Anda di halaman 1dari 28

I.

ANATOMI DAN HISTOLOGI KORNEA


Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-12 mm
horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan
kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata
manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme pada sistem optik. Dalam nutrisinya,
kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui
lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus.
Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan
sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh
banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf
siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran
Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua
lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus.
Kornea dalam bahasa latin cornum artinya seperti tanduk, merupakan selaput bening
mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan lapis dari jaringan yang
menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :

1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak
bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan epitel kira-
kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air mata merupakan
lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel
muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di
depannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat
erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Sedangkan
epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya regenerasi.

2. Membran Bowman
Membran yang jernih dan aselular, terletak di bawah membran basal dari epitel.
Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari epitel
bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi.

1
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan tengah
pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar sekitar 1 m yang
saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter kornea, pada permukaan terlihat
anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya
kembali serat kolagen memakan waktu lama, dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma.
Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau
sesudah trauma.

4. Membran Descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang
dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf pada pemeriksaan
mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur hidup dan mempunyai tebal + 40
mm. Lebih kompak dan elastis daripada membran Bowman. Juga lebih resisten terhadap
trauma dan proses patologik lainnya dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain.

5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal antara
20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel dari kornea ini dibasahi
oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai
daya regenerasi, sebaliknya endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi
kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak
lagi dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel,
stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya transparansi
(kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang
merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan daripada
kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan
pada kornea.

2
Gambar 1. Anatomi dan histologi kornea

II. FISIOLOGI KORNEA


Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan seratnya
tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di permukaan anterior
dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu pembentukan
bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di kornea, dapat
menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya
menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskuler
dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan
oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam

3
mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi
atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan
sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya,
kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan
menghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal
menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang mungkin merupakan faktor
lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan
dehidrasi.
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat melalui
epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya agar dapat
melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah sawar yang
efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera,
stroma yang avaskular dan membran bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam
organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur.

III. KERATITIS
3.1 Definisi
Keratitis adalah radang pada kornea atau infiltrasi sel radang pada kornea yang akan
mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatan menurun. Merupakan infeksi
pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis
superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau bowman dan keratitis profunda atau
interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.

3.2 Epidemiologi
Menurut Murillo Lopez (2006), Sekitar 25.000 orang Amerika terkena keratitis bakteri
per tahun. Kejadian keratitis bakteri bervariasi, dengan lebih sedikit pada negara-negara
industri yang secara signifikan lebih sedikit memiliki jumlah pengguna lensa kontak. Insiden
keratitis jamur bervariasi sesuai dengan lokasi geografis dan berkisar dari 2% dari kasus
keratitis di New York untuk 35% di Florida. Spesies Fusarium merupakan penyebab paling
umum infeksi jamur kornea di Amerika Serikat bagian selatan (45-76% dari keratitis jamur),
sedangkan spesies Candida dan Aspergillus lebih umum di negara-negara utara. secara
signifikan lebih sedikit yang berkaitan dengan infeksi lensa kontak.

4
3.3 Etiologi
Penyebab keratitis bermacam-macam yaitu bakteri, virus dan jamur. Selain itu
penyebab lain yang merupakan faktor predisposes adalah kekeringan pada mata, pajanan
terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing yang masuk ke mata, reaksi alergi atau mata
yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain, trauma dan
penggunaan lensa kontak yang kurang baik .

3.4 Tanda dan Gejala Umum


Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea. Infiltrat dapat ada
di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan pengobatan keratitis. Pada
peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan jaringan parut (sikatrik),
yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. Adapun gejala umum adalah
Mata merah
Penurunan tajam penglihatan
Keluar air mata yang berlebihan
Nyeri
Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)
Sensitif terhadap cahaya

3.5 Klasifikasi
Berdasarkan lapisan yang terkena, keratitis dibagi menjadi:
1. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata Subepitel)
2. Keratitis Marginal
3. Keratitis Interstisial

Berdasarkan penyebabnya, keratitis diklasifikasikan menjadi:


1. Keratitis Bakteri
a. Keratitis Pneumokokus
b. Keratitis Pseudomonas
c. Keratitis Streptokokus
2. Keratitis Virus
a. Keratitis Infeksi Herpes Simplek
b. Keratitis Infeksi Herpes Zoster

5
3. Keratitis Fungi
4. Keratitis Alergi
a. Keratokonjungtivitis flikten
b. Keratokonjungtivitis epidemi
c. Tukak atau ulkus fliktenular
d. Keratitis fasikularis
e. Keratokonjungtivitis vernal

Keratitis lainnya diklasifikasikan menjadi:


1. Keratitis Skelorotikan
2. Keratitis Sika
3. Keratitis Neuroparalitik
4. Keratitis Numuralis
5. Keratitis Lagoftalmus

3.6 Patofisiologi
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera datang,
seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan kornea,
wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai
makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan
tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear,
sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang
tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan
tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea.
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik
superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga
diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan
menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat
menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan
fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia,
yang berat pada kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi
terjadi pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun berair
mata dan fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak ada tahi mata
kecuali pada ulkus bakteri purulen.

6
Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya,
lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau letaknya di pusat.

3.7 Diagnosa
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan adanya
riwayat trauma---kenyataannya, benda asing dan abrasi merupakan dua lesi yang umum pada
kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat. Keratitis akibat infeksi herpes
simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh sangat sakit dan keratitis herpetik tidak,
penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya. Hendaknya pula ditanyakan pemakaian
obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan
predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama keratitis herpes simpleks.
Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS,
dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus
Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering lebih mudah
dengan meneteskan anestesi lokal. Pemulusan fluorescein dapat memperjelas lesi epitel
superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak dipulas. Pemakaian biomikroskop
(slitlamp) penting untuk pemeriksaan kornea dengan benar; jika tidak tersedia, dapat dipakai
kaca pembesar dan pencahayaan terang. Harus diperhatikan perjalanan pantulan cahaya saat
menggerakkan cahaya di atas kornea. Daerah kasar yang menandakan defek pada epitel terlihat
dengan cara ini.
Mayoritas kasus keratitis bakteri pada komunitas diselesaikan dengan terapi empiris
dan dikelola tanpa hapusan atau kultur. Hapusan dan kultur sering membantu dalam kasus
dengan riwayat penyakit yang tidak jelas. Hipopion yang terjadi di mata dengan keratitis
bakteri biasanya steril, dan pungsi akuos atau vitreous tidak perlu dilakukan kecuali ada
kecurigaan yang tinggi oleh mikroba endophthalmitis.
Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan satu-satunya cara
untuk menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur sangat membantu sebagai panduan
modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis yang tidak bagus dan untuk mengurangi
toksisitas dengan mengelakkan obat-obatan yang tidak perlu. Dalam perawatan mata secara
empiris tanpa kultur dimana respon klinisnya tidak bagus, kultur dapat membantu meskipun
keterlambatan dalam pemulihan patogen dapat terjadi.
Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal dan menggunakan
instrumen steril untuk mendapatkan atau mengorek sampel dari daerah yang terinfeksi pada

7
kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk mendapatkan sampel. Ini paling mudah
dilakukan dengan perbesaran Slit Lamp.
Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap
pengobatan atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis yang
sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika infiltrat terletak
di pertengahan atau dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak terlibat.
Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan Slit Lamp atau
mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk mengambil sepotong
kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan pembelahan sehingga satu porsi
dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk histopatologi. Spesimen biopsi harus
disampaikanke laboratorium secara tepat waktu.

A. Keratitis Pungtata
Keratitis yang terkumpul di daerah Bowman, dengan infiltrat berbentuk bercak-bercak
halus. Keratitis pungtata superfisial memberikan gambaran seperti infiltrat halus bertitik-titik
pada permukaan kornea. Merupakan cacat halus kornea superfisial dan hijau bila diwarnai
fluoresein. Sedangkan keratitis pungtata subepitel adalah keratitis yang terkumpul di daerah
membran Bowman. Keratitis pungtata biasanya terdapat bilateral dan berjalan kronis tanpa
terlihatnya gejala kelainan konjungtiva, ataupun tanda akut, biasa terjadi pada dewasa muda.

Gambar 2. Keratitis Pungtata

8
B. Keratitis Marginal
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus. Penyakit
infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral atau keratitis marginal ini.
Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya
blefarokonjungtivitis. Biasanya bersifat rekuren. Penderita mengeluh sakit seperti kelilipan,
lakrimasi disertai fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata, injeksi
konjungtiva, infiltrat, sering disertai neovkularisasi dari arah limbus. Pengobatan dapat
diberikan antibiotika sesuai penyebab infeksi local dan steroid dosis ringan. Pada pasien dapat
diberikan vitamin B dan C dosis tinggi.

Gambar 3. Keratitis Marginal

C. Keratitis Interstitial
Keratitis interstitial adalah kondisi dimana masuknya pembuluh darah ke dalam kornea
dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea. Keratitis interstitial dapat berlanjut
menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab paling sering dari keratitis interstitial. Seluruh
kornea keruh sehingga iris susah diliat. Permukaan kornea seperti kaca. Terdapat injeksi siliar
disertai serbukan pembuluh ke dalam seingga memberikan gambaran merah kusam atau
disebut salmon patch dari Hutchinson. Seluruh kornea dapat berwarna merah cerah.

.Gambar 4. Keratitis Interstitial


9
D. Keratitis Bakterialis
1. Definisi
Keratitis bakteri adalah gangguan penglihatan yang mengancam. Ciri-ciri khusus
keratitis bakteri adalah perjalanannya yang cepat. Destruksi corneal lengkap bisa terjadi dalam
24 48 jam oleh beberapa agen bakteri yang virulen. Ulkus kornea, pembentukan abses stroma,
edema kornea dan inflamasi segmen anterior adalah karakteristik dari penyakit ini.

2. Etiologi
Grup bakteri yang paling banyak menyebabkan keratitis bakteri adalah Streptococcus,
Pseudomonas, Enterobacteriaceae (meliputi Klebsiella, Enterobacter, Serratia, and Proteus)
dan golongan Staphylococcus. Lebih dari 20 kasus keratitis jamur (terutama candidiasis) terjadi
komplikasi koinfeksi bakteri.
Banyak jenis ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain dan hanya bervariasi dalam
beratnya penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus yang disebabkan bakteri oportunistik
(mis., Streptococcus alfa-hemolyticus, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis,
Nocardia, dan M fortuitum-chelonei), yang menimbulkan ulkus kornea indolen yang cenderung
menyebar perlahan dan superficial.

3. Patofisiologi
Awal dari keratitis bakteri adalah adanya gangguan dari epitel kornea yang intak dan
atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan terjadi proliferasi
dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi mikroba atau molekul
efektor sekunder yang membantu proses infeksi. Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi
pada struktur fimbriasi dan struktur non fimbriasi yang membantu penempelan ke sel kornea.
Selama stadium inisiasi, epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi
nekrosis. Sel inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan
nekrosis lamella stroma.
Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di bilik posterior, menyalurkan
sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hypopyon. Toksin bakteri yang
lain dan enzim (meliputi elastahise dan alkalin protease) dapat diproduksi selama infeksi
kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi kornea.

10
4. Manifestasi Klinis
Gejala klinik dari keratitis bacterial yaitu:
Nyeri sedang - berat
Fotofobia
Blefarospasme
Ulkus kornea , infiltrat
Penglihatan terganggu
Lakrimasi
Sekret purulen

Gambar 5. Keratitis Bakterial

5. Klasifikasi

a. Keratitis Pneumokokus
Ulkus kornea pneumokokus biasanya muncul 24-48 jam setelah inokulasi pada kornea
yang lecet. Infeksi ini secara khas menimbulkan sebuah ulkus berbatas tegas warna kelabu
yang cenderung menyebar secara tak teratur dari tempat infeksi ke sentral kornea. Batas yang
maju menampakkan ulserasi aktif dan infiltrasi sementara batas yang ditinggalkan mulai sembuh.
(Efek merambat ini menimbulkan istilah "ulkus serpiginosa akut"). Lapis superfisial kornea
adalah yang pertama terlibat, kemudian parenkim bagian dalam. Kornea sekitar ulkus sering
bening. Biasanya ada hipopion. Kerokan dari tepian depan ulkus kornea pneumokokus
mengandung diplokokus berbentuk-lancet gram-positif.

11
b. Keratitis Pseudomonas
Ulkus kornea pseudomonas berawal sebagai infiltrat kelabu atau kuning di tempat
epitel kornea yang retak. Nyeri yang sangat biasanya menyertainya. Lesi ini cenderung cepat
menyebar ke segala arah karena pengaruh enzim protcolitik yang dihasilkan organisme ini.
Meskipun pada awalnya superfisial, ulkus ini dapat mengenai seluruh kornea. Umumnya
terdapat hipopion besar yang cenderung membesar dengan berkembangnya ulkus. Infiltrat dan
eksudat mungkin berwarna hijau kebiruan. Ini akibat pigmen yang dihasilkan organisme dan
patognomonik untuk infeksi P aeruginosa.
Pseudomonas adalah penyebab umum ulkus kornea bakteri. Kasus ulkus kornea
Pseudomonas dapat terjadi pada abrasi kornea minor atau penggunaan lensa kontak lunak,
terutama yang dipakai agak lama. Ulkus kornea yang disebabkan organisme ini bervariasi
dari yang sangat jinak sampai yang menghancurkan. Organisme itu ditemukan melekat pada
permukaan lensa kontak lunak. Beberapa kasus dilaporkan setelah penggunaan larutan florescein
atau obat tetes mata yang terkontaminasi.

c. Keratitis Streptokokus
Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea (serpinginous). Ulkus
bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram dengan tepi ulkus yang menggaung. Ulkus
cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea, karena eksotoksin yang dihasilkan
oleh streptokok pneumonia.

6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus kornea dan bagian
tepinya dengan menggunakan spatula steril kemudian ditanam di media cokelat,
darah dan agar Sabouraud, kemudian dilakukan pengecatan dengan Gram.
Biopsy kornea dilakukan jika kultur negatif dan tidak ada perbaikan secara klinis
dengan menggunakan blade kornea bila ditemukan infiltrat dalam di stroma.

7. Terapi
a. Terapi antibiotik
Pengobatan antibiotik dapat diberikan pada keratitis bacterial dini. Biasanya
pengobatan dengan dasar berikut:

12
1. Untuk bakteri gram negatif: tobramisin, gentamicin dan polimiksin
2. Untuk bakteri gram positif : cefazoin, vancomycin dan basitrasin
3. Antibiotic spectrum luas seperti : ofloxacin, norfloxacin, dan pulymyxin
Tetes mata antibiotik mampu mencapai tingkat jaringan yang tinggi dan merupakan
metode yang banyak dipakai dalam pengobatan banyak kasus. Salep pada mata berguna
sewaktu tidur pada kasus yang kurang berat dan juga berguna sebagai terapi tambahan.
Antibiotik subkonjungtiva dapat membantu pada keadaan ada penyebaran segera ke sclera atau
perforasi atau dalam kasus di mana kepatuhan terhadap rejimen pengobatan diragukan.
Antibiotik topikal spektrum luas empiris digunakan pada pengobatan awal dari keratitis
bakteri. Untuk keratitis yang parah (melibatan stroma atau dengan defek yang lebih besar dari
2 mm dengan nanah yang luas), diberikan dosis loading setiap 5 sampai 15 menit untuk jam
pertama, diikuti oleh aplikasi setiap 15 menit sampai 1 jam pada jam berikutnya. Pada keratitis
yang kurang parah, rejimen terapi dengan dosis yang kurang frekuen terbukti efektif. Agen
Cycloplegic dapat digunakan untuk mengurangi pembentukan sinekhia dan untuk mengurangi
nyeri pada kasus yang lebih parah pada keratitis bakteri dan ketika adanya peradangan bilik
anterior mata.
Terapi single-drug dengan menggunakan fluoroquinolone (misalnya ciprofloksasin,
ofloksasin) menunjukkan efektiftivitas yang sama seperti terapi kombinasi. Tetapi beberapa
patogen (misalnya Streptococcus, anaerob) dilaporkan mempunyai kerentanan bervariasi
terhadap golongan fluoroquinolone dan prevalensi resistensi terhadap golongan
fluoroquinolones tampaknya semakin meningkat. Gatifloksasin dan moksifloksasin (generasi
keempat fluoroquinolone) telah dilaporkan memiliki cakupan yang lebih baik terhadap bakteri
gram-positif dari fluoroquinolone generasi sebelumnya pada uji in-vitro. Namun,
fluoroquinolone generasi keempat belum disetujui FDA untuk pengobatan keratitis bakteri.
Terapi kombinasi antibiotika digunakan dalam kasus infeksi berat dan mata yang tidak
responsif terhadap pengobatan. Pengobatan dengan lebih dari satu agen mungkin diperlukan
untuk kasus-kasus penyebab mikobakteri non-tuberkulos. Antibiotik sistemik jarang
dibutuhkan, tetapi dapat diipertimbangkan pada kasus-kasus yang parah di mana proses infeksi
telah meluas ke jaringan sekitarnya (misalnya, sclera) atau ketika adanya ancaman perforasi
dari kornea. Terapi sistemik juga diperlukan dalam kasus-kasus keratitis gonokokal.

13
Berikut tabel pengobatan inisial antibiotik yang dapat diberikan:

Tabel 1. Terapi Antibiotik

b. Terapi Kortikosteroid
Terapi topikal kortikosteroid memiliki peran bermanfaat dalam mengobati beberapa
kasus menular keratitis. Keuntungan potensial adalah penekanan peradangan dan pengurangan
pembentukan jaringan parut pada kornea, yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan.
Antara kerugiannya pula termasuk timbulnya aktivitas infeksi baru, imunosupresi lokal,
penghambatan sintesis kolagen dan peningkatan tekanan intraokular. Meskipun berisiko,
banyak ahli percaya bahwa penggunaan kortikosteroid topikal dalam pengobatan keratitis
bakteri dapat mengurangi morbiditas. Terapi kortikosteroid pada pasien yang sedang diobati
dengan kortikosteroid topikal pada saat adanya curiganya keratitis bakteri hendaklah
diberhentikan dahulu sampai infeksi telah dikendalikan.
Prinsip pada terapi kortikosteroid topikal adalah menggunakan dosis minimal
kortikosteroid yang bisa memberikan efek kontrol peradangan. Keberhasilan pengobatan
membutuhkan perkiraan yang optimal, regulasi dosis secara teratur, penggunaan obat
antibiotika yang memadai secara bersamaan, dan follow-up. Kepatuhan dari pasien sangat
penting, dan tekanan intraokular harus sering dipantau. Pasien harus diperiksa dalam 1 sampai
2 hari setelah terapi kortikosteroid topikal dimulai.

14
8. Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis bakteri ini adalah penipisan kornea, dan
akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophthalmitis dan hilangnya
penglihatan.

9. Prognosis
Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, seperti diuraikan di bawah ini, dan
dapat mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat.
- Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas keratitis
- Luas dan lokasi ulkus kornea
- Hasil vaskularisasi dan / atau deposisi kolagen

E. Keratitis Virus
a. Keratitis Herpes Simplek
1. Definisi
Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling sering
ditemukan dalam praktek. Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai dengan adanya
infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun. Pada mata, virus herpes simplek
dapat diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita keratitis herpes simpleks. Penularan dapat
terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut.

2. Etiologi
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan.
lnfeksi primer herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan ditandai oleh adanya demam,
malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi
keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih
dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopik. Bentuk ini umumnya dapat sembuh
sendiri, tanpa menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus topikal dapat
dipakai unutk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai terapi untuk penyakit kornea.
Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau
16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun
ke atas.
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer. Dengan
mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau ganglion

15
otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion n.trigeminus, dan ganglion siliaris
berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea
sendiri berperan sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi yang
berperan terjadinya infeksi kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas,
stres emosional, pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan
kondisi imunosupresi.
Walaupun diobati, kira-kira 25% pasien akan kambuh pada tahun pertama, dan
meningkat menjadi 33% pada tahun kedua. Peneliti lain bahkan melaporkan angka yang lebih
besar yaitu 46,57% keratitis herpes simpleks kambuh dalam kurun waktu 4 bulan setelah
infeksi primer. Penelitian di Yogyakarta mendapatkan angka kekambuhan hanya 11,5% dalam
kurun waktu 6 bulan pengamatan setelah penyembuhan. Perbedaan angka-angka tersebut
dimungkinkan oleh perbedaan cara pengobatan.
Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 namun beberapa kasus
pada bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan HSV tipe 2. Lesi kornea kedua jenis ini tidak
dapat dibedakan.

3. Gejala Klinis
Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian pusat yang
terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya timbul pada
awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak datang berobat. Sering ada
riwayat lepuh lepuh, demam atau infeksi herpes lain, namun ulserasi kornea kadang kadang
merupakan satu satunya gejala infeksi herpes rekurens.
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel,
berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap
keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster
oftalmikus,keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati
bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak
adanya foto-fobia.

4. Lesi
Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial, profunda, dan
bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial dapat berupa pungtata,
dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis
pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulka

16
kematian sel serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik
merupakan gambaran yang khas pada kornea, memiliki percabangan linear khas dengan tepian
kabur, memiliki bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat
dendrit, namun sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi kornea yang
lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis diferensial.
Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit dendritik
menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat bentukan ulkus
bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus
menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur.
Sensasi kornea, seperti halnya penyakit dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat
ditimbulkan HSV adalah keratitis epitelial blotchy, keratitis epitelial stelata, dan keratitis
filamentosa. Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas
dalam satu dua hari.

Gambar 6. Lesi dendritik Gambar 7. Lesi geografik

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes
zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang dikelilingi
mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.
Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi HSV.
Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi berarti, dan umumnya
tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk membentuk lipatan-lipatan
dimembran descement. Mungkin terdapat endapan keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu,
namun dapat pula diseluruh endotel karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti
kebanyakan lesi herpes pada orang imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh
sendiri, setelah berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda terpenting,
dan penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi minimal.

17
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering disertai
vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang dijumpai adanya
infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat
polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes simpleks. Penipisan dan
perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal. Jika
terdapat penyakit stroma dengan ulkus epitel, akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau
fungi pada penyakit herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda tanda
khas herpes, namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan oleh
reaksi imun akut, yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif.
Mungkin terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau fungi sekunder.

Gambar 8. Lesi dengan Wessely Gambar 9. Keratitis Diskiformis


Ring
5. Patogenesa
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal Kerusakan
terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel epitelial dan
membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi imunologik tubuh
terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang menarik sel radang kedalam
stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan
merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan
pada yang epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk
menyerang virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama
kaena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke
tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun
pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan
dapat merusak.

18
6. Terapi
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil efek
merusak akibat respon radang.
1. Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena virus
berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus pada stroma
kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi mudah dilepaskan.
Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal
tidak banyak manfaat dan dapat menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi
1 % atau homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit
tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya
sembuh umumny adalah 72 jam. Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat
pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi
keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai
keracunan obat.

2. Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif untuk
penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali menimbulkan
reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk pengobatan penyakit herpes mata berat,
khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif
(eczema herpeticum). Study multicenter terhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan
kerato uveitis herpes simpleks dan pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan (
herpes eye disease study).
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada epitel
kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal ini penggunaan
kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat merusak. Kortikosteroid topikal
dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika
memang perlu memakai kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan, penting
sekali ditambahkan obat anti virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.

19
3. Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan pasien
yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah
penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat timbul karena trauma
bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk mencegah penolakan transplantasi
kornea. Juga sulit dibedakan penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens.
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau fungi
mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan sianokrilat dapat dipakai
secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft petak lamelar berhasil baik pada kasus
tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena
lebih kecil kemungkinan terjadi penolakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau
tarsorafi mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat padakeratitis herpes
simplek.

4. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV


Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira kira sepertiga kasus dalam 2
tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya. Setelah denga teliti
mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai
untuk mencegah demam, pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat
dihindari. Keadaan keadaan yang dapat menimbulkan strea psikis dapat dikurangi. Dan
aspirin dapat diminum sebelum menstruasi.

7. Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea. Bila
tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan gejala sisa.

b. Keratitis Virus Varisela Zoster


Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan rekuren
(zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella namun sering pada zoster
ophthalmic. Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepian kelopak. Jarang ada
keratitis (khas lesi stroma perifer dengan vaskularisasi), dan lebih jarang lagi keratitis epithelial
dengan atau tanpa pseudodendrite. Pernah dilaporkan keratitis disciformis, dengan uveitis yang
lamanya bervariasi.

20
Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster ophthalmic relatif
banyak dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya sesuai dengan status
kekebalan pasien. Komplikasi kornea pada zoster ophthalmic dapat diperkirakan timbul jika
terdapat erupsi kulit di daerah yang dipersarafi cabang-cabang Nervus Nasosiliaris.

Gambar 10. Keratitis Herpes Zoster pada cabang N Nasosiliaris

Berbeda dari keratitis HSV rekuren, yang umumnya hanya mengenai epithel, keratitis
VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi epitelnya keruh dan amorf,
kecuali kadang-kadang pada pseudodendrite linear yang sedikit mirip dendrite pada keratitis
HSV. Keluhan stroma disebabkan oleh edema dan sedikit infiltrate sel yang pada awalnya
hanya subepitel. Keadaan ini dapat diikuti penyakit stroma dalam dengan nekrosis dan
vaskularisasi. Kadang-kadang timbul keratitis disciformis dan mirip keratitis disciformis HSV.
Kehilangan sensasi kornea selalu merupakan ciri mencolok dan sering berlangsung berbulan-
bulan setelah lesi kornea tampak sudah sembuh. Uveitis yang timbul cenderung menetap
beberapa minggu sampai bulan, namun akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat
pada penyakit VZV mata.
Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk mengobati herpes
zoster ophthalmic, khususnya pada pasien yang kekebalannya terganggu. Dosis oralnya adalah
800mg, 5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya
kemerahan. Peranan antivirus topikal kurang meyakinkan. Kortikosteroid topikal mungkin
diperlukan untuk mengobati keratitis berat, uveitis, dan glaukoma sekunder. Penggunaan
kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Terapi ini mungkin diindikasikan untuk
mengurangi insidensi dan hebatnya neuralgia paska herpes. Namun demikian keadaan ini
sembuh sendiri.

21
F. Keratitis Fungi
1. Etiologi
Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea dan
berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53% kasus keratitis
ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis jamur. Beberapa
spesies yang dapat menyebabkan keratitis jamur yaitu Aspergilus fusarium, Cefalosporium,
dan Candida albicans.

2. Diagnosa
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur dalam
bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut. Agen-agen ini dapat
menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut, respon antigenik dengan formasi
cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.
Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan infiltrasi abu-
abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang tidak meradang tampak
elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi utama dan berhubungan dengan
mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat
mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi
tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi
konjungtiva dan kamera okuli anterior dapat cukup parah. Pada keratitis candida biasaya
ditandai dengan lesi berwarna putih kekuningan.
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut:
1. Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
2. Lesi satelit.
3. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa di
bawah endotel utuh.
4. Plak endotel.
5. Hypopyon, kadang-kadang rekuren.
6. Formasi cincin sekeliling ulkus.
7. Lesi kornea yang indolen.

22
Gambar 11. Keratitis Aspergilus Gambar 12. Keratitis Candida

3. Pemeriksaan Penunjang
Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan diagnosis
keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan
spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan
pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-
masing 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan
kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tapi sayang perlu
biaya yang besar. Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast
microscope untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang
dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar
ekstrak maltosa.

4. Tatalaksana
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial yang
tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat, yang utama
dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi:
1. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
2. Jamur berfilamen.
3. Ragi (yeast).
4. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.

Untuk golongan I : Topikal Amphotericin B 1,02,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml),


Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole.

Untuk golongan II : Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%, Natamycin 5% (obat


terpilih), econazole 1% (obat terpilih).

23
Untuk golongan III : Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%, Clotrimazole
1%, fluoconazol 2 % .

Untuk golongan IV : Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik.

Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberikan juga
obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk mengurangi uveitis anterior.
Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria penyembuhan antara
lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi ireguler pada tepi
ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral dan juga
daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus.
Adanya defek epitel yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil,
bahkan kadang-kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi
keratomikosis diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.

G. Keratitis Alergi
1. Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe I yang mengenai kedua mata, biasanya penderita sering
menunjukkan gejala alergi terhadap tepung sari rumput-rumputan.

2. Manifestasi Klinis
Bentuk palpebra: cobble stone (pertumbuhan papil yang besar), diliputi sekret
mukoid.
Bentuk limbus: tantras dot (penonjolan berwarna abu-abu, seperti lilin)
Gatal
Fotofobia
Sensasi benda asing
Mata berair dan blefarospasme

3. Klasifikasi
a. Keratokonjungtivitis flikten
Merupakan peradangan kornea dan konjungtiva yang merupakan reaksi imun yang
mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah sensitive terhadap antigen.

24
Gambaran karakteristiknya adalah dengan terbentuknya papul atau pustula pada
kornea atau konjungtiva.
b. Keratokonjungtivitis epidemic
Keratitis yang terbentuk akibat reaksi perangan kornea dan konjungtiva yang
disebabkan oleh reaksi alergi terhadap adenovirus tipe 8, 19, atau 37. Bersifat
bilateral. Keluhan disertai demam, gangguan saluran nafas. Pengobatan dalam
keadaan akut diberika kompres dingin, cairan air mata dan pengobatan penunjang
lainnya.
c. Tukak atau ulkus fliktenular
Flikten merupakan benjolan berdiameter 1-3 mm berwarna abu-abu pada lapisan
superfisial kornea. Epitel diatasnya mudah pecah dan membentuk ulkus. Ulkus ini
dapat sembuh atau tanpa meninggalkan sikatrik.
d. Keratitis fasikularis
Keratitis dengan pembentukan pita pembuluh darah yang menjalar dari limbus
kearah kornea. Merupakan suatu penampilan flikten yang berjalan (wander
phylcten) yang membawa jalur pembuluh darah baru sepanjang permukaan kornea.
e. Konjungtivitis vernal
Merupakan penyakit rekuren dengan peradangan tarsus dan konjungtiva bilateral.
Sering ditemukan hipertrofi papil yang kadang berbentuk cobble stone pada
kelopak atas dan konjungtiva daerah limbus.

4. Terapi
Biasanya sembuh sendiri tanpa diobati
Kompres dingin
Obat vasokonstriktor
Pembedahan kecil (eksisi).
Antihistamin umumnya tidak efektif
Kontraindikasi untuk pemasangan lensa kontak

25
H. Keratitis Sklerotikan
Merupakan kekeruhan berbentuk segitia pada kornea yang menyertai radang sklera atau
skleritis. Memberikan gejala berupa kekeruhan kornea yan terlokalisasi dan berbatas tegas
unilateral. Kadang dapat mengenai seruh limbus. Kornea terlihat putih menyerupai sklera.
Pengobatan dapat diberikan steroid dan fenil butazon akan memberikan prognosis yang baik.

I. Keratitis Sika
Merupakan peradangan konjungtiva dan kornea akibat keringnya permukaan kornea
dan konjungtiva. Penyebab keringnya permukaan konjungtiva dan kornea, yaitu:
Berkurangnya komponen lemak, seperti pada blefaritis
Berkurangnya airmata, seperti pada syndrome syrogen, setelah memakai obat diuretik,
atropin atau dijumapai pada usia tua.
Berkurangnya komponen musin, dijumpai pada keadaan avitaminosis A, penyakit-
penyakit yang menyebabkan cacatnya konjungtiva, seperti trauma kimia, Sindrom
Steven Johnson, trakoma.
Penguapan yang berlebihan seperti pada kehidupan gurun pasir, lagoftalmus, keratitis
neuroparalitika.
Adanya sikatrik pada kornea.

Gejala klinis yang sering timbul yaitu mengeluh mata terasa gatal, terasa seperti ada pasir,
fotofobia, visus menurun, sekret lengket, mata terasa kering. Dari hasil pemeriksaan
didapatkan sekret mukus dengan tanda-tanda konjungtivitis dengan xerosis konjuntiva,
sehingga konjungtiva bulbi edema, hiperemi, menebal, kering, tak mengkilat, warnanya
mengkilat. Terdapat infiltrat-infiltrat kecil, letak epiteleal, tes fluoresen (+). Terdapat juga
benang-benang (filamen) yang sebenarnya sekret yang menempel, karena itu, disebut juga
keratitis filamentosa.

J. Keratitits Neuroparalitik
Merupakan keratitis akibat kelainan saraf trigeminus, sehingga terdapat kekeruhan
kornea yang tidak sensitive disertai kekeringan kornea. Gangguan persarafan ke lima dapat
terjadi akibat herpes zoster, tumor fosa posterior cranium, peradangan atau keadaan ain
sehingga kornea menjadi anestesis.
Pada keadaan anestesis dan tanpa persarafan kornea kehilangan daya pertahanan
terhadap iritasi dari luar, diduga terjadi juga kemunduran metabolism kornea yang

26
memudahkan terjadinya peradangan kornea. Kornea mudah terjadi infeksi yang akan
mengakibatkan terbentuknya tukak kornea.
Pasien akan mengeluh tajam pengelihatannya menurun, silau dan tidak nyeri. Mata
jarang mengedip karena reflex mengedip menghilang, injeksi siliar, permukaan kornea keru,
infiltrate dan vesikel pada kornea. Dapat terbentuk deskuamasi epitel seluruh permukaan
kornea yang dimulai pada bagian tengah dan meninggalkan sedikit lapisan epitel kornea yang
sehat di dekat limbus. Pengobatan diberikan air mata buatan dan salep untuk menjaga kornea
agar tetap basah.

K. Keratitis Numularis
Diduga dari virus. Pada klinis, tanda-tanda radang tidak jelas, terdapat infiltrat bulat-
bulat subepitelial di kornea, dimana tengahnya lebih jernih, disebut halo (diduga terjadi karena
resorpsi dari infiltrat yang dimulai di tengah). Tes fluoresen (-). Keratitis ini kalau sembuh
meninggalkan sikatrik yang ringan.

L. Keratitis Lagoftalmos
Keratitis yang terjadi akibat adanya lagoftalmuos dimana kelopak tidak dapat menutup
dengan sempurna sehingga terdapat kekeringan kornea. Lagoftalmos dapat disebabkan tarikan
jarigan parut pada tepi kelopak, eksoftalmus, paralise saraf fasial, atoni orbicularis oculi dan
proptosis karena tiroid. Pengobatan dengan mengatasi kausa dan air mata buatan. Untuk
mencegah infeksi sekunder diberi salep mata.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2010. h. 1-13
2. Paul dan John. Anatomi dan Embriologi Mata. Dalam Vaughhan dan Ashabury Oftalmology
Umum. Edisi 17. Jakarta : EGC ; 2009. h. 1-27
3. Ilyas S. Mata Merah dengan Penglihatan Turun Mendadak. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit
Mata. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2010. H 147-78
4. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas. 2nd edition.
Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 115-60
5. Paul dan John. Kornea. Dalam Vaughhan dan Ashabury Oftalmology Umum. Edisi 17.
Jakarta : EGC ; 2009. h. 125-48
6. Pavan-Langston D. Cornea and External Desease. In: Pavan-Langston D. Manual of Ocular
Diagnosis and Theraphy. 5th edition. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins; 2002.
p. 67-129
7. Schlote dkk. Pocket Atlas of Ophtalmology. Stuttgart ; thieme ; 2006. P. 96-101

28

Anda mungkin juga menyukai