitisium parietal dengan rongga pleura relatif kecil (=0,3),
sehingga pergerakan protein terhambat dan akibatnya kandungan protein cairan pleura
relatif rendah (1 g dl-1) dibandingkan dengan interstisium parietal (2,5 g dl-1)5.

Sementara itu drainase cairan pleura sebagian besar tidak melalui pleura visceral
(sebagaimana yang dihipotesiskan oleh Neggard), sehingga pada sebagian besar keadaan
rongga pleura dan interstisium pulmoner merupakan dua rongga yang secara fungsional
terpisah dan tidak saling berhubungan. Pada manusia pleura visceral lebih tebal
dibandingkan pleura parietal, sehingga permeabilitas terhadap air dan zat terlarutnya
relatif rendah. Saluran limfatik pleura parietal dapat menghasilkan tekanan subatmosferik
-10 cmH2O.

16
B. Definisi
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam
kavum pleura diantara pleura parietalis dan visceralis dapat berupa cairan transudat atau
eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya mengandung cairan sebanyak 10 20 ml,
cairan pleura komposisinya sama dengan cairan, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar
protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl.(6)
Efusi Pleura adalah akumulasi cairan tidak normal di rongga pleura yang diakibatkan
trasudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura.(8)
Efusi Pleura adalah akumulasi cairan dalam rongga pleura yang merupakan
konsekuensi perubahan faktor faktor yang berhubungan dengan pembentukan dan
reabsorbsi cairan pleura.(7)
Efusi pleura adalah terkumpulnya cairan abnormal dalam ruang pleura, bisa
disebabkan karena produksi cairan yang berlebihan, berkurangnya absorbsi cairan pleura atau
keduanya. Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit tersering ditemui pada penyakit
penyakit pleura (9)
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam
kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura visceralis dapat berupa cairan transudat
atau cairan eksudat (10)
Efusi pleura adalah sebuah hasil dari penumpukan cairan pada rongga pleura yang
dapat menimbulkan masalah medis. (11)

C. Etiologi dan Epidemiologi


Penelitian yang pernah dilakukan di Rumah Sakit Persahabatan, dari 229 kasus efusi
pleura Juli 1994 Juni 1997, keganasan merupakan penyebab utama diikuti oleh
tuberkulosis, empiema toraks, dan kelainan ekstra pulmoner. Penyakit jantung kongestif
dan sirosis hepatis merupakan penyebab tersering efusi transudatif sedangkan keganasan
dan tuberkulosis merupakan penyebab tersering efusi eksudatif. Mengetahui karakteristik
efusi pleura merupakan hal penting untuk dapat menegakan penyebab efusi pleura,
sehingga efusi pleura dapat ditatalaksana dengan baik (8)
Di Unites State ditemukan sekitar 1,5juta kasus pertahunnya dengan penyebab
tersering Congestive Hearth Failure, pneumonia bakterial, malignansi, dan emboli paru.
Secara Internasional, estimasi prevalensi dari efusi pleura 30 kasus / 100.000 penduduk.
(7)

17
D. Klasifikasi

a) Efusi pleura transudatif terjadi apabila faktor sistemik yang mempengaruhi


pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan
b) Efusi pleura eksudatif terjadi apabila faktor lokal yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan

Kriteria Light pada efusi pleura


1. Protein total pleura / serum protein total > 0,5
2. LDH pleura / serum LDH > 0,6
3. LDH pleura > 2/3 dari nilai tertinggi atau nilai normal LDH serum

Efusi pleura transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar Laktat
Dihidrogenase (LDH) dan protein dalam cairan pleura.

Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu kriteria berikut ini, sementara
efusi pleura transudatif tidak memenuhi satupun kriteria dibawah ini :

a. Protein cairan pleura / protein serum > 0,5


b. LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6
c. LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang normal di
dalam serum
d. Dalam keadaan meragukan bisa diukur perbedaan antara protein plasma cairan
pleura dan serum. Apabila melebihi 1,2 g% maka cairan eksudat
e. Cholesterol dan bilirubin hasilnya tidak lebih baik dari kriteria di atas

Kriteria 1 dan 2 biasanya sudah cukup membedakan antara transudat dan eksudat.

PARAMETER TRANSUDAT EKSUDAT


Warna Jernih Jernih, keruh, berdarah
BJ <1,016 >1,016
Jumlah Sedikit Banyak (>500 sel/mm2)
Jenis PMN < 50% PMN >50%
Rivalta Negatif Positif
Glukosa 60mg/dl (=GD plasma) 60mg/dl (bervariasi)

18
Protein <2,5g/dl >2,5g/dl
Rasion Protein T <0,5 >0,5
E/plasma <200 IU/dl >200 IU/dl
LDH <0,6 >0,6
Rasio LDH T E/plasma

Efusi Pleura berupa :

a. Eksudat, disebabkan oleh


1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxackie, ricketsia,
chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100
6000/cc.
2. Pleuritis karena bakteri piogenik, permukaan pleura ditempati oleh bakteri
yang berasal dari parenkim paru dan menjalar secara hematogen. Bakteri
penyebabnya dapat aerob maupun anaerob (Streptococus pneumoniae,
Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Hemophilus, E. Coli,
Fusobakterium
3. Pleuritis karena fungi, penyebabnya (aktinomikosis, aspergilus,
kriptococcus, dll. Efusi pleura timbul karena reaksi hipersensitivitas
terhadap oraganisme tersebut
4. Pleurits tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi
melalui focus subpleural yang robek atau melalui cairan KGB
5. Efusi pleura karena neoplasia misalnya pada tumor primer pada paru,
mamae, kelenjar limfe, gaster, ovarium.
6. Efusi pleura karena penyakit kolagen ; SLE, Pleuritis rheumatoid,
skleroderma
7. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi para
pneuomonik

b. Transudat disebabkan oleh


1. Gangguan kardiovaskular
2. Hipoalbuminemia
3. Hidrothorax hepatik
4. Meigs Syndrom

19
5. Dialisis peritonial

c. Darah, adanya darah dalam rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb pada
thoraks selalu lebih besar 25% dari kadar Hb dalam darah. Darah hemothoraks
yang baru diinspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini dimungkinkan
karena faktor koagulasi, sedangkan fibrinnya dipakai oleh permukaan pleura. Bila
d. darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari trauma
dinding dada.

E. Patofisiologi
Terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein
dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat
sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan
tekanan osmotik plasma dan jaringan interstisial submesotelial, kemudian melalui sel
mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui
pembuluh limfe sekitar.(2)
Proses penumpukan cairan dalam pleura dapat disebabkan oleh peradangan. Bila
proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi
empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat
menyebabkan hemotoraks.(2)
Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan
primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindroma nefrotik, dialisis
peritonium, hipoalbumin oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva, keganasan,
atelektasis paru dan pneumotoraks.(2)
Efusi eksudatif terjadi bila ada proses radang yang menyebabkan permabilitas
kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat
atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis
eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkolosis dan dikenal
sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Sebab lain seperti parapneumoni, parasit
(amuba, paragonimiosis, ekinokokkus), jamur, pneumonia atipik (virus, mikoplasma,
fever, legionella), keganasan paru, proses imunologik seperti pleuritis lupus, pleuritis
reumatoid, sarkoidosis, radang sebab lain sepertis pankreatitis, asbesitosis, pleurits
uremia dan akibat radiasi.(2)

20
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10 20 ml cairan dalam rongga pleura,
yang berfungsi untuk melicinkan kedua pleura pars visceralis dan parietalis yang saling
bergerak saat bernafas. Dalam keadaan normal juga terjadi filtrasi cairan ke dalam
rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan diabsorbsi oleh kapiler dan saluran
limfe pleura pars visceralis dengan kecepatan seimbang dengan kecepatan
pembentukannya. Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan pembentukan
cairan pleura akan menimbulkan penumpukan cairan pleura secara patologis didalam
rongga pleura. Mekanisme yang beruhubungan dengan terjadinya efusi pleura yakni;
1. Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan onkotik pada
sirkulasi kapiler
2. Penurunan tekanan pada kavum pleura
3. Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga
pleura

Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh


peradangan. Bila proses peradangan oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,
sehingga emfisema/piothoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura
dapat menyebabkan hemothoraks. Proses terjadinya pneumothoraks karena pecahnya
alveoli dekat parietalis sehingga udara akan masuk kedalam rongga pleura. Proses ini
sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah yang terkena trauma
menjadi kurang elastis lagi seperti pada pasien emfisema paru (Halim et al, 2007).

Efusi pleura terjadi apabila produksi cairan pleura meningkat 30 kali dari normal
(melewati kapasitas maksimum ekskresinya) dan atau adanya gangguan absorbsinya.
Cairan Pleura :
1. Eksudat
2. Transudat
3. Chylus

Pada cairan pleura eksudat protein rasionya dengan plasma > 0,5 sedangkan lactat
dihidrogenase rasio > 0,6 sedangkan chylus warnanya putih seperti susu dan
mengandung banyak lemak. Eksudat disebabkan oleh karena adanya kerusakan pada
capillary bed di paru dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini biasanya didapatkan pada
keganasan, infeksi maupun inflamasi. Transudat bisa disebabkan karena tekanan
hidrostatik yang meningkat atau tekanan osmotik yang menurun. Keadaan ini didapatkan

21
karena kegagalan pemompaan jantung, kadar protein yan rendah atau vena cava superior
syndrom.

Absorbsi terhambat oleh karena

1. Obstruksi pada stomata


2. Gangguan kemampuan kontraksi saluran lymfe
3. Infiltrasi pada kelenjar getah bening
4. Kenaikan tekanan vena sentral tempat masuknya saluran lymfe

Apabila cairan eksudat berbau busuk kemungkinan penyebabnya adalah infeksi


bakteri anaerob. Apabila baunya seperti urine kemungkinan ada urinothoraks. Eksudat
yang kemareahan harus diperiksa hematokritnya dan bila > 50% kesimpulannya adalah
hemathoraks. Apabila hematokritnya kurang dari 1 % arti klinisnya tidak ada, sedangkan
apabila > 1% kemungkinana adalah keganasan, emboli paru, atau efusi pleura karena
trauma

Efusi cairan transudat terjadi karena penyakit lain bukan primer dari paru seperti
gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritonium. Hipoalbumin
oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva, keganasan, etelektasis paru dan
pneumothoraks (Halim et al,2007).

Supernatan cairan pleura harus diperiksa apabila ada kekeruhan, cairan seperti
susu, atau mengandung darah. Kekeruhan yang hilang setelah centrifuge disebabkan
adanya sel atau jaringan yang rusak. Apabila dengan centrifuge tetap keruh cairan
tersebut adalah kilothoraks atau pseudokilothoraks. Kilothoraks merupakan proses
penyakt akut, pleura tidak menebal, tidak didapatkan kristal kolesterol, serta kadar
trigliseridnya melebihi 110mg%. Pseudokilothoraks merupakan proses penyakit kronis,
pleura menebal, bisa didapatkan kristal kolesterol serta trigliserida pleura tidak
meningkat.(6)

Protein cairan pleura, peningkatan protein pada efusi pleura yang kadarnya sangat
bervariasi memang tidak dapat dipakai sebagai pedoman untuk diagnostik. Akan tetapi
apabila kadarnya melebihi 5g% kemungkinan tuberkulosa lebih besar. Kadar protein

22
yang kurang dari 0,5g% kemungkinan didapatkan urinothoraks, peritonial dialysis, atau
efusi pleura yang timbul oleh karena kesalah pemasangan intravascular catheter.(6)

Lactate Dehidrogenase (LDH) cairan pleura menggambarkan permiabilitas


membran yang bisa dipakai sebagai pedoman untuk melihat tingkat inflamasi dari
membran tersebut. Dengan kata lain LDH bisa dipakai sebagai sarana evaluasi aktifitas
penyakitnya. Meski demikian LDH tidak dapat digunakan sebagai pedoman diagnostik
penyebabnya.(6)

Glukosa cairan pleura, kadar glukosa yang rendah disebabkan karena adanya
penebalan pleura atau kenaikan metabolisme di cairan pleura. Kadar glukosa < 60mg%
bisa didapatkan pada efusi parapnemoni , keganasan, tuberkulosa, rheuma,
hematothoraks, paragonimiasis, atau churg straauss syndrome. Pada penderita
parapnemoni efusi pleura yang kadar glukosanya dibawah 40mg% harus dipasang tube
thorakostomi. Kebanyakan penderita rheuma kadar glukosa cairan pleuranya dibawah
30mg%. Akan tetapi pada penderita SLE kadar glukosa pleura lebih besar dari 90mg%.
Pada penderita dengan terdapat sel ganas dicairan pleura kadar glukosa pleura rendah,
biasanya terdapat sel ganas dicairan pleura (positif) dan atau hasil biopsi pleuranya
didapat sel ganas. Pada penderita tersebut biasanya mean survivalnya dibawah 2
bulan.(6)

Amylase cairan pleura, berguna untuk mengetahui penyebab efusi pleura eksudat.
Peningkatan amylase didapatkan pada perforasi esophagus, penyakit pankreas, dan
keganasa. Peningkatan amylase terjadi 2 jam setelah adanya rupturnya esophagus.(6)

Didapatkan efusi pleura sampai 50% pada pankreatitis akut. Pada umumnya
gejala utama pankreatitis akut adalah sesak nafas dan nyeri pleura. Pada beberapa kasus
terjadi hubungan antara pseudokista di pankreas dengan rongga antar pleura sehingga
menimbulkan efusi pleura kronis tanpa gejala abdomen. Efusi pleura seperti itu sering
dianggap oleh karena malignansi. Kadar amylase bisa sangat tinggi yaitu >4000
IU/ml.(6)

Sel darah putih dan hitung jenisnya pada cairan pleura, mempunyai makna
diagnostik yang terbatas. Apabila jumlah sel darah putihnya kurang dari 1000 /l
cairannya adalah transudat dan bila lebih biasanya cairannya eksudat. Apabila lebih dari
10.000 /l cairannya empyema dan efusi parapnemoni akan tetapi bisa juga didapatkan

23
pada pancreatitis, emboli paru serta penyakit kolagen pembuluh darah dan kadang bisa
didapat pada keganasan serta tuberkulosa. (6)

Hitung jenis sel darah putih lebih berarti dibanding dengan jumlah sel darah putih
pada cairan pleura. Kelainan aku yaitu pnemoni, emboli paru, pancreatitis, abses
abdomen dan tb paru tahap awal akan menunjukan PMN yang dominan, sedangkan pada
kelainan kronis misal tb paru akan menunjukan mononuclear sel yang dominan.
Eusinofil > 10% lebih sering disebabkan oleh karena radang akut tapi tidak bisa
menyingkirkan adanya proses tb paru atau keganasan. Sebagian besar cairan pleura
dengan banyak eusinofil biasanya juga didapat darah atau udara. Apabila pada
pemeriksaan awal tidak diapat darah atau udara. Apabila pada pemeriksaan awal tidak
didapat eusinofil tapi pada pemeriksaan berikutnya menjadi banyak, kemungkinan oleh
adanya minimal pnemothoraks.(6)

Darah di cairan pleura biasanya dikaitkan dengan adanya eusinofil pleura. Pada
hemotoraks oleh karena trauma eusinofil didapatkan pada minggu ke 2. Keadaan tersebut
disebabkan oleh karena produksi IL 5 oleh CD 4+ sel T di rongga pleura. Eusinofil di
cairan pleura oleh karena hemothoraks ada hubungan dengan eusinofil darah. Cairan
pleura mengandung darah yang timbul oleh karena emboli paru sangat banyak
mengandung eusinofil.(6)

Penyebab lain dari eusinofil di pleura adalah asbesitosis (52%), reaksi obat
nitrofurantoin, atau dantrolene, paragonimiasis (khas disertai glukosa rendah, pH rendah
dan LDH tinggi), serta Churg Strauss Syndrome.(6)

Mesothel jarang sekali didapat pada efusi pleura oleh karena tb hanya 1 dari 65
penderita didapat 1 mesothel dalam 1000 sel. Mesothel juga jarang didapat pada keadaan
pleura ditutup oleh fibrin misal pada parapnemoni.(6)

Apabila lebih dari 50 % sel darah putihnya adalah limfosit penyebabnya adalah tb
(94% dari 94 kasus). Apabila didapat limfosit lebih dari 50% sel diagnosa tb bisa
dipastikan dengan biopsi pleura. Membedakan limfosit T dan limfosit B di pleura tidak
banyak mempunyai arti diagnositk sebab biasanya cairan pleura sel limfositnya T 70%,
limfosit B 10% dan sel nul 20%. Hanya pada chronic lymphocytic leukemia atau
lymphoma mempunyai arti diagnostik oleh karena pada keduanya tipe selnya sama.(6)

24
Sitologi pada Cairan Pleura, dilakukan apabila pemeriksaan lain tetap tidak bisa
menegakan diagnostik. Sekali pemeriksaan pada keganasan akan mendapatkan sel ganas
pada 60% kasus sedang apabila pemeriksaannya diulang beberapa kali meningkat hingga
90%. Pada malignant pleural efusion didapatkan 40 87% penyebab keganasan angka
ini dipengaruhi oleh tipe sel. Hodgkin disease hanya 25% positif.(6)

Sel ganas tidak hanya didapatkan pada efusi pleura, pada tumor paru stadium 1
yang dilakukan lavage rongga pleura 14%nya didapatkan sel ganas. Hal ini memperjelas
survival rate yang rendah pada opreasi tumor paru stadium rendah.

F. Manifestasi Klinis
a) Gejala utama
Gejala gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika paru
terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak nafas, berupa rasa penuh
didada atau dispneu. Rasa nyeri biasanya timbul akibat efusi yang banyak, berupa
nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala seperti demam, mengigil,
dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebris
(tuberkolosis) banyak keringat, batuk, dan banyak dahak
b) Pemeriksaan fisik
o Inspeksi : pengembangan paru menurun, tampak sakit, dan tampak cembung
kearah efusi
o Palpasi : penurunan fremitus taktil dan vokal
o Perkusi : pekak pada perkusi
o Auskultasi : penurunan bunyi nafas
Apabila terjadi inflamasi, maka terjadi friksi iga. Apabila terjadi
atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi nafas
bronkus (Ward et al 2007)
Pemeriksaan fisik secara duduk dan berbaring akan berlainan, karena
cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam
pernafasan, fremitus melemah (taktil dan vocal). Pada perkusi didapatkan
daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan akan membentuk garis
melengkung (garis Ellis Damoiseu)

25
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup
timpani dibagian atas garis Ellis Damoiseu. Segitiga Grocco Rochfusz, yaitu
daerah pekak karena cairan mendorong ke mediastinum ke sisi lain, pada saat
auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.
G. Diagnostik

Diagnosis dapat ditegakan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan fisik yang
teliti, diagnosis pasti dapat ditegakan dengan biopsi dan analisis cairan.(2)

26
Gambar diatas menggambarkan alur diagnosis efusi pleura menggunakan algoritma
pemeriksaan tertentu. Sebagai contoh, cairan dengan kecenderungan transudat
memerlukan kecurigaan ke arah:

27
1. Gagal jantung kiri (kongestif), sebab terjadi kongesti cairan di paru akibat kegagalan
pompa jantung mengakibatkan peningkatan tekanan vaskular paru. NT-proBNP
>1500 pg/mL mengonfirmasi efusi pleura akibat gagal jantung kongestif.
2. Hidrotoraks hepatik, akibat sirosis dan ascites.
3. Emboli paru
4. Sindroma nefrotik
5. Dialisis peritonela
6. Obsgtruksi sindroma kava superior

H. Pemeriksaan Penunjang
o Bronkoskopi
Pada bronkoskopi dapat melihat adanya obstruksi pada bronkus

28
o Foto Thoraks dan USG

Pada foto dada anterior posterior (AP) permukaan cairan yang terdapat
didalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan
daerah lateral lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak sudut kostofrenikus
menumpul (Davey, 2003). Pada foto dada lateral dekubitus cairan bebas akan
mengikuti posisi gravitasi (Halim et al, 2006)

Ini merupakan hasil USG dari pasien laki laki usia 83 tahun, gambaran
dibawah ini menunjukan efusi pleura dengan garis garis putih yang merupakan
pleura parietalis dan hitam yang merupakan pleura visceralis. Diantara kedua pleura
terdapat ruang anaerob yang merupakan efusi pleura.

29
Gambaran radiologi yang penting ditemukan pada efusi pleura adalah
penumpulan sudut kostofrenikus pada foto posteroanterior. Jika foto polos toraks
tidak dapat menggambarkan efusi, diperlukan apencitraan radiologi lain seperti
ultrasound dan CT. Efusi yang sangat besar dapat membuat hemitoraks menjadi opak
dan menggeser mediastiunum ke sisi kontralateral. Efusi yang sedemikian masif
umumnya disebabkan oleh keganasan, parapneumonik, empiema, dan tuberkulosis.
Namun apabila mediastinum bergeser ke sisi di mana efusi pleura masif berada, perlu
dipikirkan kejadian obstruksi endobronkial ataupun penekanan akibat tumor
Aspirasi cairan pleura sebagai sarana diagnostik maupun terapeutik.
Pelaksanaannya sebaiknya dalam posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah
paru sela iga linea aksilaris posterior dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16.
Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000 1500 cc pada setiap
aspirasi, selanjutnya untuk diagnosis cairan pleura dilakukan pemeriksaan :
a. Warna cairan
Cairan pleura berwarana agak kekuning kuningan (serous santrokom)
b. Biokimia
Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat
c. Sitologi
Digunakan sebagai diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel
sel patologis atau dominasi sel sel tertentu
Sel neutrofil : pada infeksi akut
Sel limfosit : pada infeksi kronik (pleuritis tb atau limfoma maligna)
Sel mesotel : bila meningkat pada infark paru
Sel giant : pada arthritis rheumatoid
Sel L E : pada SLE
Sel maligna : pada paru/metastase

d. Bakteriologi
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan pleura dapat mengandung
mikroorganisme berupa bakteri aerob maupun anaerob. Paling sering
pneumokokus, E Coli, Klebsiela, Pseudomonas, Enterobacter.

30
e. Biopsi pleura
Dapat menunjukan 50 75% diagnosis kasus pleuritis tuberkolosa dan tumor
pleura. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran
infeksi atau tumor pada dinding dada (Halim et al, 2006).

I. Penatalaksanaan
Terapi pada penyakit dasarnya (antibiotik), kemudian terapi paliatif (efusi pleura
hemoragic)

Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis, aspirasi dapat
dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau diletakan
diatas bantal, jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan pada
penderita dalam posisi tidur terlentang.
2. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan dari hasil rontgen foto toraks, atau
daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media
dibawah batas suara sonor dan redup.

31
3. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan
jarum berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya
disebabkan karena penusukan jarum telampau rendah sehingga mengenai
difragma atau terlalu dalam sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum tidak
mencapai rongga pleura karena jaringan subkutis atau pleura parietalis
terlampau tebal.
4. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000 1500 cc pada
setiap aspirasi. Untuk mencegah terjadinya edema paru akibat pengembangan
paru secara mendadak. Selain itu pengambilan cairan dalam jumlah besar
secara mendadak menimbulkan refleks vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi
yang berat, dan hipotensi.

Pemasangan WSD

32
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks dan
dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat dan
aman. Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut :

1. Tempat untuk memasukan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9 linea


aksilaris media atau ruang sela iga ke 2 atau ke 3 linea midklavikularis
2. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar
kurang lebih 2 cm sampai subkutis
3. Dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang
4. Jaringan subkutis dibedakan secara tumpul dengan klem sampai mendapatkan
pleura parietalis
5. Selang dan trokar dimasukan ke dalam rongga pleura dan kemudian trokar
ditarik. Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks
6. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit dan dibebat dengan
kasa dan plester.
7. Selang dihubungan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang
dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang diletakkan
dibawah permukaan air sedalam sekitar 2cm, agar udara dari luar tidak dapat
masuk ke rongga pleura
8. WSD perlu diawasi setiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada
selang, kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang.
Untuk memastikan dilakukan foto toraks.
9. Selang toraks dapat dicabut jika produksi cairan/hari < 100 ml dan jaringan
paru telah mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.

33
34
Pleurodesis

Bertujuan untuk melekatkan pleura visceralis dan parietalis, merupakan


penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan adalah
sitostatistika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5 fluorourasil, adramisin,
dan deksorubisin. Setelah cairan pleura dapat dikeluarkan sebanyak banyaknya, obat
sitostatika (misal; tiotepa 45mg) diberikan selang waktu 710 hari. Pemberian obat,
tidak perlu pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil akan terjadi peluritis
obliteratif yang menghilangkan rongga pleura, sehingga mencegah penimbunan
kembali cairan dalam rongga tersebut. Obat lain adalah tetrasiklin. Pada pemberian
obat ini WSD harus dipasang dan paru dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500
mg dilarutkan dalam 3050 ml larutan garam faal, kemudian dimasukan ke rongga
pleura melalui selang toraks ditambah dengan larutan garam faal 1030 ml untuk
membilas selang, serta lidokain 2% 10 ml, untuk mengurangi rasa nyeri yang
ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotika diberikan 11,5 jam sebelum pemberian
tetrasiklin juga berguna untuk mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang toraks diklem
selama 6 jam dan posisi penderita diubah ubah agar penyebaran tetrasiklin merata
diseluruh bagian rongga pleura. Apabila dalam waktu 24 48 jam cairan tidak keluar,
selang toreaks dapat dicabut.

J. Diagnosa Banding
Konsolidasi paru akibat pneumoni
Keganasan paru disertai kolaps paru
Pneumotoraks
Fibrosis paru

K. Komplikasi
a) Fibrotoraks
Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditangani dengan drainase yang
baik akan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan pleura viseralis.
Keadaan ini disebut dengan fibrotoraks. Jika fibrotoraks meluas dapat
menimbulkan hambatan mekanis yang berat pada jaringan-jaringan yang berada
dibawahnya. Pembedahan pengupasan(dekortikasi) perlu dilakukan untuk
memisahkan membrane-membran pleura tersebut.

35
b) Atelektasis
Atalektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna yang disebabkan
oleh penekanan akibat efusi pleura.
c) Fibrosis paru
Fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat jaringan ikat paru
dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat cara perbaikan jaringan
sebagai kelanjutan suatu proses penyakit paru yang menimbulkan peradangan.
Pada efusi pleura, atalektasis yang berkepanjangan dapat menyebabkan
penggantian jaringan paru yang terserang dengan jaringan fibrosis.
d) Kolaps paru
Pada efusi pleura, atalektasis tekanan yang diakibatkan oleh tekanan ektrinsik
pada sebagian / semua bagian paru akan mendorong udara keluar dan
mengakibatkan kolaps paru

L. Prognosa
Tergantung penyakit yang mendasari, pada kasus tertentu, dapat sembuh sendiri
setelah diberikan pengobatan adekuat terhadap penyakit dasarnya.

36
Definisi
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening. Jadi,
limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening
yang disebabkan oleh basil tuberkulosis (Ioachim, 2009). Apabila peradangan terjadi pada
kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula (Dorland, 1998). Limfadenitis pada kelenjar
limfe di leher inilah yang biasanya paling sering terjadi (Kumar, 2004). Istilah scrofula
diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan kelenjar. Hippocrates (460-377 S.M.)
menyebutkan istilah tumor skrofula pada sebuah tulisannya (Mohaputra, 2009). Penyakit ini
juga sudah dikenal sejak zaman raja-raja Eropa pada zaman pertengahan dengan nama
Kings evil, dimana dipercaya bahwa sentuhan tangan raja dapat menyembuhkannya
(McClay, 2008). Infeksi M.tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung
tuberkulosis ke kulit dari struktur dasar atau terpajan melalui kontak dengan tuberkulosis
disebut dengan scrofuloderma (Dorland, 1998).

Epidemiologi
Selama beberapa abad tuberkulosis merupakan salah satu penyakit terparah pada
manusia. Dari semua penyakit infeksi, tuberkulosis masih merupakan penyebab kematian
tersering. WHO memprediksikan insidensi penyakit tuberkulosis ini akan terus meningkat,
dimana akan terdapat 12 juta kasus baru dan 3 juta kematian akibat penyakit tuberkulosis
setiap tahun. Sepertiga dari peningkatan jumlah kasus baru disebabkan oleh epidemi HIV,
dimana tuberkulosis menyebabkan kematian pada satu orang dari tujuh orang yang menderita
AIDS (Ioachim, 2009).

Indonesia pada tahun 2009 menempati peringkat kelima negara dengan insidensi TB
tertinggi di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-2,4 juta), Cina (1,1-1,5 juta),
Afrika Selatan (0,40-0,59 juta), dan Nigeria (0,37-0,55 juta) (WHO, 2010). Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menempatkan TB sebagai penyebab kematian terbesar
ketiga setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran

37
pernapasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi (Depkes,
2007).
Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ di tubuh. Meskipun TB
pulmoner adalah yang paling banyak, TB ekstrapulmoner juga merupakan salah satu masalah
klinis yang penting. Istilah TB ekstrapulmoner digunakan pada tuberkulosis yang terjadi
selain pada paru-paru. Berdasarkan epidemiologi TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari
semua kasus TB pada pasien HIV-negatif, dimana limfadenitis TB merupakan bentuk
terbanyak (35% dari semua TB ekstrapulmoner). Sedangkan pada pasien dengan HIV-positif
TB ekstrapulmoner adalah lebih dari 50% kasus TB, dimana limfadenitis tetap yang
terbanyak yaitu 35% dari TB ekstrapulmoner (Sharma, 2004).
Limfadenitis TB lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan
1,2:1 (Dandapat, 1990). Berdasarkan penelitian terhadap data demografik 60 pasien
limfadenitis TB didapat 41 orang wanita dan 19 orang pria dengan rentang umur 40,9 16,9
(13 88) (Geldmacher, 2002). Penelitian lainnya terhadap 69 pasien limfadenitis TB didapat
48 orang wanita dan 21 orang pria dengan rentang umur 31,4 13,1 (14 60) (Jniene, 2010).

Etiologi
Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Mycobacteria tergolong dalam famili Mycobactericeae dan ordo Actinomyceales. Spesies
patogen yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks, yang merupakan agen penyebab
penyakit yang tersering dan terpenting adalah Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong
dalam Mycobacterium tuberculosae complex adalah : 1. M. tuberculosae, 2. M. bovis, 3. M.
caprae, 4. M. africanum, 5. M. Microti, 6. M. Pinnipedii, 7. M.canettii Pembagian tersebut
berdasarkan perbedaan epidemiologi (Raviglione, 2010).
Basil TB adalah bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis lurus berukuran sekitar
0,4 x 3 m dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk kokoid dan filamentous tampak
bervariasi dari satu spesies ke spesies lain. Mycobacteria termasuk M.tuberculosis tidak dapat
diwarnai dengan pewarnaan Gram dan hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus serta
sangat kuat mengikat zat warna tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun
menggunakan asam alkohol, sehingga dijuluki bakteri tahan

38
asam (Raviglione, 2010; Jawetz, 2004). M.tuberculosis mudah mengikat pewarna Ziehl-
Neelsen atau karbol fuksin (Kumar, 2004).
Dinding bakteri Mikobakterium kaya akan lipid yang terdiri dari asam mikolat, lilin,
dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan asam mikolat dapat
menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang bertanggung jawab pada sifat tahan
asam bakteri Mikobakterium. Penghilangan lipid dengan menggunakan asam yang panas
menghancurkan sifat tahan asam bakteri ini (Brooks, 2004).
Bakteri ini mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon sederhana.
Penambahan CO2 meningkatkan pertumbuhan. Aktivitas biokimia tidak khas dan laju
pertumbuhannya lebih lambat daripada kebanyakan bakteri. Waktu replikasi basil
tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat, berproliferasi
dengan baik pada temperatur 22-23C, dan tidak terlalu bersifat tahan asam bila
dibandingkan dengan bentuk patogennya (Brooks, 2004).

Patogenesis
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan
TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer dan
TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering terjadi pada anak-anak sehingga
sering disebut child-type tuberculosis, sedangkan TB post-primer (sekunder) disebut juga
adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada orang dewasa, walaupun faktanya TB
primer dapat juga terjadi pada orang dewasa (Raviglione, 2010).
Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut sebagai
TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi
oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang,
meningens, peritoneum, dan perikardium.
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil
tuberkulosis (Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet.
Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua
kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan
dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat
menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran
basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, dimana
penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe
(limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas

39
baik, 3 4 minggu setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan
membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag
membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan
limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya fokus
Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang
sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon
merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten
yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan
penyakit (Datta, 2004).
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki
imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya imunitas seluler akan
membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan pembentukan
jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada TB primer, basil TB pada TB post-primer dapat
menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ (Datta,
2004). Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran
pertama dari infeksi TB pada parenkim paru (Mohapatra, 2009).
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi
paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi
droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil,
selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher (Datta, 2004).

Manifestasi Klinis
Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner.
Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Pasien
biasanya datang dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang lambat. Pada pasien
limfadenitis TB dengan HIV-negatif, limfadenopati leher terisolasi adalah manifestasi yang
paling sering dijumpai yaitu sekitar dua pertiga pasien. Oleh karena itu, infeksi
mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis banding dari pembengkakan kelenjar
getah bening, terutama pada daerah yang endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar
dari beberapa minggu sampai beberapa bulan (Mohapatra, 2004).

40
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis, kemudian
diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal
hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis (Mohapatra, 2004). Berdasarkan penelitian oleh
Geldmacher (2002) didapatkan kelenjar limfe yang terlibat yaitu: 63,3% pada kelenjar limfe
servikalis, 26,7% kelenjar mediastinal, dan 8,3% pada kelenjar aksila, dan didapatkan pula
pada 35% pasien pembengkakan terjadi pada lebih dari satu tempat. Menurut Sharma (2004),
pada pasien dengan HIV-negatif maupun HIV-positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang
paling sering terkena, diikuti oleh kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis.
Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral, tunggal
maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan berkembang secara lambat
dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling sering berlokasi di regio servikalis posterior
dan yang lebih jarang di regio supraklavikular (Mohapatra, 2004). Keterlibatan multifokal
ditemukan pada 39% pasien HIV-negatif dan pada 90% pasien HIV-positif. Pada pasien
HIV-positif, keterlibatan multifokal, limfadenopati intratorakalis dan intraabdominal serta TB
paru adalah sering ditemukan (Sharma, 2004). Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat
menunjukkan gejala sistemik yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan
keringat malam. Lebih dari 57% pasien tidak menunjukkan gejala sistemik (Mohapatra,
2004). Terdapat riwayat kontak terhadap penderita TB pada 21,8% pasien, dan terdapat TB
paru pada 16,1% pasien (Mohapatra, 2004).
Menurut Jones dan Campbell (1962) dalam Mohapatra (2004) limfadenopati
tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:
1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret.
2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan sekitar oleh karena
adanya periadenitis.
3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat pembentukan
abses.
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.

Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar limfe yang
terkena biasanya tidak nyeri kecuali (i) terjadi infeksi sekunder bakteri, (ii)

41
pembesaran kelenjar yang cepat atau (iii) koinsidensi dengan infeksi HIV. Abses kelenjar
limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi sinus yang tidak menyembuh
secara kronis dan pembentukan ulkus. Pembentukan fistula terjadi pada 10% dari limfadenitis
TB servikalis (Mohapatra, 2004). Berdasarkan penelitian oleh Jniene (2010) dari 69 pasien
limfadenitis TB didapat 11 orang dengan pembengkakan kelenjar yang nyeri dan 6 orang
dengan adanya pembentukan fistula. Terdapat juga 10 orang dengan pembengkakan kelenjar
yang disertai adanya tanda-tanda inflamasi tetapi tidak disertai oleh adanya fistula. Secara
klasik, sinus tuberkulosis mempunyai pinggir yang tipis, kebiru-biruan, dan rapuh dengan pus
cair yang sedikit. Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada kulit disebabkan oleh
perluasan langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh paparan langsung
terhadap basil TB (Mohapatra, 2004).
Limfadenitis TB mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada dewasa
limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang jarang terjadi pada
pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk disfagia, fistula
oesophagomediastinal, dan fistula tracheo-oesophageal. Pembengkakan kelenjar limfe
mediastinal dan abdomen atas juga dapat menyebabkan obstruksi duktus toraksikus dan
chylothorax, chylous ascites ataupun chyluria. Pada keadaan tertentu, obstruksi biliaris akibat
pembesaran kelenjar limfe dapat menyebabkan obstructive jaundice. Tamponade jantung
juga pernah dilaporkan terjadi akibat limfadenitis mediastinal (Mohapatra, 2004).
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran 2 cm biasanya disebabkan
oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya disebabkan oleh
mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan pembengkakan tersebut disebabkan
oleh M.tuberculosis (Narang, 2005).

42
Diagnosis
Untuk mendiagnosa limfadenitis TB diperlukan tingkat kecurigaan yang tinggi,
dimana hal ini masih merupakan suatu tantangan diagnostik untuk banyak klinisi meskipun
dengan kemajuan teknik laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap,
pewarnaan BTA, pemeriksaan radiologis, dan biopsi aspirasi jarum halus dapat membantu
dalam membuat diagnosis awal yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam memberikan
pengobatan sebelum diagnosis akhir dapat dibuat berdasarkan biopsi dan kultur (Bayazit,
2004). Juga penting untuk membedakan infeksi mikobakterium tuberkulosis dengan non-
tuberkulosis.

Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa limfadenitis TB :


a. Pemeriksaan mikrobiologi

43
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan kultur.
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Spesimen untuk
pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsi aspirasi. Dengan pemeriksaan ini kita dapat
memastikan adanya basil mikobakterium pada spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB
agar perwarnaan dapat positif (Mohapatra, 2009; Bayazit, 2004).

Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis limfadenitis TB.
Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur positif. Hasil kultur positif
hanya pada 10-69% kasus (Mohapatra, 2009). Berbagai media dapat digunakan seperti
Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan Bactec TB. Diperlukan waktu beberapa minggu
untuk mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis tuberkulosa, M.tuberculosis adalah penyebab
tersering, diikuti oleh M.bovis (Bayazit, 2004).

b. Tes Tuberkulin

Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk menunjukkan adanya


reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen mikobakterium pada seseorang. Reagen
yang digunakan adalah protein purified derivative (PPD). Pengukuran indurasi dilakukan 2-
10 minggu setelah infeksi. Dikatakan positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm,
intermediat apabila indurasi 5-9 mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm (Mohapatra,
2009).

c. Pemeriksaan Sitologi

Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan menggunakan biopsi aspirasi


kelenjar limfe. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan sitologi dengan biopsi aspirasi untuk
menegakkan diagnosis limfadenitis TB adalah 78% dan 99% (Kocjan, 2001). CT scan dapat
digunakan untuk membantu pelaksanaan biopsi aspirasi kelenjar limfe intratoraks dan
intraabdominal (Sharma, 2004). Pada pemeriksaan sitologi akan terlihat Langhans giant cell,
granuloma epiteloid, nekrosis kaseosa. Muncul kesulitan dalam pendiagnosaan apabila
gambaran konvensional seperti sel epiteloid atau Langhans giant cell tidak ditemukan pada
aspirat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2008), bahwa gambaran sitologi bercak
gelap dengan materi eusinofilik dapat digunakan sebagai tambahan karakteristik tuberkulosis
selain gambaran epiteloid dan Langhans giant cell. Didapati bahwa aspirat dengan gambaran

44
sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik, dapat memberikan hasil positif tuberkulosis
apabila dikultur.

d. Pemeriksaan Radiologis

Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk membantu diagnosis
limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten dengan TB paru
pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi pada anak-anak
dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus (Bayazit, 2004).
USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular atau
multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal (Bayazit, 2004). Pemeriksaan dengan
USG juga dapat dilakukan untuk membedakan penyebab pembesaran kelenjar (infeksi TB,
metastatik, lymphoma, atau reaktif hiperplasia). Pada pembesaran kelenjar yang disebabkan
oleh infeksi TB biasanya ditandai dengan fusion tendency, peripheral halo, dan internal
echoes (Khanna, 2011).
Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral, adanya
cincin irregular pada contrast enhancement serta nodularitas didalamnya, derajat
homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan
mengarahkan pada limfadenitis TB (Bayazit, 2004).
Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan konfluens.
Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer dibandingkan sentral, dan
hal ini bersama-sama dengan edema jaringan lunak membedakannya dengan kelenjar
metastatik (Bayazit, 2004).

45
Anemia

Definisi Anemia

Anemia adalah penyakit kurang darah yang ditandai dengan kadar hemoglobin (Hb)
dan sel darah merah (eritrosit) lebih rendah dibandingkan normal (Soebroto, 2010). Anemia
adalah keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah
dibawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan (Arisman, 2007).

Kategori Anemia
Berikut ini kategori tingkat keparahan pada anemia (Soebroto, 2010) :
a. Kadar Hb 10 gr - 8 gr disebut anemia ringan
b. Kadar Hb 8 gr 5 gr disebut anemia sedang
c. Kadar Hb kurang dari 5 gr disebut anemia berat

Kategori tingkat keparahan pada anemia (Waryana, 2010) yang bersumber dari WHO adalah
sebagai berikut:
a. Kadar Hb 11 gr% tidak anemia
b. Kadar Hb 9-10 gr % anemia ringan
c. Kadar Hb 7-8 gr% anemia sedang
d. Kadar Hb < 7 gr% anemia berat

Kategori tingkat keparahan anemia (Nugraheny E, 2009) adalah sebagai berikut:


a. Kadar Hb < 10 gr% disebut anemia ringan
b. Kadar Hb 7-8 gr% disebut anemia sedang
c. Kadar Hb < 6gr% disebut anemia berat
d. Kadar Hb normal pada ibu nifas adalah 11-12 gr %

Pada penelitian ini menggunakan standart kementrian kesehatan yang


bersumber dari WHO.

Jenis-Jenis Anemia

Jenis-jenis anemia adalah:


a. Anemia Defisiensi Zat Besi

46
Anemia akibat kekurangan zat besi. Zat besi merupakan bagian dari molekul
hemoglobin. Kurangnya zat besi dalam tubuh bisa disebabkan karena banyak hal. Kurangnya
zat besi pada orang dewasa hampir selalu disebabkan karena perdarahan menahun, berulang-
ulang yang bisa berasal dari semua bagian tubuh (Soebroto, 2010).

b. Anemia Defisiensi Vitamin C


Anemia yang disebabkan karena kekurangan vitamin C yang berat dalam jangka
waktu lama. Penyebab kekurangan vitamin C adalah kurangnya asupan vitamin C dalam
makanan sehari-hari. Vitamin C banyak ditemukan pada cabai hijau, jeruk, lemon,
strawberry, tomat, brokoli, lobak hijau, dan sayuran hijau lainnya, serta semangka. Salah satu
fungsi vitamin C adalah membantu penyerapan zat besi, sehingga jika terjadi kekurangan
vitamin C, maka jumlah zat besi yang diserap akan berkurang dan bisa terjadi anemia
(Soebroto, 2010).

c. Anemia Makrositik
Anemia yang disebabkan karena kekurangan vitamin B12 atau asam folat yang
diperlukan dalam proses pembentukan dan pematangan sel darah merah, granulosit, dan
platelet. Kekurangan vitamin B12 dapat terjadi karena berbagai hal, salah satunya adalah
karena kegagalan usus untuk menyerap vitamin B12 dengan optimal (Soebroto, 2010).

d. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik terjadi apabila sel darah merah dihancurkan lebih cepat dari
normal. Penyebabnya kemungkinan karena keturunan atau karena salah satu dari beberapa
penyakit, termasuk leukemia dan kanker lainnya, fungsi limpa yang tidak normal, gangguan
kekebalan,
dan hipertensi berat (Soebroto, 2010).

e. Anemia Sel Sabit


Yaitu suatu penyakit keturunan yang ditandai dengan sel darah merah yang berbentuk
sabit, kaku, dan anemia hemolitik kronik (Soebroto, 2010). Anemia sel sabit merupakan
penyakit genetik yang resesif, artinya seseorang harus mewarisi dua gen pembawa penyakit
ini dari kedua orang tuanya. Gejala utama penderita anemia sel sabit adalah:
1) Kurang energi dan sesak nafas,

47
2) Mengalami penyakit kuning (kulit dan mata berwarna kuning),
3) Serangan sakit akut pada tulang dada atau daerah perut akibat
tersumbatnya pembuluh darah kapiler.

f. Anemia Aplastik
Terjadi apabila sumsum tulang terganggu, dimana sumsum merupakan tempat
pembuatan sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), maupun trombosit
(Soebroto, 2010).

Gejala yang seringkali muncul pada penderita anemia diantaranya (Soebroto, 2010):
a. Lemah, letih, lesu, mudah lelah, dan lunglai.
b. Wajah tampak pucat.
c. Mata berkunang-kunang.
d. Nafsu makan berkurang.
e. Sulit berkonsentrasi dan mudah lupa.
f. Sering sakit.

Anemia dapat menimbulkan manifestasi klinis yang luas, bergantung pada


(Soebroto, 2010):
a. Kecepatan timbulnya anemia
b. Usia individu
c. Mekanisme kompensasi
d. Tingkat aktivitasnya
e. Keadaan penyakit yang mendasarinya
f. Beratnya anemia

Salah satu dari tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah pucat.
Keadaan ini umumnya diakibatkan dari berkurangnya volume darah, berkurangnya
hemoglobin, dan vasokonstriksi untuk memaksimalkan pengiriman O2 ke organ-organ vital.
Warna kulit bukan merupakan indeks yang dapat dipercaya untuk pucat karena dipengaruhi
pigmentasi kulit, suhu, dan keadaan serta distribusi bantalan kapiler. Bantalan kuku, telapak
tangan dan membrane mukosa mulut serta konjungtiva merupakan indikator yang lebih baik
untuk menilai pucat. Pada anemia berat, gagal jantung kongestif dapat terjadi karena otot
jantung yang anoksik tidak dapat beradaptasi terhadap beban kerja jantung yang meningkat.

48
Pada anemia berat dapat juga timbul gejala-gejala saluran cerna seperti anoreksia, mual,
konstipasi atau diare, dan stomatitis (nyeri pada lidah dan membrane mukosa mulut), gejala-
gejala umumnya disebabkan oleh keadaan defisiensi, seperti defisiensi zat besi (Price, 2005).

Mendiagnosis anemia
Dalam mendiagnosis anemia tidak hanya berdasarkan gejala-gejala yang dikeluhkan
pasien, namun juga dari pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh dokter. Dokter memerlukan
tes laboratorium, uji laboratorium yang paling baik untuk mendiagnosis anemia meliputi
pengukuran hematokrit atau kadar hemoglobin (Hb). Anemia dapat didiagnosis dengan pasti
kalau kadar Hb lebih rendah dari batas normal, berdasarkan kelompok umur dan jenis
kelamin (Soebroto, 2010).

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Witmer LM. Clinical anatomy of the pleural cavity & mediastinum. [Internet].
Cited: 2012 Nov 10. Available from: http://www.oucom.ohiou.edu/dbms-
witmer/Downloads/Witmer-thorax.pdf
2. Sherwood Lauralee. Human Physiology : From Cells to Systems. Edisi 6 502
504. EGC : 2007
3. Jeremy, et al. Efusi Pleura. At a Glance Medicine Edisi ke dua, EMS. Jakarta :
2008.
4. Halim, Hadi. Penyakit Penyakit Pleura. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
2329 2326. Jakarta : 2009.
5. BST Pleural Disease Guideline 2010.
6. Black Edward, Fowkes L, Lau Kelvin KW, Shah Nehal. A Cervical to
Investigating Pleural Disease.
7. Schleder Stephan dkk, Bedside Diagnosis of Pleural Effusion with Latest
Generation Hand-Carried Ultrasound Device in Intensive Patients
8. Hariadi Slamet, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Departemen Ilmu Penyakit
Paru FK UNAIR RSUD DR SOETOMO. Surabaya. 2010.
9. Mardia Andi Iskandar. Efusi Pleura Transudat. Divisi Pulmologi dan Alergi
Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU RSUP. H. Adam
Malik. Medan
10. Khairani Rita, Syahruddin Elisna, Partakusuma Lia Gardenia. Karakteristik Efusi
Pleura di Rumah Sakit Persahabatan. J Respir Indo Vol. 32 No.3, Juli 2012
11. http://www.morphostlab.com/direktori-penyakit/respiratory-direktori-penyakit/a-
sampai-e-respiratory-direktori-penyakit/pleura-effusion-efusi-pleura-
respiratory.html
12. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/103/jtptunimus-gdl-asuhankepe-5141-2-
babii.pdf
13. http://www.patient.co.uk/health/pleural-effusion
14. http://thorax.bmj.com/content/58/suppl_2/ii8.extract

50

Anda mungkin juga menyukai