LANDASAN TEORI
A. Tindak Pidana
Tindak pidana dalam bahasa belanda disebut strafbaarfeit, terdiri atas tiga suku
kata, yaitu straf yang diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat
dan boleh, dan feit yang diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.
Ada beberapa pengertian tindak pidana dari para ahli sebagai berikut :
Pompe strafbaarfeit adalah tindakan yang menurut suatu rumusan Undang-
Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. (Lamintang
dalam Chazawi, 2002:72).
Simons dalam Marpaung (2012:8) menjelaskan strafbaarfeit adalah suatu
tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun
tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat di
pertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah ditanyakan sebagai suatu
tindakan yang dapat di hukum.
Van Hamel dalam Hamzah (2010:96) menyatakan bahwa tindak pidana adalah
kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang melawan hukum,
yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
Moeljatno dalam Chazawi 2002:71 menyebut tindak pidana sebagai perbuatan
pidana yang diartikan perbuatan yang dilanggar dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut.
b. Pidana Tambahan
Seperti telah disebut bahwa selain pidana pokok maka terhadap anak nakal juga
dapat dijatuhkan pidana tambahan yang berupa :
1. Perampasan barang-barang tertentu; dan atau
2. Pembayaran ganti rugi.
c. Tindakan
Beberapa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal (Pasal 24 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997) adalah:
1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
2. Menyerahkan kepada negara untuk mengiikuti pendidikan, pembinan, dan latihan
kerja; atau
3. Menyerahakan kepada departemen sosial, atau organisasi social kemasyarkatan
yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
Jadi apabila anak melakukan tindak pidana maka dalam menjalani masa
hukuman disesuaikan berdasarkan tindak pidana yang dilakukan anak tersebut
sebagaimana telah dijelaskan ketentuan tentang ancaman pidana bagi anak nakal.
C. Peradilan Anak
Undang-undang terbaru yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan
hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (selanjutnya akan disebut dengan UU SPPA) yang mulai diberlakukan dua tahun
setelah tanggal pengundangannya, yaitu 30 Juli 2012 sebagaimana disebut dalam
Ketentuan Penutupnya (Pasal 108 UU SPPA). Artinya UU SPPA ini mulai berlaku sejak
31 Juli 2014.
UU SPPA ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak (selanjutnya akan disebut dengan UU Pengadilan Anak)
yang bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan
kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. UU Pengadilan
Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan
belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang
berhadapan dengan hukum.
Adapun substansi yang diatur dalam UU SPPA antara lain mengenai penempatan
anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah
pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan
untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat
menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan
anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Demikian antara lain yang
disebut dalam bagian Penjelasan Umum UU SPPA.
Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta
menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik
dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk
memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke
proses di luar peradilan pidana.
3. Hak-hak Anak
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: (Pasal 3 UU SPPA)
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai
dengan umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak
manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan
dalam waktu yang paling singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak,
dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh
anak;
k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Penahanan
Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak
hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun,
atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun
atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah
berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
7. Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Pasal 86 ayat (1) UU SPPA, anak yang belum selesai menjalani
pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan telah mencapai umur
18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda.
Pengaturan tersebut tidak ada dalam Pasal 61 UU Pengadilan Anak.
Walaupun demikian, baik UU SPPA dan UU Pengadilan Anak sama-sama
mengatur bahwa penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan
menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun (Penjelasan Pasal 86 ayat (2) UU
SPPA dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2) UU Pengadilan Anak).