Oleh
Pembimbing
2015
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan struktural dan
fungsional jantung sehingga mengganggu kemampuan pengisian ventrikel dan pompa darah ke
seluruh tubuh. Tanda-tanda kardinal dari gagal jantung ialah dispnea, fatigue yang menyebabkan
pembatasan toleransi aktivitas dan retensi cairan yang berujung pada kongesti paru dan edema
perifer. Gejala ini mempengaruhi kapasitas dan kualitas dari pasien gagal jantung.1
Gagal jantung kongestif adalah sindroma klinis kompleks akibat kelainan jantung
ataupun non-jantung yang mempengaruhi kemampuan jantung untuk memenuhi kebutuhan
fisiologis tubuh seperti peningkatan cardiac output. Gagal jantung dapat muncul akibat
gangguan pada miokardium, katup jantung, perikardium, endokardium ataupun gangguan
elektrik jantung.2
1.2 Etiologi
Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :
a. Penyakit Jantung Koroner
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita penyakit gagal
jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan hipertrofi ventrikel kiri. Lebih dari 36%
pasien dengan penyakit jantung koroner selama 7-8 tahun akan menderita penyakit gagal jantung
kongestif.3 Pada negara maju, sekitar 60-75% pasien penyakit jantung koroner menderita gagal
jantung kongestif.4 Bahkan dua per tiga pasien yang mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri
disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner.5
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi terjadinya gagal jantung.6
Berdasarkan studi Framingham dalam Cowie tahun 2008 didapati bahwa 91% pasien gagal
jantung memiliki riwayat hipertensi.7 Studi terbaru Waty tahun 2012 di Rumah Sakit Haji Adam
Malik menyebutkan bahwa 66.5% pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi.8 Hipertensi
menyebabkan gagal jantung kongestif melalui mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik dari
ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi predisposisi terjadinya infark miokard, aritmia
atrium dan ventrikel yang nantinya akan berujung pada gagal jantung kongestif.9
c. Cardiomiopathy
Cardiomiopathy merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak disebabkan oleh penyakit
jantung koroner, hipertensi atau kelainan kongenital. Cardiomiopathy terdiri dari beberapa jenis.
Diantaranya ialah dilated cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab tersering
terjadinya gagal jantung kongestif. Dilated cardiomiopathy berupa dilatasi dari ventrikel kiri
dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi sel miokardium
dengan peningkatan ukuran dan penambahan jaringan fibrosis.9
Hipertrophic cardiomiopathy merupakan salah satu jenis cardiomiopathy yang bersifat
herediter autosomal dominan. Karakteristik dari jenis ini ialah abnormalitas pada serabut otot
miokardium. Tidak hanya miokardium tetapi juga menyebabkan hipertrofi septum. Sehingga
terjadi obstruksi aliran darah ke aorta (aortic outflow). Kondisi ini menyebabkan komplians
ventrikel kiri yang buruk, peningkatan tekanan diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel.10
Jenis lain yaitu Restrictive and obliterative cardiomiopathy. Karakteristik dari jenis ini
ialah berupa kekakuan ventrikel dan komplians yang buruk, tidak ditemukan adanya pembesaran
dari jantung. Kondisi ini berhubungan dengan gangguan relaksasi saat diastolik sehingga
pengisian ventrikel berkurang dari normal. Kondisi yang dapat menyebabkan keadaan ini ialah
Amiloidosis, Sarcoidosis, Hemokromasitomatosis dan penyakit resktriktif lainnya.10
d. Kelainan Katup Jantung
Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering menyebabkan gagal jantung
kongestif ialah Regurgitasi Mitral. Regurgitasi mitral meningkatkan preload sehingga terjadi
peningkatan volume di jantung. Peningkatan volume jantung memaksa jantung untuk
berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat didistribusi ke seluruh tubuh. Kondisi ini jika
berlangsung lama menyebabkan gagal jantung kongestif.9
e. Aritmia
Artial Fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung tanpa perlu adanya faktor
concomitant lainnya seperti PJK atau hipertensi. 31% dari pasien gagal jantung ditemukan gejala
awal berupa atrial fibrilasi dan ditemukan 60% pasien gagal jantung memiliki gejala atrial
fibrilasi setelah dilakukan pemeriksaan echocardiografi. Aritmia tidak hanya sebagai penyebab
gagal jantung tetapi juga memperparah prognosis dengan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas.11
f. Alkohol dan Obat-obatan
Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan atrial fibrilasi ataupun gagal
jantung akut. Konsumsi alkohol dalam jangka panjang menyebabkan dilated cardiomiopathy.
Didapati 2-3% kasus gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh konsumsi alkohol jangka
panjang. Sementara itu beberapa obat yang memiliki efek toksik terhadap miokardium
diantaranya ialah agen kemoterapi seperti doxorubicin dan zidovudine yang merupakan
antiviral.7
g. Lain-lain
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk menyebabkan penyakit gagal
jantung kongestif pada laki-laki sedangkan pada wanita belum ada fakta yang konsisten.
Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam mortalitas dan kejadian rawat inap
ulang pasien gagal jantung kongestif melalui mekanisme perubahan struktur dan fungsi dari
miokardium. Selain itu, obesitas menyebabkan peningkatan kolesterol yang meningkatkan resiko
penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab utama dari gagal jantung kongestif.
Berdasarkan studi Framingham disebutkan bahwa diabetes merupakan faktor resiko yang untuk
kejadian hipertrofi ventrikel kiri yang berujung pada gagal jantung.9
1.3 Patogenesis
Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung yang tidak bisa berkontraksi
secara normal seperti infark miokard, gangguan tekanan hemodinamik, overload volume,
ataupun kasus herediter seperti cardiomiopathy. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan
penurunan kapasitas pompa jantung. Namun, pada awal penyakit, pasien masih menunjukkan
asimptomatis ataupun gejala simptomatis yang minimal. Hal ini disebabkan oleh mekanisme
kompensasi tubuh yang disebabkan oleh cardiac injury ataupun disfungsi ventrikel kiri.13
Beberapa mekanisme yang terlibat diantaranya: (1) Aktivasi Renin-Angiotensin-
Aldosteron (RAA) dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2) peningkatan kontraksi miokardium.
Sistem ini menjaga agar cardiac output tetap normal dengan cara retensi cairan dan garam.
Ketika terjadi penurunan cardiac output maka akan terjadi perangsangan baroreseptor di
ventrikel kiri, sinus karotikus dan arkus aorta, kemudian memberi sinyal aferen ke sistem syaraf
sentral di cardioregulatory center yang akan menyebabkan sekresi Antidiuretik Hormon (ADH)
dari hipofisis posterior. ADH akan meningkatkan permeabilitas duktus kolektivus sehingga
reabsorbsi air meningkat.4
Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi sistem syaraf simpatis yang menginervasi
jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot skeletal. Stimulasi simpatis pada ginjal
menyebabkan sekresi renin. Peningkatan renin meningkatkan kadar angiotensin II dan
aldosteron. Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan dan garam melalui vasokonstriksi
pembuluh darah perifer. Mekanisme kompensasi neurohormonal ini berkontribusi dalam
perubahan fungsional dan struktural jantung serta retensi cairan dan garam pada gagal jantung
kongestif yang lebih lanjut.4
Perubahan neurohormonal, adrenergic dan sitokin menyebabkan remodeling ventrikel
kiri. Remodeling ventrikel kiri berupa (1) hipertrofi miosit, (2) perubahan substansi kontraktil
miosit, (3) penurunan jumlah miosit akibat nekrosis, apoptosis dan kematian sel autophagia, (4)
desensitisasi beta adrenergic, (5) kelainan metabolisme miokardium, (6) perubahan stuktur
matriks ekstraseluler miosit.13
Remodeling ventrikel kiri dapat diartikan sebagai perubahan massa, volume, bentuk dan
komposisi jantung. Remodeling ventrikel kiri merubah bentuk jantung menjadi lebih sferis
sehingga beban mekanik jantung meningkat. Dilatasi pada ventrikel kiri juga mengurangi jumlah
afterload yang mengurangi stroke volume. Pada remodeling ventrikel kiri juga terjadi
peningkatan end-diastolic wall stress yang menyebabkan (1) hipoperfusi ke sunendokardium
yang akan memperparah fungsi ventrikel kiri, (2) peningkatan stress oksidatif dan radikal bebas
yang mengaktivasi hipertrofi.13
Perubahan struktur jantung akibat remodeling ini yang berperan dalam penurunan
cardiac output, dilatasi ventrikel kiri dan overload hemodinamik. Ketiga hal di atas berkontribusi
dalam progresivitas penyakit gagal jantung.13
1.4 Patofisiologi
Distensi vena jugularis
Bila ventrikel kanan tidak mampu berkompensasi, maka akan terjadi dilatasi venterikel
dan peningkatan volume curah jantung pada akhir diastolik dan terjadi peningkatan laju
tekanan darah pada atrium kanan. Peningkatan ini sebaliknya memantau aliran darah dari
vena kava yang diketahui dengan peningkatan vena jugularis, dengan kata lain apabila terjadi
dekompensasi venterikel kanan maka kondisi pasien dapat ditandai adanya edema tungkai
kaki dan distensi vena jugularis pada leher.
Edema
Edema merupakan terkumpulnya cairan di dalam jaringan interstisial lebih dari jumlah
yang biasa atau di dalam berbagai rongga tubuh mengakibatkan gangguan sirkulasi
pertukaran cairan elektrolit antara plasma dan jaringan interstisial. Jika edema mengumpul di
dalam rongga maka dinamakan efusi, misalnya efusi pleura dan pericardium. Penimbunan
cairan di dalam rongga peritoneal dinamakan asites. Pada jantung terjadinya edema yang
disebabkan terjadinya dekompensasi jantung (pada kasus payah jantung), bendungan bersifat
menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh kegagalan venterikel jantung untuk memopakan darah
dengan baik sehingga darah terkumpul di daerah vena atau kapiler, dan jaringan akan
melepaskan cairan ke intestisial.
Edema pada tungkai kaki terjadi karena kegagalan jantung kanan dalam mengosongkan
darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal
kembali dari sirkulasi vena. Edema ini di mulai pada kaki dan tumit (edema dependen) dan
secara bertahap bertambah keatas tungkai dan paha dan akhirnya ke genitalia eksterna dan
tubuh bagian bawah. Edema sakral jarang terjadi pada pasien yang berbaring lama, karena
daerah sakral menjadi daerah yang dependen. Bila terjadinya edema maka kita harus melihat
kedalaman edema dengan pitting edema. Pitting edema adalah edema yang akan tetap cekung
bahkan setelah penekanan ringan pada ujung jari , baru jelas terlihat setelah terjadinya retensi
cairan paling tidak sebanyak 4,5 kg dari berat badan normal selama mengalami edema.
1.4 Diagnosis
Berdasarkan studi Framingham, diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan apabila diperoleh :
1 atau dua kriteria mayor + dua kriteria minor
Tabel. Kriteria Framingham dalam penegakan diagnosis gagal jantung kongestif14
Kriteria Mayor Dispnea/orthopnea Nocturnal Parkosismal
Distensi vena leher
Ronki
Kardiomegali
Edema pulmonary akut
Gallop-S3
Peningkatan tekanan vena (>16 cmH2O)
Waktu sirkulasi > 25 detik
Reflex hepatojugularis
Kriteria Minor Edema pretibial
Batuk malam
Dispnea saat aktivitas
Hepatomegali
Efusi pleura
Kapasitas vital paru menurun 1/3 dari
maksimal
Takikardia (>120 kali/menit)
Penurunan berat badan > 4.5 Kg dalam 5 hari
Pemeriksaan fisik15
1. Umum penampilan dan tanda-tanda vital
b. Efusi pleura
i. Sering bilateral
ii. Ketika unilateral, mereka terjadi lebih sering pada ruang pleura kanan.
4. Pemeriksaan jantung
a. Titik impuls maksimum (PMI) dapat dipindahkan dan berkelanjutan (seperti pada hipertensi)
atau lemah, seperti dalam kardiomiopati membesar idiopatik.
b. Ketiga dan suara jantung keempat: sering ada tapi tidak spesifik
c. Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid yang sering hadir pada pasien dengan gagal jantung
lanjut.
5. Perut dan ekstremitas
a. Hepatomegali
b. Asites (tanda akhir)
d. Peripheral edema
i. Terjadi terutama di pergelangan kaki dan wilayah pretibial pada pasien rawat jalan
ii. Pada pasien sakit, edema dapat ditemukan di daerah sacral (edema presacral) dan
skrotum.
iii. Lama edema dapat berhubungan dengan kulit indurated dan berpigmen.
6. Cardiac cachexia
a. Ditandai berat badan dan cachexia (dengan gagal jantung kronis parah)
7. Depresi
8. Disfungsi Seksual
9. Pulsus alternans
1.5 Klasifikasi
New York Heart Association membagi klasifikasi Gagal Jantung Kongestif berdasarkan tingkat
keparahan dan keterbatasan aktivitas fisik :
Tabel. Klasifikasi Gagal Jantung Kongestif17
Kelas I Tidak ada keterbatasan dalam aktivitas fisik.
Aktivitas fisik tidak menyebabkan sesak
nafas, fatigue, atau palpitasi.
Kelas II Sedikit mengalami keterbatasan dalam
aktivitas fisik.
Merasa nyaman saat beristirahat tetapi saat
melakukan aktivitas fisik mulai merasakan
sedikit sesak, fatigue, dan palpitasi
Kelas III Mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik.
Merasa nyaman saat istirahat namun ketika
melakukan aktivitas fisik yang sedikit saja
sudah merasa sesak, fatigue, dan palpitasi.
Kelas IV Tidak bisa melakukan aktivitas fisik. Saat
istirahat gejala bisa muncul dan jika
melakukan aktivitas fisik maka
gejala akan meningkat.
1.6 Tatalaksana
Penatalaksanaan gagal jantung baik itu akut dan kronik ditujukan untuk memperbaiki gejala dan
prognosis, meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya
kondisi. Sehingga semakin cepat kita mengetahui penyebab gagal jantung akan semakin baik
prognosisnya.9,10
Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain adalah dengan
menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta pertolongan yang dapat
dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan
pada penderita dengan kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta
pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung
kongestif berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang
positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan juga terhadap
sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap kelengsungan hidup belum dapat dibuktikan.
Gagal jantung kronis mempermudah dan dapat dicetuskan oleh infeksi paru, sehingga vaksinasi
terhadap influenza dan pneumococal perlu dipertimbangkan. Profilaksis antibiotik pada operasi
dan prosedur gigi diperlukan terutama pada penderita dengan penyakit katup primer maupun
pengguna katup prostesis.11
Obat obat yang biasa digunakan untuk gagal jantung kronis antara lain: diuretik (loop
dan thiazide), angiotensin converting enzyme inhibitors, beta blocker (carvedilol, bisoprolol,
metoprolol), digoxin, spironolakton, vasodilator (hydralazine /nitrat), antikoagulan, antiaritmia,
serta obat positif inotropik.10,11,12
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 2 liter/hari) dan
pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka pendek dapat membantu
perbaikan gejala karena mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian
heparin subkutan perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan
diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi
ventrikel.11
Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis dispneu, takikardia serta
cemas, pada kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias hipotensi
(tekanan darah sistolik < 90 mmHg), oliguria serta cardiac output yang rendah menunjukkan
bahwa penderita dalam kondisi syok kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat serta syok
kardiogenik biasanya timbul pada infark miokard luas, aritmia yang menetap (fibrilasi atrium
maupun ventrikel) atau adanya problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun defek
septum ventrikel pasca infark.9,12
Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana memerlukan
penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab, perbaikan hemodinamik,
menghilangan kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan.9 Menempatkan penderita
dengan posisi duduk dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai
tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta produksi kencing yang akurat
dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base excess
menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat
metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi hipoperfusi memperbaiki
asidosis, pemberian bikarbonat hanya diberikan pada kasus yang refrakter.11
Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam penatalaksanaan gagal
jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan
kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem
paru. Dosis pemberian 2 3 mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan.9
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload serta tekanan
pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis
rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan
vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga
terjadi keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan.
Kekurangannya adalah teleransi terutama pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga
pemberiannya hanya 16 24 jam.9,14
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan pada gagal
jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian
nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 0,5
g/kg/menit.9,14
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator. Nesiritide adalah BNP
rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki
hemodinamik dan neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan
menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena
menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke
karena berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 g/kg dalam 1 menit
dilanjutkan dengan infus 0,01 g/kg/menit.9
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang disertai
hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau vasodilator digunakan pada penderita
gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg
maka inotropik dan/atau vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang
berlebihan akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi
perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg.9,11
Pemberian dopamin 2 g/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah splanknik
dan ginjal. Pada dosis 2 5 g/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik beta sehingga
terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada pemberian 5 15 g/kg/mnt akan merangsang
reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi.
Pemberian dopamin akan merangsang reseptor adrenergik 1 dan 2, menyebabkan
berkurangnya tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis
umumnya 2 3 g/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 15
g/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis yang dibutuhkan lebih
tinggi yaitu 15 20 g/kg/mnt.9
Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang disertai syok
kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg. Penderita dengan syok kardiogenik biasanya
dengan tekanan darah < 90 mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg
selama 30 menit. Obat yang biasa digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin
diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 0,5 g/kg/mnt. Norepinefrin diberikan dengan
dosis 0,2 1 g/kg/mnt.9
Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang menyebabkan terjadinya
gagal jantung akut de novo atau dekompensasi. Yang tersering adalah penyakit jantung koroner
dan sindrom koroner akut. Bila penderita datang dengan hipertensi emergensi pengobatan
bertujuan untuk menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat seperti lood diuretik intravena, nitrat atau nitroprusside intravena maupun
antagonis kalsium intravena (nicardipine). Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda
kelebihan cairan. Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan aliran
darah koroner. Nicardipine diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik dengan afterload
tinggi. Penderita dengan gagal ginjal, diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia jantung harus
diterapi.9
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra aorta, pemasangan pacu
jantung, implantable cardioverter defibrilator, ventricular assist device. Pompa balon intra aorta
ditujukan pada penderita gagal jantung berat atau syok kardiogenik yang tidak memberikan
respon terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel.
Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk mempertahankan laju jantung dan mempertahankan
sinkronisasi atrium dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang
simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable cardioverter device bertujuan
untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan
pompa mekanis yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita dengan
syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama inotropik.9
1.7 Komplikasi
a. Kerusakan atau kegagalan ginjal. Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke ginjal, bisa
yang akhirnya menyebabkan gagal ginjal jika tidak ditangani Kerusakan ginjal dari gagal jantung
dapat membutuhkan dialisis untuk pengobatan.
b. Masalah katup jantung. Katup jantung yang membuat darah mengalir dalam arah yang benar
melalui jantung, dapat menjadi rusak dari darah dan penumpukan cairan dari gagal jantung.
c. Kerusakan hati. Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang menempatkan
terlalu banyak tekanan pada hati. Hal ini cadangan cairan dapat menyebabkan jaringan parut,
yang membuatnya lebih sulit bagi hati berfungsi dengan benar.
d. Serangan jantung dan stroke. Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat pada gagal
jantung daripada di jantung yang normal, maka semakin besar kemungkinan akan
mengembangkan pembekuan darah, yang dapat meningkatkan risiko terkena serangan jantung
atau stroke.18
ILUSTRASI KASUS
Telah dirawat pasien perempuan 57 tahun di bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil
Padang, masuk pada tanggal 22 Februari 2015 dengan:
Keluhan Utama: Sesak nafas sejak 6 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang:
Sesak nafas sejak 6 jam SMRS, sesak dirasakan meningkat dengan aktivitas, tidak
dipengaruhi cuaca dan makanan. Lebih suka tidur dengan bantal ditinggikan, dan sering
terbangun pada malam hari karena sesak
Batuk-batuk sejak 1 hari SMRS, tidak berdahak, tidak berdarah
Kaki sembab tidak ada, nyeri dada tidak ada, dada berdebar-debar tidak ada
Pasien sudah dikenal menderita sakit jantung sejak 2011, riwayat nyeri dada (+), sudah
pasang cincin 3 buah 2 tahun yang lalu, dirawat >10x selama 4 tahun terakhir
Pemeriksaan Umum
Kesadaran : CMC
Tekanan Darah : 130/80
Nadi : 63 x/menit
Suhu : 36,5 C
Pernafasan : 28 x/menit
Sianosis : (-)
Keadaan Umum : Sedang
Keadaan Gizi : Baik
Tinggi Badan : 150 cm
Berat badan : 45 kg
Edema : (-)
Anemis : (-)
Ikterus : (-)
Perut :
Inspeksi: Tidak tampak membuncit
Palpasi: Nyeri tekan dan nyeri lepas (-), hepar tidak teraba, lien S0
Perkusi: Timpani
Auskultasi: BU (+) N
Punggung :
Inspeksi: Tidak ada kelainan tulang belakang, simetris
Palpasi: Fremitus kiri normal, kanan normal, nyeri ketok dan nyeri tekan CVA (-)
Perkusi: Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi: Bronkovesikuler, Rh basah halus tidak nyaring, Wh (-/-)
Alat Kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus : Colok dubur tidak dilakukan
Anggota Gerak :
Tangan: Oedem (-), reflex fisiologis (+/+), reflex patologis (-/-)
Kaki : Oedem (-)
Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang
a. Lab Rutin
Hb: 13,1
Leukosit: 3300/mm3
Ht: 39%
Trombosit:205.000/mm3
b. GDS: 99 mg/d
c. Ur/Kr: 16/0,7
d. Na/K/Cl/Ca: 142/4,4/ 107/8,1
e. AGD:
pH 7,37
pCO2: 39
pO2: 129
HCO3-: 22,5
BE: -2,8
SO2: 99%
Follow Up
22 Feb 2015
S/ Sadar (+), sesak (-), batuk (-), oedem (-), pusing (+), mual (+)
O/ Kesadaran: CMC
TD: 90/60
Nadi: 70 x/menit
Nafas: 20 x/menit
Suhu: 36,9 C
Mata: Konjungtiva tidak anemis
Paru: Bronkovesikule
Abdomen: hepar dan lien tidak teraba
Pemeriksaan yang akan dilakukan:
Echocardiografi
EKG
A/ CHF fc III RVH irama irregular ec ASHD dengan perbaikan
P/ Lanjutkan terapi
23 Feb 2015
S/ Sadar (+), sesak (-), batuk (-), oedem (-), pusing (+), mual (+)
O/ Kesadaran: CMC
TD: 100/70
Nadi: 70 x/menit
Nafas: 20 x/menit
Suhu: 36,5 C
Mata: Konjungtiva tidak anemis
Paru: Bronkovesikuler
Abdomen: hepar dan lien tidak teraba
A/ CHF fc III perbaikan
P/ Lanjutkan terapi
DAFTAR PUSTAKA