Disusun Oleh:
Kelompok 6
IKMC 2013
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2015
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memperkanankan kami,
kelompok 6, menyelesaikan makalah ini. Serta semoga shalawat serta salam Allah tetap
tercurah kepada baginda Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, dan orang yang tetap teguh
berada dalam sunnahnya.
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan dan keindahan alam yang tidak
terhitung lagi jumlahnya. Dikelilingi oleh lautan, memiliki ratusan gunung menjulang,
serta hamparan sawah dan hutan yang membentang membuat Indonesia mendapat julukan
bumi pertiwi. Namun kondisi alam juga lah yang menjadi faktor penyebab Indonesia
menjadi negara yang tak jarang mengalami bencana alam. Salah satunya seperti bencana
alam gunung berapi. Puluhan gunung berapi yang masih berstatus aktif di Indonesia
menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara ring of fire yang harus terus dipantau dan
diwaspadai.
Oleh karenanya, mengetahui gambaran situasi bencana serta elemen resiko dan
bagaimana manajamen penanggulangannya merupakan hal penting yang patut untuk di
ulas dan didiskusikan. Makalah ini berfokus kepada situasi bencana alam erupsi Gunung
Sinabung Kabupaten Karo pada tahun 2013/2014 dan bagaimana manajamen program
penanggulangan pada korban bencana alam gunung Sinabung.
Bagaimanapun makalah ini dirancang dan diseleseikan, tentu masih terdapat banyak
kekurangan yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, penulis sangat menerima saran
dan kritik guna perbaikan penulisan makalah selanjutnya.
Semoga dengan disusunnya makalah yang berjudul Manajamen Bencana Erupsi
Gunung Api Sinabung Kabupaten Karo Sumatera Utara ini dapat memberikan manfaat
bagi seluruh pembaca. Sekian dan terima kasih.
Kelompok 6
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah
2
1.3 Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
2.1 Laporan Kasus 3
2.2 Analisis Situasi 6
BAB III RISIKO BENCANA
7
BAB IV ELEMEN RISIKO 9
BAB V VULNERABILITY 11
BAB VI PERENCANAAN MITIGASI BENCANA
12
BAB VII MANAJEMEN PROGRAM PENANGGULANGAN PASCA BENCANA
14
7.1 Manajemen Pelayanan Kesehatan
14
7.2 Manajemen Pelayanan Gizi dan Pangan 16
7.3 Manajemen Pelayanan Kesehatan Lingkungan 16
7.4 Manajemen Pemulihan Psikologi
18
7.5 Manajemen Pemberantasan Penyakit Menular 23
7.6 Manajemen Kesehatan Reproduksi
26
DAFTAR PUSTAKA
35
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Sebaran Pos Penampungan Pengungsi Erupsi Gunung Api Sinabung
iv
iii
Lampiran 2. Peta Shelter Pengungsian Erupsi Gunung Api Sinabung
v
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.6 Tujuan
1. Mengetahui gambaran situasi bencana erupsi G. Sinabung Kab. Karo.
2. Mengetahui risiko bencana erupsi G. Sinabung Kab. Karo.
3. Mengetahui elemen risiko bencana erupsi G. Sinabung Kab. Karo.
4. Mengetahui kondisi kerentanan akibat bencana erupsi G. Sinabung Kab. Karo.
5. Mengetahui perencanaan mitigasi bencana erupsi G. Sinabung Kab. Karo.
6. Mengetahui manajemen program penanggulangan pasca bencana erupsi G.
Sinabung Kab. Karo.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Data pengunsi erupsi G. Sinabung pada bulan Juni hingga September 2015, sebagai
berikut:
Gambar 1. Data Pengungsi Erupsi G. Sinabung Kab. Karo Tanggal 13 Juni 2015
Gambar 2. Data Pengungsi Erupsi G. Sinabung Kab. Karo Tanggal 29 Juli 2015
4
Gambar 3. Data Pengungsi Erupsi G. Sinabung Kab. Karo Tanggal 12 Agustus 2015
Gambar 4. Data Pengungsi Erupsi G. Sinabung Kab. Karo Tanggal 12 Agustus 2015
5
2.2 Analisi Situasi
Berdasarkan data terbaru dari Humas dan Media Center Penanganan Tanggap
Darurat Bencana Erupsi Gunung Sinabung Kabupaten Karo tahun 2015 diatas diketahui
bahwa jumlah pengungsi di Kabupaten Karo pada bulan Juni sebanyak 2.585 jiwa yang
terbagi atas 4 posko yaitu posko Jambur Lau Buah Batu Karang, posko Paroki G. Katolik
Kabanjahe, posko Gedung Serba Guna KNPI Kabanjahe dan posko Gedung Serbaguna
GBKP Kabanjahe. Pengungsi meningkat pada bulan Juli sebanyak 11.110 jiwa yang
tertampung pada 10 posko. Kemudian, data pengungsi menurun pada bulan selanjutnya
yaitu bulan Agustus sebanyak 11.106 jiwa . Data terakhir yang dapat kami tampilkan yaitu
jumlah pengungsi pada bulan September yang menurun kembali sebanyak 9.313 jiwa yang
terdiri atas 2.572 KK dengan jumlah pengungsi perempuan 4.700 jiwa dan jumlah
pengungsi laki-laki 4.613 jiwa. Adapun kelompok rentan yang terdapat di kabupaten
tersebut terbagi atas kelompok lansia sebanyak 609 jiwa, kelompok ibu hamil 79 jiwa,
kelompok balita 28 jiwa serta kelompok bayi 120 jiwa. Posko penampungan dibagi
menjadi 9 posko yang terdiri dari posko Paroki G. Katolik Kabanjahe yang dihuni oleh
pengungsi asal desa Tiga Pancur, posko Gedung Serba Guna KNPI Kabanjahe oleh desa
Sukanalu, posko GBPK Ndokum Siroga oleh desa Pintu Mbesi, posko Gedung Serbaguna
GBKP Kabanjahe oleh desa Sigarang-garang, posko Gudang Jeruk Surbakti / TK Surbakti
oleh desa Jeraya, posko BPPT. Jambur Tongkoh oleh desa Kuta Rayat, posko Jambur
Korpri oleh desa Kuta Gugung dan Dusun Lau Kawar, posko Gudang Konco oleh desa
Mardinding serta yang terakhir yaitu posko GPDI Ndokum Siroga yang dihuni oleh
pengungsi asal desa Kuta Tengah. Pengungsi erupsi Gunung Sinabung ini berkurang
semenjak tanggal 19-20 Agustus 2015 karena menerima sewa rumah maupun sewa lahan.
6
BAB III
RISIKO BENCANA
Erupsi Gunung Sinabung dengan keluarnya asap hitam keabuan dan abu vulkanik
memberikan ancaman nyata kepada pengungsi serta masyarakat di lingkungan sekitar.
Terutama dengan bertebarannya abu vulkanik ke segala penjuru arah dapat memberikan
ancaman serta dampak serius bagi kesehatan masyarakat. Melihat data statistik yang
diperoleh dari laporan harian Posko Satuan Tugas Nasional Penanggulangan Bencana
Erupsi Gunung Api Sinabung pada tahun 2014 menyatakan bahwa cukup banyak
pengungsi yang mengeluhkan kesehatannya yang disebabkan oleh abu vulkanik, baik itu
melalui inhalasi, ingesti, atau kulit, dan jika itu tidak diatasi dan ditanggulangi dengan
baik, maka tidak ada kemungkinan lain bahwa akan menimbulkan risiko yang lebih
berbahaya. Risiko kesehatan tersebut yakni:
1. ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)
ISPA merupakan akibat lanjutan dari iritasi saluran napas yang terjadi, seperti asma
atau sesak napas. Kasus infeksi yang sangat mungkin terjadi adalah ISPA, akibat
dari iritasi saluran pernapasan oleh material abu vulkanik, sehingga daerah iritasi
akan sangat mudah terjadi infeksi, mengingat abu vulkanik bertebaran di udara
dengan masyarakat yang tidak menggunakan alat pelindung diri seperti masker.
2. Asma
Abu vulkanik merupakan salah satu pencetus terjadinya serangan asma. Asma
merupakan penyakit yang bersifat terjadi terus menerus yang biasanya terjadi
apabila terdapat pencetusnya. Dalam hal ini, abu vulkanik menjadi salah satu
pencetus asma yang kuat sehingga yang terjadi pada masyarakat penderita asma
biasanya adalah bengek yang bisa muncul kapan saja saat terpapar abu vulkanik.
Secara umum, efek abu vulkanik pada paru akan menyebabkan iritasi karena
bersifat asam. Iritasi yang terjadi adalah dari saluran pernapasan atas hingga bawah,
seperti batuk-batuk atau bersin. Namun jika fasenya lebih lanjut, maka bisa
menyebabkan sakit tenggorokan, timbunan dahak, sesak napas, juga kekambuhan
pada penyakit paru apabila seseorang sebelumnya telah memiliki riwayat penyakit
pernapasan. Penyakit tersebut bisa terjadi, jika kejadiannya terus-menerus dan
bertahun-tahun.
7
3. Conjungtivitis
Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva (peradangan mata) dengan
katong mata membengkak dan mata berair. Abu vulkanik yang berujung tajam dan
runcing, jika mengenai atau masuk ke dalam mata, akan membuat iritasi pada mata,
infeksi, dan selanjutnya akan terjadi peradangan (konjungtivitis).
4. Diare
Bertebarannya abu vulkanik, juga sampai dengan peralatan masyarakat sekitar. Abu
vulkanik yang berterbangan dan akhirnya hinggap di kebutuhan penting masyarakat
sehari-hari, seperti air atau makanan. Ukurannya yang kecil membuatnya menjadi
tidak kasat mata. Sehingga apabila pengungsi atau masyarakat sekitar memakan
makanan atau meminum air dimana abu vulkanik secara tidak sengaja berada di
dalamnya, juga akan ikut termakan dan akan menimbulkan infeksi pada saluran
pencernaan yang akhirnya akan berakibat diare.
5. Gastritis
Abu vulkanik yang secara tidak sengaja ikut termakan beserta makanan pengungsi
atau masyarakat, dengan jumlah abu vulkanik yang sangat banyak di udara, jika
menempel pada makanan dan termakan dalam jumlah yang tidak sedikit dan secara
berkelanjutan tanpa diketahui, akan mengakibatkan peradangan pada lambung,
yang dikenal dengan gastritis.
Selain risiko kesehatan, abu vulkanik pada erupsi Gunung Sinabung juga berisiko
pada lingkungan sekitar, seperti abu vulkanik akan menutupi jalanan, rumah-rumah
penduduk juga menutupi tanaman yang akan mempersulit masyarakat dalam melakukan
aktivitas sehari-hari. Juga, Erupsi gunung biasanya diikuti dengan peningkatan kondensasi
di atmosfer sehingga memicu terjadinya hujan dengan intensitas cukup tinggi. Hujan
dengan intensitas tinggi bisa menggelontorkan material vulkanik yang masih tersisa di
puncak gunung dan berpotensi menimbulkan banjir ataupun longsor. Risiko lainnya adalah
pada sektor transportasi. Jarak pandang yang berkurang akibat abu vulkanik dan asap
hitam keabuan akan mengahalangi jarak pandang yang akhirnya akan berpotensi
menyebabkan kecelakaan, terutama bagi masyarakat pengendara motor atau mobil.
8
BAB IV
ELEMEN RISIKO
Elemen resiko adalah segala objek, perseorangan, binatang, aktivitas dan proses
yang dapat terkena efek negatif oleh fenomena-fenomena alam yang berbahaya (hazardous
phenomena) baik secara langsung maupun tidak langsung (van westen, 2005). Elemen
resiko (elemen at risk) ialah penduduk, bangunan, properti, fasilitas penting, infrastruktur,
komponen lingkungan dan sosial yang berpotensi terkena dampak dari suatu kejadian
bencana dan kemungkinan kerugian yang timbul akibat suatu kejadian bencana. Semua
elemen resiko tersebut sangat rentan terhadap perubahan yang terjadi pada suatu wilayah
akibat kejadian bencana.
1. Korban Manusia
Bencana meletusnya gunung sinabung telah mengakibatkan korban manusia
yang cukup besar. Bencana juga telah membuat kekhawatiran di pemukiman,
sehingga banyak penduduk yang mengungsi. Diperkirakan terdapat lebih dari 30
ribu orang pengungsi yang sebagian besar anak-anak, perempuan dan lansia.
Bencana juga memberikan trauma psikis terhadap penduduk yang berkepanjangan.
Banyak juga diantara penduduk yang mengalami depresi akibat ketidakmenentuan
masa depan mereka nantinya.
2. Kerusakan Lahan Pertanian
Selain korban manusia, bencana meletusnya gunung sinabung juga
mengakibatkan kerusakan lahan pertanian yang luas. Penduduk yang sebagian
besar menjadi petani mengalami kerugian yang cukup tinggi. Lahan pertanian yang
sebagian besar terkena lahar panas, tanaman-tanaman yang seharusnya dapat
dipanen terselubungi abu panas dari gunung sinabung sehingga diperkirakan
mengalami kerugian hingga ratusan juta, milyaran sampai triliunan.
3. Lumpuhnya Pelayanan Dasar
Selain korban manusia, bencana meletusnya gunung sinabung yang juga di sertai
gempa ini melumpuhkan hampir seluruh pelayanan dasar di wilayan yang terkena
letusannya. Penduduk yang selamat dan mengungsi kekurangan pelayanan dasar
seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan, sosial dan pemerintahan.
Lumpuhnya pelayanan dasar ini disebabkan bahayanya jika mendekati daerah
sekitar gunung yang sewaktu waktu dapat meletus kembali dan selalu
mengeluarkan hujan abu.
9
4. Tidak berfungsinya Infrastruktur Dasar
Infrastruktur dasar seperti jalan, listrik dan lain-lain juga tidak luput menjadi
korban keganasan gempa dan meletusnya gunung sinabung. Hujan abu dan erupsi
gunung sinabung membuat banyak fasilitas infrastruktur yang digunakan sebagai
penopang aktivitas sosial-ekonomi masyarakat banyak yang tidak berfungsi dan
mengalami tingkat kerusakan tinggi.
5. Hancurnya sebagian Sistem Sosial dan Ekonomi
Secara keseluruhan, bencana telah menghancurkan sebagian sistem sosial-ekonomi
masyarakat di sekitar pemukiman gunung sinabung. Aktivitas produksi,
perdagangan, pertanian dan perkebunan mengalami kelumpuhan dan kerusakan
sehingga perlu adanya pemulihan dengan segera. Sistem transportasi dan
telekomunikasi juga mengalami gangguan serius dan harus ditangani agar lokasi-
lokasi bencana dapat segera diakses.
Keadaan fisik korban perlu penanganan segera dan juga keadaan pendidikan yang
fakum untuk beberapa waktu, serta pemenuhan kebutuhan dasar pangan, sandang
dan perumahan yang memerlukan penanganan prioritas.
10
BAB V
VULNERABILITY
11
BAB VI
PERENCANAAN MITIGASI BENCANA
12
sendiri oleh masyarakat, sehingga ketika terjadi erusi gunung sinabung pengevakuasian
oleh masyarakat sendiri dapat dilakukan dengan cepat dan efisien.
BAB VII
13
MANAJEMEN PROGRAM PENANGGULANGAN PASCA BENCANA
Triase
14
Triase Gawat Darurat
a. Seorang dokter yang telah berpengalaman (dianjurkan dokter yang bekerja di unit
gawat darurat rumah sakit, ahli anestesi atau ahli bedah)
b. Perawat, tenaga medis gawat darurat, atau tenaga pertolongan
c. Petugas administrasi yang bertugas untuk meregistrasi.
Pangan lokal yang dapat diandalkan sebagai produk pangan darurat antara lain
ialah ubi jalar, pisang, singkong, dan sagu. Dengan inovasi lewat sentuhan teknologi
17
pangan, produk ini bisa diperkaya dengan kandungan lemak, protein, mineral dan
vitamin antioksidan.
b) Sanitasi
Feses manusia mengandung banyak organisme yang menyebabkan penyakit
meliputi virus, bakteri, dan telur atau larva dari parasit. Mikroorganisme yang
ada pada feses manusia mungkin masuk ke tubuh melalui makanan, air, alat
makan dan masak yang terkontaminasi atau melalui kotak dengan benda-benda
yang terkontaminasi. Diare, kolera, dan typhoid tersebar dengan cara ini dan
penyebab utama kesakitan dan kematian dalam bencana dan kedaruratan.
Sedangkan urin relatif kurang berbahaya, kecuali di area dimana schistosomiasis
karena urin terjadi (Wisner & Adams, 2002).
Sullage (sampah cair dari dapur, kamar mandi dan tempat cucian)
mengandung organisme yang menyebabkan penyakit, khususnya dari pakaian
kotor, tapi bahaya kesehatannya terjadi terutama ketika berkumpul di daerah
dengan pembuangan limbah yang buruk dan menjadi tempat berkembang
biaknya nyamuk Culex. Tikus, anjing, kucing, dan binatang lain yang mungkin
adalah carrier (reservoir) bagi organisme penyebab penyakit tertarik pada
makanan, pakaian, pembalut medis dan komponen lain sampah padat. Kumpulan
air hujan yang sedikit pada sampah padat dapat menjadi tempat berkembang
biak nyamuk Aedes (Wisner & Adams, 2002).
Penyimpangan atau penampungan sampah hendaknya 1 tanki 100 L per 10
keluarga atau 50 orang. Untuk transportasi sampah dianjurkan 1 gerobak per 500
orang atau 1 tenaga pembuang sampah untuk 5000 orang. Sedangkan untuk
pembuangan akhir sampah 1 lubang (2m x 5m dan dalam 2 m) dan 1
pembakaran digunakan untuk 500 orang (Komisi Tinggi PBB untuk Urusan
Pengungsi. Thn).
c) Sistem Pembuangan
Menyediakan privies sementara, toilet portable, dan holding tanks untuk
individual selama dan setelah bencana (Wisner & Adams, 2002).
Jumlah kakus, sebagaimana dianjurkan PBB, adalah 1 kakus per keluarga.
19
Namun apabila tidak memungkinkan bisa 1 kakus per 20 keluarga, bahkan 1
kakus per 100 orang (Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi. Thn).
d) Penguburan Jasad
Sebelum dilakukan pemakaman maka sedapat mungkin semua jasad
diidentifikasi dan dicatat hasilnya. Saat menangani jasad, pekerja harus
melindungi dirinya dengan sarung tangan, penutup muka, sepatu lars dan baju
kerja terusan. Sesudahnya pekerja harus membersihkan diri mereka sendiri
dengan sabun dan air (Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi .Thn).
e) Keamanan Makanan
Makanan kemungkinan akan sulit didapat pada keadaan darurat atau setelah
bencana. Panen mungkin rusak di sawah, ternak tergenang, dan suplai makanan
terganggu, dan penduduk terpaksa menyelamatkan diri ke area dimana tidak ada
akses ke makanan. Lebih lanjut, keamanan semua makanan berakibat besarnya
risiko epidemi foodborne disease (Wisner & Adams, 2002).
WHO (1991) menetapkan Aturan Baku Penyiapan Makanan Secara Aman
sebagai berikut :
1. Masak makanan mentah sampai benar-benar matang.
2. Makan makanan yang dimasak segera mungkin.
3. Menyiapkan makanan hanya untuk sekali makan.
4. Menghindari kontak antara makanan mentah dan makanan matang.
5. Memilih makanan yang diproses untuk keamanan
6. Mencuci tangan berulang-ulang.
7. Menjaga semua penyiapan makanan tetap bersih.
8. Menggunakan air bersih.
9. Mewaspadai makanan yang dibeli di luar.
10. Memberikan ASI pada bayi dan anak kecil.
Pada kondisi bencana biasanya didirikan banyak dapur umum. Penyiapan
makanan secara massal mempunyai banyak kekurangan yang meliputi transmisi
food borne disease. Karena itu penting bagi pengelola makanan dan supervisor
untuk ditraining pengolahan makanan secara aman dan Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP). Adalah penting sekali bahwa tenaga masak dan
sukarelawan yang menyiapkan makanan tidak menderita gejala berikut :
jaundice (kuning) , diare, muntah, demam, sakit tenggorokan (dengan demam),
luka kulit yang tampak terinfeksi (borok, luka, dan lain lain) atau ekskreta dari
telinga, mata atau hidung (Wisner & Adams, 2002).
Fasilitas yang dibutuhkan untuk dapur umum antara lain : suplai air, toilet
untuk staf dan pengguna, fasilitas cuci tangan, fasilitas untuk mengelola sampah
20
cair dan padat, meja, fasilitas untuk mencuci peralatan dapur, bahan yang cukup
dan sesuai untuk makan, kontrol terhadap rodent dan pes yang lain, serta
informasi keamanan makanan (Wisner & Adams, 2002).
Makanan beku yang tidak dibekukan lagi sebaiknya dibuang. Makanan
yang disimpan di lemari es yang disimpan di bawah 41 F dan belum
terkontaminasi air sungai atau yang lain atau bahan yang potensial berbahaya
dapat digunakan (Koren dan Bisesi , 2003)
f) Kontrol Pest dan Vektor
Selama situasi darurat dan periode sesudahnya, insekta dan rodent mungkin
meningkat dengan kecepatan tinggi. Peluang penyebaran penyakit meningkat
tajam. Karena sistem pembuangan rusak, rodent meninggalkan area ini dan
mencari sumber makanan lain. Yang jelas, setelah bencana, sampah padat yang
meliputi bahan-bahan yang bisa menjadi sumber makanan rodent berkumpul
(Koren dan Bisesi , 2003).
Bahaya infeksi yang serius mungkin meningkat ketika migrasi massal
membawa penduduk secara bersama-sama dari asal yang berbeda ke tempat
penampungan sementara yang sudah ada vektor penyakitnya. Pada kondisi
demikian, penduduk yang relatif carrier imun terhadap parasit dapat memulai
siklus penyebaran penyakit pada penduduk yang lemah dan penduduk yang jadi
korban tapi tidak kebal. Contoh outbreak penyakit yang diobservasi pada kondisi
demikian meliputi malaria (oleh nyamuk Anopheles), epidemic typhus (oleh
kutu), dan demam dengue (oleh nyamuk Aedes). Malaria adalah salah satu dari
lima penyebab kematian pada situasi darurat, dan di area endemik kontrolnya
mungkin menjadi salah satu prioritas kesehatan utama (Wisner & Adams, 2002).
21
perbaikan sistem surveillans kesehatan, dan kesadaran penduduk yang terkena
bencana terhadap penyakit menular, dan rujukan segera ke fasilitas kesehatan
dapat meningkatkan kemampuan untuk mengontrol penyakit menular dan
mencegah kejadian luar biasa (Wisner & Adams, 2002).
h) Partisipasi Masyarakat
Pelibatan masyarakat (terutama korban bencana) penting untuk menurunkan
kerentanan terhadap bencana, untuk memfasilitasi pemulihan setelah bencana,
dan untuk menstimulasi organisasi masyarakat yang merupakan basis untuk
pembangunan berkelanjutan.
Masyarakat didorong untuk ambil bagian dalam mengidentifikasi hazard
yang mereka hadapi, dalam menilai kerentanan mereka sendiri, dan dalam
merencanakan jalan untuk meningkatkan kesiapan mereka dalam bencana
(Wisner & Adams, 2002).
Masyarakat pada umumnya lebih mengenal situasi dan kondisi lingkungan
setempat, mengetahui bagaimana perilaku dan kebiasaan, serta kebutuhan
masyarakat setempat korban bencana. Dengan melibatkan masyarakat setempat
maka program penanggulangan bencana yang ada akan lebih tepat sasaran,
efektif, dan efisien.
22
1. Tahap Tanggap Darurat
Tahap ini yaitu pada masa beebrapa jam atau hari setelah bencana. Dampak
yang terlihat pada tahapan ini adalah numbing atau mati rasa secara psikis,
tertegun, linglung, apatis dan tatapan mata kosong. Tidak lama kemudian,
korban akan mengalami perasaan takut yang sangat kuat, disertai dengan
rangsangan fisiologis, jantung berdebar-debar, ketegangan otot, nyeri otot,
gangguan gastrointestinal, dan ketidakstabilan emosi.
2. Tahap Pemulihan
Pada tahap ini korban bencana telah berada pada kondisi stabil, akan tetapi
bantuan logistic dan sukarelawan sudah mulai berkurang. Korban harus bias
menghadapi realita yang ada dan optimis tentang masa depan yang dikenal
dengan fase honeymoon. Akan tetapi pada fase pemulihan, korban biasanya
mengalami kekecewaan dan kemarahan dan berbagai gejala pasca trauma seperti
Pasca Trauma Stress Disorder, Disorder Kecemasan Generalized, Abnormal
Dukacita, dan Post Traumatic Depresi.
3. Tahap Rehabilitasi dan Rekonstruksi
4. Fase ini sekitar satu tahun atau lebih setelah bencana.
Pada fase ini, sebagian besar korban bencana sudah sembuh namun resiko
lain dapat meningkat seperti bunuh diri, kelelahan kronis, ketidakmampuan
untuk bekerja, kehilangan minat dalam kegiatan, dan kesulitan berpikir logis,
bahkan hingga konflik internal dalam komunitas.
24
Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian dan memerlukan
tindakan pencegahan karena berpotensi menjadi KLB. Berdasarkan Laporan Penyakit
Pos Kesehatan Bencana Sinabung, jenis penyakit yang muncul pada pengungsi
bencana gunung meletus Sinabung adalah: gastritis, ISPA, conjungtiva, diare,
hipertensi, anxietas, dan penyakit lainnya. Oleh karena itu diperlukan manajemen
penyakit sehingga masalah tersebut dapat teratasi, terutama untuk kasus penyakit
menular yang perlu segera ditidak lanjuti agar tidak menjadi KLB dan bukan berarti
mengabaikan penyakit tidak menular. Pada pelaksanaan kegiatan surveilans bila
menemukan kasus penyakit menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan di
pengungsian harus melaporkan kepada Puskesmas/Pos Yankes di bawah koordinasi
Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai penanggung jawab pemantauan dan
pengendalian.
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
1. Vaksinasi
Sebagai prioritas pada situasi pengungsian, bagi semua anak usia 6 bulan
15 tahun menerima vaksin campak dan vitamin A dengan dosis yang tepat.
2. Masalah umum kesehatan di pengungsian
Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian memerlukan
tindakan pencegahan. Contoh penyakit tersebut antara lain, diare, cacar, penyakit
pernafasan, malaria, meningitis, tuberkulosa, tifoid, cacingan, scabies, xeropthal-
mia, anemia, tetanus, hepatitis, IMS/HIV-AIDS
3. Manajemen kasus
Semua anak yang terkena penyakit menular selayaknya dirawat agar
terhindar dari risiko penularan termasuk kematian.
4. Surveilans
Dilakukan terhadap beberapa penyakit menular dan bila menemukan kasus
penyakit menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan di pengungsian, harus
melaporkan kepada Puskesmas dibawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten
sebagai penanggung jawab pemantauan dan pengendalian.
25
4. Ketersediaan air bersih yang seringkali tidak mencukupi jumlah maupun
kualitasnya.
5. Diantara para pengungsi banyak ditemui orang-orang yang memiliki risiko tinggi,
seperti balita, ibu hamil, berusia lanjut.
6. Pengungsian berada pada daerah endemis penyakit menular, dekat sumber
pencemaran, dan lain-lain. Potensi munculnya penyakit menular yang sangat erat
kaitannya dengan faktor risiko, khususnya di lokasi pengungsian dan masyarakat
sekitar penampungan pengungsi bencana Sinabung, adalah: penyakit diare,
penyakit ISPA dan penyakit menular lain spesifik lokal
a. Tatalaksana penderita
Bilamana ditemukan adanya penderita Diare di lokasi bencana atau
penampungan pengungsi, pertama-tama yang harus dikerjakan pada waktu
memeriksa penderita diare adalah:
1) Menentukan derajat dehidrasi
2) Menentukan pengobatan dehidrasi yang tepat
Setiap penderita diare yang mengalami dehidrasi harus diobati dengan
oralit. Seluruh petugas kesehatan harus memiliki keterampilan dalam
menyiapkan oralit dan memberikan dalam jumlah besar. Sesuai dengan derajat
dehidrasinya, penderita diberikan terapi sebagai berikut:
a. Rencana Terapi A: untuk mengobati penderita diare tanpa dehidrasi.
b. Rencana Terapi B: untuk mengobati penderita diare dengan dehidrasi
ringan/sedang.
c. Rencana Terapi C: untuk mengobati penderita dengan dehidrasi berat.
Bila penderita dalam keadaan dehidrasi berat rehidrasi harus segera dimulai.
Setelah itu pemeriksaan lainnya dapat dilanjutkan.
26
3) Mencari masalah lain, seperti, kurang gizi, adanya darah dalam tinja diare lebih
dari 14 hari. Selain diperiksa status dehidrasinya harus pula diperiksa gejala
lainnya untuk menentukan adanya penyakit lain seperti adanya darah dalam
tinja, panas, kurang gizi dan lain sebagainya.
a. Bila tinja penderita mengandung darah berarti penderita mengalami disentri
yang memerlukan
b. Pengobatan antibiotik.
c. Bila penderita diare 14 hari atau lebih berarti menderita diare persisten dan
perlu diobati.
d. Bila penderita panas (>38C) dan berumur >2 bulan dapat diberikan obat
penurun panas.
e. Bila didaerah tersebut endemik malaria dan anak ada riwayat panas
sebelumnya dapat diberikan pengobatan sesuai program malaria.
Keterangan lengkap tentang masalah lain lihat pada gambar tatalaksana
penderita diare.
a. Penatalaksanaan Penderita
Klasifikasi penyakit ISPA pada anak usia 2 bulan sampai <5 tahun dapat
dilihat pada Tabel 3. Selain tiga klasifikasi tersebut, terdapat tanda bahaya pada
anak usia 2 bulan sampai <5 tahun yang perlu diperhatikan, antara lain, tidak bisa
minum, kejang, sukar dibangunkan, stridor waktu tenang dan gizi buruk. Tanda-
tanda ini disebabkan oleh banyak kemungkinan. Anak yang mempunyai salah satu
tanda bahaya, harus segera dirujuk ke Puskesmas/Rumah Sakit secepat mungkin:
1. Sebelum anak meninggalkan Puskesmas, petugas kesehatan dianjurkan
memberi pengobatan seperlunya (misal atasi demam, kejang, dsb), tulislah
surat rujukan ke Rumah Sakit dan anjurkan pada ibu agar anaknya dibawa ke
rumah sakit sesegera mungkin
2. Berikan satu kali dosis antibiotik sebelum anak dirujuk (bila memungkinkan)
Tabel 3. Klasifikasi penyakit ISPA pada anak usia 2 bulan sampai <5 Tahun
29
Langkah-langkah pemberian antibiotika, antara lain:
1. Tentukan dosis yang tepat sesuai dengan usia anak, sesuai Tabel 4.
30
Tabel 4. Dosis Antibiotik Kotrimoksasol
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan ulang 2 hari kemudian pada
anak dengan pneumonia yang diberi antibiotika, antara lain:
1. Setiap anak dengan penyakit pnemonia yang mendapat antibiotika, harus dibawa
kembali 2 hari kemudian. Pemeriksaan kedua sama dengan pemeriksaan pertama,
untuk menentukan apakah penyakitnya: tidak membaik, tetap sama atau
membaik.
2. Penyakit anak memburuk bila anak menjadi sulit bernafas, tak mampu minum,
timbul tarikan dinding dada kedalam, atau tanda bahaya yang lain. Anak yang
demikian dirujuk untuk rawat tinggal.
3. Anak yang membaik pernafasannya akan melambat. Tanda-tanda lain juga akan
berkurang, misalnya demam menurun atau menghilang, nafsu makan bertambah.
31
Mungkin masih batuk. Beritahu ibunya untuk meneruskan pemberian antibitika
sampai 5 hari.
4. Bila keadaan anak masih tetap sama seperti pada pemeriksaan sebelumnya,
tanyakan tentang pemberian antibitikanya. Mungkin ada masalah yang
mengakibatkan anak belum minum antibiotika tersebut, atau minum dengan takaran
dan jadwal pemberian yang kurang semestinya. Apabila demikian teruskan lagi
pemberian antibiotika yang sama. Bila anak telah minum antibiotik dengan benar,
obat tersebut harus diganti dengan antibiotika yang lain (kalau tersedia). Kalau
tidak ada antibiotika yang lain, rujuk ke Rumah Sakit.
32
1. Identifikasi organisasi dan individu untuk memfasilitasi koordinasi dan
implementasi PPAM sebagai focal point, yang mengkoordinasikan kegiatan
kesehatan reproduksi sejak awal untuk mengatasi keadaan gawat darurat, dan bekerja
di bawah koordinator umumbidang kesehatan.
2. Pencegahan danmanajemen kekerasan seksual dan akibatnya.
Semua petugas yang terlibat dalam penanggulangan keadaan darurat harus sensitif
terhadapmasalah kekerasan seksual. Langkah-langkah untuk membantu korban
kekerasan seksual, termasuk perkosaan, harus sudah disusun pada fase awal darurat.
Korban kekerasan seksual harus segera dirujuk ke fasilitas kesehatan dan pihak yang
berwajib harus terlibat untuk memberikan perlindungan dan dukungan hukum.
3. Menekan penularan HIV melalui:
a) Melaksanakan tindakan kewaspadaan universal (universal precaution). Dalam
keadaan darurat ada kecenderungan mengabaikan tindakan kewaspadaan universal.
b) Menjamin tersedianya kondomsecara gratis. Kondom harus dijamin
ketersediaannya sejak awal dalam jumlah cukup. Masyarakat harus diinformasikan
tentang ketersediaan kondom di fasilitas kesehatan dan fasilitas lainnya.
4. Pencegahanmorbiditas danmortalitas maternal dan bayi baru lahir, dengan cara:
a) Menyediakan kit yang berisi alat persalinan yang bersih untuk dapat digunakan
dalammenjamin persalinan bersih apabila terpaksa dilakukan di rumah.
b) Menyediakan kit persalinan untuk menjamin persalinan yang bersih dan aman.
Pada fase awal keadaan darurat, persalinan sering terjadi di luar fasilitas kesehatan
sehingga penting untuk menyediakan kit persalinan bagi bidan.
c) Memantapkan sistemrujukan untuk mengelola kasus gawat darurat kebidanan. Oleh
karena itu, sistem rujukan yang mampumenangani komplikasi kebidanan 24 jam
sehari harus segera tersedia. Diperlukan koordinasi dengan pemerintah
setempatmengenai kebijakan dan prosedur sistemrujukan.
5. Perencanaan pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif yang terintegrasi
dalampelayanan kesehatan dasar. Harus dilaksanakan sebelumfase tanggap darurat
berakhir,melalui kegiatan:
a) Pengumpulan informasi kematian ibu dan bayi baru lahir, prevalensi IMS/HIV dan
prevalensi pemakaian kontrasepsi
b) Identifikasi faskes yang memadai untuk pelayanan kesehatan reproduksi
komprehensif
33
DAFTAR PUSTAKA
34
Lampiran 1. Peta Sebaran Pos Penampungan Pengungsi Erupsi Gunung Api Sinabuung
35
LAMPIRAN
36
Lampiran 2. Peta Shelter Pengungsian Erupsi Gunung Api Sinabung
Keterangan Peta Shelter
Tenda ukuran 6m x 14m mampu memuat 50 orang.
Karena terdapat 1000 pengungsi maka, dibutuhkan
20 tenda.
Tempat
Pembunagan Letak bak sampah 15 m dr tempat sampah dari
Sampah barak pengungsi.
38