Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan

1 . Pengertian

Pengetahuan adalah hasil pengideraan manusia, atau hasil tahu

seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,

telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan

sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh

intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek (Notoatmodjo, 2010).

Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal.

Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana

diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan

semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan

berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah

pula. Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek,

yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap

seseorang semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka

akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu (Dewi &

Wawan, 2010).

2 . Tingkat pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2010) Pengetahuan seseorang terhadap

objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis

besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah

ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya tahu bahwa buah

8
9

tomat banyak mengandung vitamin C, jamban adalah tempat membuang

air besar, penyakit demam berdarah ditularkan oleh nyamuk Aedes

Aegepty, dan sebagainya.

b. Memahami (comprehension)

Memahami suatu obejk bukan sekedar tahu terhadap objek

tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus

dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui

tersebut. Misalnya, orang yang memahami cara pemberantasan penyakit

demam berdarah, bukan hanya sekedar menyebutkan 3 M (mengubur,

menutup, dan menguras), tetapi harus dapat menjelaskan mengapa

harus menutup, menguras, dan sebagainya tempat-tempat pembuangan

air tersebut.

c. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang

dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang

diketahui tersebut pada situasi yang lain. Orang yang telah paham

metodologi penelitian, ia akan mudah membuat proposal penelitian di

mana saja, dan seterusnya.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan

dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-

komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui.

Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat

analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan,

memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap


10

pengetahuan atas objek tersebut. Misalnya dapat membedakan antara

nyamuk Aedes Aegepty dengan nyamuk biasa.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk merangkum

atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-

komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain sintesis adalah

suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-

formulasi yang telah ada. Misalnya dapat membuat atau meringkas

dengan kata-kata atau kalimat sendiri tentang hal-hal yang pernah dibaca

atau didengar, dapat membuat kesimpulan tentang artikel yang telah

dibaca.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk

melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri

atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

3 . Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2010), Pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa

faktor, yaitu:

a. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian

dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur

hidup.
11

b. Informasi atau media massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti

televisi, radio, surat kabar, majalah, internet, dan lain-lain mempunyai

pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang.

c. Sosial budaya dan ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan oleh orang-orang tanpa

melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk.

d. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik

lingkungan fisik, biologis, maupun sosial.

e. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali

pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi

masa lalu.

f. Usia

Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin

bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola

pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik.

4 . Kategori pengetahuan

Kategori pengetahuan menurut Notoatmojo (2010), yaitu :

a. Baik, bila subjek mampu menjawab dengan benar 76-100% dari seluruh

pernyataan.

b. Cukup, bila subjek mampu menjawab dengan benar 56-75% dari seluruh

pernyataan.
12

c. Kurang, bila subjek mampu menjawab dengan benar <55% dari seluruh

pernyataan.

B. Tinjauan Umum Tentang Sikap

1 . Definisi

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari

seseorang terhadap stimulus atau obyek. Sikap itu tidak langsung dapat di

lihat, tetapi hanya dapat di tafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.

Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi

terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan

reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Wawan, 2010).

Menurut Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial menyatakan

bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan

merupakan pelaksanaan motif tertentu (Notoatmodjo, 2010).

Jadi kesimpulannya, sikap adalah respon atau kesediaan seseorang

untuk bertindak terhadap stimulus atau objek, dan bisa dilihat langsung dalam

kehidupan sehari-hari.

2 . Komponen sikap

Menurut Allport dalam Notoatmodjo (2007), sikap itu terdiri atas 3

komponen pokok, yaitu :

a. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek, artinya

bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap

objek. Sikap orang terhadap penyakit kusta misalnya, berarti bagaimana

pendapat atau keyakinan orang tersebut terhadap penyakit kusta.

b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap objek, artinya bagaimana

penilaian orang tersebut terhadap objek. Misalnya, bagaimana orang


13

menilai terhadap penyakit kusta, apakah penyakit yang biasa saja atau

penyakit yang membahayakan.

c. Kecenderungan untuk bertindak, artinya sikap merupakan komponen

yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Misalnya, apa yang

dilakukan seseorang bila ia menderita penyakit kusta.

Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk yang

utuh. Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan pikiran,

keyakinan dan emosional memegang peranan penting .

3 . Tingkatan sikap

Menurut Notoatmodjo (2010), sikap juga mempunyai tingkatan

berdasarkan intensitasnya, yaitu :

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa seseorang atau objek mau menerima

stimulus yang diberikan (objek).

b. Menanggapi (responding)

Menanggapi diartikan memberikan jawaban atau tanggapan

terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.

c. Menghargai (valuing)

Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai yang

positif terhadap objek atau stimulus.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab

terhadap apa yang telah diyakininya.


14

C. Tinjauan Umum Tentang Kusta

1 . Pengertian

Menurut Kosasih dalam Djuanda (2010), penyakit kusta merupakan

penyakit infeksi kronik penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang

bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit

dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain

kecuali susunan saraf pusat.

Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh

infeksi Mycobakterium Leprae yang pertama menyerang saraf tepi,

selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian

atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis, kecuali susunan

saraf pusat (Sjamsoe, 2003).

Penyakit kusta dinamakan juga sebagai Lepra, Morbus Hansen,

Hanseniasis, Elephantiasis Graecorum, Satyriasis, Lepra Arabum,

Leontiasis, Kushta, Melaats, Mal de San Lazaro (Amiruddin, 2003).

Kesimpulannya, penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis yang

disebabkan oleh infeksi Mycobakterium Leprae yang pertama menyerang

saraf tepi, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.

2 . Etiologi

Mycobakterium Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab

penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia GH. Armauer

Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang

dengan ukuran 1-8 , lebar 0,2-0,5 , biasanya berkelompok dan ada yang

tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin

dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.


15

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multibasilar

(MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan

yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat

bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit

(Sjamsoe, 2003).

Gambar 1. Mycobacterium leprae

3 . Patofisiologi

Meskipun cara masuk Mycobakterium Leprae ke dalam tubuh masih

belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan

bahwa yang paling sering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh

yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh Mycobakterium

Leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang,

kemampuan hidup Mycobakterium Leprae pada suhu tubuh yang rendah,

waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.

Mycobakterium Leprae merupakan parasit obligat intraselular yang

terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superficial

pada dermis atau sel Schwann di jaringan saraf. Bila kuman Mycobakterium

Leprae masuk kedalam tubuh, maka tubuh akan beraksi mengeluarkan

makrofag untuk memfagositnya.


16

Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular,

dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga

kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak

jaringan.

Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,

sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah

kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang

tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel dantia

Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan

dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan

sekitarnya.

Sel Schwann merupakan sel target untuk

pertumbuhan Mycobakterium Leprae, di samping itu sel Schwann berfungsi

sebagai demielinisasi dan hanya sedikit berfungsi sebagai fagositosis. Jadi,

bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat

bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang

dan terjadi kerusakan saraf yang progresif (Sjamsoe, 2003).

4 . Klasifikasi

Menurut Depkes RI (2006) penyakit kusta dapat diklasifikasikan

berdasarkan beberapa hal, yaitu :

a. Manifestasi klinik yaitu jumlah lesi pada kulit dan jumlah saraf yang

terganggu.

b. Hasil pemeriksaan bakterioogis, yaitu skin smear basil tahan asam (BTA)

positif atau negatif.


17

Pada tahun 1982, sekelompok ahli WHO mengembangkan 2

tipe/klasifikasi untuk memudahkan pengobatan di lapangan yaitu

tipe Paucybacillary (PB) dan Multibacillary (MB) yang dibedakan seperti

dalam tabel dibawah ini :

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Kusta


Tanda Utama PB MB
Bercak kusta. Jumlah 1 5 Jumlah > 5
Penebalan saraf tepi yang disertai Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
dengan gangguan fungsi.
Sediaan apusan. BTA Negatif BTA Positif
Sumber : Depkes RI, 2006.

5 . Tanda dan gejala

Menurut Widoyono (2011) ada tiga gejala utama (cardinal sign)

penyakit kusta :

a. Makula hipopigmentasi atau anestesi pada kult.

b. Kerusakan saraf perifer.

c. Hasil pemeriksaan laboratorium dari kerokan kulit menujukkan BTA

positif.
18

Tabel 3. Kriteria Penentuan Tipe Kusta


Kelainan Kulit dan Hasil
PB MB
Pemeriksaan Bakteriologis
a. Bercak (makula)
1) Jumlah 1-5 Banyak
2) Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
3) Distribusi Unilateral atau bilateral Bilateral, simetris
asmetris
4) Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat
5) Batas Tegas Kurang tegas
6) Kehilangan sensasi Selalu ada dan jelas Basanya tidak jelas
atau rasa pada area
bercak
7) Kehilangan Bercak tidak berkeringat, bulu Bercak masih
kemampuan rontok pada area bercak berkeringat, bulu tidak
berkeringat, bulu rontok
rontok pada area
bercak
b. Infiltrat
1) Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang
tidak ada
2) Membran mukosa Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang
(hidung tersumbat, tidak ada
perdarahan di hidung)
c. Ciri-ciri khusus Central healing Lesi punched out,
(penyembuhan di tengah ) madarosis,
ginekomastia, hidung
pelana, suara sengau.
d. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
e. Penebalan saraf perifer Lebih sering terjadi dini, Terjadi pada penyakt
asimetris lanjut basanya lebih dari
satu dan simetris
f. Deformitas (cacat) Biasanya asimetris,terjadi Terjadi pada stadium
dini lanjut
g. Apusan BTA negatif BTA positif
PB : Pausibasiler Depkes RI,2006
MB : Multibasiler

6 . Pengobatan

Menurut WHO (2006) di dalam Widoyono (2011), kriteria pengobatan


kusta dengan cara MDT (Multidug therapy) di jelaskan berikut ini :
Tabel 4. Pengobatan Penyakit Kusta

Pengobatan PB MB
Rifampisn 600 mg/bulan 600 mg/bulan
Lamprene - 300 mg/hari
Lamprene - 50 mg/hari
DDS 100 mg/bulan 100 mg/bulan
DDS 100 mg/hari 100mg/hari
PB : Pausibasiler
MB : Multibasiler
19

Dosis anak : Rifampisin : 10-15 mg/kg/bulan

DDS : 1-2 mg/kg/hari

Lamprene : 100 m/minggu, 150 m/bulan

Pengobatan : PB : 9 bulan, MB : 18 bulan

D. Tinjauan Umum Tentang Upaya Pencegahan Kecacatan

1. Definisi

Kecacatan kusta adalah keadaan abnormal dari fisik dan fungsi tubuh

serta hilangnya beberapa struktur dan fungsi tubuh yang diakibatkan oleh

penyakit kusta (Depkes RI, 2000).

2. Batasan kecacatan

Menurut WHO dalam Srinivasan (2004), batasan istilah dalam cacat

Kusta adalah:

a. Impairment

Segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang

bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik, misalnya leproma,

ginekomastia, madarosis, claw hand, ulkus, dan absorbsi jari.

b. Dissability

Segala keterbatasan (akibat impairment) untuk melakukan kegiatan

dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia. Dissability ini

merupakan objektivitas impairment, yaitu gangguan pada tingkat individu

termasuk ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari, misalnya

memegang benda atau memakai baju sendiri.


20

c. Handicap

Kemunduran pada seorang individu (akibat impairment atau

disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal

yang bergantung pada umur, seks, dan faktor sosial budaya. Handicap ini

merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial, ekonomi, dan

budaya.

d. Deformity

Kelainan struktur anatomis, dimana struktur tulang kita berubah

bentuk dari bentuk yang seharusnya.

e. Dehabilitation

Keadaan/proses pasien Kusta (handicap) kehilangan status sosial

secara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman-

temannya.

f. Destitution

Dehabilitasi yang berlanjut dengan isolasi yang menyeluruh dari

seluruh masyarakat tanpa makanan atau perlindungan (shelter).

3. Patogenesis kecacatan

M. leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terdapat pada

sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel

Schwann di jaringan syaraf. Kuman masuk kedalam tubuh, maka tubuh akan

bereaksi mengeluarkan makrofag.

M. leprae dapat mengakibatkan kerusakan syaraf sensori, otonom,

dan motorik. Pada syaraf sensori akan terjadi anastesi sehingga terjadi luka

tusuk, luka sayat, dan luka bakar. Pada saraf otonom akan terjadi kekeringan

kulit yang dapat mengakibatkan kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi
21

infeksi sekunder. Pada syaraf motorik akan terjadi paralisis sehingga terjadi

deformitas sendi.

Kecacatan akibat kerusakan syaraf tepi dapat dibagi menjadi tiga

tahap, yaitu :

a. Tahap I

Pada tahap ini terjadi kelainan pada syaraf, bentuk penebalan pada

syaraf, nyeri tanpa gangguan fungsi gerak, namun telah terjadi gangguan

sensorik.

b. Tahap II

Pada tahap ini terjadi kerusakan syaraf, timbul paralisis tidak

lengkap atau paralisis awal termasuk pada otot kelopak mata, otot jari

tangan, dan otot kaki. Pada stadium ini masih dapat terjadi pemulihan

kekuatan otot. Bila berlanjut, dapat terjadi luka di mata, tangan, kaki dan

kekakuan sendi.

c. Tahap III

Pada tahap ini terjadi penghancuran saraf kemudian kelumpuhan

akan menetap. Pada stadium ini dapat terjadi infeksi yang dapat

mengakibatkan kerusakan tulang dan kehilangan penglihatan.

4. Derajat kecacatan

Terjadinya cacat pada penderita kusta disebabkan oleh kerusakan

fungsi syaraf tepi, baik karena kuman kusta mupun karena terjadinya

peradangan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi kusta, kerusakan tersebut

meliputi (Depkes RI, 2005) :

a. Kerusakan fungsi sensorik

Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati

rasa (anastesi). Akibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki
22

dapat terjadi luka. Sedangkan pada kornea mata akan mengakibatkan

kurang/ hilangnya reflek kedip sehingga mata mudah kemasukan kotoran,

benda-benda asing yang dapat menyebabkan infeksi mata dan akibatnya

kebutaan.

b. Kerusakan fungsi motorik

Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan

lama lama ototnya mengecil (atrofi) oleh karena tidak dipergunakan. Jari-

jari tangan dan kaki menjadi bengkok (claw hand/ claw toes) dan

akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendinya. Bila terjadi kelemahan/

kekakuan pada mata, kelopak mata tidak dapat dirapatkan (lagoptalmus).

c. Kerusakan fungsi otonom

Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan

gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal,

mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.

Tabel 5. Tingkat Cacat pada Penderita Kusta

Tingkat Kecacatan

Tingkat Mata Tangan/Kaki

Tidak ada anastesi, tidak ada cacat


0 Tidak ada kelainan pada mata yang kelihatan akibat kusta

Ada anastesi tetapi tidak ada


Ada kelainan mata akibat kusta.
cacat/ada cacat/kerusakan yang
1 Penglihatan kurang (masih dapat
menghitung jari pada jarak 6 meter) kelihatan

Penglihatan sangat kurang (tidak Ada cacat/kerusakan yang


2 dapat menghitung jari pada jarak 6 kelihatan
meter)
Sumber : Depkes RI, 2005
23

5. Upaya pencegahan kecacatan

Pencegahan cacat Kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis daripada

penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik

oleh petugas kesehatan maupun oleh pasien itu sendiri dan keluarganya. Di

samping itu perlu mengubah pandangan yang salah dari masyarakat, antara

lain bahwa Kusta identik dengan deformitas atau disability.

Upaya pencegahan kecacatan adalah suatu cara atau langkah-

langkah yang dilakukan jangan sampai ada cacat yang timbul atau bertambah

berat setelah penderita terdaftar dalam program pengobatan dan pengawasan

(Depkes RI, 2008).

Upaya pencegahan cacat terdiri atas:

a. Upaya pencegahan primer, meliputi:

1) Diagnosis dini.

2) Pengobatan secara teratur dan akurat.

3) Diagnosis dini dan penatalaksanaan reaksi.

b. Upaya pencegahan sekunder, meliputi:

1) Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka.

2) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan

untuk mencegah terjadinya kontraktur.

3) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami

kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.

4) Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi, sehingga

pada proses penyembuhan tidak terlalu banyak jaringan yang

hilang.
24

5) Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau

mengalami kelumpuhan otot.

c. Upaya pencegahan tersier :

1) Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat

tubuh ialah dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun

hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya dan

secara kosmetik dapat diperbaiki.

2) Memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya,

sehingga masih dapat berprestasi dan dapat meningkatkan

rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik

(kejiwaan).

d. Prinsip yang penting pada perawatan sendiri untuk pencegahan cacat

kusta adalah:

1) Pasien mengerti bahwa daerah yang mati rasa merupakan

tempat risiko terjadinya luka.

2) Pasien harus melindungi tempat risiko tersebut (dengan kaca

mata, sarung tangan, sepatu, dll)

3) Pasien mengetahui penyebab luka (panas, tekanan, benda

tajam dan kasar).


25

E. Kerangka Teori

Kusta

Kecacatan

Sikap Upaya pencegahan kecacatan


Menerima Upaya pencegahan primer
Menanggapi Upaya pencegahan sekunder
Menghargai Upaya pencegahan tersier
Bertanggung jawab

Faktor yang mempengaruhi Pengetahuan


Pendidikan
Media massa
Sosial budaya dan ekonomi
Lingkungan
Pengalaman
Usia

Gambar 2. Kerangka Teori

Sumber : Kerangka teori ini dimodifikasi dari konsep Depkes RI (2007), Djuanda
(2010), Mansjoer( 2000).

Anda mungkin juga menyukai