Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadits Tentang Transaksi Gadai


Hadits yang menerangkan tentang Transaksi Gadai diriwayatkan oleh Imam
Muslim:

:

- :
) (
Artinya: Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin ibrahim al-Hanzhali
dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus
bin Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari Aisyah berkata: bahwasannya
Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menggadaikan
baju besinya. (HR. Muslim)1

Selain itu ada juga hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam al-
Bukhari yang berbunyi:


- :
) (
Artinya: Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Muqatil,
mengabarkan kepada kami Abdullah bin Mubarak, mengabarkan kepada kami
Zakariyya dari Syabi dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad SAW,
bahwasannya beliau bersabda: Kendaraan dapat digunakan dan hewan ternak
dapat pula diambil manfaatnya apabila digadaikan. Penggadai wajib memberikan
nafkah dan penerima gadai boleh mendapatkan manfaatnya. (HR. Al-Bukharui)2

1
Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj al-Kusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1993), juz 2, hlm. 51.
2
Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughiran bin Bardizbah al-
Bukhari al-Jufiy, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), juz 3, hlm. 116.

1|Hadits Ahkam Ekonomi


Dari Anas bin Malik ra. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi:

:
(
-
)
Artinya: Telah meriwayatkan kepada kami Nashr bin Ali al-Aljahdhami,
ayahku telah meriwayatkan kepadaku, meriwayatkan kepada kami Hisyam bin
Qatadah dari Anas berkata: Sungguh Rasulullah SAW menggadaikan baju besinya
kepada seorang Yahudi di Madinah dan menukarnya dengan gandum untuk
keluarganya. (HR. Ibnu Majah)3

B. Pengertian Gadai
Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah
suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan hutang.
Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam yang
berarti tetap dan kekal. Pengertian tetap dan kekal yang dimaksud merupakan
makna yang tercakup dalam kata al-habsu yang berarti menahan. Kata ini
merupakan makna yang bersifat materiil. Karena itu secara bahasa kata ar-rahn
berarti menjadikan suatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat uang.4
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti yang diungkapkan di atas adalah
tetap, kekal, dan jaminan. Sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandra
sejumlah harta yang diserahkan sebagi jaminan secara hak, dan dapat diambil
kembali sejumlah harta dimaksud setelah ditebus. Dalam Pasal 1150 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang
yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu barang bergerak
tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai
utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Karena itu, makna
gadai (rahn) dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut sebagi barang
jaminan, agunan, dan rangguhan.5

3
Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwany, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1995), juz 2, hlm. 18.
4
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syari'ah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm. 1.
5
Ibid., hlm. 1-2.

2|Hadits Ahkam Ekonomi


Adapun menurut pengertian syara adalah : menjadikan barang yang
mempunyai nilai harta menurut pandangan syara sebagai jaminan hutang, hingga
orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil
sebagian (manfaat) barang itu.6
Menurut Muhammad Syafii Antonio, Gadai Syariah (Rahn) adalah menahan
salah satu hara mlik dari nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas
utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Dan barang jaminan tersebut
memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima
gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat megambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya.7

C. Dasar Hukum Transaksi Gadai


Adapun dasar hukum disyariatkannya akad gadai dalam Islam didasari dari Al-
Quran surah Al-Baqarah : 283


Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
Dasar hukum gadai selain dari Al-Quran adalah Hadits Nabi Muhammad.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi:

:

- :
) (
Artinya: Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin ibrahim al-Hanzhali
dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus
bin Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari Aisyah berkata: bahwasannya
Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menggadaikan
baju besinya. (HR. Muslim)8

6
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Almaarif, 1987), hlm. 150.
7
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari'ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani Press,
2001), hlm. 128.
8
Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj al-Kusyairy an-Naisaburi, Loc. Cit.

3|Hadits Ahkam Ekonomi


Jumhur ulama juga menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal
dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad saw, yang menggadaikan baju
besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang yahudi. Para ulama juga
mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad saw. Tersebut, ketika beliau
beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada
seorang yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad SAW
yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti
atau harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada mereka.9
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) juga
mengemukakan kebolehan mengenai gadai, di antaranya:
1. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 25/DSN-
MUI/III/2002, tentang Rahn;
2. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 26/DSN-
MUI/III/2002, tentang Rahn Emas;
3. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 09/DSN-
MUI/IV/2000, tentang Pembiayaan Ijarah;
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 10/DSN-
MUI/IV/2000, tentang Wakalah;
5. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 43/DSN-
MUI/VIII/2004, tentang Ganti Rugi.

D. Rukun dan Syarat Transaksi Gadai


Pada umumnya aspek hukum keperdataan Islam (fiqih muamalah) dalam hal
transaksi baik dalam bentuk jual beli, sewa menyewa, gadai maupun yang
semacamnya mempersyaratkan rukun dan syarat sah termasuk dalam transaksi
gadai. Demikian juga hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang melakukan
transaksi gadai.
1. Rukun Gadai
Dalam fiqih empat mazhab (fiqh al-madzahib al-arbaah) mengatakan
rukun gadai sebagai berikut:
a. Aqid (Orang yang Berakad)

9
Zainuddin Ali, Op. Cit., hlm. 7-8.

4|Hadits Ahkam Ekonomi


Orang yang melakukan akad yang meliputi 2 arah, yaitu rahin (orang
yang menggadaikan barangnya) dan murtahin (orang yang berpiutang dan
menerima barang gadai), atau penerima gadai. Hal dimaksud, didasari
oleh sighot, yaitu ucapan berupa ijab qobul (serah terima antara pegadai
dengan penerima gadai).
b. Maqud Alaih (Barang yang Diakadkan)
Maqud alaih meliputi 2 hal yaitu marhun (barang yang digadaikan)
dan marhun bihi (dain), atau utang yang karenanya diadakan akad rahn.10
2. Syarat-syarat Gadai
a. Syarat aqid (rahin dan murtahin)
Pihak yang berakad mestilah memenuhi syarat agar akad rahn yang
dilakukan berlaku sah dan mengikat, adapun syaratnya yaitu ahliyah yakni
memiliki kelayakan, kepatutan dan kompetensi untuk melakukan akad.
Para pihak harus berakal dan mumayyiz. Namun tidak syaratkan baligh,
selama ia mumayyiz. Jadi anak yang belum baligh sah melakukan akad
rahn, namun statusnya digantungkan kepada persetujuan dan pengesahan
pihak wali. Pendapat ini menurut ulama Hanafiyyah. Adapun menurut
Jumhur ulama akad rahn tidak sah dilakukan oleh orang yang berada
dalam keadaan terpaksa, anak yang belum baligh, orang gila, dan orang
bangkrut. Akad rahn juga tdak sah dilakukan oleh pihak wali, kecuali ada
alasan kondisi darurat demi kebaikan si anak yang berada dalam
perwalian.11
b. Syarat marhun bih (Utang)
Marhun bih adalah tanggungan utang pihak rahin kepada pihak
marhun. Syarat-syaratnya yaitu:
1) Utang adalah kewajiban rahin untuk membayar kepada murtahin;
2) Merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak bermanfaat
maka tidak sah;
3) Barang tersebut dapat dihitung jumlahnya (jelas dan pasti).12
c. Syarat Marhun

10
Ibid., hlm. 20.
11
Ibid., hlm. 21-22.
12
Ibid., hlm. 22.

5|Hadits Ahkam Ekonomi


Marhun adalah harta yang ditahan oleh pihak murtahin sebagai
barang jaminan utang. Syarat-syaratnya yaitu:
1) Agunan itu harus bernilai dan dapat dimanfaatkan menurut ketentuan
syariat Islam;
2) Agunan itu harus dapat dijual dan nilainya seimbang dengan besarnya
utang;
3) Agunan itu harus jelas dan tertentu;
4) Agunan itu milik sah rahin;
5) Agunan itu tidak terikat dengan hak orang lain;
6) Agunan itu harus harta yang utuh, tidak berada dibeberapa tempat.
7) Agunan itu dapat diserahterimakan kepada pihak lain, baik materinya
maupun manfaatnya.13

E. Hak dan Kewajiban Penerima dan Pemberi Gadai


1. Hak dan Kewajiban Penerima Gadai
Hak penerima gadai antara lain adalah:
a. Penerima gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat
memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan harta
benda gadai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun
bih) dan sisanya dikembalikan pada rahin.
b. Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah
dikeluarkan untuk menjaga keselamatan harta benda gadai (marhun).
c. Selama pinjaman belum dilunasi maka pihak pemegang gadai berhak
menahan harta benda gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai
(nasabah/rahin).
Berdasarkan hak penerima gadai dimaksud, muncul kewajiban yang harus
dilaksanakannya, yaitu sebagai berikut:
a. Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya harta benda
gadai bila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.
b. Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan
pribadainya.

13
Ibid., hlm. 22-23.

6|Hadits Ahkam Ekonomi


c. Penerima gadai berkewajiban memberitahukan kepada pemberi gadai
sebelum diadakan pelelangan harta benda gadai.14
2. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai
Hak pemberi gadai (rahin) antara lain:
a. Pemberi gadai (rahin) berhak mendapat pengambilan harta benda yang
digadaikan sesudah ia melunasi pinjaman utangnya.
b. Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi atau kerusakan dan/atau
hilangnya harta benda yang digadaikan, bila hal itu disebabkan oleh
kelalaian penerima gadai.
c. Pemberi gadai berhak menerima sisa hasil penjualan harta benda gadai
sesudah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
d. Pemberi gadai berhak meminta kembali harta benda gadai bila penerima
gadai diketahui menyalahgunakan harta benda gadaianya.
Berdasarkan hak-hak pemberi gadai diatas maka muncul kewajiban yang harus
dipenuhinya, yaitu:
a. Pemberi gadai berkewajiban melunasi pinjaman yang telah diterimanya
dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya-biaya yang
ditentukan oleh penerima gadai.
b. Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan harta benda gadaiannya,
bila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat
melunasi uang pinjamannya.15

F. Manfaat dan Risiko Gadai (ar-Rahn)


Manfaat yang dapat diambil dari pelaksaan gadai adalah sebagai berikut:
1. Menjaga kemungkinan rahin untuk lalai atau bermain-main dengan
hutangnya.
2. Memberikan kemanan bagi murtahin.
3. Membantu rahin yang kesulitan dana atau lagi membutuhkan dana.
Adapun risiko yang mungkin terdapat pada rahn adalah:
1. Risiko tak terbayarnya utang rahin (wanprestasi).
2. Risiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.16

14
Ibid., hlm. 40.
15
Ibid., hlm. 41.
16
Muhammad Syafii Antonio, Op. Cit., hlm. 130-131.

7|Hadits Ahkam Ekonomi


G. Berakhirnya Transaksi Gadai
Akad rahn selesai dan berakhir karena beberapa hal, diantaranya :
1. Diserahkannya marhun kepada pemiliknya. Menurut jumhur selain
Syafiiyyah, jika marhun diserahkan kepada pemiliknya maka jaminan
penguat utang akan hilang sehingga akad rahn menjadi batal.
2. Terlunasinya seluruh marhun bih.
3. Penjualan marhun secara paksa yang dilakukan oleh rahin atas perintah hakim,
atau yang dilakukn oleh hakim ketika rahin menolak menjual marhun. Apabila
marhun dijual dan utang terlunasi dengan harga penjualan itu,maka akad rahn
telah selesai.
4. Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan dari
pihak rahin.
5. Binasanya marhun.
6. Marhun ditasharufkan oleh salah satu pihak seperti meminjamkannya,
menjualnya atau menyedekahkannya.
7. Masa yang telah diperjanjikan untuk pembayaran utang telah terlewati.

8|Hadits Ahkam Ekonomi

Anda mungkin juga menyukai