PENDAHULUAN
1. terdapat suatu titik dimana menunjukkan posisi keseimbangan antara produsen dan
konsumen, titik Pe.
2. Bagaimanapun bentuk pergerakan harga energi, pergerakan ini akan berhenti pada posisi
harga yang sama dengan Pe.
3. Jika pergerakan sampai pada kurva penawaran yang lebih besar daripada kurva
permintaan, atau biaya penawaran yang lebih besar daripada kurva permintaan, atau
biaya penawaran lebih besar daripada nilai netback, konsumen akan beralih pada sumber
energi alternatif lain yang biaya produksinya lebih rendah.
Dalam kehidupan sehari-hari sangat sulit mencapai harga pada kondisi keseimbangan. Selain
data statistik yang menggambarkan perubahan permintaan maupun penawaran tidak memadai,
berbagai distorsi seperti pajak, subsidi, monopolli, dan politik menyulitkan penentuan kondisi
keseimbangan sebenarnya. Bentuk pasar yang benar-benar kompetitif memang sangat sulit
ditemui. Hal demikian menyebabkan konsep keseimbangan harga yang mencerminkan alokasi
optimal sepertinya tidka mempunyai arti. Konsep itu sebenarnya sangat berarti sebagai acuan
dasar. Artinya, harga yang terjadi dapat diusahakan seminimal mungkin merugikan kesejahteraan
pihak konsumen dan atau produsen jika letak harga yang optimal telah diketahui.
Namun kerangka analisa sebagai acuan dasar tersebut masih memiliki beberapa
kekurangna. LRMC sering sulit dihitung mengingat asumsi informasi yang sempurna sukar
dipenuhi, terutama untuk variable teknologi dan berbagai macam biaya. Perhitungan LRMC,
seharusnya merupakan fungsi yang kontinu, tetapi dalam praktik sulit dilakukan. Karena itu
LRMC berusaha didekati dengna konsep fungsi diskrit AIC (Average Incremental Cost)
Masih menjadi perdebatan dalam kasus penghitungan energy fosil LRMC, apakah struktur
biaya produksi energy perlu memasukkan biaya yang timbul dari kegiatan eksplorasi yang gagal.
Jika biaya dari kegagalan kegiatan eksplorasi dimasukkan, LRMC yang terjadi akan tinggi. Jika
cadangan yang ditemukan ternyata tidak terlalu besar, cadangan ini tidak dapat diproduksi.
Cadangan menjadi tidak ekonomis karena LRMC lebih besar daripada marginal benefit.
Sementara ada beberapa pihak yang menganggap biaya eksplorasi yang gagal tersebut sebagai
biaya yang hilang (sunk cost). Jika pendekatan terakhir ini dipakai, maka LRMC yang terjadi
tidak akan lebih kecil daripada LRMC dengan memasukkan biaya eksplorasi yang gagal. Dengan
demikian cadangan yang ditemukan, terutama cadangan berukuran relative kecil, dapat
memenuhi skala ekonomi produksi karena LRCM menjadi lebih kecil.
Sementara dari sisi permintaan, konsep harga yang sama dengan marginal benefit sangat sulit
diterjemahkan dalam data actual. Data yang selama ini digunakan untuk mendekati konsep
marginal benefit konsumen adalah data tentang pengeluaran konsumen. Sehingga akan sulit
menggambarkan bagaimana preferensi konsumen dan perubahan manfaat yang tejadi dari
berbagai aras (level) konsumsi. Untuk itulah diperkenalkan konsep nilai netback sebagai usaha
mendekati konsep menfaat yang diterima konsumen.
Premi pengurasan adalah komponen biaya untuk mengukur pertambahan biaya produksi sumber
daya energy yang tidak terbarukan. Selain itu juga menggambarkan satu unit sumber energi yang
digunakan saat ini tidak akan tersedis lagi dimasa akan datang. Kekurangan itu harus diganti
dengan bentuk sumber energy lain yang biasanya memiliki biaya lebih mahal.
Untuk kasus Indonesia diperlukan kebijakan khusus untuk mengatur premi pengurasan karena
pemilik energi bukan produsen energi. Menurut teori, premi pengurasan adalah hak dari si
pemilik energy. Namun sampai saat ini Indonesia belum menerapkan system premi pengurasan
dalam penetapan harga energy. Belum begitu jelas apakah sebagian produksi yang diserahkan
produsen energy kepada pemerintah sudah mencakup premi pengurasan atau hanya surplus
produsen. Pemerintah Indonesia memang memberikan porsi tertentu kepada produsen, yang
merupakan bagian tertentu dari produksinya dalam suatu sumber energy. Bagian tersebut dapat
saja diambil sebagian dari premi pengurasan dan sebagian lagi dari rente ekonomi.
2.2.1.3 Biaya Eksternal
Pada dasarnya, biaya eksternal adalah besarnya biaya sosial yang dibebankan kepada masyarakat
sebagai akibat tidak langsung kegiatan produksi dan konsumsi sumber energi. Seberapa besar
biaya sosial yang dibebankan tergantung batasan ambang batas yang tertuang dalam kebijakan
masing-masing negara. Indonesia mamberikan ambang batas pencemaran yang ketat jika
dibandingkan dengan negara-negara lain.
Usaha mencari formulasi penentuan ambang batas yang lebih pasti memang terus dilakukan. Di
sisi lain tampak proses yang secara bertahap berusaha memasukkan komponen biaya eksternal
sebagai biaya internal. Usaha tersebut dilakukan lewat perencanaan yang lebih baik, penambahan
peralatan atau iuran yang ditarik pemerintah sebagai kompensasi atas kerusakan lingkungan yang
terjadi. Untuk hal terakhir tercermin lewat biaya restribusi, pajak atau biaya izin pembuangan
limbah.
Biaya transportasi atau sering disebut biaya distribusi terjadi karena terdapat masalah jarak
antara sumber dan pemakai energi. Energi harus diangkut dari sumbernya supaya dapat
dikonsumsi. Biaya transportasi harus dihitung dan dibebankan dalam harga pada titik konsumen.
Biaya transportasi dapat mempengaruhi skala ekonomi produksi suatu sumber energi. Biaya
transportasi dapat dipengarui oleh beberapa faktor berikut:
1. Biaya transportasi oleh jarak/keadaan geografi titik permintaan. Jarak semakin jauh akan
meningkatkan biaya transportasi pada volume penjualan tertentu.
2. Biaya transportasi akan sensitif terhadap banyaknya konsumen. Semakin banyak
konsumen, semakin besar pula volume yang harus disediakan.
3. Biaya transportasi dipengaruhi oleh proporsi cadangan yang diolah pada titik permintaan
tertentu. Apabila pangsa pasar yang terpenuhi pada titik permintaan relatif kecil
dibandingkan dengan besarnya potensi cadangan, sementara potensi permintaan sangat
besar, produksi energi dapat ditingkatkan tanpa perlu mengandalkan pasar yang lebih
jauh dengan biaya transportasi lebih besar.
4. Biaya transportasi dipengaruhi oleh cara penentuan harga. Jika harga pada titik
permintaan yang saling berbeda tempat, maka semakin jauh jarak titik tersebut semakin
besar pula beban biaya yang harus ditanggung produsen
5. Biaya transportasi sangat dipengaruhi oleh modus transportasi yang digunakan.
Dengan asumsi pasar persaingan sempurna, seorang konsumen bersedia membeli energi jika
harganya lebih kecil atau setidaknya sama dengan biaya produksi. Dalam hal ini Netback harus
lebih besar atau sama dengan biaya dasar atau harga minimum.
NB (AIC + DV + EC)
Jika penghitungan nilai netback tersebut sama dengna harga minimum yang dibutuhkan
produsen, secara ekonomis harga yang terbentuk adalah optimal dan efisien. Jika nilai netback
lebih kecil daripada harga minimum, harga yang terjadi tidak optimal karena opportunity cost
yang dibutuhkan untuk memproduksi energy dianggap lebih besar daripada manfaat yang akan
diterima konsumen.
Penghitungan nilai netback memasukkan modal peralatan, biaya operasi, dan
pemeliharaan yang berbeda-beda. Demikian pula dengan lokasi yang dianggap penting, terutama
untuk memproses energy primer menjadi energy sekunder. Pertimbangan yang perlu dikaji di
sini adalah mengubah energy primer menjadi energy sekunder di lokasi energy primer, atau bila
dibawa terlebih dahulu ke titik permintaan kemudian diubah menjadi energy sekunder.
Harga efisien sebenarnya merupakan tingkat harga yang terbentuk saat permintaan sama dengan
penawaran, atau saat keseimbangan. Dalam kenyataannya harga efisien sangat sulit ditemui.
Artinya, terminology itu merupakan satu konsep ekonomi mengenai tingkat harga ideal. Tingkat
harga ini sangat abstrak dan tidak pernah terjadi dalam pasar. Karena itu muncul pertanyaan
untuk kepentinga apa kita perlu mengetahui tingkat harga yang efisien.
Walaupun kemungkinan terjadi di pasar sangat kecil, tingkat harga efisien perlu dan
penting untuk diketahui, terutama oleh para pembuat kebijakan. Secara sederhana dapat
dikatakan harga efisien merefleksikan alokasi sumber daya yang optimal. Penetapan tingkat
harga yang efisien dapat dimanfaatkan kemudian untuk menentukan batasan pergerakan harga
yang akan terajadi. Posisi itu dilihat dari rentang penetapan harga optimal. Dengan mengetahui
secara pasti harga yang efisien, pemetintah dapat menetapkan sekaligus menentukan lebih jauh
besar surplus ekonomi yang dapat diterima lewat kebijakan fiscal tanpa harus merugikan
produsen energy.
Karena menentuka harga efisien sulit, pilihan lain adalah memprediksi kurva permintaan
dan penawaran. Pada prinsipnya cara demikian dilakukan untuk mendapatkan fungsi biaya
(marginal cost) produksi dan meaginal benefit (marginal revenue) permintaan. Ada beberapa
cara menentukan kedua kurva tersebut. Pertama, menggunakan model ekomometri. Dengan
menganggap permintaan dan penawaran merupakan fungsi dari beberapa variable, berdasarkan
data masa lalu ataupun data beberapa wilayah, dapat diestimasi satu fungsi permintaan dan
penawaran. Kedua, berdasarkan elastisitas. Estimasi fungsi permintaan dihitung jika nilai
elastisitasnya telah diketahui. Dengan mengetahui elastisitas permintaan maka MR dapat
diketahui dan dengan data MC yang tersedia harga dapat diestimasi. Ketiga, dengan harga
bayangan. Permintaan dan penawaran di sini diestimasi berdasarkan nilai opportunity cost
penggunaan unit energy yang ditawarkan.
Dari ketiga cara penghitungan tersebut, disini kita hanya membahas estimasi berdasarkan
harga bayangan saja. Konsep ini pada dasarnya sama dengan konsep opportunity cost yang
menghitung besaran nilai yang harus dikorbankan untuk mendapatkan satu barang tertentu.
Penghitungan harga bayangan tentunya menghilangkan segala bentuk distorsi pasar seperti pajak
dan subsidi. Dengan tidak memasukkan segala bentuk distorsi tersebut akan diperoleh satu nilai
ekonomi yang metupakan nilai terbaik atas berbagai kemungkinan penggunaan sumber energy.
Nilai ekonomi itulah yang dikatakan sebagai harga efisien sumber energy.
Dalam praktiknya harga efisien dihitung dengan menggunakan metode optimalisasi, yaitu
mendefiniskan tujuan dan kendala yang timbul dari usaha menuju optimalisasi. Meskipun
begitu, tingkat harga efisien penting untuk diketahui terutama oleh para pembuat kebijakan.
Dengan mengetahui secara pasti harga efisien, pemerintah dapat menetapkan sekaligus
menentukan lebih jauh besar surplus ekonomi yang dapat diterima lewat kebijakan fiskal tanpa
harus merugikan produsen energi. Contohnya adalah sebagai berikut :
Memaksimalkan keuntungan
2.2.4 Harga Finansial
Harga finansial adalah harga patokan atau harga minimal yang muncul di sisi produsen.
Mekanismenya adalah proses negosiasi dengan pihak konsumen. Harga maksimum yang dapat
diperoleh konsumen merupakan harga finansial tadi. Jika konsumen bersedia membayar pada
tingkat harga tersebut berarti konsumen akan membeli. Jika tidak bersedia, maka konsumen akan
mencari energi alternatif lain yang dapat mensubstitusi energi tersebut.
Harga finansial berhubungan erat dengan sistem perjanjian kerja yang berlaku antara
produsen dan pemerintah. Sebagai contoh harga finansial minyak, gas bumi, batubara dan panas
bumi di Indonesia. Pengembangan energi primer tersebut dapat diusahakan sendiri oleh BUMN
yang bersangkutan atau berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak operasi bersama dan kontrak
kerja sama. Perhitungan harga finansial akan berbeda bila semua diusahakan sendiri oleh BUMN
yang bersangkutan. Hal ini disebabkan perbedaan formula yang diterapkan pemerintah untuk
menghitung bagian BUMN dan pihak investor.
Seperti telah di jelaskan sebelumnya, penetapan harga harus dapat memenuhi kriteria produsen
dan konsumen yaitu long run marginal cost (LRMC) dan nilai netback. Penetapan harga di
bawah nilai LRMC mengakibatkan kerugian di pihak produsen dalam jangka panjang. Sementara
penetapan harga yang melebihi nilai netback akan merugikan konsumen.
Pada kenyataannya penetapan harga di indonesia sangat di pengaruhi berberapa hal yaitu :
Harga yang di tetapkan sampai saat ini tidak berada pada tingkat efisien maupun inefesiensi.
Subsidipun masih tetap diberlakukan. Dengan kata lain penetapan harga energi di indonesia
belum mengarah pada penetapan harga yang efisien. Penetapan harga masih dihubungkan
dengan distribusi pendapatan melalui struktur harga energi.
Seperti dalam penjelasan harga finansial, inefesiensi alokasi sumber energi terjadi karena distorsi
pasar. Kasus distorsi pada umumnya bersumber dari intervensi pemerintah melalui pajak dan
subsidi. Namun di sini perlu ditekankan bahwa intervensi tersebut di selenggarakan berkaitan
dengan obyektif sosial. Terlepas dari maksud dan tujuan pemerintah, penetapan pajak dan
subsidi yang tidak tepat akan menimbulkan inefesiensi bagi perekonomian.
Dari kerangka ekonomi mikro, dengan menganggap elastisitas permintaan dan penawaran sama
dan moderat, penetapan pajak membuat harga menjadi lebih tinggi dari pada harga
keseimbangan. Dampak selanjutnya penetapan pajak tersebut adalah penurunan surplus produsen
dan surplus konsumen.
Pembahasan subsidi sebenarnya identik dengan pajak. Namun subsidi di sini dianggap negative
tax. Output yang dihasilkan saat ini lebih banyak dari pada yang seharusnya terjadi pada posisi
keseimbangan. Dalam sejarah penetapan harga di Indonesia, subsidi selalu mendapat perhatian
khususnya dalam distribusi kesejahteraan bagi masyarakat yang kurang mampu dan untuk
mendorong industrialisasi.
Obyektif sosial merupakan kaidah keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Fungsi
atau obyektif sosial terutama masalah subsidi seperti telah di jelaskan sebelumnya, subsidi
memang tidak akan mencerminkan tingkat harga energi yang sebenarnya. Namun dalam
kebijakan harga, subsidi merupakan salah satu instrumen untuk meratakan penggunaan energi di
masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu subsidi juga dapat dijadikan
alat untuk mendukung sektor industri.
Kebijakan subsidi diberlakukan ketika harga suatu produk energi dinilai tidak sebanding dengan
daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah indonesia sendiri menerapkan dengan
subsidi silang. Suatu produk energi dijual dengan harga tinggi, diatas tingkat harga sebenarnya
dan selisih harga digunakan untuk menutup kerugian produk energi yang lain. Contoh klasik di
indonesia adalah subsidi produk energi minyak tanah.
Minyak tanah merupakan jenis energi yang paling banyak di gunakan, terutama untuk kalangan
masyarakat berpenghasilan rendah. Subsidi silang terhadap minyak tanah diberikan premium,
bahan bakar yang sering digunakan masyarakat untuk kendaraan bermotor. Subsidi untuk sektor
industri diberikan pada bahan bakar solar, jenis energi yang sering di gunakan sektor industri.
Namun tampaknya perlu di cermati apakah subsidi solar dan minyak tanah sudah tepat diterima
oleh pengguna akhir yang memang betul-betul memerlukan. Data terbaru biro pusat statistik
menunjukan bahwa masyarakat berpendapatan menengahpun masih banyak yang
mengkonsumsi minyak tanah. Di samping itu, menurut hasil studi yang di lakukan Mark Pitt.
Tidak terdapat hubungan yang segnifikan antara harga dengan konsumsi kayu bakar masyarakat
yang berpenghasilan rendah. Penggunaan kayu bakar oleh masyarakat berpenghasilan rendah
l;ebih disebabkan tingkat pendapatan mereka yang rendah. Bila konsumsi masyarakat lapisan
tersebut ingin di ubah ke BBM, maka pendapatan mereka harus ditingkatkan terlebih dahulu.
Contoh lain adalah penerapan subsidi tarif listrik. Penerapan tarif listrik di indonesia di bedakan
menurut pengguna akhir. Tarif untuk kalangan industri berbeda dengan tarif untuk perkantoran
dan rumah tangga. Salah satu fungsi pembedaan tarif ini adalah untuk memberikan subsidi silang
di antara berbagai pengguna tersebut. Penetapan tarif untuk golongan industri dan perkantoran
tertentu umumnya lebih besar dari pada penetapan tarif untuk golongan rumah tangga tertentu.
Tarif untuk berbagi golongan masih di pilah lagi berdasarkan batas daya.
Dalam praktik, subsidi dapat dibedakan antara subsidi secara finansial atau secara ekonomi.
Secara finansial subsidi hanya merupakan selisih antara biaya produksi dan biaya
distribusi dengan harga produk energi tersebut yang sebenarnya terjadi di pasar.
Sedangkan subsidi secara ekonomi merupakan perbedaan antara harga yang sebenarnya
terjadi dari proses produksi dengan harga efisien. Jika selisihnya tidak dijadikan subsidi, dalam
subsidi secara ekonomi ini. Seluruh selisih tersebut akan di tanggung oleh masyarakat dan
perekonomian sebagai beban inefisiensi.
Indonesia memasukkan isu lingkungan dalam penetapan harga lewat biaya eksternal dalam
struktur biaya produksi. Konsep ini dijalankan untuk mendukung terlaksananya pembangunan
yang berkelanjutan. Berbagai komponen biaya yang berhubungan dengan isu lingkungan dalam
praktik digunakan untuk kegiatan penanggulangan dampak negatif terhadap lingkungan. Di
samping itu juga untuk tujuan konservasi sumber daya energi, sehingga keberadaanya dapat terus
terjamin untuk masa akan datang. Biaya ekstenal yang dikeluarkan produsen energi terkait erat
dengan ambang batas pencemaran yang ditentukan oleh otoritas lingkungan. Di indonesia,
pelaksanaanya harus memenuhi persyaratan analisa mengenai dampak lingkungan dan
pencegahannya memerlukan biaya yang sudah termasuk dalam struktur biaya energi.
Namun penetapan harga terialu rendah akan menyebabkan banyaknya permintaan hingga
melebihi biaya produksinya. Sebagai contoh adalah penetapan harga minyak tanah (kerosin)
yang terialu rendah. Di zaman Orde Lama, BBM yang dianggap sebagai komoditi yang strategis
dan vital merupakan bahan kebutuhan pokok dan harganya ditetapkan sangat rendah, hingga
permintaan jauh melebihi penawarannya. Antrian dan penjatahan harus dilakukan, hingga
muncul pasar gelap dengan harga transaksi yang sangat tinggi dibandingkan dengan harga
resminya yang ditetapkan terialu rendah. Kebijakan ini akan memacu pengurasan sumber alam
energi terialu cepat. Hal inipun seharusnya tidak terjadi pada sumber energi utama lainnya,
misalnya batu bara.
Perlu dipertimbangkan bahwa, manakah yang lebih tinggi antara manfaat yang diperoleh dari
konsumsi di dalam negeri dengan manfaat atau hasil yang bisa diperoleh dengan meng-
ekspornya. Atau secara ekonomika populer dikatakan bahwa biaya oportunitas konsumsi dalam
negeri adalah penggunaannya untuk ekspor. Harga suatu komoditi ditentukan bersama oleh unsur
kekuatan pasar yaitu permintaan dan penawaran, serta oleh intervensi atau penentuan harga oleh
pemerintah.
2.3.4.2 Penetapan Harga Energi Primer
dari sisi penawaran, proses produksi energy primer sejak awal sampai menjadi output
akhir lengkap dapat digolongkan dalam beberapa tahapan. setiap tahapan memiliki karakteristik
fungsi biaya masing-masing. Tahapan tersenut dilalui secara lengkap oleh jenis energy minyak,
gas, dan panas bumi. Namun gas dan panas bumi untuk kebutuhan domestic tidak memerlukan
tahapan proses .
1. Minyak Bumi
Sejak tahun1970-an hingga saat ini Indonesia mengenal dan menerapkan dua model penetapan
harga minyak mentah di pasar internasional. Kedua model penetapan harga tersebut adalah :
Harga GSP diterapkan sejak tahun 1968 1986 saat harga minyak mentah di pasar dunia
menunjukkan perkembangan menggembirakan. Harga GSP berpedoman pada harga yang telah
ditetapkan OPEC.
Karena harga minyak dunia terus berfluktuasi maka Indonesia menetapkan patokan harga baru,
yaitu Indonesia Crude Price. Perhitungan ICP dibuat berdasarkan harga basket minyak mentah
dunia yang dikeluarkan oleh Asian Petroleum Price Index (APPI).
1. Gas Bumi
Harga gas bumi diusahakan memenuhi kriteria produsen dan konsumen. Namun dalam
penetapan harga gas bumi terdapat beberapa kendala, diantaranya adalah teknis pemurnian gas
bumi dan pencairan dalam bentuk LNG ekspor sehingga membuat biaya teknologi gas bumi
masih sangat mahal.
Pada prinsipnnya harga gas bumi Indonesia ditentukan berdasarkan hasil negosiasi antara
produsen dan konsumen. Namun harga pemakaian gas bumi untuk konsumen tertentu, seperti
rumah tangga yang disalurkan oleh Perusahaan Gas Negara (PGN), ditetapkan oleh pemerintah
setelah dibandingkan dengan harga BBM tertentu yang menjadi saingan gas bumi. Langkah ini
untuk mendorong pemakaian gas bumi lebih banyak di tingkat konsumen.
1. Batubara
Harga yang berlaku untuk batubara sesuai dengan harga yang terjadi di pasar internasional.
Pemerintah sendiri pernah menetapkan harga energi batubara konsumsi domestik tidak melebihi
harga CIF batubara impor Asia Pasifik dan 65 persen harga minyak bakar domestik. Untuk
ekspor, batubara Indonesia tetap mengacu pada harga pasar dengan memperhatikan pesaing yang
ada terutama Australia dan Kanada. Harga untuk dalam negeri terutama ditetapkan melalui
negosiasi antara produsen dan konsumen dengan memperhatikan ROR yang wajar untuk
produsen batubara.
1. Panas Bumi
Harga jual panas bumi sebagai energi primer di Indonesia terbagi menjadi dua sistem, yakni
berdasarkan pola pengusahaan industri panas bumi nasional lewat harga jual uap hasil produksi
Pertamina dan harga jual uap hasil produksi Kontrak Operasi Bersama pengembangan swasta
dengan Pertamina. Pada saat ini keekonomian panas bumi memang hanya untuk pembangkit
listrik. Harga jual uap Pertamina ditetapkan sebesar 80 persen dari harga eceran minyak bakar
dalam negeri (Rp/liter) dan dengan faktor konversi 0,28 untuk mengubah menjadi Rp/kWh.
Sedangkan besarnya harga jual dari Kontrak Operasi Bersama (KOB) ditetapkan dan dieskalasi
dalam suatu indeks. Penetapan harga dibuat dalam serangkaian formula yang diatur dalam
kontrak berdasarkan hasil negosiasi antara konsumen PLN dan KOB. Penetapan harga seperti itu
dilakukan untuk panas bumi dari Salak dan Darajat.
Besarnya harga uap panas bumi dengan base resource price ditetapkan saat kontrak di
susun memalui proses negosiasi. Setiap saat harga uap panas bumi pada ceiling price ditetapkan
maksimal 80% dari harga minyak bakar internasional (dalam dolar AS per barel) dengan faktor
konversi 0,295 untuk mendapatkan nilai dolar AS/kWh. Perlu diingat bahwa faktor konversi itu
merupakan kesepakatan saat meenyusun kontrak dan faktor konversi atas nilai kalori. Sementara
harga uap panas bumi berdasarkan base floor price ditetapkan nilai minimumnya saat kontrak
disepakati (dengan cara negosiasi). Harga itupun dapat berfluktuasi seiring dengan perubahan
inflasi.
Penghitungan biaya kegiatan produksi panas bumi pada intinya berdasarkan konsep AFC.
Konsep ini melihat produsen panas bumi di Indonesia praktiknya adalah produsen tunggal, yaitu
Pertamina bersama Kontraktor Operasi Bersama, sehingga biaya produksi yang dihitung sudah
termasuk kompensasi untuk produsen. Termasuk dalam AFC adalah biaya eksplorasi,
pengeboran, biaya sebelum produksi, dan tingkat kuku bunga diskonto. Seluruh biaya
dibebankan produsen pengembang suatu lapangan panas bumi, sehingga penetapan harga jual
panas bumi dianggap wajar bila mernakai AFC.
Sumber energi panas bumi sampai saat ini dimanfaatkan secara terbatas unmk
pembangkit tenaga listrik. Pemanfaatan untuk keperluan lainnya Nampak masih belum
dikembangkan. Sehingga untuk menghitung nilai netback di atas, dikernbangkan hubungannya
dengan bahan bakar alternatif pembangkit listrik lainnya. Konsumen bersedia mengkonsumsi
Panas bumi bila harga energi panas bumi untuk membangkitkan listrik termurah dari beberapa
alternatif yang ditawarkan sumber energi lainnya. Harga listrik swasta dari panas bumi memang
masih relatif tinggi dari pada harga listrik swasta non panas bumi. Dengan demikian harga listrik
panas bumi belum rnengikuti prinsip yang terkandung dalam konsep nilai netback. Untuk dapat
menelusuri lebih lanjut pembentukan harga panas bumi, perlu dilihat struktur biaya
pengembangannya di Indonesia.
Biaya pengembangan panas bumi terdiri dari dua macam komponen. Masing-masing
komponen rnempengaruhi penentuan harga panas bumi. Kedua komponen ini adalah biaya
modal dan biaya operasi serta perawatan. Biaya modal terbagi lagi atas biaya survei eksplorasi,
biaya sumber, dan biaya Pardana produksi. Biaya survei eksplorasi adalah biaya yang diperlukan
untuk melakukan kegiatan survai geologi, geokimia, Dan geofisika. Besarnya berkisar 1 sampai
5 persen dari total biaya modal. Sedangkan biaya sumur adalah biaya yang diperlukan untuk
melaksanakan pengeboran sumur eksplorasi maupun sumur produksi. Termasuk di dalarnnya
adalah biaya pembangunan infrastruktur dl sekitar lokasi. Proporsinya mencapai sekitar 60-80
persen dari total biaya modal. Sistem panas bumi yang dihadapi merupakan factor yang sangat
mempengaruhi biaya sarana produksi. Biaya sarana produksi untuk sistem panas bumi yang
didominasi uap basah akan lebih besar dari pada uap kering. Biaya sarana produksi umumnya
berkisar 15-35 persen dari total biaya modal. Terakhir adalah biaya operasi Serta perawatan.
Besarnya juga sangat tergantung pada sistem panas bumi yang dihadapi. Biaya menjadi lebih
tinggi bila yang dihadapi sistem uap basah. Kornponen biaya modal paling besar adalah biaya
pengeboran sumur eksplorasi. Resiko untuk menernukan cadangan panas bumi yang belum tentu
dapat ditemukan harus ditanggung pengembang panas bumi. Dengan demikian pengernbang
panas bumi memerlukan ROR cukup besar yang direfleksikan dalam harga panas bumi sebagai
kompensasi dari resiko bisnis.
1. Air
Energi air merupakan bentuk energi primer yang dapat diper barui. Peranannya sangat besar
terutama dalam pengadaan listrik untuk masyarakat. Sebelum dimanfaatkan untuk pembangkit
1istrik tenaga air (PLTA), energi primer yang diberikan oleh alam ini mempunyai nilai nol.
Tenaga air rnempunyai nilai yang tidak samadengan nol bila sebelum dimanfaatkan untuk PLTA
dipompakan terlebih dahulu ke tempat yang lebih tinggi. Di sini diperlukan investasi awal.
Namun yang jelas penggunaannya sebagai sumber pembangkit listrik merupakan usaha untuk
mendukung diversifikasi energi. Penggunaan sumber energi lainnya, terutama minyak
bumi,untuk keperluan pembangkit listrik dapat dikurangi. Penggunaan energi air untuk
pernbangkit listrik akan menghemat pemakaian BBM. Energi air yang sudah digunakan hanya
sekitar 4 persen dari total potensi yang ada. Jika seluruh potensi dioptimalkan, penggunaan
energi air akan sangat menghemat pemakaian BBM. Air merupakan salah satu sumber energi
yang dapat diperbarui. Namun demikian pengelolaan yang tidak tepat perlahan-lahan dapat
membuat sumber energi itu terganggu. Akibatnya pasokan untuk pembangkit listrik juga akan
terganggu. Penggunaannya untuk keperluan irigasi, industry, air minum, Dan pembangkit listrik
dapat menimbulkan pencemaran sungai atau sumber air yang pada gilirannya dapat merusak
kualitas air. Jika tingkat pencemaran melewati ambang batas, maka ketersediaan sumber energi
air dapat berkurang. Apalagi jika pertumbuhan kebutuhan yang meningkat tidak sesuai dengan
kecepatan pasokan dari hulu sumber air tersebut di sini akan terjadi kelangkaan.
Untuk menjamin ketersediaan sumber energi air pemerintah kemudian menerapkan
retribusi air. Retribusi ini merupakan jenis pungutan yang dikenakan kepada pengguna air
sebagai biaya untuk menginternalisasi pencemaran yang dibuat pengguna air. Ini merupakan
salah satu instrument kebijakan sisi permintaan (Demand Side Management). Secara umum
penggunaan air tidak dikenakan harga, tetapi pemerintah membuat suatu retribusi air, seperti
penerapan scarcity rent, untuk menjamin pasokan air tetap dapat berkelanjutan. Namun gagasan
menerapkan scarcity rent perlu mempertimbangkan dampak terhadap biaya sehingga masih dapat
bersaing dengan pernbangkit listrik yang menggunakan energi primer lainnya.
Konsep penetapan harga BBM di Indonesia secara umum terdiri dari tiga metode, yaitu Border
Price, Harga Pokok Penjualan (HPP) BBM, dan Harga pemerintah. Hal lain yang berkairan erat
dengan penetapan harga BBM adalah masalah subsidi.
Penetapan harga metode bonder price mengacu pada penetapan harga eks kilang
Singapura. Penetapan harga ini diasumsikan berlaku pada harga yang kompetitif. Dengan asumsi
tersebut harga BBM dari kilang Singapura sudah mendekati harga efisien. Harga acuan eks
kilang Singapura menggunakan Posted Price yang dipublikasi secara rutin. Harga itu kemudian
ditambah komponen biaya seperti transportasi, pajak, subsidi, dan sebagainya. Semua itu
menjadi harga jual di Indonesia (landed price). Taber (1) merupakan contoh Posted Price
Singapura pada awal 1998.
Sistematika perhitungan harga BBM di Indonesia partama kali dimulai dengan mencari
Harga Pokok Penjualan (HPF) produksi BBM dalam stuaan rupiah per liter. Dalam konsep
ekonomi micro penghitungan itu merupakan nilai biaya rata~rata (average cost) produksi BBM.
HPP dihitung dengan mengurangi pendapatan dari negeri setelah itu dikurangi biaya-biaya
kemudian di bagi dengan besarnya volume BBM.
Sisi biaya dikelompokan dalam biaya pengadaan minyak mentah da produk serta biaya
operasi. Biaya pengadaan minyak mentah.
Tabel 1
Avgas 1.152.20
Avtur 1.004.25
premium 1.124.09
minyak tanah 1.004.25
minyak solar 1.102.95
minyak diesel 931.10
minyak bakar 750.15
Tabel 2
Harga Jual Eceran Dalam Negeri Bahan Bakar Minyak Bumi dan Perhitungan Besarnya
Subsidi Ekonomi
Sisi biaya dikelompokan dalam biaya pengadaan minyak mentah dan produk serta biaya operasi.
Biaya pengadaan minyak mentah dan produk merupakan biaya yang dominan dalam struktur
biaya bbm yang terdiri atas pembelian minyak mentah, impor BBM, perubahan persediaan, dan
nilai non-BBM. Sedangkan biaya operasi terdiri dari atas biaya pengolahyan, biaya distribusi,
biaya angkutan laut, biaya umum dan aministrasi, biaya bunga dan biaya penyusun.
Harga BBM berdasarkan ketetapan pemerintah adalah harga yang ditetapkan dan diberlakukan
untuk konsumsi nasional. Tabel 2 merupakan contoh harga yang ditetapkan pemerintah, dan
tetap dipakai sampai dengan februari 1998, seperti tertera dalam Keppres No. 1/1993 tentang
Harga jual eceran dalam negeri Bahan bakar minyak bumi.
Nilai HPP yang diperoleh setelah dikurangi harga rata-rata Pertamina disebut laba bersih minyak
(LBM). Nilai LBM negatif mencermikan besarnya subsidi yang harus dikeluarkan. Bila
positifberrarti mencerminkan laba bersih. Terlihat diatas untuk mempertaankan supaya
hargadengan seperti tertera dalam Keppres no.1/1993, LBM merupakan besarnya subsidi yang
harus dikeluarkan agar harga tidak berubah. Total subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah
agar harga tidak berubah. Total subsidi yang harus dikeluarkan kemudian dibagi menurut
proporsi dalam struktur BBM.
Tabel 3 merupakan contoh penetapan HPP BBM yang kemudian mnenghasilkan besarnya
subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah. Prinsip subsidi yang seharusnyya dilakukan sekarang
untuk avtur, avgas, dan minyak bakar mengacu pada harga pasar, sementara premium diatas
harga pasar karena jenis BBM ini dipakai oleh masyarakat berpenghasilan menengah keatas.
Subsidi ekonomi adalah perbedaan antara harga efisien BBM yang dicerminkan oleh border
price eks kilang singapurayang dianggap efisien dikurangi harga BBM yang ditetapkan
pemerintah.
Harga BBM dilihat dari alur produksi konsumsi terbentuk setelah melalui tiga
proses. Pertama, kegiatan eksplorasi dan produksi. Kedua, kegiatan operasi kilang. Ketiga,
kegiatan operasi distribusi.
Kegiatan pertama masuk dalam kegiatan industri hulu, sedangka kegiatan kedua da ketiga
masuk dalam kegiatanindustri hilir. Harga yang dihadapi kegiatan eksplorasi-produksi adalah
harga pasar, walaupun sebagian kecil terdiri atas DMO (Domestic Market Obligation) yang
merupakan bagian dari produksi minyak Indonesia yang harus disetor untuk memenuhi
kebutuhan domestik dengan harga tertentu. Sedangkan kegiatan operasi kilang dan distribusi
menghadapi harga yang telah disubsidi, bukan harga pasar sebenarnya.
Tabel 3 memperlihatkan sekali lagi komponen biaya terbesar dalam penetapan harga pokok
ppenjualan BBM adalah biaya pembelian minyak mentah dari pasar internasional. Proporsinya
sekitar 75% dari total biaya. Untu menghindari gejolak harga minyak domestik, perlu
dipertimbangkan alternatif penetapan harga BBM dengan menggunakan ceiling price dan floor
price. Cara ini dilakukan beberapa negara berkembang pada tahapan awal atau masa
transisimenuju harga pasar. Ceiling price adalah batasan harga tertinggi dan floor price adalah
batasan harga terendah yang dapat ditetapkan pemerintah.
Tabel 3
II. Biaya
B. Biaya Operasi
1. Biaya Pengolahan 2.350.749 901.245 289.632 45.193
2. Biaya Distribusi 1.460.748 1.020.760 88.908 28.904
3. Biaya Angkutan Laut 2.129.647 321.876 40.942
4. Biaya umum dan Adm. 90.312 90.780 1.738
5. Biaya Bunga 195.642 59.242 27.212 3.751
6. Biaya Penyusutan 363.670 363.254 6.992
Jumlah 6.590.768 2.959.790 726.300 125.057
Jumlah Biaya 35.`09.524 1.507.812 6.720.890 647.908
(Subsidi)/LBM -16.267.098 17.587.568 6.720.347 -308.901
Konsep perhitungan utama menggunakan metode biaya pembangkitan terendah. Secara umum,
harga energi listrik yang sampai ke pemakai akhir terdiri atas komponen biaya pembangkitan,
biaya transmisi, dan biaya distribusi. Variabel yang paling menentukan harga listrik dari ketiga
komponen tersebut adalah biaya pembangkitan listrik.
Selama ini dipakai metode biaya pembangkitan terendah untuk menentukan besarnya harga
listrik di lokasi pembangkitan. Secara umum metode ini terdiri dari tiga variabel utama, yaitu
biaya modal, biaya operasi dan perawatan, serta biaya bahan bakar. Berikut ini adalah tabel yang
menunjukkan basarnya komponen biaya dalam penentuan biaya beberapa jenis pembangkit
listrik.
Tabel 4
Jenis pembangkit listrik Biaya modal Biaya O&M Biaya bahan bakar Total
Dalam penentuan biaya pembangkitan. Hal ini akan mempengaruhi penentuan harga listrik ke
konsumen dalam arti jenis bahan bakar apa yang nanti menghasilkan harga listrik paling murah.
Biaya pembangkitan listrik itu dapat berubah dari waktu ke waktu tergantung berbagai faktor
yang mempengaruhi penghitungannya. Setelah biaya pada loko pembangkitan ditambah dengan
biaya transimisi dan biaya distribusi, dan dari jumlah ketiga komponen harga, maka ditemukan
biaya listrik yang sampai ke pemakai (end user). Biaya transmisi dan distribusi biasanya
bervariasi sekitar 25 persen dari biaya loko pembangkitan. Setelah biaya total pembangkitan
listrik diketahui, proses selanjutnya beralih be strategi penentuan harga. Karena ini merupakan
harga finansial, rnaka terdapat tiga strategi utama yang dapat ditempuh.
Pertama, menetapkan harga pembangkitan lebih tinggi dari pada harga pembangkitan
yang seharusnya terjadi pada awal masa produksi. Penetapan ini kemudian berangsur-angsur
diturunkan. Produsen listrik yang mengadakan pembangkitan listrik dapat cepat rnenutup biaya
modal mereka, sedangkan efeknya bagi pemakai adalah harga listrik yang mahal pada masa awal
produksi. Kedua, menetapkan harga pernbangkitan yang sama dengan harga dalam penentuan
biaya pembangkitan sebenarnya. Para pemakai akan rnenghadapi harga yang tetap sama, namun
pengembalian modal relatif lebih lambat bagi penyedia listrik. Ketiga, menetapkan harga
pembangkitan listrik lebih rendah dari pada harga pembangkitan yang seharusnya. Pemakai
menikmati harga listrik yang rendah pada masa awal produksi,namun harga berangsur-angsur
meningkat. Dampak bagi produsen berupa pengembalian modal yang sangat lama.
Pertumbuhan kebutuhan akan listrik yang demikian tinggi membuat isu penyediaan tenaga listrik
oleh pihak lain selain PLN menjadi sangat penting. Penyediaan listrik oleh swasta hanya terbatas
pada usaha pembangkitan dan belum termasuk dalam transmisi dan distribusi
Penentuan tarif dasar listrik (TDL) sebenarnya merupakan upaya yang sangat penting
dilakukan, bila dikaitkan dengan struktur dan tingkat harga. Pada prinsipnya penentuan TDL
berdasarkan diskriminasi harga dan harga mark-up dari biaya finansial. Kriteria penetapan TDL
bertujuan untuk :
BAB III
PENUTUP
Dalam penetapan harga energi secara ekonomi, pada intinya harus memenuhi dua kriteria
utama dari sisi produsen dan konsumen.
Dalam metodologi penetapan harga energi ada empat hal yang harus diketahui yaitu:
Biaya dasar atau harga minimum yang merupakan biaya minimum yang diperlukan
produsen untuk memproduksi satu jenis sumber energi. Biaya dasar dapat dibagi menjadi tiga
yaitu biaya penawaran (cost of supply), premi pengurasan (depelation allowance), biaya
eksternal (external cost) dan biaya transpor (transport cost).
Nilai netback yang merupakan nilai maksimum yang sedia dibayar konsumen dihadapkan
dengan harga barang produksi atau biaya dari alternatif terbaik penggunaan energi lainnya.
Harga efisien yang merupakan tingkat harga yang terbentuk saat permintaan sama dengan
penawaran, atau saat keseimbangan.
Harga finansial yang merupakan harga patokan atau harga minimal yang muncul di sisi
produsen.
Di Indonesia ada beberapa masalah yang dijumpai dalam hal penetapan energi. Masalah
tersebut ialah alokasi sumber energi, objektif sosial, masalah lingkungan dan harga energi
di Indonesia.
Solusi dari permasalahan dalam penetapan harga energi adalah ketegasan pemerintah
dalam membuat kebijakan yang berhubungan dengan energi. Ketegasan ini mencakup
dalam pemberhentian pemberian subsidi BBM, melakukan pengembangan terhadap
energi alternatif yang bukan hanya sekedar penelitian saja dan memperketat perjanjian
dengan pihak asing.