Anda di halaman 1dari 42

TUGAS MAKALAH MANAJEMEN KLB DAN BENCANA

MANAJEMEN BENCANA ERUPSI GUNUNG API SINABUNG KABUPATEN


KARO SUMATERA UTARA

Disusun Oleh:
Kelompok 6

Ericha Fitria Widyatama 101311133115


Fildza Fadhila 101311133122
Vida Indira Puspita 101311133135
Hanum Kholida Zia 101311133145
Selvy Novita Sari 101311133236
Zernike Victoria Sakinah 101311133221

IKMC 2013
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2015

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memperkanankan kami,
kelompok 6, menyelesaikan makalah ini. Serta semoga shalawat serta salam Allah tetap
tercurah kepada baginda Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, dan orang yang tetap teguh
berada dalam sunnahnya.
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan dan keindahan alam yang tidak
terhitung lagi jumlahnya. Dikelilingi oleh lautan, memiliki ratusan gunung menjulang,
serta hamparan sawah dan hutan yang membentang membuat Indonesia mendapat julukan
bumi pertiwi. Namun kondisi alam juga lah yang menjadi faktor penyebab Indonesia
menjadi negara yang tak jarang mengalami bencana alam. Salah satunya seperti bencana
alam gunung berapi. Puluhan gunung berapi yang masih berstatus aktif di Indonesia
menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara ring of fire yang harus terus dipantau dan
diwaspadai.
Oleh karenanya, mengetahui gambaran situasi bencana serta elemen resiko dan
bagaimana manajamen penanggulangannya merupakan hal penting yang patut untuk di
ulas dan didiskusikan. Makalah ini berfokus kepada situasi bencana alam erupsi Gunung
Sinabung Kabupaten Karo pada tahun 2013/2014 dan bagaimana manajamen program
penanggulangan pada korban bencana alam gunung Sinabung.
Bagaimanapun makalah ini dirancang dan diseleseikan, tentu masih terdapat banyak
kekurangan yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, penulis sangat menerima saran
dan kritik guna perbaikan penulisan makalah selanjutnya.
Semoga dengan disusunnya makalah yang berjudul Manajamen Bencana Erupsi
Gunung Api Sinabung Kabupaten Karo Sumatera Utara ini dapat memberikan manfaat
bagi seluruh pembaca. Sekian dan terima kasih.

Surabaya, 17 November 2015

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah
2
1.3 Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
2.1 Laporan Kasus 3
2.2 Analisis Situasi 6
BAB III RISIKO BENCANA
7
BAB IV ELEMEN RISIKO 9
BAB V VULNERABILITY 11
BAB VI PERENCANAAN MITIGASI BENCANA
12
BAB VII MANAJEMEN PROGRAM PENANGGULANGAN PASCA BENCANA
14
7.1 Manajemen Pelayanan Kesehatan
14
7.2 Manajemen Pelayanan Gizi dan Pangan 16
7.3 Manajemen Pelayanan Kesehatan Lingkungan 16
7.4 Manajemen Pemulihan Psikologi
18
7.5 Manajemen Pemberantasan Penyakit Menular 23
7.6 Manajemen Kesehatan Reproduksi
26
DAFTAR PUSTAKA
35
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Sebaran Pos Penampungan Pengungsi Erupsi Gunung Api Sinabung
iv

iii
Lampiran 2. Peta Shelter Pengungsian Erupsi Gunung Api Sinabung
v

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.4 Latar Belakang


Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis, hidrologis, dan
demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana. Wilayah Indonesia
memiliki kondisi geografis, geologis, dan demografis yang unik dan beragam. Kondisi
geologi Indonesia yg merupakan pertemuan lempeng-lempeng tektonik menjadikan
kawasan Indonesia ini memiliki kondisi geologi yang sangat kompleks. Selain
menjadikan wilayah Indonesia ini kaya akan sumberdaya alam, salah satu konsekuensi
kekompleksan kondisi geologi ini menjadikan banyak daerah di Indonesia memiliki
tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana alam. Bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, 2011)
Salah satu jenis bencana di Indonesia yang sering terjadi akibat faktor alam adalah
terjadinya letusan gunung berapi. Letusan gunung api adalah merupakan bagian dari
aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah "erupsi". Bencana erupsi cukup sering
terjadi akhir-akhir ini karena pada dasarnya Indonesia memiliki 129 gunung api aktif
atau (sekitar 10% dari jumlah gunung api di seluruh dunia) yang tersebar dari ujung
utara Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi Utara (Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi, 2010).
Letusan atau erupsi gunung api yang berbahaya akan berpengaruh secara langsung
maupun tidak langsung terhadap kehidupan penduduk di sekitarnya. Bahaya
langsungnya adalah bahaya yang diakibatkan oleh material yang keluar dari letusan
gunung api seperti aliran lava, batu kerikil, awan panas, lontaran batu pijar dan hujan
panas yang jika terkena akan mematikan kehidupan di sekitarnya termasuk penduduk.
Bahaya tidak langsungnya adalah aliran lahar atau banjir lahar akibat bertumpuknya
materi vulkanik di bagian lereng (Setiawan, 2010).
Salah satu gunung api aktif yang berstatus awas terdapat di Kabupaten Karo
Sumatera Utara yaitu Gunung Sinabung. Erupsi Gunung Sinabung mempengaruhi
status kesehatan korban bencana dan/atau pengungsi. Penyakit pada pengungsi muncul
1
akibat debu vulkanik yang keluar setiap terjadi erupsi, serta minimnya fasilitas
kebutuhan dasar bagi pengungsi seperti mandi, cuci dan kakus (MCK) yang tidak
sesuai dengan jumlah pengungsi. Sementara kesehatan dan kesejahteraan sosial
merupakan hak setiap individu, termasuk pengungsi. Oleh sebab itu dalam makalah ini
akan membahas bagaimana kondisi situasi bencana erupsi Gunung Sinabung beserta
rencana mitigasi dan manajemen penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung.

1.5 Rumusan Masalah


1. Bagaimana gambaran situasi bencana erupsi G. Sinabung Kab. Karo?
2. Bagaimana risiko bencana erupsi G. Sinabung Kab. Karo?
3. Bagaimana elemen risiko bencana erupsi G. Sinabung Kab. Karo?
4. Bagaimana kondisi kerentanan akibat bencana erupsi G. Sinabung Kab. Karo?
5. Bagaimana perencanaan mitigasi bencana erupsi G. Sinabung Kab. Karo?
6. Bagaimana manajemen program penanggulangan pasca bencana erupsi G.
Sinabung Kab. Karo?

1.6 Tujuan
1. Mengetahui gambaran situasi bencana erupsi G. Sinabung Kab. Karo.
2. Mengetahui risiko bencana erupsi G. Sinabung Kab. Karo.
3. Mengetahui elemen risiko bencana erupsi G. Sinabung Kab. Karo.
4. Mengetahui kondisi kerentanan akibat bencana erupsi G. Sinabung Kab. Karo.
5. Mengetahui perencanaan mitigasi bencana erupsi G. Sinabung Kab. Karo.
6. Mengetahui manajemen program penanggulangan pasca bencana erupsi G.
Sinabung Kab. Karo.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Laporan Kasus


Berdasarkan laporan Disaster Management Center Dompet Dhuafa (DMCDD)
diperoleh informasi mengenai peningkatan aktivitas vulkanik G. Sinabung dari
Waspada menjadi Siaga pada tanggal 3 November 2013, aktivitas vulkanik meningkat
secara fluktuatif hingga 22 November 2013 dan meningkat secara siginifikan pada 23
dan 24 November 2013. Sehingga tingkat aktivitas G. Sinabung dinaikkan dari level
III (Siaga) menjadi Level IV (Awas) pada tanggal 24 November 2013 pukul 10:00
WIB. Sejak tanggal 8 April 2014 pukul 17:00 WIB tingkat aktivitas G. Sinabung
diturunkan dari Level IV (Awas) menjadi Level III (Siaga). Aktivitas G. Sinabung
meningkat kembali secara visual dan instrumen sehingga terhitung tanggal 2 Juni 2015
Pukul 23:00 WIB dinaikkan dari Level III (Siaga) menjadiLevel IV (Awas).
Gambaran situasi aktivitas G. sinabung tanggal 02 Juni 2015. Terjadi 3 kali Awan
Panas Guguran dengan visual tertutup kabut. Teramati guguran lava dari puncak
sejauh 1000 meter ke tenggara. Tanggal 03-09 Juni 2015 teramat guguran lava dari
puncak sejauh 700 1000 meter ke arah selatan dan 300 1000 meter ke arah
tenggara.
Tanggal 10 Juni 2015 (hingga pukul 08.00 WIB) Cuaca mendung hingga berawan,
angin tenang, suhu udara 16-18C. Gunungapi tampak jelas hingga tertutup kabut.
Saat gunungapi jelas teramati hembusan tebal berwarna putih dengan tinggi 500 meter.
Terjadi 2 kali awan panas guguran sejauh 1000 2500 meter ke arah tenggara dan
selatan, dengan tinggi kolom abu 500 700 meter. Teramati 2 kali guguran lava dari
puncak sejauh 1500 meter ke arah selatan dan 1000 meter ke arah tenggara. Pada
periode 2 Juni 2015 hingga 10 Juni 2015 pagi, gunungapi umumnya tampak jelas
hingga tertutup kabut. Pada saat tampak jelas, teramati hembusan tipis hingga tebal
berwarna putih dengan tinggi 100 hingga 1000 m di atas puncak. Awan panas guguran
terjadi dengan jarak luncur mencapai 2500 meter ke arah selatan dengan kolom abu
700-1000 meter dari puncak, dan 1000 1300 meter ke arah tenggara dengan kolom
abu 300 700 meter dari puncak. Guguran lava dari puncak teramati sejauh 400
2000 meter ke arah selatan dan 500 1500 meter ke arah tenggara.

3
Data pengunsi erupsi G. Sinabung pada bulan Juni hingga September 2015, sebagai
berikut:
Gambar 1. Data Pengungsi Erupsi G. Sinabung Kab. Karo Tanggal 13 Juni 2015

Gambar 2. Data Pengungsi Erupsi G. Sinabung Kab. Karo Tanggal 29 Juli 2015

4
Gambar 3. Data Pengungsi Erupsi G. Sinabung Kab. Karo Tanggal 12 Agustus 2015

Gambar 4. Data Pengungsi Erupsi G. Sinabung Kab. Karo Tanggal 12 Agustus 2015

5
2.2 Analisi Situasi
Berdasarkan data terbaru dari Humas dan Media Center Penanganan Tanggap
Darurat Bencana Erupsi Gunung Sinabung Kabupaten Karo tahun 2015 diatas diketahui
bahwa jumlah pengungsi di Kabupaten Karo pada bulan Juni sebanyak 2.585 jiwa yang
terbagi atas 4 posko yaitu posko Jambur Lau Buah Batu Karang, posko Paroki G. Katolik
Kabanjahe, posko Gedung Serba Guna KNPI Kabanjahe dan posko Gedung Serbaguna
GBKP Kabanjahe. Pengungsi meningkat pada bulan Juli sebanyak 11.110 jiwa yang
tertampung pada 10 posko. Kemudian, data pengungsi menurun pada bulan selanjutnya
yaitu bulan Agustus sebanyak 11.106 jiwa . Data terakhir yang dapat kami tampilkan yaitu
jumlah pengungsi pada bulan September yang menurun kembali sebanyak 9.313 jiwa yang
terdiri atas 2.572 KK dengan jumlah pengungsi perempuan 4.700 jiwa dan jumlah
pengungsi laki-laki 4.613 jiwa. Adapun kelompok rentan yang terdapat di kabupaten
tersebut terbagi atas kelompok lansia sebanyak 609 jiwa, kelompok ibu hamil 79 jiwa,
kelompok balita 28 jiwa serta kelompok bayi 120 jiwa. Posko penampungan dibagi
menjadi 9 posko yang terdiri dari posko Paroki G. Katolik Kabanjahe yang dihuni oleh
pengungsi asal desa Tiga Pancur, posko Gedung Serba Guna KNPI Kabanjahe oleh desa
Sukanalu, posko GBPK Ndokum Siroga oleh desa Pintu Mbesi, posko Gedung Serbaguna
GBKP Kabanjahe oleh desa Sigarang-garang, posko Gudang Jeruk Surbakti / TK Surbakti
oleh desa Jeraya, posko BPPT. Jambur Tongkoh oleh desa Kuta Rayat, posko Jambur
Korpri oleh desa Kuta Gugung dan Dusun Lau Kawar, posko Gudang Konco oleh desa
Mardinding serta yang terakhir yaitu posko GPDI Ndokum Siroga yang dihuni oleh
pengungsi asal desa Kuta Tengah. Pengungsi erupsi Gunung Sinabung ini berkurang
semenjak tanggal 19-20 Agustus 2015 karena menerima sewa rumah maupun sewa lahan.

6
BAB III
RISIKO BENCANA

Erupsi Gunung Sinabung dengan keluarnya asap hitam keabuan dan abu vulkanik
memberikan ancaman nyata kepada pengungsi serta masyarakat di lingkungan sekitar.
Terutama dengan bertebarannya abu vulkanik ke segala penjuru arah dapat memberikan
ancaman serta dampak serius bagi kesehatan masyarakat. Melihat data statistik yang
diperoleh dari laporan harian Posko Satuan Tugas Nasional Penanggulangan Bencana
Erupsi Gunung Api Sinabung pada tahun 2014 menyatakan bahwa cukup banyak
pengungsi yang mengeluhkan kesehatannya yang disebabkan oleh abu vulkanik, baik itu
melalui inhalasi, ingesti, atau kulit, dan jika itu tidak diatasi dan ditanggulangi dengan
baik, maka tidak ada kemungkinan lain bahwa akan menimbulkan risiko yang lebih
berbahaya. Risiko kesehatan tersebut yakni:
1. ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)
ISPA merupakan akibat lanjutan dari iritasi saluran napas yang terjadi, seperti asma
atau sesak napas. Kasus infeksi yang sangat mungkin terjadi adalah ISPA, akibat
dari iritasi saluran pernapasan oleh material abu vulkanik, sehingga daerah iritasi
akan sangat mudah terjadi infeksi, mengingat abu vulkanik bertebaran di udara
dengan masyarakat yang tidak menggunakan alat pelindung diri seperti masker.
2. Asma
Abu vulkanik merupakan salah satu pencetus terjadinya serangan asma. Asma
merupakan penyakit yang bersifat terjadi terus menerus yang biasanya terjadi
apabila terdapat pencetusnya. Dalam hal ini, abu vulkanik menjadi salah satu
pencetus asma yang kuat sehingga yang terjadi pada masyarakat penderita asma
biasanya adalah bengek yang bisa muncul kapan saja saat terpapar abu vulkanik.
Secara umum, efek abu vulkanik pada paru akan menyebabkan iritasi karena
bersifat asam. Iritasi yang terjadi adalah dari saluran pernapasan atas hingga bawah,
seperti batuk-batuk atau bersin. Namun jika fasenya lebih lanjut, maka bisa
menyebabkan sakit tenggorokan, timbunan dahak, sesak napas, juga kekambuhan
pada penyakit paru apabila seseorang sebelumnya telah memiliki riwayat penyakit
pernapasan. Penyakit tersebut bisa terjadi, jika kejadiannya terus-menerus dan
bertahun-tahun.

7
3. Conjungtivitis
Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva (peradangan mata) dengan
katong mata membengkak dan mata berair. Abu vulkanik yang berujung tajam dan
runcing, jika mengenai atau masuk ke dalam mata, akan membuat iritasi pada mata,
infeksi, dan selanjutnya akan terjadi peradangan (konjungtivitis).
4. Diare
Bertebarannya abu vulkanik, juga sampai dengan peralatan masyarakat sekitar. Abu
vulkanik yang berterbangan dan akhirnya hinggap di kebutuhan penting masyarakat
sehari-hari, seperti air atau makanan. Ukurannya yang kecil membuatnya menjadi
tidak kasat mata. Sehingga apabila pengungsi atau masyarakat sekitar memakan
makanan atau meminum air dimana abu vulkanik secara tidak sengaja berada di
dalamnya, juga akan ikut termakan dan akan menimbulkan infeksi pada saluran
pencernaan yang akhirnya akan berakibat diare.
5. Gastritis
Abu vulkanik yang secara tidak sengaja ikut termakan beserta makanan pengungsi
atau masyarakat, dengan jumlah abu vulkanik yang sangat banyak di udara, jika
menempel pada makanan dan termakan dalam jumlah yang tidak sedikit dan secara
berkelanjutan tanpa diketahui, akan mengakibatkan peradangan pada lambung,
yang dikenal dengan gastritis.

Selain risiko kesehatan, abu vulkanik pada erupsi Gunung Sinabung juga berisiko
pada lingkungan sekitar, seperti abu vulkanik akan menutupi jalanan, rumah-rumah
penduduk juga menutupi tanaman yang akan mempersulit masyarakat dalam melakukan
aktivitas sehari-hari. Juga, Erupsi gunung biasanya diikuti dengan peningkatan kondensasi
di atmosfer sehingga memicu terjadinya hujan dengan intensitas cukup tinggi. Hujan
dengan intensitas tinggi bisa menggelontorkan material vulkanik yang masih tersisa di
puncak gunung dan berpotensi menimbulkan banjir ataupun longsor. Risiko lainnya adalah
pada sektor transportasi. Jarak pandang yang berkurang akibat abu vulkanik dan asap
hitam keabuan akan mengahalangi jarak pandang yang akhirnya akan berpotensi
menyebabkan kecelakaan, terutama bagi masyarakat pengendara motor atau mobil.

8
BAB IV
ELEMEN RISIKO

Elemen resiko adalah segala objek, perseorangan, binatang, aktivitas dan proses
yang dapat terkena efek negatif oleh fenomena-fenomena alam yang berbahaya (hazardous
phenomena) baik secara langsung maupun tidak langsung (van westen, 2005). Elemen
resiko (elemen at risk) ialah penduduk, bangunan, properti, fasilitas penting, infrastruktur,
komponen lingkungan dan sosial yang berpotensi terkena dampak dari suatu kejadian
bencana dan kemungkinan kerugian yang timbul akibat suatu kejadian bencana. Semua
elemen resiko tersebut sangat rentan terhadap perubahan yang terjadi pada suatu wilayah
akibat kejadian bencana.
1. Korban Manusia
Bencana meletusnya gunung sinabung telah mengakibatkan korban manusia
yang cukup besar. Bencana juga telah membuat kekhawatiran di pemukiman,
sehingga banyak penduduk yang mengungsi. Diperkirakan terdapat lebih dari 30
ribu orang pengungsi yang sebagian besar anak-anak, perempuan dan lansia.
Bencana juga memberikan trauma psikis terhadap penduduk yang berkepanjangan.
Banyak juga diantara penduduk yang mengalami depresi akibat ketidakmenentuan
masa depan mereka nantinya.
2. Kerusakan Lahan Pertanian
Selain korban manusia, bencana meletusnya gunung sinabung juga
mengakibatkan kerusakan lahan pertanian yang luas. Penduduk yang sebagian
besar menjadi petani mengalami kerugian yang cukup tinggi. Lahan pertanian yang
sebagian besar terkena lahar panas, tanaman-tanaman yang seharusnya dapat
dipanen terselubungi abu panas dari gunung sinabung sehingga diperkirakan
mengalami kerugian hingga ratusan juta, milyaran sampai triliunan.
3. Lumpuhnya Pelayanan Dasar
Selain korban manusia, bencana meletusnya gunung sinabung yang juga di sertai
gempa ini melumpuhkan hampir seluruh pelayanan dasar di wilayan yang terkena
letusannya. Penduduk yang selamat dan mengungsi kekurangan pelayanan dasar
seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan, sosial dan pemerintahan.
Lumpuhnya pelayanan dasar ini disebabkan bahayanya jika mendekati daerah
sekitar gunung yang sewaktu waktu dapat meletus kembali dan selalu
mengeluarkan hujan abu.
9
4. Tidak berfungsinya Infrastruktur Dasar
Infrastruktur dasar seperti jalan, listrik dan lain-lain juga tidak luput menjadi
korban keganasan gempa dan meletusnya gunung sinabung. Hujan abu dan erupsi
gunung sinabung membuat banyak fasilitas infrastruktur yang digunakan sebagai
penopang aktivitas sosial-ekonomi masyarakat banyak yang tidak berfungsi dan
mengalami tingkat kerusakan tinggi.
5. Hancurnya sebagian Sistem Sosial dan Ekonomi
Secara keseluruhan, bencana telah menghancurkan sebagian sistem sosial-ekonomi
masyarakat di sekitar pemukiman gunung sinabung. Aktivitas produksi,
perdagangan, pertanian dan perkebunan mengalami kelumpuhan dan kerusakan
sehingga perlu adanya pemulihan dengan segera. Sistem transportasi dan
telekomunikasi juga mengalami gangguan serius dan harus ditangani agar lokasi-
lokasi bencana dapat segera diakses.
Keadaan fisik korban perlu penanganan segera dan juga keadaan pendidikan yang
fakum untuk beberapa waktu, serta pemenuhan kebutuhan dasar pangan, sandang
dan perumahan yang memerlukan penanganan prioritas.

10
BAB V
VULNERABILITY

Vulnerability atau kerentanan adalah suatu kondisi untuk mengidentifikasi bahaya


yang dapat disebabkan oleh bencana, dimana pada umumnya dapat berupa kondidisi fisik,
sosial, sikap yang mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam melakukan pencegahan,
mitigasi, persiapan dan tindak-tanggap terhadap dampak bahaya.
Kerentanan dibagi menjadi 4 faktor yaitu:
1. Kerentanan Fisik : Kepadatan bangunan, kekuatan bangunan, infrastruktur, sarana
prasarana.
2. Kerentanan Sosial : Pendidikan, mental, tingkat pertumbuhan yang tinggi, anak-
anak dan wanita, lansia, kepadatan penduduk, kepekaan sosial.
3. Kerentanan Ekonomi : Mata pencaharian, sumber ekonomi/pusat perekonomian,
kemiskinan.
4. Kerentanan Lingkungan (ekologi) : penggunaan lahan dan keadaan ekosistem.
Dilihat dari kasus bencana yang terjadi, dapat diidentifikasi mengenai kerentanan pada
erupsi Gunungapi Sinabung berdasarkan :
1. Kerentanan Fisik : Beberapa bangunanan, sarana prasarana di sekitar gunung
Sinabung rusak parah.
2. Kerentanan Sosial : Memiliki sedikit akses untuk mendapatkan informasi,
kurangnya pengalaman dan ketidaktahuan masyarakat akan bencana gunung api
menyebabkan masyarakat menjadi panik ketika bencana terjadi.
3. Kerentanan Ekonomi : Turunnya kualitas perkembangbiakkan ternak serta
penurunan drastis kunjungan wisata alam Brastagi sebagai penghasil sayur dan
buah menyebabkan sumber ekonomi masyarakat sekitar gunung Sinabung menjadi
terhambat.
4. Kerentanan Lingkungan (ekologi) : Dampak abu vulkanik pada gunung Sinabung
dapat menganggu kesehatan dan merusak tanaman di wilayah terdampak, adanya
penurunan sumber daya alam dan terbatasnya sumber air bersih, namun meletusnya
gunung Sinabung dapat mengembalikan siklus alami tanah dimana tanah
mengalami pengistirahatan dan tanah yang lama akan digantikan dengan yang baru
sehingga menyebabkan tanah menjadi subur.

11
BAB VI
PERENCANAAN MITIGASI BENCANA

Mitigasi bencana struktural dilaksanakan dengan pembangunan tempat tinggal


didaerah gunung sinabung disesuaikan dengan standart kawasan rawan bencana yang
dalam hal ini dikordinasi oleh BPBD Karo, BPBD Karo dapat bekerjasama dengan Dirjen
cipta karya kementerian pekerjaan umum. Dalam mitigasi ini masyarakat yang masuk
dalam wilayah rawan bencana diikutsertakan dalam upaya mitigasi bencana yang
dilakukan, sehingga mitigasi yang dilakukan akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat
yang terkena dampak. Banyak pihak yang dapat bergabung dalam mitigasi ini baik pihak
swasta/NGO ataupun komunitas-komunitas didaerah gunung sinabung, pihak-pihak ini
juga akan sangat membantu dalam upaya sosialisasi mitigasi ini kepada masyarakat rawan
bencana.
Mitigasi melalui alat peringatan dini dapat dilakukan oleh pemerintah dengan
pemantauan melalui seismometer yang dipasang secara permanen atau pemasangan alat
Seismik Mobile System secara temporer jika terjadi peningkatan kegiatan vulkanik.
Penyampaian informasi ketika terjadi bencana juga dapat dilakukan melalui pembuatan
radio desa yang berfungsi untuk memperbarui informasi mengenai status gunung sinabung.
Perencanaa mitigasi pembuatan barak dilakukan dengan analisis situasi alam
daerah gunung sinabung, barak pengungsian yang disiapkan diupayakan dapat menampung
semua pengungsi ketika gunung sinabung meletus. Pelaksanaan mitigasi pembuatan barak
pengungsian ini diawali dengan membuat skenario kejadian erupsi gunung sinabung.
Dalam pembuatan miigasi ini melibatkan semua stakeholder, baik dari pihak swasta/NGO
atau masyarakat juga. Barak pengungsian yang disiapkan diantisipasi juga untuk keadaan
darurat yang bisa terjadi.
Diperlukan juga pembuatan jalur evakuasi dan yang mudah diakses dan aman dari
erupsi gunung untuk mempermudah pengevakuasian korban jika terjadi erupsi. BPBD
karo dapat berkordinasi dengan dinas Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi,
Dinas Sumber Daya Alam Energi dan Mineral dan Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah. Pembuatan jalur evakuasi ini juga dapat dilengkapi dengan penunjuk arah ke
tempat yang aman seperti balai desa dan barak pengungsian. Dalam mempersiapkan
armada evakuasi BPBD Karo dapat bekerja sama dengan pihak TNI dan Kepolisian.
Masyarakat juga perlu kordinasi mengenai kendaraan evakuasi yang dapat disiapkan

12
sendiri oleh masyarakat, sehingga ketika terjadi erusi gunung sinabung pengevakuasian
oleh masyarakat sendiri dapat dilakukan dengan cepat dan efisien.

Mitigasi Bencana Non Struktural Gunung Sinabung


Mitigasi bencana non struktural didaerah gunung sinabung dapat dilakukan dengan
pemantauan pengamatan gunung sinabung, BPBD Karo berkordinasi dengan BPPTK,
BMKG dan BBWSSO. Penentuan mekanisme status gunung sinabung menjadi
kewenangan pemerintak pusat maupun pemerintah daerah. Pemantauan status gunung
sinabung juga dapat dilakukan oleh masyarakat yang mengetahui dan paham mengenai
gunung berapi. Penyebaran informasi dapat melalui radio yang terhunbung di setiap rumah
penduduk di sekitar gunung sinabung terutama daerah yang rawan terkena dampak erupsi,
sehingga memperpercepat penyampaian informasi dan terjaminnya kebenaran informasi
yang sampai ke masyarakat.
Dalam kegiatan mitigasi penyampaian informasi, BPBD Karo sebagai koordinator
yang mengkoordinasi instansi-instansi terkait baik dari Pemkab Karo, BPPTK, BMKG,
Posko Utama, Pakem, Posko Kecamatan, Kantor Desa, dan komunitas-komunitas di
Kawasan Rawan Bencana hingga informasi sampai kepada masyarakat.
Mitigasi juga dilakukan dengan pembuatan peta rawan bencana yang melibatkan
masyarakat sekitar gunung sinabung . Sehingga ketika dibutuhkan relokasi pada
masyarakat tersebut, masyarakat bersedia di relokasi karena telah mengetahui alasan dari
pemerintah dan pihak terkait melakukan relokasi pada mereka. Hal ini akan memudahkan
penanganan bencana jika terjadi erupsi gunung sinabung.
Dalam pelaksanaan mitigasi BPBD Karo juga melakukan sosialisasi.
Dalammelakukan sosialisasi BPBD Karo berkoordinasi dengan instansi lain seperti
BPPTK untuk menjelaskan secara ilmiah kondisi Gunung Sinabung yang sesungguhnya.
Selain itu dalam sosialisasi, BPBD juga dibantu oleh komunitas setempat. sehingga
masyarakat akan lebih memahami situasi yang mungkin akan mereka hadapi.
Kegiatan peningkatan kapasitas masyarakat di daerah yang rawan terkena erupsi
Gunung sinabung dapat dilakukan melalui latihan tanggap bencana, dengan program Desa
Tangguh Bencana. Pelaksaan program ini didapatkan dari kerjasama antara pemerintah,
pihak swasta dan masyarakat setempat. Diharapkan ketika masyarakat telah mengikuti
program ini masyarakat akan siap mengadapi erupsi gunung sinabung yang dapat terjadi.

BAB VII
13
MANAJEMEN PROGRAM PENANGGULANGAN PASCA BENCANA

7.1 Manajemen Pelayanan Kesehatan


Upaya Penanggulangan Pasca Bencana (Pemulihan/Rehabilitasi & Rekonstruksi)
1. Upaya pemulihan SDM Kesehatan melalui pendampingan pelayanan kesehatan
2. Rekruitmen SDM Kesehatan untuk peningkatan upaya penanggulangan
masalah kesehatan akibat bencana pada masa yang akan datang.

Jumlah Kebutuhan SDM Lapangan untuk Jumlah Penduduk/Pengungsi 10.000


20.000 Orang
a. Dokter Umum : 4 orang
b. Perawat : 10 - 20 orang
c. Bidan : 8 16 orang
d. Apoteker : 2 orang
e. Asisten Apoteker : 4 orang
f. Pranata Laboratorium : 2 orang
g. Epidemiolog : 2 orang
h. Entomolog : 2 orang
i. Sanitarian : 4 8 orang

Triase

14
Triase Gawat Darurat
a. Seorang dokter yang telah berpengalaman (dianjurkan dokter yang bekerja di unit
gawat darurat rumah sakit, ahli anestesi atau ahli bedah)
b. Perawat, tenaga medis gawat darurat, atau tenaga pertolongan
c. Petugas administrasi yang bertugas untuk meregistrasi.

Triase Non Gawat Darurat


a. Perawat yang berpengalaman, paramedis atau tenaga medis gawat
b. Dibantu tenaga pertolongan
c. Petugas administrasi (diambil dari tenaga pertolongan pertama)

Tempat Perawatan Gawat Darurat


a. Penanggung jawab dokter spesialis, konsultan atau dokter terlatih
b. Penanggung jawab menjamin suplai ke pos medis lanjutan, melakukan koordinasi
dengan bagian lain dalam pos medis lanjutan, mengatur pembuangan alat dan
bahan yang telah dipakai.
c. Berfungsi sebagai manajer bagi pos medis lanjutan tersebut.

Tempat Perawatan Merah


Terdiri dari :
a. Ketua Tim, merupakan seorang ahli anestesi, dokter unit gawat darurat atau
seorang perawat yang berpengalaman
b. Perawat/penata anestesi dan/perawat dari unit gawat darurat
c. Tenaga bantuan : Tenaga medis gawat darurat atau tenaga pertolongan pertama
d. Tenaga pengangkut tandu

Tempat Perawatan Kuning


Terdiri dari :
a. Ketua tim : Perawat (penata anestesi atau perawat dari unit gawat darurat) atau
seorang paramedis
b. Tenaga bantuan : Tenaga medis gawat darurat atau para tenaga pertolongan
pertama
c. Tenaga pengangkut tandu
15
Tempat Perawatan Hijau
Terdiri dari :
a. Ketua tim : Tenaga medis gawat darurat yang berpengalaman
b. Tenaga bantuan : Tenaga medis gawat darurat atau para tenaga pertolongan
pertama
c. Tenaga pengangkut tandu

7.2 Manajemen Pelayanan Gizi dan Pangan


Kondisi bencana gunung Sinabung menyebabkan masyarakat yang berada di
sekitar wilayah bencana harus mengungsi dan mencari tempat yang lebih aman
sebagai tempat tinggal sementara. Perpindahan tersebut menjadikan masyarakat akan
tinggal di tempat yang memiliki segala keterbatasan, baik dari segi sandang, pangan
maupun papan. Ketersediaan pangan yang terbatas dengan perbandingan jumlah yang
tidak seimbang dengan jumlah pengungsi menyebabkan kebutuhan pangan pengungsi
gunung Sinabung menjadikan kebutuhan pangan terhambat dan terganggu. Distribusi
pangan yang terbatas dan tidak merata juga mempengaruhi ketersediaan pangan bagi
pengungsi bencana gunung Sinabung.
Besar kemungkinan terjadinya masalah gizi yakni pada pengungsi balita
dikarenakan mereka telah berada di kondisi pengungsian sejak kembali aktifnya
gunung Sinabung pada tahun 2013 silam dan apabila tidak mendapatkan penanganan
serius akan terjadi kelaparan tak kentara atau kelaparan tersembunyi (hidden hunger),
tubuhnya tampak normal tetapi sebenarnya sedang mengalami kekurangan gizi mikro
(vitamin dan mineral). Dampak bencana tersebut mengakibatkan terjadinya
kedaruratan di segala bidang termasuk kedaruratan situasi masalah kesehatan dan gizi.
Masalah gizi yang biasa terjadi adalah kurang gizi pada bayi dan balita, bantuan
makanan sering terlambat, tidak berkesinambungan dan terbatasnya ketersediaan
pangan lokal juga dapat memperburuk kondisi yang ada (Universitas Karo, 2014).
Kondisi ketahanan pangan dan masalah status gizi yang buruk pada pengungsi
gunung Sinabung harus ditangani dengan manajemen bencana yang baik dalam segi
gizi dan pangan. Tahapan penanganan bencana yang dapat dilakukan adalah:
1. Tahap Penyelamatan, terdiri atas:
a. Fase pertama, dilaksanakan maksimal 5 hari dalam bentuk pemberian
makanan jadi/kudapan/jajanan (Khusus untuk bayi dan Baduta harus tetap
16
diberikan ASI dan MP-ASI). Fase ini bertujuan memberikan makanan kepada
masyarakat agar tidak lapar. Sasarannya adalah seluruh korban
bencana/pengungsi.
b. Fase ke dua, dilaksanakan maksimal 20 hari dalam bentuk distribusi makanan
menu setempat, melalui dapur umum.
2. Tahap Tanggap Darurat
Tahap penanganan bencana ini dimulai selambat-lambatnya dilaksana pada
hari ke-20 di tempat pengungsian. Tujuan dari tahap ini adalah menanggulangi
masalah gizi melalui intervensi sesuai tingkat kedaruratan gizi pada pengungsi
bencana.

Disamping itu, masalah kelaparan di pengungsian harus diatasi dengan


pemberian pangan darurat (Emergency Food Product, EFP). Pemberian pangan darurat
yang bersifat siap santap (ready to eat) diperlukan pada kondisi hidup tidak normal.
Produk yang diberikantersebut tidak sekedar pengganjal perut tetapi mampu memasok
energi dan gizi dalam jumlah yang cukup seperti makanan lengkap. Produk pangan
darurat tidak dikonsumsi pada keadaan normal. Selain karena komposisi gizinya yang
khusus dan harganya yang relatif mahal, pangan darurat berbeda secara gizi dengan
makanan yang dikonsumsi setiap hari.
Komposisi gizi pangan darurat harus diformulasikan secara inovatif untuk
memenuhi kebutuhan gizi harian para pengungsi. Yang patut diperhatikan dalam
inovasi dan pengembangan pangan darurat adalah sifat produknya yang padat gizi dan
mampu mengembalikan kebugaran akibat kelelahan fisik dan mental. Adapun
spesifikasi mutu pangan darurat harus memenuhi tujuh syarat berikut, yakni:
1. Dapat diterima oleh semua etnik dan semua agama;
2. Dapat dikonsumsi langsung tanpa perlu proses memasak
3. Memenuhi kebutuhan kalori untuk usia di atas enam bulan dengan acuan 2100
kal/hari;
4. Mempunyai gizi makro (karbohidrat, protein, dan lemak) dan gizi mikro
(vitamin, mineral dan antioksidan) yang memadai;
5. Tidak menggunakan bahan yang dapat menimbulkan alergi pada orang tertentu;
6. dapat dijatuhkan dari udara tanpa merusak produk;
7. Memiliki kestabilan dalam rasa dan aman dikonsumsi.

Pangan lokal yang dapat diandalkan sebagai produk pangan darurat antara lain
ialah ubi jalar, pisang, singkong, dan sagu. Dengan inovasi lewat sentuhan teknologi

17
pangan, produk ini bisa diperkaya dengan kandungan lemak, protein, mineral dan
vitamin antioksidan.

7.3 Manajemen Pelayanan Kesehatan Lingkungan


Bencana alam Gunung Sinabung tahun 2015 mengakibatkan rusaknya
lingkungan di sekitar tempat tinggal penduduk. Beberapa resiko kesehatan yang
ditimbulkan menyebabkan cepatnya penyebaran penyakit menular . Penyebaran
penyakit menular tersebut dapat terjadi dengan mudah melalui air yang kotor (water
borne diseases) atau persediaannya sangat terbatas (water washed diseases), melalui
udara pada penampungan pengungsi yang sangat padat (air borne diseases), melalui
makanan pengungsi (food borne diseases). Kesehatan lingkungan yang tidak terjamin
di tempat pengungsian dapat menyebabkan resiko terjadinya Kejadian Luar Biasa
(KLB) penyakit menular, sehingga dapat disimpulkan bahwa bencana alam Gunung
Sinabung dapat menimbulkan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius bila
kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya tidak segera ditangani dengan baik.
Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan terkait kesehatan lingkungan
dalam manajemen bencana yaitu :
a) Tempat pengungsian
Saat bencana terjadi tempat pengusian darurat akan menjadi tujuan semua
korban bencana. Untuk mengantisipasi masalah kesehatan lingkungan yang akan
timbul maka dalam memilih, melengkapi, atau memperbaiki tempat pengungsian
darurat sebaiknya melibatkan tenaga kesehatan dan ahli teknik pengairan. Di
samping itu, ketika merencanakan lokasi pengungsian darurat semestinya
dipertimbangkan juga dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan jangka panjang
di sekitar area tersebut (Wisner & Adams, 2002).
Prioritas utama di tempat pengungsian adalah menyediakan jumlah air yang
cukup, walaupun kualitasnya buruk, dan mencegah sumber air dari kontaminasi.
Suplai air seharusnya dilakukan dengan atau sebagai bagian dari program
promosi kesehatan yang bekerja sama dengan penduduk yang terkena dampak
(Wisner & Adams, 2002).
Jumlah minimum air yang diperkenankan untuk perorangan untuk minum,
masak, dan kebersihan ditentukan oleh United Nations High Commisioner for
Refugees (1992a) sebanyak 7 liter per hari per orang selama periode darurat
jangka pendek. Pada kebanyakan situasi, kebutuhan air mungkin lebih banyak
yaitu : 15-20 liter per hari per orang untuk penduduk umum, 20-40 liter per hari
18
per orang untuk beroperasinya sistem pembuangan kotoran, 20-30 liter per hari
per orang untuk dapur umum, 40-60 liter per hari per orang untuk rumah sakit
terbuka atau pusat pertolongan pertama, 5 liter per pengunjung untuk masjid, 30
liter per hari per sapi atau unta untuk hewan ternak, dan 15 liter per hari per
kambing atau hewan kecil lainnya. Tambahan 3-5 liter per orang per hari
dibutuhkan untuk minum dan masak.

b) Sanitasi
Feses manusia mengandung banyak organisme yang menyebabkan penyakit
meliputi virus, bakteri, dan telur atau larva dari parasit. Mikroorganisme yang
ada pada feses manusia mungkin masuk ke tubuh melalui makanan, air, alat
makan dan masak yang terkontaminasi atau melalui kotak dengan benda-benda
yang terkontaminasi. Diare, kolera, dan typhoid tersebar dengan cara ini dan
penyebab utama kesakitan dan kematian dalam bencana dan kedaruratan.
Sedangkan urin relatif kurang berbahaya, kecuali di area dimana schistosomiasis
karena urin terjadi (Wisner & Adams, 2002).
Sullage (sampah cair dari dapur, kamar mandi dan tempat cucian)
mengandung organisme yang menyebabkan penyakit, khususnya dari pakaian
kotor, tapi bahaya kesehatannya terjadi terutama ketika berkumpul di daerah
dengan pembuangan limbah yang buruk dan menjadi tempat berkembang
biaknya nyamuk Culex. Tikus, anjing, kucing, dan binatang lain yang mungkin
adalah carrier (reservoir) bagi organisme penyebab penyakit tertarik pada
makanan, pakaian, pembalut medis dan komponen lain sampah padat. Kumpulan
air hujan yang sedikit pada sampah padat dapat menjadi tempat berkembang
biak nyamuk Aedes (Wisner & Adams, 2002).
Penyimpangan atau penampungan sampah hendaknya 1 tanki 100 L per 10
keluarga atau 50 orang. Untuk transportasi sampah dianjurkan 1 gerobak per 500
orang atau 1 tenaga pembuang sampah untuk 5000 orang. Sedangkan untuk
pembuangan akhir sampah 1 lubang (2m x 5m dan dalam 2 m) dan 1
pembakaran digunakan untuk 500 orang (Komisi Tinggi PBB untuk Urusan
Pengungsi. Thn).

c) Sistem Pembuangan
Menyediakan privies sementara, toilet portable, dan holding tanks untuk
individual selama dan setelah bencana (Wisner & Adams, 2002).
Jumlah kakus, sebagaimana dianjurkan PBB, adalah 1 kakus per keluarga.
19
Namun apabila tidak memungkinkan bisa 1 kakus per 20 keluarga, bahkan 1
kakus per 100 orang (Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi. Thn).

d) Penguburan Jasad
Sebelum dilakukan pemakaman maka sedapat mungkin semua jasad
diidentifikasi dan dicatat hasilnya. Saat menangani jasad, pekerja harus
melindungi dirinya dengan sarung tangan, penutup muka, sepatu lars dan baju
kerja terusan. Sesudahnya pekerja harus membersihkan diri mereka sendiri
dengan sabun dan air (Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi .Thn).

e) Keamanan Makanan
Makanan kemungkinan akan sulit didapat pada keadaan darurat atau setelah
bencana. Panen mungkin rusak di sawah, ternak tergenang, dan suplai makanan
terganggu, dan penduduk terpaksa menyelamatkan diri ke area dimana tidak ada
akses ke makanan. Lebih lanjut, keamanan semua makanan berakibat besarnya
risiko epidemi foodborne disease (Wisner & Adams, 2002).
WHO (1991) menetapkan Aturan Baku Penyiapan Makanan Secara Aman
sebagai berikut :
1. Masak makanan mentah sampai benar-benar matang.
2. Makan makanan yang dimasak segera mungkin.
3. Menyiapkan makanan hanya untuk sekali makan.
4. Menghindari kontak antara makanan mentah dan makanan matang.
5. Memilih makanan yang diproses untuk keamanan
6. Mencuci tangan berulang-ulang.
7. Menjaga semua penyiapan makanan tetap bersih.
8. Menggunakan air bersih.
9. Mewaspadai makanan yang dibeli di luar.
10. Memberikan ASI pada bayi dan anak kecil.
Pada kondisi bencana biasanya didirikan banyak dapur umum. Penyiapan
makanan secara massal mempunyai banyak kekurangan yang meliputi transmisi
food borne disease. Karena itu penting bagi pengelola makanan dan supervisor
untuk ditraining pengolahan makanan secara aman dan Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP). Adalah penting sekali bahwa tenaga masak dan
sukarelawan yang menyiapkan makanan tidak menderita gejala berikut :
jaundice (kuning) , diare, muntah, demam, sakit tenggorokan (dengan demam),
luka kulit yang tampak terinfeksi (borok, luka, dan lain lain) atau ekskreta dari
telinga, mata atau hidung (Wisner & Adams, 2002).
Fasilitas yang dibutuhkan untuk dapur umum antara lain : suplai air, toilet
untuk staf dan pengguna, fasilitas cuci tangan, fasilitas untuk mengelola sampah

20
cair dan padat, meja, fasilitas untuk mencuci peralatan dapur, bahan yang cukup
dan sesuai untuk makan, kontrol terhadap rodent dan pes yang lain, serta
informasi keamanan makanan (Wisner & Adams, 2002).
Makanan beku yang tidak dibekukan lagi sebaiknya dibuang. Makanan
yang disimpan di lemari es yang disimpan di bawah 41 F dan belum
terkontaminasi air sungai atau yang lain atau bahan yang potensial berbahaya
dapat digunakan (Koren dan Bisesi , 2003)
f) Kontrol Pest dan Vektor
Selama situasi darurat dan periode sesudahnya, insekta dan rodent mungkin
meningkat dengan kecepatan tinggi. Peluang penyebaran penyakit meningkat
tajam. Karena sistem pembuangan rusak, rodent meninggalkan area ini dan
mencari sumber makanan lain. Yang jelas, setelah bencana, sampah padat yang
meliputi bahan-bahan yang bisa menjadi sumber makanan rodent berkumpul
(Koren dan Bisesi , 2003).
Bahaya infeksi yang serius mungkin meningkat ketika migrasi massal
membawa penduduk secara bersama-sama dari asal yang berbeda ke tempat
penampungan sementara yang sudah ada vektor penyakitnya. Pada kondisi
demikian, penduduk yang relatif carrier imun terhadap parasit dapat memulai
siklus penyebaran penyakit pada penduduk yang lemah dan penduduk yang jadi
korban tapi tidak kebal. Contoh outbreak penyakit yang diobservasi pada kondisi
demikian meliputi malaria (oleh nyamuk Anopheles), epidemic typhus (oleh
kutu), dan demam dengue (oleh nyamuk Aedes). Malaria adalah salah satu dari
lima penyebab kematian pada situasi darurat, dan di area endemik kontrolnya
mungkin menjadi salah satu prioritas kesehatan utama (Wisner & Adams, 2002).

g) Kontrol Penyakit Menular dan Pencegahan Kejadian Luar Biasa


Lima penyakit penyebab kematian terbanyak saat keadaan darurat dan
bencana adalah diare, ISPA, measles, malnutrisi, dan malaria (pada daerah
endemik). Kepadatan penduduk, sanitasi dan higiene yang buruk, air minum
yang terkontaminasi, banyaknya tempat perkembangbiakan nyamuk merupakan
faktor risiko lingkungan terjadinya beberapa penyakit tersebut (Wisner &
Adams,2002).
Training bagi petugas kesehatan sebelum bencana terjadi dalam
mengidentifikasi dan menatalaksana penyakit tertentu, persiapan stok lokal
bahan dan alat untuk diagnosis dan terapi penyakit yang mungkin terjadi,

21
perbaikan sistem surveillans kesehatan, dan kesadaran penduduk yang terkena
bencana terhadap penyakit menular, dan rujukan segera ke fasilitas kesehatan
dapat meningkatkan kemampuan untuk mengontrol penyakit menular dan
mencegah kejadian luar biasa (Wisner & Adams, 2002).

h) Partisipasi Masyarakat
Pelibatan masyarakat (terutama korban bencana) penting untuk menurunkan
kerentanan terhadap bencana, untuk memfasilitasi pemulihan setelah bencana,
dan untuk menstimulasi organisasi masyarakat yang merupakan basis untuk
pembangunan berkelanjutan.
Masyarakat didorong untuk ambil bagian dalam mengidentifikasi hazard
yang mereka hadapi, dalam menilai kerentanan mereka sendiri, dan dalam
merencanakan jalan untuk meningkatkan kesiapan mereka dalam bencana
(Wisner & Adams, 2002).
Masyarakat pada umumnya lebih mengenal situasi dan kondisi lingkungan
setempat, mengetahui bagaimana perilaku dan kebiasaan, serta kebutuhan
masyarakat setempat korban bencana. Dengan melibatkan masyarakat setempat
maka program penanggulangan bencana yang ada akan lebih tepat sasaran,
efektif, dan efisien.

7.4 Manajemen Pemulihan Psikologi


Dampak dari bencana menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat. Salah
satu perubahan besar yaitu kehilangan kehidupan yang teratur. Keadaan kehilangan ini
memaksakan korban untuk beradaptasi secara cepat dengan lingkungan baru dan
memungkinkan munculnya stress karena tekanan yang dating bertubi-tubi.
Sebagian besar pengungsi mengalami berbagai macam jenis tekanan psikologis
akibat erupsi gunung Sinabung, seperti:
a. Stress
b. Tertekan di tempat pengungsian
c. Insomnia
d. Berperilaku kacau
e. Merasa khawatir dengan masa depan
f. Trauma berat
g. Merasa jenuh
h. Ketakutan
i. Kesepian
j. Labil
Dampak psikologis pada korban terbagi menjadi tiga tahap:

22
1. Tahap Tanggap Darurat
Tahap ini yaitu pada masa beebrapa jam atau hari setelah bencana. Dampak
yang terlihat pada tahapan ini adalah numbing atau mati rasa secara psikis,
tertegun, linglung, apatis dan tatapan mata kosong. Tidak lama kemudian,
korban akan mengalami perasaan takut yang sangat kuat, disertai dengan
rangsangan fisiologis, jantung berdebar-debar, ketegangan otot, nyeri otot,
gangguan gastrointestinal, dan ketidakstabilan emosi.
2. Tahap Pemulihan
Pada tahap ini korban bencana telah berada pada kondisi stabil, akan tetapi
bantuan logistic dan sukarelawan sudah mulai berkurang. Korban harus bias
menghadapi realita yang ada dan optimis tentang masa depan yang dikenal
dengan fase honeymoon. Akan tetapi pada fase pemulihan, korban biasanya
mengalami kekecewaan dan kemarahan dan berbagai gejala pasca trauma seperti
Pasca Trauma Stress Disorder, Disorder Kecemasan Generalized, Abnormal
Dukacita, dan Post Traumatic Depresi.
3. Tahap Rehabilitasi dan Rekonstruksi
4. Fase ini sekitar satu tahun atau lebih setelah bencana.
Pada fase ini, sebagian besar korban bencana sudah sembuh namun resiko
lain dapat meningkat seperti bunuh diri, kelelahan kronis, ketidakmampuan
untuk bekerja, kehilangan minat dalam kegiatan, dan kesulitan berpikir logis,
bahkan hingga konflik internal dalam komunitas.

Penanganan Bencana Erupsi Gunung Sinabung


Pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi, layanan psikologis dan konseling untuk
para korban sebaiknya tetap dilanjutkan. Selain itu, korban bencana juga diberikan
pengetahuan untuk program tanggap bencana bila bencana dating kembali. Serta dapat
dilakukan juga pelatihan untuk professional dan relawan local tentang pendampingan
sehingga korban bencana dapat hidup mandiri. Diberikan juga dukungan psikologis
berupa mengatasi dan mengendalikan stress. Cara yang paling tepat untuk
mengurangis stress agar korban terhidar dari gangguan mental adaalah dengan
memandang secara positif untuk setiap amsalah yang ada dan berusaha untuk
menyelesaikannya.

Dampak psikologis dapat dikelompokkan sesuai dengan tingkatan usia :


1. Anak-anak
Anak-anak harus dikondisikan dalam keadaan tenang dan lakukan kegiatan
yang membawa kesenangan, seperti:
a. Bermain
b. Bernyanyi
23
c. Perlombaan sederhana
d. Kegiatan untuk memotivasi semangat dan menyalurkan emosi anak
2. Remaja
Periode remaja merupakan kondisi di saat emosional berada pada level yang
tidak stabil. Keputusan yang diambil dapat secara cepat berubah tanpa pemikiran
yang matang. Untuk itu dapat dilakukan kegiatan:
a. Ajakan mendekatkan diri kepada Tuhan YME sebagai pemilik kekuasaan
atas dunia ini
b. Aktivitas social seperti bantuan medis dan logistic sangat berguna untuk
mengajak mereka ikut serta berkontribusi sehingga tidak terlarut dalam
waktu lama sebagai kondisi pasca bencana
3. Dewasa
Perubahan kondisi kehidupan yang sangat drastic pasti secara cepat pula
berubah pada kondisi psikologisnya.
a. Dukungan konseling dan perhatian dengan berbincang sesame korban
bencana dapat memberikan perubahan ke arah yang lebih baik
b. Ajakan kepada korban untuk kembali mendekatkan diri dengan Sang
Pencipta atas segala yang terjadi dalam kehidupan ini
c. Diberikan pelatihan dan informasi mengenai kebencanaan sehingga mereka
memiliki kesiapan dalam menghadapi bencana
4. Lansia
Kegiatan yang dapat dilakukan:
a. Pemberian keyakinan yang positif mengenai kejadian bencana yang ada
b. Pendampingan pemulihan fisik dengan kunjungan berkala
c. Pemberian perhatian khusus agar korban mendapatkan kenyamanan pada
lokasi evakuasi
d. Bantuan untuk membangun kembali kontak dengan keluarga dan
lingkungan social lainnya
e. Pendampingan untuk mendapatkan pengobatan dan bantuan keuangan
Selain itu, kegiatan yang dapat dilakukan yaitu membangun resilensi pada
korban bencana. Resilensi adalah proses masyarakat untuk berusaha dan berjuang
secara maksimal untuk keluar dari kegagalan dan kekecewaan. Pada kondisi ini
kekuatan pribadi dari korabn bencana ditingkatkan dengan adanya keyakinan diri
untuk dapat memiliki control dan kemampuan mengatasi bencana, penghargaan
terhadap diri, dan optimism serta dukungan social. Dengan adanya tujuan ini
diharapkan masyarakat menjadi lebih tangguh bila nantinya ada bencana datang tiba-
tiba.

7.5 Manajemen Pemberantasan Penyakit Menular

24
Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian dan memerlukan
tindakan pencegahan karena berpotensi menjadi KLB. Berdasarkan Laporan Penyakit
Pos Kesehatan Bencana Sinabung, jenis penyakit yang muncul pada pengungsi
bencana gunung meletus Sinabung adalah: gastritis, ISPA, conjungtiva, diare,
hipertensi, anxietas, dan penyakit lainnya. Oleh karena itu diperlukan manajemen
penyakit sehingga masalah tersebut dapat teratasi, terutama untuk kasus penyakit
menular yang perlu segera ditidak lanjuti agar tidak menjadi KLB dan bukan berarti
mengabaikan penyakit tidak menular. Pada pelaksanaan kegiatan surveilans bila
menemukan kasus penyakit menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan di
pengungsian harus melaporkan kepada Puskesmas/Pos Yankes di bawah koordinasi
Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai penanggung jawab pemantauan dan
pengendalian.
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular

1. Vaksinasi
Sebagai prioritas pada situasi pengungsian, bagi semua anak usia 6 bulan
15 tahun menerima vaksin campak dan vitamin A dengan dosis yang tepat.
2. Masalah umum kesehatan di pengungsian
Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian memerlukan
tindakan pencegahan. Contoh penyakit tersebut antara lain, diare, cacar, penyakit
pernafasan, malaria, meningitis, tuberkulosa, tifoid, cacingan, scabies, xeropthal-
mia, anemia, tetanus, hepatitis, IMS/HIV-AIDS
3. Manajemen kasus
Semua anak yang terkena penyakit menular selayaknya dirawat agar
terhindar dari risiko penularan termasuk kematian.
4. Surveilans
Dilakukan terhadap beberapa penyakit menular dan bila menemukan kasus
penyakit menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan di pengungsian, harus
melaporkan kepada Puskesmas dibawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten
sebagai penanggung jawab pemantauan dan pengendalian.

Permasalahan penyakit menular ini terutama disebabkan oleh:


1. Kerusakan lingkungan dan pencemaran.
2. Jumlah pengungsi yang banyak, menempati suatu ruangan yang sempit, sehingga
harus berdesakan.
3. Pada umumnya tempat penampungan pengungsi tidak memenuhi syarat kesehatan.

25
4. Ketersediaan air bersih yang seringkali tidak mencukupi jumlah maupun
kualitasnya.
5. Diantara para pengungsi banyak ditemui orang-orang yang memiliki risiko tinggi,
seperti balita, ibu hamil, berusia lanjut.
6. Pengungsian berada pada daerah endemis penyakit menular, dekat sumber
pencemaran, dan lain-lain. Potensi munculnya penyakit menular yang sangat erat
kaitannya dengan faktor risiko, khususnya di lokasi pengungsian dan masyarakat
sekitar penampungan pengungsi bencana Sinabung, adalah: penyakit diare,
penyakit ISPA dan penyakit menular lain spesifik lokal

Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Diare


Penyakit Diare merupakan penyakit menular yang sangat potensial terjadi di
daerah pengungsian maupun wilayah yang terkena bencana, yang biasanya sangat
terkait erat dengan kerusakan, keterbatasan penyediaan air bersih dan sanitasi dan
diperburuk oleh perilaku hidup bersih dan sehat yang masih rendah. Penyediaan air
bersih yang cukup dan sanitasi lingkungan yang memadai merupakan tindakan
pencegahan penyakit diare, sedangkan pencegahan kematian akibat diare dapat
dilakukan melalui penatalaksanaan kasus secara tepat dan kesiapsiagaan akan
kemungkinan timbulnya KLB diare.

a. Tatalaksana penderita
Bilamana ditemukan adanya penderita Diare di lokasi bencana atau
penampungan pengungsi, pertama-tama yang harus dikerjakan pada waktu
memeriksa penderita diare adalah:
1) Menentukan derajat dehidrasi
2) Menentukan pengobatan dehidrasi yang tepat
Setiap penderita diare yang mengalami dehidrasi harus diobati dengan
oralit. Seluruh petugas kesehatan harus memiliki keterampilan dalam
menyiapkan oralit dan memberikan dalam jumlah besar. Sesuai dengan derajat
dehidrasinya, penderita diberikan terapi sebagai berikut:
a. Rencana Terapi A: untuk mengobati penderita diare tanpa dehidrasi.
b. Rencana Terapi B: untuk mengobati penderita diare dengan dehidrasi
ringan/sedang.
c. Rencana Terapi C: untuk mengobati penderita dengan dehidrasi berat.
Bila penderita dalam keadaan dehidrasi berat rehidrasi harus segera dimulai.
Setelah itu pemeriksaan lainnya dapat dilanjutkan.

26
3) Mencari masalah lain, seperti, kurang gizi, adanya darah dalam tinja diare lebih
dari 14 hari. Selain diperiksa status dehidrasinya harus pula diperiksa gejala
lainnya untuk menentukan adanya penyakit lain seperti adanya darah dalam
tinja, panas, kurang gizi dan lain sebagainya.
a. Bila tinja penderita mengandung darah berarti penderita mengalami disentri
yang memerlukan
b. Pengobatan antibiotik.
c. Bila penderita diare 14 hari atau lebih berarti menderita diare persisten dan
perlu diobati.
d. Bila penderita panas (>38C) dan berumur >2 bulan dapat diberikan obat
penurun panas.
e. Bila didaerah tersebut endemik malaria dan anak ada riwayat panas
sebelumnya dapat diberikan pengobatan sesuai program malaria.
Keterangan lengkap tentang masalah lain lihat pada gambar tatalaksana
penderita diare.

b. Pertolongan Penderita Diare di Rumah Tangga dan Tempat Pengungsian


Langkah-langkah pertolongan penderita diare di rumah tangga, antara lain:
1. Berikan segera oralit atau cairan yang tersedia di rumah dan tempat
pengungsian, seperti air teh, tajin, kuah sayur dan air sup.
2. Teruskan pemberian makanan seperti biasa, tidak pedas dan tidak mengandung
serat.
3. Bawalah segera ke pos kesehatan terdekat atau ke Puskesmas terdekat, bila ada
suatu tanda sebagai berikut:
a. Diare bertambah banyak/sering
b. Muntah berulang-ulang
c. Ada demam
d. Tidak bisa minum dan makan
e. Kelihatan haus sekali
f. Ada darah dalam tinja
g. Tidak membaik sampai 2 hari
c. Pertolongan Penderita Diare di Sarana Kesehatan atau Pos Kesehatan
Langkah-langkah pertolongan penderita diare di sarana kesehatan atau pos
kesehatan, antara lain:
1. Rehidrasi oral dengan oralit
2. Pemberian cairan intravena dengan Ringer Lactate untuk penderita diare
dehidrasi berat dan penderita tidak bisa minum.
3. Penggunaan antibiotik secara rasional
4. Memberikan nasehat pada keluarga tentang pentingnya meneruskan pemberian
makanan, rujukan dan upaya pencegahan.
27
d. Kesiapsiagaan terhadap Kemungkinan KLB
Pada fase ini Tim Reaksi Cepat melakukan kesipasiagaan yang berupa
kegiatan yang dilakukan terus menerus dengan kegiatan utamanya:
1. Mempersiapkan masyarakat pengungsi untuk pertolongan pertama bila terjadi
diare seperti Rencana Terapi A.
2. Membuat dan menganalisa kasus harian diare.
3. Menyiapkan kebutuhan logistik khususnya oralit cairan IV-RL, antibiotika,
tetrasiklin, kotrimoxazole dan peralatan lainnya.
4. Mengembangkan prosedur sederhana kewaspadaan dini di masyarakat
pengungsi.

Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit ISPA


Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu
penyebab utama kematian bayi dan anak balita. Kematian tersebut diakibatkan oleh
penyakit Pneumonia berat yang tidak sempat terdeteksi secara dini dan mendapat
pertolongan tepat dari petugas kesehatan. Setiap kejadian penderita pneumonia pada
anak balita di lokasi bencana dan pengungsian harus dapat ditanggulangi dengan
tatalaksana kasus pneumonia yang benar.

a. Penatalaksanaan Penderita
Klasifikasi penyakit ISPA pada anak usia 2 bulan sampai <5 tahun dapat
dilihat pada Tabel 3. Selain tiga klasifikasi tersebut, terdapat tanda bahaya pada
anak usia 2 bulan sampai <5 tahun yang perlu diperhatikan, antara lain, tidak bisa
minum, kejang, sukar dibangunkan, stridor waktu tenang dan gizi buruk. Tanda-
tanda ini disebabkan oleh banyak kemungkinan. Anak yang mempunyai salah satu
tanda bahaya, harus segera dirujuk ke Puskesmas/Rumah Sakit secepat mungkin:
1. Sebelum anak meninggalkan Puskesmas, petugas kesehatan dianjurkan
memberi pengobatan seperlunya (misal atasi demam, kejang, dsb), tulislah
surat rujukan ke Rumah Sakit dan anjurkan pada ibu agar anaknya dibawa ke
rumah sakit sesegera mungkin
2. Berikan satu kali dosis antibiotik sebelum anak dirujuk (bila memungkinkan)

b. Pengobatan Kasus ISPA


ISPA dapat diobati dengan antibiotika. Antibiotika yang dipakai untuk
pengobatan pnemonia adalah tablet kotrimoksasol dengan pemberian selama 5 hari.
28
Anti-biotika yang dapat dipakai sebagai pengganti kotrimok-sasol adalah ampisilin,
amoksilin, prokain penisilin.Bila terdapat anak yang tidak mungkin diberi
antibiotika oral (misalnya anak tidak bisa minum atau tidak sadar), harus dipakai
antibiotika perenteral (suntikan). Kalau tidak ada petugas yang bisa memberikan
suntikan, rujuklah secepat mungkin tanpa pemberian antibiotika dosis pertama.
Aturan Pemberian Antibiotik pada Anak, sebagai berikut:
1) Jangan memberikan kotrimoksasol pada bayi yang ikterik atau bayi prematur
usia kurang dari 1 tahun.
2) Jangan memberikan amoksisilin, ampisilin, prokain penisilin atau benzatin
penisilin bila anak ada riwayat mengalami anafilaksis/alergi setelah pemberian
penisilin

Tabel 3. Klasifikasi penyakit ISPA pada anak usia 2 bulan sampai <5 Tahun

29
Langkah-langkah pemberian antibiotika, antara lain:
1. Tentukan dosis yang tepat sesuai dengan usia anak, sesuai Tabel 4.

30
Tabel 4. Dosis Antibiotik Kotrimoksasol

2. Campurkan tablet antibiotika yang telah digerus dengan makanan untuk


mempermudah anak menelannya. Bila anak minum ASI, mintalah ibu untuk
mencampurkan puyer dengan ASI secukupnya pada mangkuk yang bersih.
3. Persilahkan ibunya untuk mencoba memberi antibiotika tersebut pada anaknya
biasanya lebih mudah disuapi oleh ibunya. Hal ini juga merupakan cara untuk
memastikan bahwa ibunya sudah bisa memberikan antibiotika sebelum
meninggalkan Puskesmas. Bila anak memuntahkan obat yang diminum sebelum
setengah jam, ulangi pemberian antibiotikanya.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan ulang 2 hari kemudian pada
anak dengan pneumonia yang diberi antibiotika, antara lain:
1. Setiap anak dengan penyakit pnemonia yang mendapat antibiotika, harus dibawa
kembali 2 hari kemudian. Pemeriksaan kedua sama dengan pemeriksaan pertama,
untuk menentukan apakah penyakitnya: tidak membaik, tetap sama atau
membaik.
2. Penyakit anak memburuk bila anak menjadi sulit bernafas, tak mampu minum,
timbul tarikan dinding dada kedalam, atau tanda bahaya yang lain. Anak yang
demikian dirujuk untuk rawat tinggal.
3. Anak yang membaik pernafasannya akan melambat. Tanda-tanda lain juga akan
berkurang, misalnya demam menurun atau menghilang, nafsu makan bertambah.

31
Mungkin masih batuk. Beritahu ibunya untuk meneruskan pemberian antibitika
sampai 5 hari.
4. Bila keadaan anak masih tetap sama seperti pada pemeriksaan sebelumnya,
tanyakan tentang pemberian antibitikanya. Mungkin ada masalah yang
mengakibatkan anak belum minum antibiotika tersebut, atau minum dengan takaran
dan jadwal pemberian yang kurang semestinya. Apabila demikian teruskan lagi
pemberian antibiotika yang sama. Bila anak telah minum antibiotik dengan benar,
obat tersebut harus diganti dengan antibiotika yang lain (kalau tersedia). Kalau
tidak ada antibiotika yang lain, rujuk ke Rumah Sakit.

Pemberantasan Penyakit Menular Spesifik Lokal


Penyakit spesifik lokal di Indonesia cukup bervariasi berdasarkan daerah
Kabupaten/Kota, seperti penyakit hepatitis, leptospirosis, penyakit akibat gangguan
asap, serta penyakit lainnya. Penyakit ini dideteksi keberadaannya apabila tersedia
data awal kesakitan dan kematian di suatu daerah.

7.6 Manajemen Kesehatan Reproduksi


Pelayanan kesehatan reproduksi pada kondisi darurat sering kali tidak tersedia
karena tidak dianggap sebagai kebutuhan yang mendesak dan bukanmerupakan prioritas.
Padahal pada kondisi darurat bencana, tetap saja ada ibu hamil yang membutuhkan
pertolongan, tetap saja ada proses kelahiran yang tidak dapat ditunda ataupun adanya
kebutuhan alat kontrasepsi pada layanan keluarga berencana serta layanan lainnya.
Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap semua jenis bencana, yang tidak
semuanya dapat diperkirakan datangnya dan tidak semuanya dapat dicegah, baik bencana
alam maupun bencana akibat perbuatanmanusia. Pengalaman di Indonesia untuk
penanganan permasalahan dalam situasi bencana di lapangan yang paling krusial adalah
ketidaksiapan lokal mulai dari pengurangan dampak risiko melalui tahap kesiapsiagaan
hingga rehabilitasi.ET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM)
Di bidang kemanusiaan internasional, telah dikembangkan Minimum Initial
Services Package on Reproductive Health untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan
kesehatan reproduksi pada situasi darurat bencana. Paket tersebut selanjutnya diadaptasi
oleh Pemerintah Indonesia menjadi Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kesehatan
Reproduksi, yang terdiri dari:

32
1. Identifikasi organisasi dan individu untuk memfasilitasi koordinasi dan
implementasi PPAM sebagai focal point, yang mengkoordinasikan kegiatan
kesehatan reproduksi sejak awal untuk mengatasi keadaan gawat darurat, dan bekerja
di bawah koordinator umumbidang kesehatan.
2. Pencegahan danmanajemen kekerasan seksual dan akibatnya.
Semua petugas yang terlibat dalam penanggulangan keadaan darurat harus sensitif
terhadapmasalah kekerasan seksual. Langkah-langkah untuk membantu korban
kekerasan seksual, termasuk perkosaan, harus sudah disusun pada fase awal darurat.
Korban kekerasan seksual harus segera dirujuk ke fasilitas kesehatan dan pihak yang
berwajib harus terlibat untuk memberikan perlindungan dan dukungan hukum.
3. Menekan penularan HIV melalui:
a) Melaksanakan tindakan kewaspadaan universal (universal precaution). Dalam
keadaan darurat ada kecenderungan mengabaikan tindakan kewaspadaan universal.
b) Menjamin tersedianya kondomsecara gratis. Kondom harus dijamin
ketersediaannya sejak awal dalam jumlah cukup. Masyarakat harus diinformasikan
tentang ketersediaan kondom di fasilitas kesehatan dan fasilitas lainnya.
4. Pencegahanmorbiditas danmortalitas maternal dan bayi baru lahir, dengan cara:
a) Menyediakan kit yang berisi alat persalinan yang bersih untuk dapat digunakan
dalammenjamin persalinan bersih apabila terpaksa dilakukan di rumah.
b) Menyediakan kit persalinan untuk menjamin persalinan yang bersih dan aman.
Pada fase awal keadaan darurat, persalinan sering terjadi di luar fasilitas kesehatan
sehingga penting untuk menyediakan kit persalinan bagi bidan.
c) Memantapkan sistemrujukan untuk mengelola kasus gawat darurat kebidanan. Oleh
karena itu, sistem rujukan yang mampumenangani komplikasi kebidanan 24 jam
sehari harus segera tersedia. Diperlukan koordinasi dengan pemerintah
setempatmengenai kebijakan dan prosedur sistemrujukan.
5. Perencanaan pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif yang terintegrasi
dalampelayanan kesehatan dasar. Harus dilaksanakan sebelumfase tanggap darurat
berakhir,melalui kegiatan:
a) Pengumpulan informasi kematian ibu dan bayi baru lahir, prevalensi IMS/HIV dan
prevalensi pemakaian kontrasepsi
b) Identifikasi faskes yang memadai untuk pelayanan kesehatan reproduksi
komprehensif

33
DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2014.


Makanan Siap Santap dalam Keadaan Darurat. Departemen Kesehatan RI
Buku Pegangan Kedaruratan Edisi Kedua. Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi.
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis
Kesehatan Akibat Bencana. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
B. Wisner & J. Adams. Environmental Health in Emergencies and Disasters. A Practical
Guide. Geneva. WHO. 2002
Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Ditjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak,
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Factsheet Pelaanan Kesehatan Reproduksi
Terpadu. Direktorat Bina Kesehatan Ibu Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Koren, Herman. dan Bisesi, Michael. Handbook of Environmental Health. Pollutant
Interactions in Air, Water, and Soil. Dalam : Environmental Health Volume 2. Boca
Raton Lewis Publishers. 2003.
Wijaya TA, Lubis Z, Siagian A. Gambaran Status Gizi dan Penyakit Infeksi pada Anak
Balita (12-15 Bulan) di Posko Pengungsian Erupsi Gunung Sinabung Kabupaten
Karo tahun 2014. Fakultas Kesehatan Masyarakat, USU).

34
Lampiran 1. Peta Sebaran Pos Penampungan Pengungsi Erupsi Gunung Api Sinabuung

35
LAMPIRAN
36
Lampiran 2. Peta Shelter Pengungsian Erupsi Gunung Api Sinabung
Keterangan Peta Shelter
Tenda ukuran 6m x 14m mampu memuat 50 orang.
Karena terdapat 1000 pengungsi maka, dibutuhkan
20 tenda.

Tempat bermain berada dekat dengan tempat


penampungan agar mudah diakses.

2 drum sampah untuk 100 orang, oleh karena itu


dibutuhkan 20 drum sampah.

Septictank jarak minimal 10 meter dari sumber air

Tiap jamban maksimal untuk 20 orang.


Dibedakan jamban laki-laki dan perempuan
Jarak jamban tidak lebih dari 50 m dari shelter/ 1
menit ditempuh dg jalan kaki

Minimal 15 l/org/hr, karena terdapta 1000 orang oleh


karena itu dibutuhkan15.000 L/hari.
Jarak pemukiman terjauh dari sumber air tidak lebih
dari 500 m
1 (satu) kran air untuk 80-100 org, terdapat 1000
orang sehingga diperlukan 10 kran.
Untuk memenuhi kebutuhan biologis pengungsi
Bilik Asrama diperlukan bilik asram yang letaknya mudah
dijangkau tetepi tidak terlalu terekpos
Tempat administrasi pengungsi, diletakkan di depan
Pos Posko
atau yg dekat jalan raya.
Tempat penyimpanan bantuan yang diterima, oleh
Gudang Logistik
karena itu agar mudah dipantau diletakkan dengan
pos posko
Dekat dengan penampungan agar mudah diakses
Pos Pelayanan
Kesehatan 37
Tempat untuk melakukan cuci baju/cuci piring
Tempat Cuci

Letak dapur umum dekat dengan POSKO dan mudah


Dapur Umum
dijangkau korban dan dekat dengan sumber air.

Tempat
Pembunagan Letak bak sampah 15 m dr tempat sampah dari
Sampah barak pengungsi.

38

Anda mungkin juga menyukai