Anda di halaman 1dari 15

SWAMEDIKASI

DEMAM, MUAL DAN MUNTAH

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 3
Atmita Dwi W (1720343730)

Ayu Subhaga U C (1720343731)

Ayu Yusniah (1720343732)

Catur Teguh A I (1720343733)

Chanary T W (1720343734)

Devi Dwi P (1720343735)

PROGRAM PROFESI APOTEKER ANGKATAN XXXIV


UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2017
DEMAM, MUAL DAN MUNTAH

I. DEFINISI
A. Demam
Suhu tubuh adalah cerminan dari keseimbangan antara produksi dan
pelepasan panas, keseimbangan ini diatur oleh pengatur suhu (termostat) yang
terdapat di otak (hipotalamus). Pada orang normal termostat diatur pada suhu
36,50 C-37,20C. Demam pada umumnya diartikan suhu tubuh di atas 37,20 C
(Nelwan, 2006). Demam didefinisikan sebagai suatu bentuk sistem pertahanan
nonspesifik yang memnyebabkan perubahan mekanisme pengaturan suhu tubuh
yang mengakibatkan kenaikan suhu tubuh diatas variasi sirkadian yang normal
sebagai akibat dari perubahan pusat termoregulasi yang terletak dalam
hiptalamus anterior. Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang
berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk
mengatasi berbagai rangsang, misalnya terhadap toksin bakteri, peradangan, dan
ransangan pirogenik lain. Bila produksi sitokin pirogen secara sistemik masih
dalam batas yang dapat ditoleransi maka efeknya akan menguntungkan tubuh
secara keseluruhan, tetapi bila telah melampaui batas kritis tertentu maka sitokin ini
membahayakan tubuh. Batas kritis sitokin pirogen sistemik tersebut sejauh ini
belum diketahui. (Sherwood, 2001).

B. Mual dan Muntah


Mual adalah kecenderungan untuk muntah atau sebagai perasaan di
tenggorokan atau daerah epigastrium yang memperingatkan seorang individu
bahwa muntah akan segera terjadi. Mual sering disertai dengan peningkatan
aktivitas sistem saraf parasimpatis termasuk diaphoresis, air liur, bradikardia, pucat
dan penurunan tingkat pernapasan. Muntah didefinisikan sebagai ejeksi atau
pengeluaran isi lambung melalui mulut, seringkali membutuhkan dorongan yang
kuat.
II. ETIOLOGI
A. Demam
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi.
Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun
parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak
antara lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis,
bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis
media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain (Graneto, 2010). Infeksi virus yang pada
umumnya menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza, demam
berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1 (Davis,
2011). Infeksi jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain
coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain (Davis, 2011). Infeksi parasit yang
pada umumnya menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan
helmintiasis (Jenson & Baltimore, 2007).
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain
faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan
tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus,
vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma non-hodgkin, leukemia,
dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin)
(Kaneshiro & Zieve, 2010). Selain itu anak-anak juga dapat mengalami demam
sebagai akibat efek samping dari pemberian imunisasi selama 1-10 hari (Graneto,
2010). Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam
adalah gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus,
koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan, 2009).

B. Mual dan Muntah


Gangguan GI track/Gastritis akut
Ada agen yang menyerang yang mengiritasi lapisan dari lambung antara lain :
a. Infeksi ( bakteri keluarga Helicobacter (seperti H.Pylori / virus )
b. Gastroentretis
c. Keracunan makanan
d. Iritan lambung : alkohol, merokok, dan obat NSAID (aspirin,
ibuprofen) mengiritasi lapisan lambung.
e. Peptic ulcer: mencakup iritasi lapisan lambung ringan sampai ke pembentukan
kerusakan pada lapisan pelindung lambung yang disebut ulcer.
f. Penyakit refluks gastroesoph (PRGE atau GERD atau reflux esophagitis):
dihubungkan dengan iritasi dari lapisan esophagus.
Penyebab dari pusat (sinyal-sinyal dari otak)
a. Sakit Kepala: terutama migren telinga dalam labyrinthitis,benign postural vertigo
b. Luka Kepala :Segala penyakit atau luka yang meningkatkan tekanan didalam
intracranial dapat menyebabkan muntah. Dapat disebabkan oleh pembengkakan
otak (gegar otak atau trauma kepala), infeksi (meningitis atau encephalitis),
tumor, atau keseimbangan abnormal dari elektrolit dan air dalam aliran darah.
c. Noxious stimulus: Bau-bau atau suara-suara
d. kelelahan karena panas, terik matahari yang ekstrem, atau dehidrasi.
Terkait dengan penyakit lain yang jauh dari lambung obat-obat dan perawatan
medis
a. Diabetes: karena gastroparesis,kondisi dimana lambung gagal mengosongkan diri
secara tepat dan kemungkinan disebabkan generalized neuropathy (kegagalan dari
syaraf dalam tubuh untuk mengirim sinyal yang tepat ke dan dari otak) komplikasi
b. Presentasi yang tidak khas dari angina : penyakit menyebabkan mual dan muntah,
meskipun tidak ada keterlibatan langsung dari lambung atau saluran terutama jika
myocardial infarction mempengaruhi jantung bagian bawah.
c. gangguan makan: Pasien-pasien dengan bulimia akan mempunyai muntah yang
diinduksi sendiri, membersihkan sebagai bagian dari penyakit jiwa (psikiatris)
mereka
d. Terapi radiasi: Mual dan muntah dihubungkan dengan terapi radiasi.
e. Efek sampingan obat: termasuk iritasi lambung dan/atau mual dan muntah.
f. Obat-obat anti kanker adalah iritan-iritan yang terkenal karena efek
buruknya(contohnya, perawatan kemoterapi).

Obat-obat nyeri narkotik, obat-obat anti-peradangan (steroid-steroid seperti


prednisone dan obat-obat nonsteroid seperti ibuprofen) antibiotik-antibiotik, mual
dan muntah yang terdaftar sebagai efek-efek sampingan yang umum.
Kehamilan
Muntah pada kehamilan terutama pada tiga semester pertama dan disebabkan oleh
perubahan-perubahan tingkat hormon dalam aliran darah
III. PATOFISIOLOGI
A. Demam
Demam terjadi oleh karena pengeluaran zat pirogen dalam tubuh. Zat
pirogen sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu eksogen dan endogen. Pirogen
eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh seperti mikroorganisme dan
toksin. Sedangkan pirogen endogen merupakan pirogen yang berasal dari dalam
tubuh meliputi interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan tumor necrosing
factor-alfa (TNF-A). Sumber utama dari zat pirogen endogen adalah monosit,
limfosit dan neutrofil (Guyton, 2007). Seluruh substansi di atas menyebabkan sel-
sel fagosit mononuclear (monosit, makrofag jaringan atau sel kupfeer) membuat
sitokin yang bekerja sebagai pirogen endogen, suatu protein kecil yang mirip
interleukin, yang merupakan suatu mediator proses imun antar sel yang penting.
Sitokin-sitokin tersebut dihasilkan secara sistemik ataupun local dan berhasil
memasuki sirkulasi. Interleukin-1, interleukin-6, tumor nekrosis factor dan
interferon , interferon serta interferon merupakan sitokin yang berperan
terhadap proses terjadinya demam. Sitokin-sitokin tersebut juga diproduksi oleh
sel-sel di Susunan Saraf Pusat (SSP) dan kemudian bekerja pada daerah preoptik
hipotalamus anterior. Sitokin akan memicu pelepasan asam arakidonat dari
membrane fosfolipid dengan bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakidonat
selanjutnya diubah menjadi prostaglandin karena peran dari enzim
siklooksigenase (COX, atau disebut juga PGH sintase) dan menyebabkan demam
pada tingkat pusat termoregulasi di hipotalamus (Dinarello dan Gelfrand, 2001;
Fox, 2002; Wilmana dan Gan, 2007; Ganong. 2008; Juliana, 2008; Sherwood,
2010).
Enzim sikloosigenase terdapat dalam dua bentuk (isoform), yaitu
siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Kedua isoform
berbeda distribusinya pada jaringan dan juga memiliki fungsi regulasi yang
berbeda. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang mengkatalis pembentukan
prostanoid regulatoris pada berbagai jaringan, terutama pada selaput lender traktus
gastrointestinal, ginjal, platelet dan epitel pembuluh darah. Sedangkan COX-
2 tidak konstitutif tetapi dapat diinduksi, antara lain bila ada stimuli radang,
mitogenesis atau onkogenesis. Setelah stimuli tersebut lalu terbentuk prostanoid
yang merupakan mediator nyeri dan radang. Penemuan ini mengarah kepada,
bahwa COX-1 mengkatalis pembentukan prostaglandin yang bertanggung jawab
menjalankan fungsi-fungsi regulasi fisiologis, sedangkan COX-2 mengkatalis
pembentukan prostaglandin yang menyebabkan radang (Dachlan et al., 2001;
Davey, 2005).
Prostaglandin E2 (PGE2) adalah salah satu jenis prostaglandin yang
menyebabkan demam. Hipotalamus anterior mengandung banyak neuron
termosensitif. Area ini juga kaya dengan serotonin dan norepineprin yang
berperan sebagai perantara terjadinya demam, pirogen endogen meningkatkan
konsentrasi mediator tersebut. Selanjutnya kedua monoamina ini akan
meningkatkan adenosine monofosfat siklik (cAMP) dan prostaglandin di susunan
saraf pusat sehingga suhu thermostat meningkat dan tubuh menjadi panas untuk
menyesuaikan dengan suhu thermostat (Dinarello dan Gelfrand, 2001).
B. Mual dan Muntah
Tiga fase emesis berturutan yaitu mual, retching, dan muntah. Mual, keinginan
segera untuk muntah, dihubungkan dengan stasis lambung. Retching adalah
pergerakan otot abdomen dan torak sebelum muntah. Fase terakhir adalah muntah,
pengeluaran paksa kandungan lambung karena retroperistaltik saluran cerna.
Muntah dipicu oleh impul aferen ke pusat muntah, suatu inti sel di medulla. Impul
diterima dari pusat sensorik, seperti chemoreceptor trigger zone. CTZ, yang terletak
di area postrema dari ventrikel keempat otak, merupakan organ kemosensor utama
untuk emesis dan biasanya dihubungkan dengan muntah yang disebabkan bahan
kimia. Sejumlah reseptor neurotransmitter terletak di pusat muntah, CTZ, dan
saluran cerna. Contohnya termasuk kolinergis dan histamine, dopaminergik, opiate,
serotonin, dan benzodiazepine. Diteorikan bahwa agen kemoterapi, metabolitnya,
atau senyawa emesis lainnya memicu proses emesis melalui stimulasi pada satu
atau lebih reseptor ini. Anticipatory nausea and vomiting bisa disebabkan oleh
stimulus spesifik yang dihubungkan dengan pemberian agen berbahaya, seringkali
sitotoksik, atau oleh kecemasan (ansietas) yang dihubungkan dengan perawatan
tersebut.
IV. Terapi Farmakologi
A. Demam
Penatalaksanaan demam pada umumnya bertujuan untuk menurunkan suhu
tubuh yang terlalu tinggi ke dalam batas suhu tubuh normal dan bukan untuk
menghilangkan demam. Penatalaksanaannya terdiri dari dua prinsip yaitu
pemberian terapi farmakologi dan non farmakologi. Pengobatan farmakologi
pada intinya yaitu pemberian obat antipiretik, obat anti inflamasi, dan analgesik
yang terdiri dari golongan berbeda serta memiliki susunan kimia. Tujuan
pemberian obat tersebut yaitu untuk menurunkan set point hipotalamus melalui
pencegahan pembentukan prostaglandin dengan cara menghambat enzim
cyclooxygenase.
Antipiretik yang banyak digunakan dan dianjurkan adalah parasetamol,
ibuprofen, dan aspirin (asetosal) (Wilmana dan Gan, 2007). Oleh karena itu
antipiretik yang akan dibahas lebih lanjut ketiga jenis obat tersebut.
a. Parasetamol (Asetaminofen)
Parasetamol (asetaminofen) merupakan metabolit fenasetin dengan efek
antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Efek anti inflamasi
parasetamol hampir tidak ada. Asetaminofen di Indonesia lebih dikenal dengan
nama parasetamol, dan tersedia sebagai obat bebas, misalnya Panadol, Bodrex,
INZA, dan Termorex (Wilmana dan Gan, 2007).
Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan
atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol menurunkan suhu tubuh
dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral. Parasetamol
merupakan penghambat prostaglandin yang lemah. Efek iritasi, erosi, dan
perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan
pernafasan dan keseimbangan asam basa (Wilwana dan Gan, 2007).
Parasetamol diberikan secara oral. Penyerapan dihubungkan dengan tingkat
pengosongan perut, konsentrasi darah puncak biasanya tercapai dalam 30-60
menit. Parasetamol sedikit terikat pada protein plasma dan sebagian dimetabolisme
oleh enzim mikrosomal hati dan diubah menjadi sulfat dan glikoronida
asetaminofen, yang secara farmakologis tidak aktif. Kurang dari 5% diekskresikan
dalam keadaan tidak berubah. Metabolit minor tetapi sangat aktif (N-acetyl-p-
benzoquinone) adalah penting dalam dosis besar karena efek toksiknya terhadap
hati dan ginjal. Waktu paruh asetaminofen adalah 2-3 jam dan relatif tidak
terpengaruh oleh fungsi ginjal. Dengan kuantitas toksik atau penyakit hati, waktu
paruhnya dapat meningkat dua kali lipat atau lebih (Katzung, 2002).
Reaksi alergi terhadap parasetamol jarang terjadi. Manifestasinya berupa
eritema atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada
mukosa. Methemoglobinemia dan sulfhemoglobinemia jarang menimbulkan
masalah pada dosis terapi karena hanya kira-kira 1-3 % Hb yang diubah menjadi
met-Hb. Penggunaan sebagai analgesik dalam dosis besar secara menahun
terutama dalam kombinasi berpotensi menyebabkan nefropati diabetik (Wilwana
dan Gan, 2007).
Akibat dosis toksik yang serius adalah nekrosis hati. Nekrosis tubuli renalis
serta koma hipoglikemik dapat juga terjadi. Hepatotoksisitas dapat terjadi pada
pemberian dosis tunggal 10-15 gram (200-250mg/kgBB) parasetamol. Anoreksia,
mual, dan muntah serta sakit perut terjadi dalam 24 jam pertama dan dapat
berlangsung selama seminggu atau lebih. Gangguan hepar dapat terjadi pada hari
kedua, dengan gejala peningkatan aktivitas serum transaminase, laktat
dehidrogenase, kadar bilirubin serum serta pemanjangan masa protrombin.
Kerusakan hati dapat mengakibatkan ensefalopati, koma, dan kematian. Kerusakan
hati yang tidak berat dapat pulih dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan
(Katzung, 2002).
b. Ibuprofen
Ibuprofen adalah turunan sederhana dari asam fenilpropionat. Obat ini
bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek
analgesiknya sama seperti aspirin. Efek antiinflamasinya terlihat dengan dosis
1200-2400 mg sehari (Katzung, 2002).
Absorpsi ibuprofen dengan cepat melalui lambung dan kadar maksimum
dalam plasma dicapai setelah 1-2 jam. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam.
99% ibuprofen terikat dalam protein plasma. Ibuprofen dimetabolisme secara
ekstensif via CYP2C8 (cytochrome P450, family 2, subfamily C, polypeptide 8)
dan CYP2C9 (cytochrome P450, family 2, subfamily C, polypeptide 9) di dalam
hati dan sedikit diekskresikan dalam keadaan tak berubah (Katzung, 2002). Kira-
kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan diekskresi melalui urin sebagai
metabolit/konjugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan
karboksilasi (Wilmana dan Gan, 2007).
Ibuprofen merupakan turunan asam propionat yang berkhasiat sebagai
antiinflamasi, analgetik, dan antipiretik. Efek antiinflamasi dan analgetiknya
melalui mekanisme pengurangan sintesis prostaglandin. Efek ibuprofen terhadap
saluran cerna lebih ringan dibandingkan aspirin, indometasin atau naproksen. Efek
lainnya yang jarang seperti eritema kulit, sakit kepala, trombositopenia, dan
ambliopia toksik yang reversibel. Penggunaan ibuprofen bersama-sama dengan
salah satu obat seperti hidralazin, kaptopril, atau beta-bloker dapat mengurangi
khasiat dari obat-obat tersebut. Sedangkan penggunaan bersama dengan obat
furosemid atau tiazid dapat meningkatkan efek diuresis dari kedua obat tersebut
(Wilmana dan Gan, 2007).
Dosis sebagai analgesik 4 kali 400 mg sehari tetapi sebaiknya dosis optimal
pada tiap orang ditentukan secara individual. Ibuprofen tidak dianjurkan diminum
oleh wanita hamil dan menyusui. Dengan alasan bahwa ibuprofen relatif lebih lama
dikenal dan tidak menimbulkan efek samping yang serius pada dosis analgesik,
maka ibuprofen dijual sebagai obat generik bebas dibeberapa negara antara lain
Amerika Serikat dan Inggris. Ibuprofen tersedia di toko obat dalam dosis lebih
rendah dengan berbagai merek, salah satunya ialah Proris (Wilmana dan Gan,
2007).
c. Aspirin
Aspirin atau asam asetilsalisilat adalah suatu jenis obat dari keluarga
salisilat yang sering digunakan sebagai analgesik (terhadap rasa sakit atau nyeri),
antipiretik (terhadap demam), dan antiinflamasi. Aspirin juga memiliki efek
antikoagulan dan digunakan dalam dosis rendah dalam tempo lama untuk
mencegah serangan jantung. Beberapa contoh aspirin yang beredar di Indonesia
ialah Bodrexin dan Inzana (Wilmana dan Gan, 2007).
Efek-efek antipiretik dari aspirin adalah menurunkan suhu yang meningkat,
hal ini diperantarai oleh hambatan kedua COX (cyclooxygenase) dalam sistem
saraf pusat dan hambatan IL-1 (yang dirilis dari makrofag selama proses inflamasi).
Turunnya suhu, dikaitkan dengan meningkatnya panas yang hilang karena
vasodilatasi dari pembuluh darah permukaan atau superfisial dan disertai keluarnya
keringat yang banyak (Katzung, 2002).
Aspirin merupakan obat yang efektif untuk mengurangi demam, namun
tidak direkomendasikan pada anak. Aspirin, karena efek sampingnya merangsang
lambung dan dapat mengakibatkan perdarahan usus maka tidak dianjurkan untuk
demam ringan (Soedjatmiko, 2005). Efek samping seperti rasa tidak enak di perut,
mual, dan perdarahan saluran cerna biasanya dapat dihindarkan bila dosis per hari
lebih dari 325 mg. Penggunaan bersama antasid atau antagonis H2 dapat
mengurangi efek tersebut (Wilmana dan Gan, 2007).
Aspirin juga dapat menghambat aktivitas trombosit (berfungsi dalam
pembekuan darah) dan dapat memicu risiko perdarahan sehingga tidak dianjurkan
untuk menurunkan suhu tubuh pada demam berdarah dengue (Wilmana, 2007).
Pemberian aspirin pada anak dengan infeksi virus terbukti meningkatkan risiko
Sindroma Reye (Katzung, 2002)

B. Mual dan Muntah


a. Antasida
Golongan antasida yang dapat digunakan pada swamedikasi terutama
yang mengandung magnesium hidroksida, aluminium hidroksida, dan atau
kalsium karbonat, dapat meringankan dari mual atau muntah sederhana,
terutama melalui netralisasi asam lambung. Regimen dosis antasida yang umum
untuk menghilangkan mual dan muntah 15 sampai 30 mL dosis sebagai dosis
tunggal atau kombinasi.

b. Antagonis reseptor H2
Antagonis reseptor Histamin-2 (Simetidin, Famotidin, Nizatidin, Dan
Ranitidin) dapat digunakan dalam dosis rendah untuk mengatasi mual dan
muntah yang disertai dengan rasa terbakar pada ulu hati atau refluks
gastroesophageal.

c. Antihistamin-Antikolinergik
Obat antiemetik dari kategori antihistaminic-antikolinergik dapat
digunakan dalam pengobatan mual dan muntah sederhana, terutama yang
berhubungan dengan mabuk perjalanan. Efek samping yang dapat terjadi pada
penggunaan antihistaminic-antikolinergik terutama meliputi kantuk atau
kebingungan, penglihatan kabur, mulut kering, retensi urin, dan kemungkinan
takikardia, terutama pada pasien lanjut usia.
V. Cara Pencegahan
A. Demam
Demam bisa dicegah dengan menerapkan pola hidup bersih dalam keseharian.
Hal ini dilakukan untuk mengurangi pajanan terhadap penyakit menular yang seringkali
menyebabkan demam. Biasakan untuk selalu mencuci tangan jika merasa terpapar
dengan benda atau lingkungan yang tidak steril. Menggunakan tisu basah atau pun
cairan pembersih tangan ketika sedang bepergian. Jauhkan tangan dari hidung, mulut,
dan mata. Ketiga bagian inilah yang menjadi pintu utama bagi bakteri maupun virus
untuk memasuki tubuh manusia. Usahakan untuk menutup mulut saat batuk atau hidung
saat bersin. Hindari juga berbagi penggunaan gelas, botol air minum, dan peralatan
makan dengan orang lain.
B. Mual dan Muntah
Ada beberapa cara untuk mencoba dan mencegah mual dari mengembangkan:
Makan makanan kecil sepanjang hari bukan tiga kali makan besar.
Makan perlahan-lahan.
Hindari makanan yang sulit dicerna.
Mengkonsumsi makanan yang dingin atau suhu kamar jika Anda mual dengan
bau makanan panas atau hangat.
Istirahat setelah makan dengan kepala ditinggikan sekitar 12 inci di atas kaki
Anda.
Minumlah antara makanan daripada saat makan.
Cobalah untuk makan ketika Anda merasa kurang mual.

VI. Terapi Non Farmakologi


A. Demam
Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan
demam:
1. Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan
beristirahat yang cukup.
2. Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat
menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan. Memakai
satu lapis pakaian dan satu lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman
kepada penderita.
3. Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres hangat efektif
terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin karena akan
menyebabkan keadaan menggigil dan meningkatkan kembali suhu inti
(Kaneshiro & Zieve, 2010).
B. Mual dan Muntah
Pasien dengan keluhan ringan, mungkin berkaitan dengan konsumsi makanan
dan minuman dianjurkan untuk menghindari masuknya makanan.
Intervensi non farmakologi diklasifikasikan sebagai intervensi perilaku
termasuk relaksasi, biofeedback, self-hypnosis, dan distraksi kognitif.
Muntah psikogenik kemungkinan dapat diatasi dengan intervensi psikologik.

VII. Kasus Demam, Mual Dan Muntah


1. Seorang ibu hamil dengan usia kandungan 3 bulan datang ke apotek ingin
membeli obat. Dia mengeluhkan merasa demam, dan merasa mual hingga
mengalami muntah pada pagi hari. Keluhan sudah dirasakan sejak 3 hari yang
lalu. Setiap makan terasa ingin mual, puncaknya muntah pada pagi hari sebelum
ke apotek. Apakah yang direkomendasikan untuk terapi pada ibu hamil
tersebut?
Jawab:
- Untuk ibu hamil terutama trimester pertama, mual dan muntah yang
dirasakan wajar atau lebih sering disebut morning sickness. Sehingga
merekomendasikan menggunakan minyak aromatherapy/ minyak kayu
putih, dan meminum wedang jahe. Atau bisa merekomendasikan demam
diobati dengan paracetamol serta penggunaan minyak aromatherapy/
minyak kayu putih.
- Terapi non farmakologi:
Menyarankan pada ibu hamil untuk menghindari stress, menghindari
pemicu terjadinya mual, istirahat dan tidur dengan cukup, banyak minum
air putih untuk mencegah dehidrasi, sering berolahraga ringan seperti jalan-
jalan pada pagi hari, agar lebih rileks.
2. An. AZ umur 5 tahun mengalami mual-muntah selama pejalanan menuju Solo-
jogja dengan menggunakan bus, selain itu an. Az juga mengalami demam dan
keringat dingin setelah mual muntah. An.Az dalam perjalanan sudah diberikan
minyak kayu putih selama perjalanan tapi mual muntah yang diderita tidak
kunjung sembuh. Maka keluarga AZ menghentikan perjalanan dan singga di
apotek. Apakah yang direkomendasikan apoteker untuk terapi pada anak
tersebut?
Jawab:
Terapi nonfarmakologi sudah dilakukan dengan pemberian minyak kayu putih
tetapi mual muntah masih terjadi, maka apoteker merekomendasikan pemberian
tolak angin anak untuk mengatasi mual muntah dan demamnya. Tolak angin
anak dapat digunakan 1 sachet diminum langsung atau dicampur dengan
setengah gelas air hangat, dan dapat diminum 3 sachet sehari setelah makan
sampai kondisi membaik.
DAFTAR PUSTAKA

Nelwan, R. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV : Pemakaian Antimikroba
Secara Rasional Di Klinik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp. 1700.

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia;dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta;EGC.

Graneto, J.W., 2010. Pediatric Fever. Chicago College of Osteopathic Medicine of Midwestern
University.

Davis, C.P., 2011. Fever in Adults. University of Texas Health Science Center at San Antonio.

Jenson, H.B., and Baltimore, R.S., 2007. Infectious Disease: Fever without a focus. In:
Kliegman, R.M., Marcdante, K.J., Jenson, H.B., and Behrman, R.E., ed. Nelson
Essentials of Pediatrics. 5th ed. New York: Elsevier, 459-461.

Kaneshiro, N.K., and Zieve, D. 2010. Fever. University of Washington.

Dinarello, C.A. dan Gelfand, J.A. 2001. Alterations in Body Temperature.

Wilmana, P.F., dan Gan, S., 2007. Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti-Inflamasi Nonsteroid
dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Dalam: Gan, S., Setiabudy, R., dan Elysabeth, eds.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK
UI, 237-239.

Katzung, B. G. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi II. Jakarta, Salemba Medika.
Halaman 671, 677-678.

Dipiro, J.T., Wells, B.G., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Posey, L.M., 2005,
Pharmacotherapy, 6th Edition, Appleton ang Lange, New York.

Dipiro JT et al. 2012. Pharmacotherapy a phatofisiology Approach 9th edition. McGraw-Hill


Companies, Manufactured in the United States of America.

Anda mungkin juga menyukai