Anda di halaman 1dari 54

Makalah Tropis

ASUHAN KERERAWATAN

DIFTERI, PERTUSIS, DAN TETANUS (DPT)

KELOMPOK 12

Anesia Anggun Kinanti (C121 14 036)


Dwi Utari (C121 14 001)
Nurul Aisyiah RatuNegara (C121 14 321)
Tajriah Arfadhilah (C121 14 009)
Novi Lestari (C121 13 023)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat dan
hidayahnya lah sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam dunia keperawatan.

Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini penulis akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang penulis
miliki masih minim. Oleh kerena itu, diharapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 27 maret 2017


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Difteri, Pertusis, dan Tetanus sebuah penyakit yang disebabkan karena


terjadinya infeksi. Penyebab pada masing-masing penyakit ini berbeda-beda dan
bersifat menular.
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular yang terjadi
secara lokal pada mukosa saluran pernapasan atau kulit, yang disebabkan oleh basil
gram positif Corynebacterium diphteriae, ditandai terbentuknya eksudat yang
membentuk membrane pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang
ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini.
Pertusis atau batuk rejan merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
tenggerokan dengan bakteri Bordetella pertussis. Pertusis dapat diderita dari semua
kelompok usia, tetapi lebih serius jika terjadi pada bayi. Penyakit ini dapat dicegah
dengan imunisasi pada usia dua, empat dan enam bulan.
Tetanus adalah penyakit infeksi sporadic yang melibatkan sistem saraf
disebabkan oleh eksotoksin, tetanospasmin yang diproduksi oleh Clostridium tetani.
Karakteristik penyakit ini adalah peningkatan tonus dan spasme otot pada individu
yang tidak memiliki kekebalan tubuh terhadap tetanus. Terkadang infeksi juga
menyerang individu yang sudah memiliki imunitas tetapi gagal mempertahankan daya
imun tubuh yang adekuat. Sehingga meskipun penyakit ini dapat dicegah dengan
imunisasi, akan tetapi insidensinya di masyarakat masih cukup tinggi.

B. Tujuan Pembelajaran

Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang telah diamanahkan agar
saling berbagi informasi kepada sekalian mengenai difteri, pertusis, dan tetanus serta
menjelaskan mengenai asuhan keperawatan dari masing-masing materi tersebut.

C. Rumusan Masalah
1. Asuhan Keperawatan Difteri
2. Asuhan Keperawatan Pertusis
3. Asuhan Keperawatan Tetanus
BAB II

PEMBAHASAN
1. Difteri

A. Definisi

Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik
(racun) Corynebacterium diphteriae.

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular yang terjadi secara
lokal pada mukosa saluran pernapasan atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif
Corynebacterium diphteriae, ditandai terbentuknya eksudat yang membentuk membrane
pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh
eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini. (Sudoyo, 2009).

Difteri adalah infeksi bakteri yang dapat dicegah dengan imunisasi. Infeksi saluran
respiratorik atas atau nasofaring menyebabkan selaput berwarna keabuan dan bila
mengenai laring atau trakea dapat menyebabkan ngorok (stridor) dan penyumbatan.
Sekret hidung berwarna kemerahan. Toksin difteri menyebabkan paralisis otot dan
miokarditis, yang berhubungan dengan tingginya angka kematian.

Difteri beresiko terjadi pada :


1. Orang tang tidak mendapat imunisasi atau imunasasi yang tidak lengkap (anak usia
1-9 tahun dan dewasa dengan imunisasi tidak lengkap).
2. Lingkungan yang padat
3. Pernah atau sedang melakukan perjalanan ke daerah yang sebelumnya merupakan
daerah endemic difteri.
B. Etiologi

Corynebacterium diphteriae merupakan penyebab difteri. Bakteri ini ditularkan


melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan
yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri ini berkembang biak pada atau
disekitar selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan.

Menurut Staf Ilmu Kesehatan Anak FKUI dalam buku kuliah ilmu kesehatan anak,
sifat bakteri Corynebacterium diphteriae :
1. Gram positif
2. Aerob
3. Polimorf
4. Tidak bergerak
5. Tidak berspora

Disamping itu bakeri ini dapat mati pada pemanasan 60 C selama 10 menit, tahan
beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering.Terdapat tiga jenis
basil yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni
dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit.

Basil Difteria mempunyai sifat:

1. Mambentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah, dan berwarna


putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena. terdiri dari fibrin, leukosit,
jaringan nekrotik dan kuman.
2. Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah
beberapa jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas
terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf.

Menurut tingkat keparahannya, Staff Ilmu Kesehatan Anak FKUI membagi penyakit ini
menjadi 3 tingkat yaitu :

a) Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan
gejala hanya nyeri menelan.
b) Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding
belakang rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
c) Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan
anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).

Penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :

1. Difteri hidung

Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian
secret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran.
Penyebaran pseudomembran dapat mencapai faring dan laring.

2. Difteri faring dan tonsil (Difteri Fausial)


Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa
penderita akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai (75%). Gejala mungkin ringan
tanpa pembentukan pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan
imunitas pada penderita. Pada kondisi yang lebih berat diawali dengan radang
tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi,
pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat
meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan ada pembengkakan regional
leher tampak seperti leher sapi (bulls neck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara
serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring.

3. Difteri laring dan trakea

Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer.
Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih
berat timbul sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta
epigastrium. Ada bulls neck, laring tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret,
dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah
sekali perlu dilakukan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.

4. Difteri kutaneus dan vaginal

Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan
pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri,
pada difteri, luka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul
pada daerah konjungtiva dan umbilikus.

5. Difteria Kulit, Konjungtiva, Telinga

Difteria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya.
Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva
berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga
berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

C. Manifestasi Klinis
a. Gejala umum.

Demam tidak terlalu tinggi sekitar 38C, lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia
sehingga pasien tampak lemah.
b. Gejala lokal

Nyeri menelan, bengkak pada leher karena pembengkakan pada area regional,
sesak nafas, serak sampai dengan stridor jika penyakit sudah stadium
lanjut. Gejala akibat eksotoksin tergantung bagian yang terkena misal mengenai
otot jantung terjadi miokarditis, dan bila mengenai syaraf menyebabkan
kelumpuhan.

c. Ada/tidaknya toksin yang beredar dalam sirkulasi darah.


d. Periksa hidung dan tenggorokan anak secara hati-hati, akan terlihat warna keabu-
abuan pada selaputnya, yang sulit dipaksakan. Pada pemeriksaan tenggorokan
harus hati-hati karna dapat mencetuskan obstruksi total saluran napas.
e. Pada faring akan terlihat jelas bengkak pada leher (Bull Neck).
f. Rinorea, berlendir kadang-kadang bercampur darah.

D. Patofisiologi

Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas terutama bila
terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain. Selain itu dapat juga pada
vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut basil membentuk
pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul lokal kemudian
menjalar ke faring, tonsil, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening sekitarnya
akan membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan
menyebabkan miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer sehingga
timbul paralysis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis
lokal pada hati dan ginjal, yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis. Kematian pasien
difteria pada umumnya disebabkan oleh terjadinya sumbatan jalan nafas akibat
pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau gagal
nafas akibat terjadinya bronkopneumonia.

Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi dapat juga
melalui perantaraan alat atau benda yang terkontaminasi oleh kuman difteria. Penyakit ini
dapat mengenai bayi tapi kebayakan pada anak usia balita. Penyakit Difteria dapat berat
atau ringan bergantung dari virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila
ringan hanya berupa keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat
menimbulkan kekebalan pada anak jika daya tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan
pasien datang berobat sering dalam keadaan berat seperti telah adanya bullneck atau
sudah stridor atau dispnea. Pasien difteria selalu dirawat dirumah sakit karena mempunyai
resiko terjadi komplikasi seperti miokarditis atau sumbatan jalan nafas (Ngastiyah, 1997).

Menurut Iwansain (2008) secara sederhana pathofisiologi difteri yaitu :

1. Kuman difteri masuk dan berkembangbiak pada saluran nafas atas, dan dapat
juga pada vulva, kulit, mata.
2. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.
Pseudomembran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas
atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin.
3. Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya
miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan
saraf.
4. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring
dan trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal
Factor Pencetus : Berkembangbiak pada
Bakteri corynebacterium
1. Imunisasi tidak lengkap diphtheria masuk melalui permukaan mukosa saluran
2. Factor lingkungan mukosa dan kulit pernapasan bagian atas
o0\ 3. Daerah endemic difter

Kelenjar getah bening dan Secara Lokal menjalar ke Membentuk Psedomembran


Psedomembran (eksudat
jaringan lunak disekitarnya faring, laring, tongsil dan dan melepaskan eksotoksin
fibrin, sel radang, eritrosit,
membengkak dan mengandung saluran napas atas lainnya. pada tempat
nekrosis, sel-sel epitel)
toksin berkembangbiaknya

Mengenai otot Syaraf


Obstruksi saluran napas Jantung Seluruh tubuh
Nyeri saat menelan jantung

Neorutistoksik
dengan degenarasi
Menyumbat jalan napas Anorexia Miokarditis lemah pada selaput
mielin

Ketidakefektifan Ketidakefseimbangan
Paralis terutama pada otot
bersihan jalan napas nutrisi : kurang dari Kelemahan otot pernapasan, juga terjadi di
kebutuhan tubuh untuk menelan palatum molae, dan lainnya.

Gangguan Menelan
Hambatan komunikasi Verbal
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Bakteriologik : preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan
tenggorokan (nasofaringeal swab)
2. Darah rutin : Hb, Leukosit, hitung jenis eritrosit, albumin.
3. Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen.
4. Enzim CPK, segera saat masuk RS
5. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
6. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksil basal menyerang sel otot jantung
dilakukan sejak hari pertama perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada
indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.
7. Pemeriksaan radiografi toraks untuk mengecek adanya hiperinflasi
8. Tes Shick : tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu pemeriksaan
swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin.

F. Penatalaksanaan

Pengobatan umum :

1. perawatan yang baik, tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi
2. Pengawasan EKG yang dilakukan pada permulaan dirawat satu minggu kemudian dan
minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan
spesifik.
3. Memperhatikan intake cairan dan makanan, bentuk makanan disesuaikandengan
toleransi untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bila perlu sonde
lambung/NGT jika ada kesukaran menelan (terutama jika paralisis pada palatum molle
dan otot-otot faring)
4. Aspirasi secret secara periodic terutama untuk difteri laring.
5. Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan napas segera beri oksigen.

Pengobatan spesifik untuk difteri :

1. ADS (Antidifteri serum), dengan sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata dosis
diberikan sesuai dengan luasnya membrane dan beratnya penyakit.

a. TEST ADS

ADS 0.05 CC murni dioplos dengan aquades 1 CC.

Diberikan 0,05 CC intracutan Tunggu 15 menit indurasi dengan garis tengah 1


cm (+)
b. Difteri Sedang dengan luas membrane menutupi sebagian atau seluruh tonsil
secara unilateral/bilateral diberikan 40.000 IU
c. Difteri Berat dengan luas membrane menutupi hingga melewati tongsil, meluas
ke uvula, palatum molle dan dinding faring diberikan 80.000 IU.
d. Difteri sangat berat adanya bull neck, kombinasi difteri laring dan faring, serta
komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut diberikan
120.000 IU.

Pemberian dalam dosis tunggal melalui IV dengan dilarutkan dalam 200cc NaCl 0,9%
dalam 2 jam (34 tetes/menit).

2. Antibiotik, diberikan penisillin prokain 100.000 IU/kgBB/hari maksimal 3 gram/hari


sampai 3 hari bebas demam dan bila alergi diberikan Eritromisin 50 mg/kgBB secara
oral 3-4 kali/hari selama 10 hari. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan
kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
3. Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat
membahayakan, dengan memberikan prednison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu.
Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan
trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat
diberikan strikin mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari. Dan
deksametason 0,5-1 mg/kgBB/hari secara IV (terutama untuk toksemia).

G. Komplikasi

Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun organ
lainnya:

a. Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung


b. Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak
terkoordinasi dan gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu)
c. Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan
d. Kerusakan ginjal (nefritis).
H. Pencegahan

1. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri
dua kali berturut-turut negatif.

2. Pencegahan terhadap kontak

Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam
pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada
gejala klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.

3. Imunisasi

Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi


DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1
tahun dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2,
3 dan 4 bulan dan boster dilakukan pada usia 1 2 tahun dan menjelang 5 tahun.
Setelah vaksinasi I pada usia 2 bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan
berikutnya karena imunisasi yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai
kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml tiap kali
pemberian.

4. Pencarian orang carier difteria dengan uji shick

Pencarian orang carier difteria dengan uji shick dan kemudian diobati.

a. Dengan tujuan : Untuk mengetahui apakah tubuh mengandung anti toksin terhadap
kuman difteri.
b. Cara : Dengan menyuntikan IC 1/50 Minimal Lethal Dose (MLD) sebanyak 0,02
ml, jika positif akan terlihat merah kecoklatan selama 24 jam

Cara Pencegahan

1. Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada masyarakat terutama


kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan
kepada bayi dan anak-anak.
2. Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara
luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi
dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen acellular
pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung
whole cell pertusis (DTP). Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus
toxoid antigen whole cell pertussis, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat
ini juga telah tersedia.
3. Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika Serikat (Negara
lain mungkin menggunakan jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis sebagai imunisasi
dasar).
a) Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.

Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan
dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8
minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini
tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan
jadwal tersebut.

Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini
tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila
komponen pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat
diberikan vaksin DT.

b) Untuk usia 7 tahun ke atas:

Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan bertambahnya


usia maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai
adalah vaksin dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah.
Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi maka
diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid
(Td).

Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan
6 bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia
menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan
tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh karena itu perlu
diberikan dosis tambahan.

Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian


dosis Td setiap 10 tahun kemudian.

4. Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita seperti
kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar lengkap dan
setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.
5. Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan
mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi
dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada
risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.

Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar

a. Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi


untuk difteria kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel
tenggorokan dan hidung (dan sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya
negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari
24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika.
Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14
hari setelah pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).
b. Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk
penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita.
Dilakukan pencucihamaan menyeluruh.
c. Karantina: Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya
berhubungan dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap
mereka yang dekat dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka harus
diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka telah diobati dengan
cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan bakteriologis
menyatakan bahwa mereka bukan carrier.
d. Manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur
dari sample hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal
Benzathine Penicillin (IM: lihat uraian dibawah untuk dosis pemberian) atau
dengan Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan untuk diberikan
kepada semua orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa
melihat status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau
menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan
tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan
carrier. Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap
perlu diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka
terima sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya
belum pernah diimunisasi, berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi:
Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib tergantung dari usia mereka.
e. Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian carrier dengan menggunakan
kultur dari sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan tidak
bermanfaat.Pencarian carrier dengan kultur hanya bermanfaat jika dilakukan
terhadap kontak yang sangat dekat.

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Biodata
a. Umur
Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan pada
bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
b. Suku bangsa
Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin
c. Tempat tinggal
Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman yang rapat-rapat,
higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang.
2. Keluhan Utama

Sesak napas disertai dengan nyeri menelan.

3. Riwayat Kesehatan Sekarang


Klien mengalami sesak napas disertai dengan nyeri menelan demam, lesu, pucat,
sakit kepala, anoreksia.

4. Riwayat Kesehatan Dahulu

Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas
atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Adanya keluarga yang mengalami difteri

6. Pola Fungsi Kesehatan


a. Pola nutrisi dan metabolisme : Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh
anoreksia
b. Pola aktivitas : Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan
demam
c. Pola istirahat dan tidur : Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu
istirahat dan tidur.
d. Pola eliminasi : Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena
jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia .

7. Pemeriksaan fisik

B1 : Breating

Adanya pembengkakan kelenjer limfe (Bulls neck), timbul peradangan pada


laring/trakea, suara serak, stridor, sesak napas.

B2 : Blood

Adanya degenerasi fatty infiltrate dan nekrosis pada jantung menimbulkan miokarditis
dengan tanda irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang
ditemukan tanda-tanda payah jantung.

B3 : Brain

Gangguan system motorik menyebabkan paralise.


B4 : Bladder

Tidak ada kelainan.

B5 : Bowel

Nyeri tenggorokan, sakit saat menelan, anoreksia, tampak kurus, BB cenderung


menurun, pucat.

B6 : Bone

Bedrest.

B. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan mucus berlebihan, benda
asing dalam jalan napas.
2. Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis (infeksi)
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan makan.
C. Rencana Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d benda asing dalam jalan napas
Definisi: ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran napas untuk
mempertahankan bersihan jalan napas
Domain: 11 (Keamanan)
Kelas : 2 (Cedera fisik)
Batasan karakteristik
1. Sputum dalam jumlah berlebihan
2. Suara napas tambahan (stridor)
3. Dyspnea
4. Perubahan pola napas
5. Perubahan frekuensi napas

NOC
1. Status pernapasan: Kepatenan Jalan Napas
Setelah dilakukan intervensi selama 1 x 24 jam diharapkan status pernapasan pasien dapat stabil
dengan indikator sebagai berikut :
Status Pernapasan : Kepatenan Jalanan Napas
Defenisi : keluar masuknya udara dari dan ke dalam paru
SKALA TARGET OUTCOME : Dipertahankan pada Ditingkatkan ke
Deviasi Deviasi Deviasi Deviasi Tidak ada
Berat yang sedang ringan deviasi
dari cukup dari dari dari
kisaran besar dari kisaran kisaran kisaran
normal kisaran normal normal normal
normal
Skala outcome keseluruhan 1 2 3 4 5
041004 Frekuensi Pernapasan 1 2 3 4 5 NA
041005 Irama pernapasan 1 2 3 4 5 NA
041017 Kedalaman inspirasi 1 2 3 4 5 NA
041012 Kemampuan untuk 1 2 3 4 5 NA
mengeluarkan secret
Sangat Berat Cukup Ringan Tidak ada
berat
041002 Ansietas 1 2 3 4 5 NA
041003 Tersedak 1 2 3 4 5 NA
041007 Suara napas tambahan 1 2 3 4 5 NA
041013 Pernapasan cuping 1 2 3 4 5 NA
hidung
041015 Dyspnea saat aktivitas 1 2 3 4 5 NA
041016 Dyspnea dengan otot 1 2 3 4 5 NA
bantu napas
041020 Akumulasi sputum 1 2 3 4 5 NA
041021 Respirasi agonal 1 2 3 4 5 NA

2. Pencegahan Aspirasi

Pencegahan Aspirasi
Defenisi : tindakan personal untuk mencegah masuknya cairan dan partikel ke dalam paru-paru
SKALA TARGET OUTCOME : Dipertahankan pada Ditingkatkan ke
Tidak Jarang Kadang- Sering Dilakuka
pernah dilakuaka kadang dilakukan n secara
dilakuk n dilakukan kosnsiste
an n
Skala outcome keseluruhan 1 2 3 4 5
191801 Mengidentifikasi factor- 1 2 3 4 5 NA
faktor resiko
191802 Menghindari factor- 1 2 3 4 5 NA
faktor resiko
191803 Memposisikan tubuh 1 2 3 4 5 NA
untuk tetap tegak ketika
makan dan minum
191804 Memilih makanan sesuai 1 2 3 4 5 NA
dengan kemampuan
menelan
191810 Mempertahankan tubuh 1 2 3 4 5 NA
dalam posisi tegak
selama 30 menit

3. Tanda Tanda Vital


Setelah dilakukan intervensi selama 1 x 24 jam diharapkan keadaan vital pasien dapat stabil
dengan indikator sebagai berikut :

Tanda-Tanda Vital
Defenisi : Tingkat suhu, denyut nadi, respirasi, dan tekanan darah berada dalam kisaran normal
SKALA TARGET OUTCOME : Dipertahankan pada Ditingkatkan ke
Deviasi Deviasi Deviasi Deviasi Tidak ada
Berat yang sedang ringan deviasi
dari cukup dari dari dari
kisaran besar dari kisaran kisaran kisaran
normal kisaran normal normal normal
normal
Skala outcome keseluruhan 1 2 3 4 5
080201 Suhu Tubuh 1 2 3 4 5 NA
080202 Denyut jantung apical 1 2 3 4 5 NA
080208 Irama jantung apikal 1 2 3 4 5 NA
080203 Denyut nadi radial 1 2 3 4 5 NA
080204 Tingkat pernapasan 1 2 3 4 5 NA
080210 Irama pernapasan 1 2 3 4 5 NA
080205 Tekanan darah sistolik 1 2 3 4 5 NA
080206 Tekanan darah diastolik 1 2 3 4 5 NA
080209 Tekanan nadi 1 2 3 4 5 NA
080211 Kedalam inspirasi 1 2 3 4 5 NA

Keparahan Infeksi
Defenisi : keparahan tanda dan gejala infeksi
SKALA TARGET OUTCOME : Dipertahankan pada Ditingkatkan ke
Berat Cukup Sedang Ringan Tidak ada
berat
Skala outcome keseluruhan 1 2 3 4 5
070301 Kemerahan 1 2 3 4 5 NA
070302 Vesikel yang tidak 1 2 3 4 5 NA
mengeras permukaannya
070307 Demam 1 2 3 4 5 NA
070333 Nyeri 1 2 3 4 5 NA
070334 Jaringan lunak 1 2 3 4 5 NA
070332 Hilang nafsu makan 1 2 3 4 5 NA
070320 Kolonisasi kultur darah 1 2 3 4 5 NA
0703321 Kolonisasi kultur sputum 1 2 3 4 5 NA
070326 Peningkatan jumlah sel 1 2 3 4 5 NA
darah putih
070327 Depresi jumlah sel darah 1 2 3 4 5 NA
putih

4. Keparahan Infeksi
NIC
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Definisi: ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran napas untuk
mempertahankan bersihan jalan napas
a. Stabilisasi dan membuka jalan nafas
Definisi: penyisipan atau bantuan memasukkan serta menstabilkan alat bantu
Aktivitas-aktifitas
a. Cuci tangan
b. Gunakan alat pelindung diri (sarung tangan, kacamata, dan masker) sesuai kebutuhan
c. Masukkan tube oro/nasofaring, pastikan mencapai dasar lidah, dan tahan lidah agar tidak
jatuh kebelakang
d. Rekatkan oro/nasofaring dengan cara yang tepat
e. Monitor adanya sesak nafas, menggorok saat tube oro/nasofaring terpasang pada
tempatnya
f. Ganti delang oro/nasofaringeal setiap hari dan inspeksi mukosa
g. Auskultasi suara napas kedua sisi paru sebelum menggembungkan manset esophagus EOA
h. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang prosedur intubasi
i. Auskultasi dada setelah intubasi
j. Beri oksigen 100% selama 3-5 menit sesuai yang dibutuhkan
k. Observasi kesimetrisan pergerakan dinding dada
l. Monitor status pernapasan sesuai dengan kebutuhan

b. Pencegahan aspirasi
Definisi: pencegahan atau meminimalisir faktor risiko pada pasien yang beresiko mengalami
aspirasi
Aktivitas-aktifitas
a. Monitor tingkat kesadaran, reflek batuk, gag reflex, kemampuan menelan
b. Skrining adaka disfagia, dengan tepat
c. Pertahankan kepatenan jalan nafas
d. Monitor status pernafasan
e. Monitor kebutuhan perawatan terhadap saluran cerna
f. Berikan perawatan mulut

c. Terapi Oksigen
Definisi: pemberian oksigen dan pemantauan mengenai efektifitasnya
Aktivitas-aktivitas
a. Bersihkan mulut, hidung, dan sekresi trakea dengan tepat
b. Pertahankan kepatenan jalan nafas
c. Berikan oksigen tambahan seperti yang diperintahkan
d. Monitor aliran oksigen
e. Monitor efektivitas terapi oksigen
f. Amati tanda-tanda hipoventilasi induksi oksigen
d. Kontrol Infeksi
1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah digunakan untuk setiap pasien
2. Dorong untuk beristirahat
3. Isolasi orang yang terkena penyakit menular
4. Pertahankan teknik isolasi yang sesuai
5. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi dan kapan harus
melaporkannya kepada penyedia perawatan kesehatan
6. Ajarkan pasien dan anggota keluarga mengenai bagaimana menghindari infeksi
7. Anjurkan pasien untuk meminum antibiotik seperti yang diresepkan
8. Gunakan sabun antimikroba untuk mencuci tangan yang sesuai sebelum dan sesudah
kegiatan perawatan pasien
9. Dorong batuk dan bernapas dalam yang tepat
e. Monitor tanda-tanda vital
Definisi: pengumpulan dan analisis data kardiovaskular, penafasan, dan suhu tubuh untuk
menentukan dan mecegah komplikasi
Aktivitas-aktifitas
a. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status pernafasan dengan tepat
b. Cata gaya dan fluktuasi yang luas pada tekanan darah
c. Monitor tanda dan gejala hipertermia atau hipotermia
d. Monitor keberadaan dan kualitas nadi
e. Monitor irama dan tekanan jantung
f. Monitor nada jantung
g. Monitor irama dan laju pernapasan
h. Monitor suara paru-paru
i. Monitor pola pernapasan abnormal
j. Monitor warna kulit, suhu dan kelembaban
k. Monitor sianosis sentral dan perifer
l. Identifikasi badanya kemungkinan perubahan tanda-tanda vital

2. Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis (infeksi)


Definisi : pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang muncul akibat
kerusakan jaringan actual atau potensial atau yang digambarkan sebagai kerusakan.
Batasan Karakteristik :
1. Agen cedera biologis (mis. Infeksi, iskemia, neoplasma)

NOC
1. Kontrol Nyeri

Kontrol Nyeri
Defenisi : tindakan pribadi untuk mengontrol nyeri
SKALA TARGET OUTCOME : Dipertahankan pada Ditingkatkan ke
Tidak Jarang Kadang- Sering Secara
pernah menunjuk kadang menunjuk konsisten
menunj kan menunjuk kan menunjuk
ukkan kan kan
Skala outcome keseluruhan 1 2 3 4 5
160502 Mengenali kapan nyeri 1 2 3 4 5 NA
terjadi
160501 Menggambarkan faktor 1 2 3 4 5 NA
penyebab
160503 Menggunakan tindakan 1 2 3 4 5 NA
pencegahan
160504 Menggunakan tindakan 1 2 3 4 5 NA
pengurangan nyeri tanpa
analgesik
160505 Menggunakan analgesic 1 2 3 4 5 NA
yang direkomendasikan
160513 Melaporkan perubahan 1 2 3 4 5 NA
terhadap gejala nyeri
pada professional
kesehatan
160509 Mengenali apa yang 1 2 3 4 5 NA
terkait dengan gejala
nyeri
160511 Melaporkan nyeri yang 1 2 3 4 5 NA
terkontrol

2. Pengetahuan : Manajemen Nyeri

Pengetahuan : Manajemen Nyeri


Defenisi : tingkat pemahaman yang disampaikan tentang penyebab, gejala dan perawatan nyeri
SKALA TARGET OUTCOME : Dipertahankan pada Ditingkatkan ke
Tidak Pengetah
Pengetah Pengetah
ada Pengetahu uan
uan uan
pengeta an banyak sangat
terbatas sedang
huan banyak
Skala outcome keseluruhan 1 2 3 4 5
184301 Factor-faktor penyebab 1 2 3 4 5 NA
dan factor yang
berkontribusi
184302 Tanda dan gejala nyeri 1 2 3 4 5 NA
184303 Strategi untuk 1 2 3 4 5 NA
mengontrol nyeri
184320 Pembatasan aktivitas 1 2 3 4 5 NA
184321 Tindakan-tindakan 1 2 3 4 5 NA
pencegahan
184322 Teknik posisi yang 1 2 3 4 5 NA
efektif
184323 teknik relaksasi yang 1 2 3 4 5 NA
aktif
184334 Manfaat pemantauan 1 2 3 4 5 NA
sendiri secara terus-
menerus
184335 Modifikasi gaya hidup 1 2 3 4 5 NA
184337 Strategi pencegahan 1 2 3 4 5 NA
nyeri

3. Nafsu Makan

Nafsu Makan
Defenisi : keinginan untuk makan
SKALA TARGET OUTCOME : Dipertahankan pada Ditingkatkan ke
Sangat
Banyak Cukup Sedikit Tidak
Tergang
terganggu terganggu terganggu terganggu
gu
Skala outcome keseluruhan 1 2 3 4 5
101401 Hasrat/keinginan untuk 1 2 3 4 5 NA
makan
101406 Intake makanan 1 2 3 4 5 NA
101407 Intake nutrisi 1 2 3 4 5 NA
101408 Intake cairan 1 2 3 4 5 NA
101409 Rangsangan untuk makan 1 2 3 4 5 NA
NIC
a. Pemberian Analgesik
Definisi : penggunaan agen farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri
Aktivitas-Aktivitas
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan keparahan nyeri sebelum mengobati pasien
2. Cek adanya riwayat alergi obat
3. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi obat analgesic yang
diresepkan
4. Tentukan pilihan obat analgesic (narkotik, non narkotik, atau NSAID) berdasarkan tipe
dan keparahan nyeri.
5. Monitor TTV sebelum dan sesudah meberikan analgesic narkotik pada pemberian
pertama atau jika ditemukan tanda-tanda yang tidak biasanya
6. Berikan kebutuhan kenyamanan dan aktivitas lain yang dapat membantu relaksasi untuk
memfasilitasi penurunan nyeri
7. Berikan analgesic sesuai waktu paruhnya, terutama pada nyeri yang berat
8. Evaluasi keefektifan analgesic dengan interval yang teratur pada setiap setelah
pemberian khususnya setelah pemberiaan pertama kali, juga observasi adanya tanda dan
gejala efek samping (misalnya depresi pernapasan, mual dan muntah, mulut kering dan
konstipasi).

b. Manajemen Nyeri
Definisi : pengurangan atau reduksi nyeri sampai pada tingkat kenyamanan yang dapat
diterima oleh pasien.
Aktivitas-Aktivitas
1. Lakukan pengkajian nyeri komperhensif yang meliputi lokasi, karakteristik,
onset/duurasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan factor pencetus
2. Pastikan perawatan analgesic bagi pasien dilakukan dengan pemantauan yang ketat
3. Tentukan akibat dari pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup pasien (misalnya, tidur,
nafsu makan, pengertian, perasaan,hubungan, performa kerja dan tanggungjawab
pekerjaan)
4. Evaluasi pengalaman nyeri di masa lalu yang meliputi riwayat kronik individu atau
keluarga atau nyeri yang menyebabkan disability/ketidakmampuan dengan tepat
5. Gunakan metode penilaian yang sesuai dengan tahapan perkembangan yang
memungkinkan untuk memonitor perubahan nyeri dan akan dapat membantu
mengidentifikasi factor pencetus actual dan potensial (misalnya, catatan, perkembangan,
catatan harian)
6. Berikan informasi mengenai nyeri, sepert penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
dirasakan, dan antisipasi dari ketidaknyamanan akibat prosedur
7. Kurangi atau eliminasi factor-faktor yang dapat mencetuskan atau meningkatkan nyeri
(misalnya, ketakutan, kelelahan, keadaan monoton dan kekurangan pengetahuan)
8. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
9. Pertimbangkan tipe dan sumber nyeri ketika memilih strategi penurunan nyeri
10. Dorong pasien untuk memonitor nyeri dan menangani nyerinya dengan tepat
11. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologi (seperti, biofered-back, TENS, hypnosis,
relaksasi, bimbingan antisipatif, terapi music, terapi bermain, terapi aktivitas, akupressur,
aplikasi panas.dingin dan pijatan)
12. Gali penggunaan metode farmakologi yang dipakaipasien saat ini menurunkan nyeri
13. Ajarkan metode farmakologi untuk menurunkan nyeri
14. Dorong pasien untuk menggunakan obat-obatan penurunan nyeri yang adekuat
15. Berikan individu penurunan nyeri yang optimal dengan peresepan analgesic
16. Implemnetasikan penggunaan pasien-terkontrol analgesic (PCA)
17. Gunakan tindakan pengontrol nyeri sebelum nyeri bertambah berat
18. Pastikan pemberian analgesic dan atau strategi nonfarmakologi sebelum dilakukan
prosedur yang menimbulkan nyeri
19. Evaluasi keefektifan dari tindakan pengontrol nyeri yang dipakai selama pengkajian nyeri
dilakukan
20. Mulai dan modifikasi tindakan pengontrol nyeri berdasarkan respon pasien

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Definisi : asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh metabolik

Batasan Karakteristik :

1. Kelemahan otot untuk menelan


2. Ketidakmampuan memakan makanan
3. Membrane mukosa pucat

NOC

1. Status Nutrisi

Status Nutrisi
Defenisi : sejauh mana nutrisi dicerna dan diserap untuk emmenuhi kebutuhan metabolik
SKALA TARGET OUTCOME : Dipertahankan pada Ditingkatkan ke
Sangat Banyak Cukup Sedikit Tidak
menyi mneyimp menyimp menyimpa menyimp
mpang
ang dari ang dari ng dari ang dari
dari
rentang rentang rentang rentang
rentang
normal normal normal normal
normal
Skala outcome keseluruhan 1 2 3 4 5
100401 Asupan gizi 1 2 3 4 5 NA
100402 Asupan makanan 1 2 3 4 5 NA
100408 Asupan cairan 1 2 3 4 5 NA
100403 Energy 1 2 3 4 5 NA
100411 Hidrasi 1 2 3 4 5 NA

2. Nafsu Makan

Nafsu Makan
Defenisi : keinginan untuk makan
SKALA TARGET OUTCOME : Dipertahankan pada Ditingkatkan ke
Sangat
Banyak Cukup Sedikit Tidak
Tergang
terganggu terganggu terganggu terganggu
gu
Skala outcome keseluruhan 1 2 3 4 5
101401 Hasrat/keinginan untuk 1 2 3 4 5 NA
makan
101406 Intake makanan 1 2 3 4 5 NA
101407 Intake nutrisi 1 2 3 4 5 NA
101408 Intake cairan 1 2 3 4 5 NA
101409 Rangsangan untuk makan 1 2 3 4 5 NA

3. Status Menelan

Status Menelan
Defenisi : jalan lintasan yang aman untuk cairan atau makanan padat dari mulut sampai ke perut
SKALA TARGET OUTCOME : Dipertahankan pada Ditingkatkan ke
Sangat
Banyak Cukup Sedikit Tidak
Tergang
terganggu terganggu terganggu terganggu
gu
Skala outcome keseluruhan 1 2 3 4 5
101002 Menangani sekresi mulut 1 2 3 4 5 NA
101005 Pengantaran secara bolus 1 2 3 4 5 NA
ke hipopharing diatur
waktunya dengan reflek
menelan
101007 Pembentukan bolus 1 2 3 4 5 NA
sesuai pada waktunya
101008 Jumlah menelan sesuai 1 2 3 4 5 NA
dengan ukuran atau
tekstur bolus
101010 Reflek menelan sesuai 1 2 3 4 5 NA
dengan waktunya
101015 Mempertahankan posisi 1 2 3 4 5 NA
kepala dan batang tubuh
netral
101018 Mempelajari temuan 1 2 3 4 5 NA
(akan) menelan
NIC

1. Monitor Nutrisi
Definisi : pengumpulan dan analisa data pasien yang berkaitan dengan asupan nutrisi
Aktivitas-Aktivitas
1. Monitor kecenderungan turun dan naiknya berat badan (misalnya, pada pasien anak-anak,
pola tinggi dan anak-anak sesuai standar growth chart)
2. Identifikasi perubahan berat badan terakhir
3. Monitor turgor kuliat dan mobilitas
4. Monitor adanya mual dan muntah
5. Monitor diet dan asupan kalori
6. Identifikasi perubahan nafsu makan dan aktivitas akhir-akhir ini
7. Tentukan pola makan
8. Monitor adanya (warna) pucat, kemerahan dan jaringan konjungtiva yang kering
9. Lakukan evaluasi (kemampuan) menelan (misalnya, fungsi motoric wajah, mulut, otot-
otot lidah, reflek menelan, dan reflek gag)
2. Terapi Menelan
Definisi : memfasilitasi menelan dan mencegah komplikasi dari gangguan menelan
1. Jelaskan rasional latihan menelan ini pada pasien/keluarga
2. Sediakan/gunakan alat bantu, sesuai kebutuhan
3. Bantu pasien untuk duduk tegak (sebisa mungkin mendekati 90 derajat) untuk
makan/latihan menelan
4. Bantu pasien untuk berada pada posisi duduk selama 30 menit setelah makan selesai
5. Intruksikan pasien untuk tidsk bicara selama makan, jika diperlukan
6. Ajari pasien untuk mengucapkan kata ahs untuk meningkatkan elevasi langit-langit
halus, jika memungkinkan
7. Bantu pasien untuk menempatkan makanan ke mulut bagian belakang dan di bagian yang
tidak sakit
8. Monitor tanda dan gejala aspirasi
9. Monitor berat badan
10. Monitor hidrasi tubuh (misalnya, intake, output, turgor kulit, membrane mukosa)

2. Pertusis

A. Definisi pertusis
Pertusis atau batuk rejan merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
tenggerokan dengan bakteri Bordetella pertussis. Pertusis dapat diderita dari semua
kelompok usia, tetapi lebih serius jika terjadi pada bayi. Penyakit ini dapat dicegah
dengan imunisasi pada usia dua, empat dan enam bulan (Latief, dkk 2016).
Sebelum diperkenalkannya vaksin pada anak, sekitar 1940an pertussis adalah
penyebab yang paling banyak mengakibatkan kematian pada anak bayi dan balita di
seluruh dunia. Pemberian vaksin yang telah disebar luaskan telah mengurangi insiden
penyakit dan kematian yang disebabkan oleh pertussis (Mooi, dkk, 2009).
B. Etiologi
Pertusis ditularkan kepada orang lain melalui tetesan dari batuk atau bersin. Tanpa
perawatan, penderita pertussis dapat menularkannya kepada orang lain sampai tiga
minggu setelah batuk mulai terjadi. Waktu antara eksposur dan jatuh sakit biasanya tujuh
sampai 10 hari, tetapi mungkin sampai tiga minggu (Latief, dkk 2016)..
Pertussis disebabkan oleh infeksi bakteri Bordella pertussis dan Bordella
parapertussis. Bakteri ini sangat infeksius dan kontak tanpa perlindungan akan lebih
mudah untuk terindeksi. Pertussis memiliki insidensi tertinggi pada balita, kecuali balita
yang telah memiliki vaksin yang telah bekerja secara efektif dan tetap dapat menyerang
pada orang dewasa (World Health Organization, 2014)
C. Manifestasi klinis
Masyarakat China biasanya menyebut penyakit pertussis dengan batuk 100 hari
karena gejala penyakit pertussis dapat menetap hingga 12 minggu, secara progresif
pertussis memiliki 3 stase. 0-2 minggu biasanya disebut stase catharral, 2-8 minggu
merupakan paroxisimal stase. 2-3 minggu terakhir Convalescent stase yang memiliki 2
kemungkinan dapat terjadi infeksi pada saluran nafas lainnya atau terjadinya
penyembuhan, batuk biasanya berkurang atau menetap pada beberapa kasus (Latief, dkk,
2016).
Terdapat perbedaan gejala awal antara penderita yang telah menerima vaksin
sebelumnya dan yang tidak menerima vaksin ketika menderita penyakit pertussis ini.
Kebanyakan kasus penderita yang telah menerima vaksin memiliki batuk berhari-hari,
batuk kemudian terdapat whooping seperti mengambil nafas dalam dan terkadang muntah
setelah batuk yang begitu keras. Sementara pada anak-anak, mengalami apnea karena
terdapat jeda saat bernafas, sianosis tapi tidak banyak yang mengalami vomitus (U.S
Departement of Health & Human Service, 2015).
Gejala awal sekitar 1 sampai 2 minggu biasanya disertai hal berikut
a. Runny nose (infeksi saluran pernafasan bagian atas)
b. Demam yang tidak terlalu tinggi
c. Biasanya batuk tapi tidak berat
d. Apnea, jeda saat bernafas, sianosis (pada bayi),

Gejala awal ini terlihat influenza pada umumnya, sehingga sulit untuk mendeteksi
pertussis hingga muncul gejala lain, adapun gejala stase lanjut pada pertussis muncul
setelah 1 sampai 6 minggu dan setelah pertussis progressif:

a. Paroksismal pada kebanyakan penderita, sering batuk yang disertai dengan whoop
b. Vomitus, selama atau setelah batuk keras
c. Kelelahan setelah batuk keras

Pertusis yang berat terjadi pada bayi yang belum pernah diberikan imunisasi.
Setelah masa inkubasi 7-10 hari, anak akan merasakan demam, biasanya disertai batuk
dan keluar cairan dari hidung yang secara klinis sulit dibedakan dari batuk dan pilek
biasa. Pada minggu ke 2, timbul batuk paroksismal yang dapat dikenali sebagai pertussis.

Gambar 1 ( (U.S Departement of Health & Human Service, 2015)


Batuk dapat berlangsung sampai 3 bulan atau lebih. Anak infeksius selama 2 minggu
sampai 3 bulan setelah terjadinya penyakit.

D. Patofisiologi

Bordetella Pertussis,
Bordetella parapertusis
Terdapat di udara, dan droplet
terhirup

Masalah keperawatan:
Ineffective airway
Bakteri menempel disepanjang clearance R/F excessive
0-2 minggu
sel tenggorokan, silia akan mucus
Batuk, runny nose
menyapu objek asing

Bakteri bereproduksi dan Masalah keperawatan:


bermigrasi ke sel silia pada Risk for electrolyte
paru-paru imbalance, Ineffective
2-8 minggu airway clearance R/F
Batuk proksismal-> infection,
vomitus-> kelelahan
Infeksi->demam tinggi Hyperthermia R/F illness,

Bakteri menghasilkan toksin


Bayi baru <6bulan:
yang dapat melumpuhkan silia
Apneu,tidak batuk
dan membunuh sel demam,sianosis

8-12 minggu
Toxin dilepas diparu-paru dan
Batuk menetap mulai
akan menyebar keseluruh berkurang, tanda
tubuh penyembuhan
Atau komplikasi sistemik:
limpositosis, post-tussive
vomiting dehidrasi dan
Dapat berkembang menjadi
malnutrisi, sinkope dan
pneumonia jika infeksi terus penurunan kesadaran
terjadi pada paru-paru
E. Pemeriksaan penunjang
Adapun pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menentukan diagnosis dari pertussis
sebagai berikut (World Health Organization, 2014):
a. Collection and transport of specimen (Kultur jaringan)

Mengumpulkan specimen biologi adalah hal yang penting untuk mengidentifkasi


jenis agen bakterial dari Whooping Cough ini. B.pertussis atau B.parapertussis dapat
diisolasi menggunakan nasopharyngeal swabs (NPS), seperti dengan menggunakan
kalsium alginate swab, atau dengan cara nasopharyngeal aspirates (NPA), dapat pula
dengan cara mengambil sputum yang dicurigai menderita pertussis.

B.pertussis atau B.parapertussis merupakan bakteria yang cukup rapuh/rentan.


Sehingga setelah sampel diambil secara NPS atau NPA dalam suhu ruangan maka
secepatnya harus segera di transport ke laboratorium microbiology untuk melakukan
kultur. Kultur sebaiknya dilakukan kurang dari 48 jam. Selanjut specimen yang akan
dilakukan kultur menggunakan PCR (polystyrene stick. Kemudian melihat
mikroorganisme dibawah mikroskop.

b. Deteksi agglutinin

Pengukuran agglutinin tidak cukup sensitive untuk melakukan diagnosis penyakit

c. Antitoxin dan deteksi adhesi


Pengukuran anti-PT antibody dengan menggunakan enzyme-linked
immunosorbent essay (ELISA) adalah teknik yang direkomendasikan.

F. Penatalaksanaan
Kasus ringan pada anak-anak umur >6 bulan dilakukan secara rawat jalan dengan
perawatan penunjang. Umur <6 bulan dirawat dirumah sakit, demikian juga pada anak
dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, apneu, atau kebiruan setelah batuk
(Latief, dkk 2016).
a. Antibiotik
Pemberian eritromisin oral (12.5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari) selama 10
hari atau jenis makrolid lainnya. Hal ini tidak akan memperpendek lamanya
sakit tapi tetap akan menurunkan periode infeksius.
b. Terapi oksigen
Pemberian oksigen dilakukan pada anak yang mengalami sianosi atau
apneu atau paroksismal berat
c. Tatalaksana jalan nafas
Selama batuk paroksismal, posisi kepala anak direndahkan dalam posisi
telungku atau miring untuk mencegah terjadinya aspirasi muntahan dan
membantu pengeluaran secret, bila mengalami episode sianotik keluarkan
lender dari hidung dan tenggorokan dengan lembut dan hati-hati, bila apnea
segera bersihkan jalan nafas, beri bantuan pernafasan manual atau dengan
bagvalve mask, dan berikan oksigen
G. Asuhan keperawatan
a. Pengkajian
Identitas klien yang terdiri dari nama, umur, suku/bangsa, status perkawinan,
agama, pendidikan, alamat, nomor registrasi, tanggal datang kerumah sakit
Keluhan utama dan riwayat keluhan utama (PQRST)
Keluhan utama adalah keluhan yang paling dirasakan mengganggu oleh klien
pada saat perawat mengkaji, dan pengkajian tentang riwayat keluhan utama
seharusnya mengandung unsur PQRST (Paliatif/Provokatif, Quality, Regio,
Skala, dan Time)
Aktifitas/istirahat:
Gejala : mudah lelah, inteloransi aktifitas
Tanda : hipertermi, kelemahan otot, penurunan kesadaran
Sirkulasi :
Gejala : perubahan TD, penurunan perfusi nadi perifer
Tanda : Episode sianotik
Respirasi :
Gejala : Runny Nose, banyaknya pengeluaran sekresi mucus, bersihan jalan
nafas tidak efektif,
Tanda : batuk hingga paroksismal, apnea pada bayi baru lahir
Makanan/cairan
Gejala : anoreksia, dehidrasi dan kelemahan berhubungan dengan vomitus
b. Diagnosa
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan produksi mucus
berlebih
2. Hipertermi berhubungan dengan infeksi pada saluran pernafasan

c. Intervensi keperawatan

1. ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d produksi mucus berlebih


NOC

Status Pernafasan

Skala target outcome dipertahankan pada 3 ditingkatkan ke 4

Devissi berat Deviasi yang Deviasi sedang Deviasi Tidak ada


Skala outcome dari kisaran cukup berat dari dari kisaran ringan dari Deviasi
normal kisaran normal normal kisaran dari
normal kisaran
normal
Frekuensi pernafasan 1 2 3 4 5 N/A
Irama pernafasan 1 2 3 4 5 N/A
Kedalaman inspirasi 1 2 3 4 5 N/A
Kepatenan jalan nafas 1 2 3 4 5 N/A
Sangat Berat berat cukup ringan Tidak ada

Batuk 1 2 3 4 5 N/A
Akumulasi sputum 1 2 3 4 5 N/A
Penggunaan otot bantu nafas 1 2 3 4 5 N/A
Sianosis 1 2 3 4 5 N/A

2. Hipertermi berhubungan dengan infeksi pada saluran pernafasan

Termoregulasi
Definisi: Keseimbangan antara produksi panas, mendapatkan panas, dan kehilangan panas
Skala target outcome: dipertahankan pada 4 ditingkatkan ke 5
Berat Cukup Sedang Ringan Tidak ada
Skala Outcome
berat
Hipertermi 1 2 3 4 5 NA
Sakit kepala 1 2 3 4 5 NA
Sakit otot 1 2 3 4 5 NA
Perubahan warna kulit 1 2 3 4 5 NA
Berat Cukup Sedang Ringan Tidak ada
Skala Outcome
berat
Melaporkan NA
1 2 3 4 5
kenyamanan suhu
Tingkat pernapasan 1 2 3 4 5 NA
Denyut nadi radial 1 2 3 4 5 NA
Denyut jantung apikal 1 2 3 4 5 NA

Hidrasi
Definisi: Ketersediaan air yang cukup dalam kompartemen intraseluler dan ekstraseluler tubuh
Skala target outcome: dipertahankan pada 4 ditingkatkan ke 5
Sangat Besarly Cukup Sedikit Tidak
Skala Outcome terganggu compro terganggu teganggu terganggu
mised
Turgor kulit 1 2 3 4 5 NA
Membran mukosa 1 2 3 4 5 NA
lembab
Intake cairan 1 2 3 4 5 NA
Perfusi jaringan 1 2 3 4 5 NA
Berat Cukup Sedang Ringan Tidak ada
Skala Outcome
berat
Bola mata cekung 1 2 3 4 5 NA
dan lunak
Nadi cepat dan 1 2 3 4 5 NA
lemah
Peningkatan suhu 1 2 3 4 5 NA
tubuh

Keparahan infeksi
Definisi: Keparahan tanda dan gejala infeksi
Skala target outcome: dipertahankan pada 4 ditingkatkan ke 5
Berat Cukup Sedang Ringan Tidak ada
Skala Outcome
berat
Kemerahan 1 2 3 4 5 NA
Vesikel yang tidak 1 2 3 4 5 NA
mengeras
permukaannya
Demam 1 2 3 4 5 NA
Nyeri 1 2 3 4 5 NA
Malaise 1 2 3 4 5 NA
Hilang nafsu makan 1 2 3 4 5 NA
Menggigil 1 2 3 4 5 NA
peningkatan jumlah 1 2 3 4 5 NA
sel drah putih

NIC

1. Manajemen jalan nafas

Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi


Lakukan fisioterapi dada sebagaimana mestinya
Gunakan teknik yang menyenangkan untuk memotivasi anak melakukan nafas
dalam
Instruksikan bagaimana cara melakukan batuk efektif
Auskultasi suara nafas, catat area yang ventilasinya menurun atau tidak ada
dan adanya suara tambahan
Kelola pengobatan aerosol sebagaimana mestinya
Monitor status pernafasan dan oksigenasi

2. Fisioterapi dada

Kenali adanya kontra indikasi dilakukdannya fisioterapi dada pada pasien


Lakukan fisioterapi dada minimal 2 jam setelah makan
Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan
Dekatkan alat-alat yang diperlukan
Monitor jumlah dan karakteristik sputum
Gunakan bantal untuk menopang posisi pasien
Detarkan dengan cepat dan kuat dengan telapak tangan, jaga agar bahu dan lengan
tetap luru, pergelangan tangan kencang, pada area yang akan dilakukan fisioterapi
dada pada saat akan menghembuskan nafas atau batu 3-4 kali
Anjurkan pasien untuk nafas dengan teknik nafas dalam
Anjurkan untuk batuk selama dan setelah tindakan
Sedot sputum
Monitor kemampuan pasien sebelum dan sesudah prosedur
3. Perawatan Demam
Pantau suhu dan tanda tanda vital lainnya
Monitor warna kulit dan suhu
Monitor asupan dan keluaran, sadari perubahan kehilangan cairan yang di rasakan
Beri obat cairan IV ( misalnya ,antipiretik.agen anti bakteri,dan agen anti menggigil)
Tutup pasien dengan selimut atau pakaian ringan,tergantung pada fase demam
( yaitu: memberikan selimut hangat untuk fase dingin, menyediakan pakaian atau
limen tempat tidur ringan untuk demam dan fase bergejolak /flush)
Dorong konsumsi cairan
Fasilitasi istirahat yang sesuia
Mandikan pasien dengan spons hangat dengan hati hati ( berikan pasien dengan suhu
yang sangat tinnggi ,tidak memberikannya selama fase dingin, dan hindari agar tidak
menggigil)
Pantau komplikasi komplikasi yang berhubungan dengan demam serta tanda dan
gejala kondisi penyebab demam( misalnya kejang,penurunan tingkat kesadaran,status
erekltrolit abnormal ,ketidakseimbangan asam basa,aritmia jantung dan perubahan
abnormalitas dll
Lembabkan bibit dan mukosa yang kering.
Monitor kalori dan asupan makanan
Monitor kecenderungan terjadinya penurunan dan kenaikan berat badan.
1. Kontrol Infeksi
Bersihkan lingkungan dengan baik setelah di gunakan untuk setiap pasien
Ganti peralatan pasien sesuia protokol institusi
Pertahankan teknik isolasi yang sesuia
Ajarkan cara cuci tangan bagi tenaga kesehatan
Cuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan perawatan pasien .
Pakai sarung tangan yang steril denan tepat
Jaga lingkungan aseptik yang optimal selama penusukan di samping tempat tidur dari
saluran penghubung
Pastikan penanganan aseptik dari semua saluran IV
Pastikan teknik perawatan luka yang tepat
Dorong untuk batuk dan bernafas dalam yang tepat
Tingkatkan intake nutrisi yang tepat
Dorong intake cairan yang sesuai
Anjurkan pasiem minum antibiotik seperti yang di resepkan .
Dokumentasi respon terhadap analgesik dan adanya efek samping
Lakukan tindakan untuk menurunkan efek samping analgesik(misalnya , konstipasi dan
iritasi lambung.
2. Manajemen Nutrisi
Tentukan status gizi pasien dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan gizi
Identifikasi adanya alergi atau intoleransi makanan yang dimiliki pasien
Instruksikan pasien mengenai kebutuhan nutrisi ( yaitu:membahas pedoman diet dan
piramida makanan)
Tentukan jimlah dan jenis nutrisi yang di butuhkan untuk memenuhi persyaratan gizi.
Ciptakan lingkungan yang optimal pada saat mengkonmsumsi makan ( misalnya : santai,
dan bebas dari bau yang menyengat
Beri obat-obat sebelum makan ( misalnya: penghilang rasa sakit, antimietik) jika di
perlukan.
3. Tetanus

A. Definisi

Tetanus adalah penyakit infeksi sporadic yang melibatkan sistem saraf disebabkan oleh
eksotoksin, tetanospasmin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Karakteristik penyakit ini
adalah peningkatan tonus dan spasme otot pada individu yang tidak memiliki kekebalan tubuh
terhadap tetanus. Terkadang infeksi juga menyerang individu yang sudah memiliki imunitas
tetapi gagal mempertahankan daya imun tubuh yang adekuat. Sehingga meskipun penyakit ini
dapat dicegah dengan imunisasi, akan tetapi insidensinya di masyarakat masih cukup tinggi

B. Etiologi
Clostridium tetani merupakan basil berbentuk batang yang bersifat anaerob, membentuk
spora (tahan panans), gram-positif, mengeluarkan eksotoksin yang bersifat neurotoksin (yang
efeknya mengurangi aktivitas kendali SSP), pathogenesis bersimbiosis dengan mikroorganisme
piogenik (pyogenic).
Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka dalam, luka tusuk, luka dengan jaringan mati
(corpus alienum) karena merupakan kondisi yang baik untuk poliferasi kuman anaerob. Luka
dengan infeksi piogenik dimana bakteri piogenik mengonsumsi eksogen pada luka sehingga
suasana menjadi anaerob yang penting bagi tumbuhnya basil tetanus. Selain itu, penyakit tetanus
bisa terjadi akibat otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit kronis, dan pemotongan tali pusat.

C. Epidemiologi
Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat signifikan di
negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga penatalaksanaan tetanus
modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU) yang jarang tersedia di sebagian besar
populasi penderita tetanus berat.1 Di negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50%
dengan perkiraan jumlah kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada
neonatus. Kematian tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000 kematian per tahun.Di bagian
Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus tetanus pada tahun 1999-2000
dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian retrospektif tahun 2003- Oktober 2004 di RS
Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan mortalitas 47%.
D. Manifestasi klinis
Ada tiga manifestasi klinis dari infeksi tetanus yaitu tetanus generalisata adalah bentuk
tetanus yang paling umum ditandai dengan peningkatan tonus otot dan spasme otot generalisata.
Tetanus neonatorum adalah jenis tetanus yang generalisata dan berakibat fatal apabila tidak
ditangani dengan adekuat. Sedangkan tipe tetanus lokal adalah infeksi tetanus dimana
manifestasi klinisnya terbatas pada otot-otot dekat luka yang menjadi sumber inokulasi kuman.
Salah satu tipe tetanus lokal adalah cephalic tetanus. Cephalic tetanus adalah bentuk tetanus lokal
yang lebih jarang terjadi dengan manifestasi
klinis adalah trismus dan disfungsi satu ata lebih nervus cranialis dengan yang paling sering
terlibat adalah nervus cranialis ke tujuh (facialis).
Secara umum, gejala klinis tetanus yaitu:
1. Masa inkubasi Clostridium tetani 4-21 hari. Semakin lama masa inkubasi, maka
prognosisnya semakin baik. Masa inkubasi tergantung dari jumlah bakteri, virulensi, dan
jarak tempat masuknya kuman (port denre) dengan SSP. Semakin dekat luka dengan SSP
maka prognosisnya akan semakin serius dan semakin jelek. Misalnya, luka di telapak
kaki dan leher bila sama-sama terserang basil tetanus, yang lebih baik prognosisnya
adalah luka yang ada di kaki.
2. Timbulnya gejala biasanya mendadak, didahului dengan ketegangan otot terutama pada
rahang dan leher
3. Sulit membuka mulut (trismus)
4. Kaku kuduk
5. Badan kaku denganepistotonus, tungkai dalam mengalami ekstensi, lengan kaku, dan
mengepal
6. Kejang tonik
7. Kesadaran biasanya tetap baik
8. Asfiksia dan sianosis akibat kontraksi otot, retensi urine bahkan dapat terjadi fraktur
kolumna vertebralis (pada anak) akibat kontraksi otot yang sangat kuat
9. Demam ringan (biasanya pada stadium akhir)
E. Pathway
Luka Infeksi gigi Infeksi telinga Pemotongan tali pusat

Clostridium tetani masuk tubuh

Membentuk spora

Spora berkembang

Spora memproduksi
2 oksitosin

tetanospasmin tetanolisin

Diabsorbsi ujung Diabsorbsi oleh


saraf motorik susunan limfatik

Melalui sinap masuk Sirkulasi darah


SSP
TIK
neurotoksin Kejang MK : Resiko Cedera

Spasme otot

Otot Masseter Otot muka


Otot leher Otot faring dan
Otot punggung kaku kaku
kaku laring
kaku

Peningkatan sekret , ronchi


Opistotonus
Kaku Kuduk Sulit Menekan
Ketidakefektifan bersihan jalan napas

Hambatan Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan


Mobilitas Fisik
F. Penatalaksanaan
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni:
1. Membuang Sumber Tetanospasmin
Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk mengurangi
muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut Antibiotika diberikan untuk
mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan pencegahan tetanus secara klinis
adalah minimal. Pada penelitian di Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi pilihan
di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial
15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari.
Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif.
Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain 50.000-100.000
U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi
tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penicillin
membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000
U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus.
Sebuah penelitian menyatakan bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis
terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA)
2. Netralisasi toksin yang tidak terikat
Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum
berikatan. Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera
diinjeksikan intramuskuler dengan dosis total 3.000- 10.000 unit, dibagi tiga dosis yang
sama dan diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG.
Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000-10.000 unit intravena.
Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis
diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan sekali pengobatan
karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat pengobatan diberikan, makin efektif.
Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap immunoglobulin
atau komponen human immunoglobulin sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan
koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian intra muskular. Bila tidak
tersedia maka digunakan ATS dengan dosis 100.000- 200.000 unit diberikan 50.000 unit
intramuscular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan
40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga.1,4,5 Setelah
penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi immunisasi aktif dengan
toksoid karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki kekebalan
3. Pengobatan suportif
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang
telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU agar
bisa diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang
dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan tenang.

G. Penilaian tetanus
H. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Menurut Muttaqin dalam bukunya yang berjudul Buku Ajar Asuhan Keperawatan
Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan adalah meliputi anamnesis, riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan diagnostic .
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan
fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan di hubungkan dengan keluhan-keluhan
dari klien.
B 1 (Breathing)
Inspeksi ; apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas
dan peningkatan frekuensi pernafasan.
Palpasi ; taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi ; bunyi nafas tambahan seperti ronkhi karena peningkatan produksi secret.
B 2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan syok hipolemik. Tekanan darah
normal, peningkatan heart rate, adanya anemis karena hancurnya eritrosit.
B 3 (Brain)
a) Tingkat kesadaran
Compos mentis, pada keadaan lanjut mengalami penurunan menjadi letargi, stupor dan
semikomatosa.
b) Fungsi serebri
Mengalami perubahan pada gaya bicara, ekspresi wajah dan aktivitas motorik.
c) Pemeriksaan saraf cranial

(1) Saraf I ; tidak ada kelainan, fungsi penciuman normal.

(2) Saraf II ; ketajaman penglihatan normal.

(3) Saraf III, IV dan VI ; dengan alasan yang tidak diketahui, klien mengalami
fotofobia atau sensitive berlebih pada cahaya.

(4) Saraf V ; reflek masester meningkat. Mulut mecucu seperti mulut ikan (gejala khas
tetanus)

(5) Saraf VII ; pengecapan normal, wajah simetris

(6) Saraf VIII ; tidak ditemukan tuli konduktif dan persepsi.

(7) Saraf IX dan X ; kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut
(trismus).

(8) Saraf XI ; didapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)
(9) Saraf XII ; lidah simetris, indra pengecap normal
d) Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi mengalami perubahan.
e) Pemeriksaan refleks
Refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat refleks
pada respon normal.
f) Gerakan involunter
Tidak ditemukan tremor, Tic, dan distonia. Namun dalam keadaan tertentu terjadi
kejang umum, yang berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
B 4 (Bladder)
Penurunan volume haluaran urine berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan
curah jantung ke ginjal.
B 5 (Bowel)
Mual muntah karena peningkatan asam lambung, nutrisi kurang karena anoreksia dan
adanya kejang (kaku dinding perut / perut papan. Sulit BAB karena spasme otot.
B 6 (Bone)
Gangguan mobilitas dan aktivitas sehari-hari karena adanya kejang umum.

b. Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d mucus berlebihan
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan b.d ketidakmampuan makan
4. Risiko cedera

c. Kriteria hasil dan intervensi


1. Hambatan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot
Definisi : Keterbatasan dalam gerakan fisik atau satu atau lebih ekstremitas secara
mandiri dan terarah.
NOC
Pergerakan
Definisi: kemampuan untuk bisa bergerak bebas di tempat dengan atau tanpa alat bantu
Sangat Banyak Cukup Sedikit Tidak Sangat
terganggu terganggu terganggu terganggu terganggu terganggu
Skala Outcome 1 2 3 4 5
Keseluruhan
Keseimbangan 1 2 3 4 5 NA
Koordinasi 1 2 3 4 5 NA
Cara berjalan 1 2 3 4 5 NA
Gerakan otot 1 2 3 4 5 NA
Gerakan sendi 1 2 3 4 5 NA
Kinerja 1 2 3 4 5 NA
pengaturan tubuh
Berlari 1 2 3 4 5 NA
Melompat 1 2 3 4 5 NA
Berjalan 1 2 3 4 5 NA
Bergerak dengan 1 2 3 4 5 NA
mudah
NIC
Peningkatan latihan : Latihan kekuatan
Defenisi : Memfasilitasi latihan ketahanan otot secara teratur untuk memelihara atau
meningkatkan kekuatan otot
Aktivitas-aktivitas :
Lakukan skrining kesehatan sebelum memulai latihan untuk mengidentifikasi resiko
dengan menggunakan skala kesiapan latihan fisik berstandar atau melengkapi
pemeriksaan riwayat kesehatan dan fisik.
Bantu pasien dalam mengekspresikan nilai, kepercayaan dan tujuannya dalam
melakukan latihan otot dan kesehatan.
Sediakan informasi mengenai fungsi otot latihan fisiologis dan konsekuensi dari
penyalahgunaannya
Tentukan tingkat kebugaran otot dengan latihan di lokasi atau menggunakan tes
laboratorium (misalnya maksimum berat beban yang diangkat, jumlah angkatan
persatuan waktu)
Beri informasi mengenai jenis ( latihan) daya tahan otot yang bisa dilakukan (misalnya
latihan tanpa beban, pembebanan dengan mesin, ban peregangan karet, objek angkat
berat, olahraga air).
Bantu dalam menentukan tujuan jangka pendek dan jangka panjang yang realistis serta
perasaan memiliki dari rencana latihan tersebut.
Bantu mengembangkan cara untuk meminimalkan efek prosedur, emosi, tingkah laku,
finansial, atau hambatan kenyamanan terhadap latihan kekuatan otot.
Bantu untuk mengembangkan lingkungan rumah atau tempat kerja yang memfasilitasi
rencana latihan.
Bantu mengembangkan program latihan kekuatan yang sesuai dengan tingkat
kebugaraan otot, hambatan musculoskeletal, tujuan kesehatan fungsional, sumber
peralatan latihan, kecenderungan pribadi dan dukungan sosial.
Demonstrasikan sikap tubuh yang baik (postur) dan tingkatkan bentuk latiham dalam
setiap kelompok otot.
Bantu klien untuk menyampaikan atau mempraktekkan pola gerakan yang dianjurkan
tanpa bebab terlebih dahulu sampai gerakan yang benar sudah dipelajari,
Instruksikan untuk melakukan sesi latihan pada kelompok otot tertentu secara
berselang-seling setiap harinya untuk memfasilitasi adaptasi otot terhadap latihan..
Bantu untuk membuat system penyimpanan catatav yang termasuk di dalamnya
jumlah resistensi dan jumlah pengulangan, serta set (latihan) untuk memonitor
perkembangan kebugaran otot.
Evaluasi ulang tingkat kebugaran otot setiap bulan.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d mukus berlebihan
Definisi: ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran napas untuk
mempertahankan bersihan jalan napas
NOC
Status pernapasan: kepatenan jalan napas
Definisi: ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran napas
untuk mempertahankan bersihan jalan napas

Deviasi Deviasi Deviasi Deviasi Tidak ada


berat dari cukup besar sedang dari ringan dari deviasi dari
kisaran dari kisaran kisaran kisaran kisaran
normal normal normal normal normal
Skala Outcome 1 2 3 4 5
Keseluruhan
Frekuensi 1 2 3 4 5 NA
pernafasan
Irama pernafasan 1 2 3 4 5 NA
Kedalaman 1 2 3 4 5 NA
inspirasi
Kemampuan untuk 1 2 3 4 5 NA
mengeluarkan
sekret
Sangat Berat Cukup Ringan Tidak ada
Berat
Skala Outcome 1 2 3 4 5
Keseluruhan
Ansietas 1 2 3 4 5 NA
ketakutan 1 2 3 4 5 NA
Tersedak 1 2 3 4 5 NA
Suara nafas 1 2 3 4 5 NA
tambahan
Pernapasan cuping 1 2 3 4 5 NA
hidung
Dyspnea dengan 1 2 3 4 5 NA
aktivitas ringan
Batuk 1 2 3 4 5 NA
Akumulasi sputum 1 2 3 4 5 NA
Respirasi agonal 1 2 3 4 5 NA

NIC
Penghisapan lendir pada jalan napas
Definisi: membuang secret dengan memasukkan kateter suksion ke dalam mulut,
nasofaring, atau trakea pasien
Aktivitas-aktivitas:
Lakukan tindakan cuci tangan
Gunakan alat pelindung diri sesuai dengan kebutuhan
Tentukan perlunya suksion mulut atau trakea
Auskultasi suara nafas sebelum dan setelah tindakan suksion
Informasikan kepada pasien dan keluarga tetang pentingnya tindakan suksion
Aspirasinasotharynx dengan kanul suksion sesuai dengan kebutuhan
Berikan sedative, sebagaimana mestinya
Masukkan nasoparingeal airway untuk melakukan subsion nasotracheal sesuai
kebutuhan
Intuksikan kepada pasien untuk menarik nafas dalam sebelum dilakukan subsion
nasotracheal dan gunakan oksigen sesuai kebutuhan.
Gunakan alat steril setiap tindakan subsion trakea
Pilih kanul suksion yang diameternya separuh dari diameter pipa endo trakea, pipa
trakeostomi atau jalan nafas pasien
Intruksikan pada pasien untuk mengambil nafas pelan dan dalam selama kanul
suksion masuk melalui jalur naso trakea
Biarkan pasien tersambung kefentilator selama prosedur suksion jika menggunakan
system suksion tertutup atau jika perangkat adaptor insuflasi oksigen sedang
digunakan.
Gunakan angka terendah pada diding suksion yang diperlukan untuk membuang
sekresi
Monitor adanya nyeri
Monitor adanya status oksigenasi pasien, status neorologis
Berdasarkan durasi setiap suksion trakea buang secret dan cek respon pasien terhadap
suksion
Lakukan suksion orofaring setelah menyelesaikan suksion trakea
Variasikan teknik suksion berdasarkan respon klinis pasien
Monitor dan catat warna, jumlah dan konsistensi sekret
Kirimkan sampel sekret untuk tes kultur dan sensitifitas sebagaimana mestinya..
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan b.d ketidakmampuan makan
Definisi: asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolic
NOC
Status nutrisi : asupan nutrisi
Definisi: asupan gizi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan metabolik
Tidak Sedikit Cukup Sebagian Sepenuhnya
adekuat adekuat adekuat besar adekuat adekuat
Skala Outcome 1 2 3 4 5
Keseluruhan
Asupan kalori 1 2 3 4 5 NA
Asupan protein 1 2 3 4 5 NA
Asupan lemak 1 2 3 4 5 NA
Asupan karbohidrat 1 2 3 4 5 NA
Asupan serat 1 2 3 4 5 NA
Asupan vitamin 1 2 3 4 5 NA
Asupan mineral 1 2 3 4 5 NA
Asupan zat besi 1 2 3 4 5 NA
Asupan kalsium 1 2 3 4 5 NA
Asupan natrium 1 2 3 4 5 NA

NIC
Manajemen gangguan makan
Aktivitas-aktivitas :
Ajarkan dan dukung konsep nutrisi yang baik dengan klien ( dan orang terdekat
klien dengan tepat)
Dorong klien untuk mendiskusikan makanan yang disukai bersama dengan ahli gizi
Monitor intake/asupan dan asupan cairan secara tepat
Observasi klien selama dan setelah pemberian makan untuk meyakinkan bahwa
intake/ asupan makanan yang cukup tercapai dan dipertahankan
Beri kesempatan untuk membatasi pilihan makanan dan latihan untuk
meningkatkan berat badan sebagaiman berat badan meningkat sesuai sikap yang
diinginkan
Bantu klien untuk mengkaji dan memecahkan masalah personal yang berkontribusi
terhadap gangguan makan
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk mengembangkan rencana perawatan
dengan melibatkan klien dan orang-orang terdekatnya dengan tepat
Rundingkan dengan ahli gizi dalam menentukan asupan kalori harian yang
diperlukan untuk mempertahankan berat badan yang sudah ditentukan
Monitor berat badan klien secara rutin
4. Risiko cedera
Definisi: rentan mengalami cedera fisik akibat kondisi lingkungan yang berinteraksi dengan
sumber adaptif dan sumber defensive individu, yang dapat mengganggu kesehatan
NOC
Kejadian jatuh
Definisi: jumlah banyaknya pasien jatuh
10 dan 7-9 4-6 1-3 Tidak ada
lebih
Skala Outcome 1 2 3 4 5
Keseluruhan
Jatuh saat berdiri 1 2 3 4 5 NA
Jatuh saat berjalan 1 2 3 4 5 NA
Jatuh saat duduk 1 2 3 4 5 NA
Jatuh dari tempat 1 2 3 4 5 NA
tidur
Jatuh saat 1 2 3 4 5 NA
dipindahkan
Jatuh saat naik 1 2 3 4 5 NA
tangga
Terjun saat turun 1 2 3 4 5 NA
tangga
Jatuh saat ke kamar 1 2 3 4 5 NA
mandi
Jatuh saat 1 2 3 4 5 NA
membungkuk
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Difteri, Pertusis dan Tenatus adalah penyakit yang disebabkan karena infeksi. Penyakit
ini memiliki etiologi masing-masing yang berbeda namun memiliki kesamaan yaitu penyakit
menular dan merupakan penyakit yang mematikan. Sebelum terjadinya penyakit ini sebaiknya
menghindari penyebab-penyebabnya. Difteri adalah infeksi bakteri yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Adapun dengan tetanus sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat signifikan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk.
Karena penyakit tersebut dapat menular dengan gampangnya baik itu melalui perpindahan
bakteri, percikan ludah antara manusia, ataupun melalui bersin dan batuk. Jadi kita harus dapat
menghindari hal-hal kecil tersebut agar dapat mencegahnya walaupun dengan cara sederhana.

B. Saran

Mengingat ketiga penyakit ini adalah penyakit yang menular, berbahaya, dan mematikan
sebaiknya saling mengingatkan dan menjaga satu sama lain. Adapun mengenai makalah ini kami
sangat mengharapkan kritik dan saran agar menjadi perbaikan kedepannya dan apabila ada yang
keliru mohon diluruskan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Latief, D. (2016). Bab 4. Batuk dan atau Kesulitan Bernapas. Dipetik March 26, 2017,
dari Hospital Care for Chlidren: http://www.ichrc.org/47-Pertusis
Bulechek, G. M., Butcher,H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016). Nursing
Intervention Clasiffication (NIC). Indonesia: Elsevier.
F.R., dkk. (2009). Bordetella Pertussis Strain With Increased Toxin Productrion Associated with
Pertussis Resurgence. Emergency Infection Disease, 1206.
Hasan, Rusepno., dkk. (2005). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jilid II. Jakarta: Cetakan Kesebelas.
Herdman, T. Heater. (2016). Nursing Diagnoses Definitions and Classification 2015-2017.
Jakarta: EGC.
Merdjani, A. d. (2003). Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing Outcome
Classification (NOC). Indonesia: Elsevier.
Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Staf Pengajar Ilmu Keperawatan Anak. (1985). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
FKUI.
U. S Departement of Health & Human Service. (2015, Agustus 31). Pertussis (Whooping
Cough). Dipetik March 26, 2017, dari Centers for Disease Control and Preventions:
https://www.cdc.gov/pertussis/about/signs-symtomd.html
World Health Organization. (2014). Laboratory Manual of The Diagnosis of Whooping Cough
Caused by Bordetella Pertusis/Bordetella Parapertussis. Immunization, Vaccines and
Biologicals, hal. 1-9.

Anda mungkin juga menyukai