Anda di halaman 1dari 41

TUGAS MAKALAH

KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa II

Lusi Sri Rahmawati (220110146059)

Restiani Paripurna S (220110146060)

Gian Nurdiansyah (220110146061)

Mia Amalia Shopia (220110146062)

Vini Junia Nur F (220110146063)

Siti Fatimah Azzahra (220110146064)

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN GARUT

2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kekhadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya karena kami masih diberi kesempatan untuk
menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa 2 yaitu membuat
makalah dengan judul Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Sebelumnya kami ucapkan terimakasih kepada Dosen Mata Kuliah
Keperawatan Jiwa karena telah memberikan bimbingannya terkait dengan makalah
ini dan kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyelesaian makalah
ini sehingga dapat terlaksanakan tepat pada waktunya. Kami menyadari bahwa
dalam makalah ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu kami
mengharapkan adanya kritik yang mebangun, saran, petunjuk, pengarahan, dan
bimbingan dari berbagai pihak. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam
peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua dan dapat memberikan informasi
bagi para pembaca khususnya perawat mengenai Korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT).

Garut, November 2017

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...............................................................................................2
D. Manfaat Penulisan............................................................................................2
E. Sistematika Penulisan.......................................................................................3
BAB II TINJAUAN TEORITIS DAN JURNAL TERKAIT...............................4
A. Definisi KDRT..................................................................................................4
B. Kendala Dalam Menegakkan UUKDRT..........................................................8
C. Penanggulangan Tindak Pidana Dalam Rumah Tangga.................................12
D. Hubungan Antara KDRT dan Proses Keperawatan Penganiayaan
Pasangan..........................................................................................................17
E. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul..............................................22
F. Terapi pada Korban KDRT.............................................................................27
G. Jurnal Terkait dengan KDRT...........................................................................33
BAB III EVIDENCE BASED PRACTICE (pembahasan teori dari jurnal
terkait)...................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kekerasan dalm rumah tangga adalah salah satu penomena sosisal yang
mengganggu ketertiban dan ketentraman kehidupan di masyarakat. Di
indonesia masalah kekerasan dalam rumah tangga masih dipandang sebagai
massalah keluarga. kekerasan yang di buat oleh anggota keluarga langsung
turut memberi adil terjadinya kekerassan dalam rumah tangga demikian
pula konstruksi sosial ,yang menempatkan perempuan / anak pada
kelompok masyarakat ketidak berdayaan mereka di tempatkan mereka pada
posisi yang terpuruk.
Korban kekerasan rumah tangga di Indonesia kebanyakan terjadi pada
perempuan, oleh karena itu seorang perempuan harus dapat perlindungan
biar terbebas dari ancaman kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Yang
akan menimbulkan suatu gangguan psikologis dan penderitaan fisik. Kasus
kekerasan dalam rumah tangga tidak memandang usia, agama, suku bangsa,
dan pembedaan budaya.
Di indonesia selain hal tersebut diatas ada beberapa peraturan
perundang-undangan antara lain,dalam undang-undang dasar negara
republik indonesia tahun 1945 passca amandemen, pengaturan hak asasi
manusia sudah sangat kongkrit sebagai mana yang tertera dalam pasal 28,
pasal 29, demikian ula didalam undang-undang nomer 39 tahun 1999
tentang hak asasi manusia pada tanggal 22 september 2004 bangsa
indonesia telah mengesahkan undang-undang no 23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalm rumah tangga ( UU PKDRT).Pembentukan
undang-undang ini dimaksudkan untuk menyelesaikan, meminimalisir,
menindak pelaku kekerasan, bahkan merehabilitasi korban yang mengalami
kekerasan rumah tangga. Definisi kekerasan dalam rumah mendapatkan
layanan, masih memerlukan penjelasan tekniss dalam penlaksanaanya.
Dalam passal 43 UU PKDRT, dimandatkan untuk dibuatnya peraturan
pemerintah terkait pelaksanaan pemenuhan hak-hak korban dalam rangka
pemulihan. Peraturan pemerintah UU PKDRT terkait dengan upaya
pemulihan baru ditetapkan tahun 2006, yakni peraturan pemerintah nomor
4 tahun 2006 tentang penyelenggaraan dan kerjasama pemulihan korban
kekerasan dalam rumah tangga.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu definisi KDRT ?
2. Apa yang menjadi kendala dalam menegakan Undang-undang KDRT ?
3. Apa saja penanggulangan tindak pidana dalam rumah tangga terhadap
KDRT?
4. Apa hubungan antara KDRT dan proses keperawatan penganiayaan
pasangan ?
5. Apa saja diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada Korban
KDRT?
6. Apa saja terapi yang di lakukan pada Korban KDRT?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu definisi dari KDRT.
2. Untuk mengetahui apa yang menjadi kendala dalam menegakkan
Undang-undang KDRT.
3. Untuk mengetahui apa saja penanggulangan tindak pidana dalam rumah
tangga terhadap KDRT.
4. Untuk mengetahui hubungan antara KDRT dan proses keperawatan
penganiayaan pasangan.
5. Untuk mengetahui diagnosa apa yang mungkin muncul pada Korban
KDRT.
6. Untuk mengetahui apa saja terapi yang dilakukan pada Korban KDRT.

D. Manfaat Penulisan
1. Pembaca
Makalah ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan
pembaca dalam memahami segala hal yang berhubungan dengan KDRT
beserta hukum, diagnosa dan terapi dalam keperawatan jiwa.
2. Penulis
Dalam hal pembuatan makalah ini penulis dapat manfaatkannya seperti
diantaranya penulis menambah pengetahuan mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan KDRT beserta hukum, diagnosa dan terapi dalam
keperawatan jiwa

E. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan terdiri atas : latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan dan sitematika penulisan
Bab II Tinjauan Teori terdiri atas : apa definisi KDRT, kendala dan undang-
undang dalam menegakkan KDRT, apa penanggulangan tindak pidana
dalam rumah tangga, apa diagnosa yang muncul pada korban KDRT, apa
terapi yang digunakan pada korban KDRT
Bab III Evidence Based Practice terdiri atas : kasus 1, kasus 2, kasus 3
Bab IV penutup terdiri atas : kesimpulan dan saran
Daftar Pustaka
BAB II
TINJAUAN TEORITIS DAN JURNAL TERKAIT

A. Definisi KDRT
Kekerasan dalm rumah tangga merupakan salah satu fenomena sosial
yang dirasakan mengganggu ketertiban dan ketentraman kehidupan
masyarakat. Bagi sebagian masyarakat indonesia masalah kekerasan dalam
rumah tangga (domestic violence) masih dipandang sebagai massalah
internal keluarga. Orang awam menggap pihak luar dilarang campur
tanggan. Budaya masyarakat yang memberi stigma bahwa pertengkaran,
kekerasan oleh anggota keluarga langsung turut memberi andil terjadinya
kekerassan dalam rumah tangga demikian pula konstruksi sosial ,yang
menempatkan perempuan / anak pada kelompok masyarakat rentan,ketidak
berdayaan mereka semakin menempatkan mereka pada posisi yang
terpuruk.
Korban kekerasan dalam rumah tangga, kebanyakan adalah perempuan,
harus mendapat perlindungan dari negara dan / atau masyarakat agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan,
atauy perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Didalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi.
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan kekerassan dalam
rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis dan /atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untukmelakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalm lingkup rumah tangga.
Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi suami,
istri,dan anak orang-orangyang mempunyai hubungan keluarga dengan
orang karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga, dan/atau orang yang bekerja
membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Orang
yang bekerja dipandang sebagai anggota keluarga dam jangka waktu
selamaberada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Sesuai dengan falsafah Pancasila dan undang-undang Dasar Negara
Indonesia Tahun 1945, setiap warga negara berhak mendapat rasa aman dan
bebas dari segala bentuk kekerassan segala bentuk kekerasan, terutama
kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia
dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi
yang harus dihapus.
Sehubungan dengan hal tersebut, Indonesia sebagai salah satu negara
yang meratifikasi Convention on the elimination off all from of
discrimination against woman (CEDAW ), maka negara wajib memberikan
penghormatan ( how to respect ), perlindungan ( how to protect ) dan
pemenuhan ( how to fulfil ) terhadap hak asasi warga negaranya terutama
hak atas rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan serta
diskriminasi.
Di indonesia selain hal tersebut diatas ada beberapa peraturan
perundang-undangan antara lain, dalam undang-undang dasar negara
republik indonesia tahun 1945 passca amandemen, pengaturan hak asasi
manusia sudah sangat kongkrit sebagai mana yang tertera dalam pasal 28,
pasal 29, demikian ula didalam undang-undang nomer 39 tahun 1999
tentang hak asasi manusia pada tanggal 22 september 2004 bangsa
indonesia telah mengesahkan undang-undang no 23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalm rumah tangga ( UU PKDRT ). Pembentukan
undang-undang ini dimaksudkan untuk menyelesaikan, meminimalisir,
menindak pelaku kekerasan, bahkan merehabilitasi korban yang mengalami
kekerasan rumah tangga. Definisi kekerasan dalam rumah mendapatkan
layanan, masih memerlukan penjelasan tekniss dalam penlaksanaanya.
Dalam passal 43 UU PKDRT, dimandatkan untuk dibuatnya peraturan
pemerintah terkait pelaksanaan pemenuhan hak-hak korban dalam rangka
pemulihan. Peraturan pemerintah UU PKDRT terkait dengan upaya
pemulihan baru ditetapkan tahun 2006, yakni peraturan pemerintah nomor
4 tahun 2006 tentang penyelenggaraan dan kerjasama pemulihan korban
kekerasan dalam rumah tangga.
Peraturan pemerintah ini menekankan bahwa pemulihan terhadap
korban KDRT tidak hanya pemulihan fisik, tetapi juga psikis, oleh karna itu
diperlukan pasilitass dan kerjasama antar pihak yang telah disebutkan dalam
undang-undang. Peraturan pemerintah ini juga menyebutkan pentingnya
peran masyarakat. Upaya-upaya seperti inilah yang dilakukan oleh
organisasi perempuan dan kementrian pemberdayaan perempuan untuk
memecahkan massalah karena korban tidak berani atau terbatasnya akses
korban kepada hukum. Selain itu juga untuk mengatasi penomena gunung
es KDRT dan menjawab keadilan bagi korban dengan menggungkapkan
kebenaran.
Kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT ) merupakan fakta sosial yang
bersifat universal karena dapat terjadi dalam sebuah rumah tangga tanpa
pembedaan budaya, agama, suku bangsa, dan umur pelaku maupun
korbannya. Hal ini dapat terjadi dalam rumah tangga keluarga sederhana,
miskin dan terbelakang maupun rumah tangga keluarga kaya, terdidik,
terkenal, dan terpandang. Tindak kekerasan ini dapat dilakukan oleh suami
atau istri terhadap pasangan masing-masing atau sebaliknya seorang istri
melakuan kekerasan terhadap suami, orang tua terhadap anak-anak, anggota
keluarga yang lain, dan terhadap pembantu mereka secara berlainan maupun
bersamaan. Perilaku merusak ini berpotensi kuat menggoyahkan sendi-
sendi kehidupan rumah tangga yang mempunyai akibat fatal, termasuk yang
terburuk seperti perceraian suatu rumah tangga.
Tindak KDRT di indonesia ceenderung bersifat laten hingga jarang
terungkap ke permukaan. Akibatnya, lebih merupakan kejadian sederhana
yang kurang menarik ketimbang sebagai fakta sosial yang seharusnya
mendapatkan perhatian khusus dan penanganan yang sungguh-sungguh dari
masyarakat dan pemerintah. Kekerassan dalam kasus dan intesitasnya yang
kian hari cenderung kian meningkat. Media massa cetak dan elektronik
indonesia malah tak pernah lenggang dari berita-berita dan informasi-
informasi terbaru tentang tindak KDRT, termasuk dalam rumah tangga para
selebriti.
Komisi nasional anti kedkerasan terhadap perempuan ( komnas
perempuan ) mencatat kasuskekerasan terhadap perempuan meningkat
sepanjang tahun 2011. Dalam laporan catatan tahunan komnas perempuan,
jumlah kasus kekerasan yang ditangani lembaga pengada layanan yang
berada di 33 provinsi, mencapai 119.107 kasus. Dibandingkan dengan tahun
2010, yang mencapai 111105,103 kasus.
Ketua komnas mengatakan sebagian besar kasus yang dilaporkan
adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 95,61%. Sebanyak 4,3%
kasus terjadi diranah publik dan sisanya 0,03% atau 42 kasus terjadi di ranah
negara seperti pengambilan lahan, penahanan, penembakan dan lain-lain.
Jumlah ini hanya menunjukan puncak gunung es dari personal
kekerasan terhadap perempuan, sebab masih banyak perempuan korban
yang enggan atau tidak dapat melaporkan kasusnya. Pelayanan terhadap
kasus kekerasan terhadap perempuan juga berbeda di setiap daerah,
tergantung kepada kuantitas dan kapasitas lembaga layanan yang tersedia
diwilayah itu. Jumlah kasus yang paling banyak ditangani adalah provinsi
jawa tengah sebanyak 25.628 kasus, disusul jawa timur sekitar 24.555
kasus, disusul jawa barat dan DKI jakarta.
Kasus kekerasan seksual perempuan khususnya teror perkosaan di
angkutan umum dan pemberitaan tentang kekerasan seksual di media
massa, perlu mendapatkan perhatian khusus.
Laporan komnas perempuan juga mencatat adanya 73 terobosan
kebijakan untuk pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap
perempuan, antara lain meliputi kebijakan layanan bagi perempuan korban
kekerasan, kebijakan tentang trafficking, kebijakan untuk pendidikan dan
kesehatan, serta partisipasi perempuan dan pengarusutamaan gender. Meski
terobosan kebijakan sudah dilaksanakan, tetapi belum menyentuh masalah
pokok terjadinya kekerasan terhadap perempuan. kondisi ini terjadi karena
minimnya pemahaman dan penghargaan para pengambil kebijakan dan
aparat penegak hukum terhadap pemenuhan hak-hak perempuan korban
dalam penanganan kekerasan yang merupakan hasil dari relasi kekuasaan
yang tidak setara. Komnas perempuan juga menyebutkan penanganan dan
pencegahan masih parsial, karena belum terbangunnya sistem hukum yang
berperspektif HAM dan gender yang efektif dan menyeluruh. Masalah itu
pula yang menyebabkan penanganan perempuan korban kekerasan masih
stagnan, kommnas perempuan menilai kondisi ini merupakan stagnansi
memenuhi hak perempuan korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.
Kecenderungan meningkatnya kasus KDRT yang dilaporkan ini
menunjukan adanya bangunan kesadaran masyarakat tentang kekerasan
khususnya kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga pada umumnya
dan kesadaran serta keberanian perempuan korban un tuk melaporkan kasus
KDRT yang dialaminya.

B. Kendala Dalam Menegakkan Undang-undang KDRT


Kendala yang ada dalam menegakan UUKDRT beberapa alasan yang
membuat korban enggan melakukan tindakan hukum ketika terjadi
kekerasan, antara lain :
1. Tindakan kekerasan yang dialaminya adalah sesuatu yang lumrah terjadi,
bahkan dianggap sebagai proses pendidikan yang dilakukan suami
terhadap istri, atau orang tua terhadap anak. Anggapan ini dihubungan
dengan anggapan bahwa suami adalah pemimpin keluarga, sehingga
mempunyai hak mengatur (kalau perlu dengan kekerasan) terhadap
anggota keluarganya.
2. Seorang istri mempunya harapan bahwa tindak kekerasan akan berhenti.
Hal itu istri terlalu cinta kepada suaminya tetapi peristiwa KDRT terus
berulang.
3. Ketergantungan ekonomi terhadap pasangannya (istr tidak bekerja).
4. Demi anak, anak. Akan menjadi korban konflik orang tua, menjadi
broken home, penyalahgunaan narkoba, seringkali perempuan mengalah.
Seorang ibu yang berkorban membaktikan dirinya menjadi hilang dalam
rutinitas rumah tangga yang dijalaninya.
5. Pada umumnya orang menganggap bahwa kekerasan terhadap istri
adalah hal yang lumrah.
6. Kekerasan oleh suami terhadap istri dianggap sebagai masalah internal,
baik oleh orang luar maupun oleh orang didalam keluarga itu sendiri.
7. Pelaku dan korban menutup-nutupi peristriwa tersebut dengan berbagai
alasan.
8. Korban menganggap bahwa peristiwa yang menimpanya tersebut
merupakan hal yang biasa dan sudah seharusnya demikian. Korban tidak
mengetahui bahwa peristiwa yang menimpanya itu sudah termasuk
dalam kategori perbuatan yang dapat dipidana.
9. Korban merasa bahwa kerugian yang dialami tidak berarti baginya
dibandingkan dengan kerepotan dan kerugian/penedritaan lebih besar
yang harus ia tanggung ketika tindak pidana itu dilaporkan atau diadukan
ke aparat penegak hukum.
10. Korban atau keluarga korban merasa malu jika tindak pidana yang
dialaminya diketahui oleh orang lain. Hal ini biasanya terjadi untuk
tindak pidana lainnya yang dianggap dapat merendahkan harga diri
korban atau keluarganya.
11. Korban merasa takut untuk melaporkan atau mengadukan tindak pidana
tersebut karena ada ancaman dari pelaku orang tua yang bersimpati pada
pelaku.
Kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya sudah banyak terjadi
sebelum undang-undang tersebut diundangkan. Meskipun pada waktu itu
belum ada kebijakan formulasi terhadap kekerasan dalam rumah tangga,
tidaklah berarti perbuatan kekerasan tersebut dapat lolos dari jerat hukum.
Selain anak, yang biasanya menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga
juga perempuan sebagai istri. Famili atau pembantu yang tinggal menetap
di dalam satu rumah sebagaimana telah disebut dimuka. Aturan-aturan
hukum tentang kekerasan dalam rumah tangga di indonesia dalam praktik
penegakan hukum di indonesia menggunakan ketentuan-ketentuan umum
yang terdapat dalam KUHP misalnya penganiayaan pasal 351, pencurian
dalam keluarga pasal 367 KUHP, perbuatan tidak menyenangkan dan lain
sebagainnya, kemudian ada peraturan khusus yang dapat menangani
masalah ini antara lain yang berlaku khusus diatur undang-undang nomor
23 tahun 2002 (tentang perlindungan anak). Undang no.39 tahun 1999
tentang HAM dan dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 (tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga), berlaku lex specialis derogate
lex generalis yaitu undang-undang khusus mengalahkan undang-undang
umum.
Pada umumnya perempuan korban kekerasan merasionalkan
penganiayaan yang dialaminya sebagai respons alami yang ditampilkan
pasangannya. Jadi, sepanjang 2012 saja, tercatat 8.315 kasus kekerasan
terhadap istri, atau 66 persen dari kasus yang ditangani. Hampir setengah,
atau 46 persen, dari kasus tersebut adalah kekerasan psikis, 28 persen
kekerasan fisik, 17 persen kekerasan seksual, dan 8 persen kekerasan
ekonomi. Bentuk KDRT lain yang tengah marak dilaporkan dilakukan oleh
pejabat publik adalah berupa kejahatan perkawinan.
1. Kasus KDRT yang dilaporkan, kerap kali tidak ditindaklanjuti karena
korban ragu-ragu atau tidak mengerti bahwa hal yang dilaporkan telah
diproses pihak kepolisian pun acapkali ditarik kembali dengan berbagai
macam alasan, misalnya karena korban merasa sudah memaafkan pelaku,
ketergantungan ekonomi terhadap pelaku, demikian halnya bahwa KDRT
masih dianggap sebagai aib keluarga;
2. Lamanya rentang waktu antara kejadian dan visum, sehingga hasil visum
menjadi kurang mendukung terhadap proses hukum;
3. Penanganan kasus KDRT belum dianggap prioritas, sehingga
pembentukan PPT masih tersendat; substansi pemidanaan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan pasal 44 dan pasal 49 UU PKDRT
menghambat penghapusan KDRT, karena terdakwa dengan ekonomi
mapan cenderung memilih hukuman denda ketimbang hukuman penjara.
Bertitik tolak dari pendapat Barda Nawawi Arief yang mengatakan
bahwa masalah sentral kebijakan hukum pidana terletak pada masalah
penentuan atau perumusan tindak pidana dan sanksi pidananya, maka telaah
terhadap ketentuan-ketentuan dalam KUHP yang berkaitan dengan kekerasan
dalam rumah tangga juga akan berpijak pada kedua hal itu seperti diuraikan
sebagai berikut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi
kekerasan dalam rumah tangga tersebut adalah dengan menggunakan
kebijakan kriminal (criminal policy).
Menurut sudarto yang dimaksud dengan kebijakan kriminal adalah :
1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar
dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.
2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak termasuk
didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.
3. Dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan
melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan
untuk menegakan norma-norma sentral dari masyarakat.
Kebijakan kriminal sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi
kekerasan dalam rumah tangga tersebut dapat dilakukan, baik dengan
mempergunakan sarana hukum pidana (penal policy) maupun dengan sarana
diluar hukum pidana (nonpenal policy).
Di Indonesia, penggunaan sarana hukum pidana untuk menanggulangi
kekerasan dalam rumah tangga dapat dilihat dari berbagai ketentuan hukum
pidana yang dibuat dan duberlakukan untuk maksud itu. Penggunaan hukum
pidana untuk menanggulangi perbuatan-perbuatan yang tidak di hendaki oleh
masyarakat tersebut mempunyai karakteristik yang khas, terutama karena
sanksinya yang sering dianggap sebagai sesuatu yang keras, karena hukuman
yang keras tidak menjamin dapat mengurangi tingkat kejahatan seperti
adanya hukuman mati. Karena tujuan dari pemidanaan diindonesia bukan lagi
untuk penjaraan (penjara) akan tetapi tujuannya saat ini adalah pembinaan
narapidana agar dapat kembali kemasyarakat (lembaga pemasyarakatan).
Sebagaimana gagasan dari suhardjo pada tahun 1964.
Menurut Jeremy Bentham, secara kongkrit jangan hukum pidana
dikenakan/ digunakan apabila groundless, needless, unprofitable or
inefficacious. Demikian pula, Packer pernah mengingatkan bahwa
penggunaan sanksi pidana secara sembarangan (indiscriminates by) dan
digunakan secara paksa (coercively) akan menyebabkan sarana pidana itu
menjadi suatu pengancam yang utama kekerasan dalam rumah tangga
sebenarnya sudah banyak terjadi sebelum undang-undang tersebut
diundangkan. Meskipun pada waktu itu belum ada kebijakan formulasi
terhadap kekerasan tersebut dapat lolos dari jerat hukum. (prime threatner).
Dalam hal-hal tertentu hukum pidana harus mempertimbangkan secara
khusus skala prioritas kepentingan pengaturan. Penggunaan hukum pidana
sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana
pencegahan yang bersifat non-penal (prevention without punishment).

C. Penanggulangan Tindak Pidana Dalam Rumah Tangga


Pengadilan agama merupakan tempat rujukan terbanyak perempuan
korban KDRT yang mencari keadila, fakta KDRT terbanyak berakhir dalam
menggugat cerai perempuan korban, sehingga pengungkapan kekerasannya
sendiri tiidak terungkap. Dengan demikian peroses hukum KDRT itu sendiri
kurang ditegakan.
Pengadilan agama menjadi lembaga yang paling banyak menangani
kasus KDRT ( penelantaran ekonomi dalam perkara gugat cerai ) tetapi
mereka tidak menggunakan Udang-undang PKDRT sebagai acuan.
Pemisahan antara perkara perdata ( cerai ) dan pidana namun terobosan ini
belum banyak digunakan baik oloeh aparat penegak hukum maupun
pendamping. Hal ini dikarenaka masih sedikitnya ahli psikologis/psikiater
yang mempunyai pemahaman tentang konteks KDRT terjadi.
Dalam hal ada suatu pelaporan atau pengaduan atas KDRT, hal ini
praktis jalan mengalami jalan buntu dalam penanganan proses hukumnya,
karena banyak orang belum mmengetahui bahwa kekerasan non fisik juga
diancam dengan pidana. Sementara hukum yang ada ( KUHP ) hanya
mengenal istilah penganiayaan ( kekerasan fisik ), sehingga seringkali
mengalami kesulitan terutama untuk pembuktin atas kekerasan non fisik.
Dalam hal ini, Indonesia antara lain telah membentuk Undang-undang
Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
( UU-PKDRT ) yang dalam pertimbangan serta pengaturanya sarat dengan
muatan yang memperhatikan perspektif gender. Satu hal yang tampak jelas
dan tegas dalam pengaturan UU-PKDRT adalah dicantumkannya pegertian
kekerasan dalam rumah tangga, yang dalam perumusannya juga telah
mempertimbangkan ketentuan-ketentuan sebagai mana dimuat dalam
CEDAW beserta rekomendasinya ( Rekomendasi umum nomer 19 tahun
1993 tentag kekerasan terhadap perempuan ).
Dengan diterbitkan buku Pedoman Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan terhadap Perempuan di Tingkat Pelayanan Dasar, yang diterbitkan
oleh Departemen Kesehatan, antara lain mengetengahkan bahwa kekerasan
yang terjadi dalam liingkup rumah tangga, sesungguhnya merupakan
pengaruh kombinasi dan interaksi dari faktor biologis, psikologis, ekonomi,
dan politik seperti riwayat kekerasan, kemiskinan dan konflik bersenjata.
Selain itu juga dipengaruhi fakor risko dan protektif. Kompleksnya penyebab
KDRT tersebut, membuat hal ini dapat terjadi diberbagai lapisan masyarakat,
dan bukan hanya terjadi di kalangan yang lemah ekonomi atau karena
rendahya pendidikan. Namun demikian, dari hasil penelitian
menunjukanbahwa sebagian besar timbulnya KDRT adalah lebih banyak
disebabkan karena faktor ekonomi, baik dalam kondisi ekonomi yang sudah
mapan/kuat maupun ekonomi pas-pasan/lemah.
Hal yang membedakan diatara keduanya bahwa dalam hal ekonomi
lemah, permasalahannya lebih kepada ketidak cukupan penghasilan,
sebaliknya dalam hal ekonomi yang sudah mapan/kuat adalah justru karena
implikasi dari kelebihan materi dan konflik terjadi, misalnya, karena pelaku
telah memiliki pasangan lain atau terjadinya perselingkuhan.
KDRT dalam bentuk kekerasan fisik lebih sering terungkap, karena
mudah pembuktiannya. Sementara, dalam kekerasan psikis dan penelantaran
rumah tangga sering tidak terungkap, termasuk, juga menggambarkan bahwa
diantara kasus-kasus KDRT, yang paling banya terjadi konflik antara suami
dan istri ketimbang kassus orang tua dan anak, majikan dan pembantu, dan
bentuk kasus KDRT yang lain. Akibat yang harus diderita oleh korban
KDRT,pada umumnya mereka menjadi stress, ddepresi, ketakutan, trauma,
takut bertemu pelaku, cacat fisik atau berakhir pada perceraian. Dari sisi
pelaku, apabila kasusnya terungkap dan dilaporkan, biasanya timbul rassa
menyesal, malu dihukum, dan/atau memilih dengan perceraian pula.
Identifikasi atas penyebab terjadinya KDRT pada dasarnya juga dapat
dijadikan sebagai landasan untuk menentukan langkah kebijakan atau dalam
meracang bentuk pengelolaan program baik untuk upaya-upaya preventif dan
advokasinya, langkah koordinasi serta monitoring dan evaluasi terhadap
efektivitasnya serta langkah refresifnya. Kebijakan yang sifatnya akan
membuat solusi bagi akar permasalahan penting untuk ditempatkan sebagai
prioritas. Di sisi lain, upaya terus melakukan pengikisan terhadap pandangan-
pandangan yang patriarkis, diskrimiatif, dan subordinasi, harus terus di
usahakan, diantaranya melalui pelatihan-pelatihan sensitive gender dan isu-
isu kekerasan dalam rumah tangga dikalangan aparat penegak hukum, aparat
pemerintah, dan masyarakat luas, yang perlu terus digencarkan dan
ditingkatkan.
Kehadiran undang- undang KDRT membuka jalan bagi terungkapnya
kasus KDRT dan upaya perlindungan hak-hak korban. Dimana awalnya
KDRT dianggap sebgai wilayah privat yang tidak seorangpun diluar
lingkungan rumah tangga dapat memasukkinya. Lebih kurang empat tahun
sejak pengesahannya pada tahun 2004, dalam perjalanannya undang-undang
PKDRT ini masih ada beberapa pasal yang tidak menguntungkan bagi
perempuan korban kekrasan. Peraturan pemerintah nomer 4 tahun 2006
tentang penyelenggaraan dan kerjasama pemulihan korban kekerasan dalam
rumah tangga merupakan peraturan pelaksanaan dari undang-undang PKDRT
ini.
Walaupun UU PKDRT ini dimaksudkan memberikan efek jera bagi
pelaku KDRT, ancaman hukuman yang tidak mencantumkan hukuman
minimal dan hanya hukuman maksimal sehingga berupa ancaman hukuman
alternatif atau denda dirasa terlalu ringan bila dibandingkan dengan dampak
yang diterima korban, bahkan lebih menguntungkan bila menggunakan
ketentuan hukum sebagaimana yang diatur dalam KUHP. Apabila jika korban
mengalami cacat fisik, psikis, atau bahkan korban meninggal. Sebagai
undang-undang yang memfokuskan pada proses penanganan hukum pidana
dan penghukuman dari korban, untuk itu, perlu upaya strategis diluar diri
korban guna mendukung dan memberikan perlindungan bagi korban dalam
rangka mengungkapkan kasus KDRT yang menimpanya. Tersedianya
perangkat peraturan perundang-undangan khusus seperti UU no.23 tahun
2004 tentang penghapusan.
Banyaknya kasus pada saat proses dicabut oleh plapor yang sekaligus
korban, lebih karena banyakya beban gender perempuan korban yang sering
kali harus ditanggung sendiri, kuatnya budaya patriarkhi, doktrin agama, dan
adat menempatkan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam
situasi yang sulit untuk keluar dari lingkar kekerasan dalam rumah tangga
dalam situasi yang sulit untuk keluar dari lingkar kekerasan yag didalamnya,
dan cenderung ragu untuk mengungkapkan fakta kekerasannya, bahkan
korban sulit mendapat dukungan dari keluarga maupun komunitas.
Keyakinan berdosa jika menceritakan kejelekan, keburukan , atau aib
suami membuat banyak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga
menyimpan dalam berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya.
Melaksanakan penegakan hukum, kebikajakan, program-program yang
melindungi anak-anak dan kaum wanita, implementasi undang-undang
perlindungan anak. Mengembangkan dan melaksanakan rencana dan
program yang sensitif gender untuk, melindungi dan membantu anak dan
perempuan yang menjadai korban serta mamfasilitasi pemulihan juga
program-program reintegrasi anak dan perempuan korban KDRT kedalam
masyarakat.
Pemerintah segera menciptakan ilim pendidikan, mobilisasi sosial, juga
aktivitas pengembangan untuk menjamin agar kaum perempuan dan anak-
anak untuk memenuhi hak-hak anak, kewajiban dan terwujudnya
kemandirian perempuan agar tidak tergantung pada suami.
Dalam Undang-undang yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga ( pasal 1 ).

Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:


1. Suami, istri, dan anak.
2. Orang-orang yang mempunyai hubunnga kekeluargaan dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan,
persususan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah
tangga, dan/atau.
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut. (pasal 2)
Orang yang bekerja dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka
waktu selama berada dalam rumah tngga yang bersangkutan.
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalm rumah tangga.
2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

D. Hubungan Antara KDRT dan Proses Keperawatan Penganiayaan


Pasangan
1. Definisi Penganiayaan Pasangan
Penganiayaan pasangan terjadi saat seseorang yang berusia lebih dari 18
tahun atau seseorang yang hanya mempunyai kemerdekaan sedikit
menjadi sasaran tindak kekerasan yang dilakukan dengan sengaja dalam
hubungan interpersonal yang intim dengan orang lain. Perkiraan yang
dibuat dengan sangat hati-hati mengindikasikan bahwa setiap tahun, 2
sampai 4 juta wanita di Amerika Serikat menjadi korban penganiayaan
yang dilakukan oleh pasangan pria merek. Wanita yang dipukuli
biasanya merasa takut dengan kekuatan dan kemampuan berkelahi pria
serta tidak memiliki cara yang efektif untuk menghentikan pria atau
membela dirinya sendiri. Profesional perawatan kesehatan tidak diminta
untuk melaporkan penganiayaan pasangan. Informasi yang diberikan
disini berfokus pada pasangan wanita karena wanita lebih sering dianiaya
oleh pria dibandingkan pria dianiaya oleh wanita. Disamping menjadi
cedera fisik tersebas pada wanita, pemukulan beresiko besar pada janin.
Banyak wanita yang dipukuli berada dalam bahaya dibunuh saat
berusaha meninggalkan orang yang menganiayanya.

2. Jenis-jenis Penganiayaan Pasangan


a. PENGANIAYAAN FISIK, berbagai bentuk penyerangan fisisk pada
wanita, meliputi menmpar, memukul, menendang, mencekik dan
menyerang dengan menggunakan objek tertentu.
b. PENGANIAYAAN EMOSI, pernyataan verbal atau non verbal yang
merendahkan wanita dan melukai harga dirinya, menyebabkan wanita
merasa menjadi orang yang kurang mampu dan tidak kompeten.
c. PENGANIAYAAN SEKSUAL, berbagai upaya untuk memaksa
wanita berhubungan seksual tanpa diinginken oleh wanita tersebut
atau untuk berpartisipasi dalam aktivitas seksual yang ia rasa
menjijikan.
d. PENGANIYAAN EKONOMI, dominasi dan kontrol terhadap wanita
dengan membuatnya bergantung pada laki-laki dalam hal keuangan
dan keberlangsungan hidup.
e. HAK ISTIMEWA PRIA YANG BERSIFAT MENGANIAYA,
memperlakukan wanita sebagai orang yang lebih rendah atau sebagai
pembantu.
f. ANCAMAN DAN PENGANIAYAAN PSIKOLOGIS, berbagai
ancaman atau tindakan yang dibuat pria untuk membuat wanita
terluka secara emosional, seperti mempermalukan atau
memfitnahnya.
g. MARAH DAN INTIMIDASI, penggunaan ekspresi, tindakan atau
kata-kata agresif untuk mengintimidasi wanita
h. ISOLASI ATAU PEMBATASAN KEBEBASAN, penggunaan
paksaan atau ancaman untuk membatasi akses wanita dalam
berkomunikasi dengan dunia luar.

3. STRATEGI KOMUNIKASI
Dorong klien untuk membicarakan situasi yang dialami.
Gunakan pendekatan langsung. Beri pertanyaan secara langsung
misalnya Bagaimana anda dilukai? Apakah pasangan anda yang
menyebabkan cedera ini? Apakah anda hidup bersama orang yang
melukai anda?
Ientifikasi pola penganiayaan, termasuk derajat bahaya, keparahan,
durasi, tipe dan bagaimana penganiayaan tersebut memuncak.
Nyatakan bahwa klien tidak pantas dianiaya, bahwa penganiayaan
bukan akibat kesalahannya dan bahwa pemukulan melanggar hukum.
Akui bahwa penganiayaan merupakan hal yang sulit dibicarakan oleh
klien.
Dorong wanita untuk mengeksplorasi semua perasaannya, termasuk
perasaan negatif yang kuat, seperti rasa takut, ansietas, depresi, rasa
marah, malu dan keinginannya untuk balas dendam.
Akui semua perasaan klien yang ambivalen dan kurang percaya akan
kemampuannya untuk mengatasi situasi.
Tayakan pada wanita tentang apa yang ingin dilakukan dan bagaimana
perawat dapat membantunya.
Hindari pertanyaan atau pernyataan yang menyalahkan korban.
(Mengapa Anda tinggal bersamanya? Kamu perlu
mempertahankan harga dirimu.)
Sarankan klien untuk mempertahankan energinya dalam menjamin
keamanan pribadi dan merencanakan masa depan daripada berupaya
mengubah hubungan.
Buat rencana keselamatan, misalnya bagaimana meninggalkan tempat
penganiayaan dan menghubungi personal pendukung jika
penganiayaan nampaknya akan terjadi.
Bicarakan menganai sumber-sumber komunitas, seperti tempat
berlindung dan layanan konseling untuk korban penganiayaan, dan
berikan nomor hot line penganiayaan kepada klien.

4. CONTOH RENCANA PENGAMANAN


Anjurkan klien mengingat nomor hot line atau minta ia menyediakan
nomor tersebut.
Anjurkan klien menentukan tempat yang aman untuk pergi dan
merencanakan bagaimana cara untuk dapat pergi ke tempat tersebut.
Jika klien meneruskan hidup dengan pasangan yang menganiaya,
anjurkan ia bersiap untuk meninggalkannya dengan cepat.
Beritahu klien mengenai tempat perawatan medis yang dapat
ditemukan jika ia mengalami cedera atau nyeri setelah diserang.
Anjurkan klien membuat rencana tindakan untuk memberitahu polisi
jika ia berada dalam bahaya.
Ajarkan klien bagaimana mendapatkan instruksi penahanan atau
perlindungan dari tindakan penganiayaan, yang selalu dibawanya.
Katakan pada wanita untuk membuat salinan ekstra dan meninggalkan
sebuah salinan kepada temannya.
Jika pasangan telah dikeluarkan dari rumah, anjurkan klien untuk
mengganti kunci dan aanjurkan memasang kunci tambahan di tempat
yang memerlukan kemanan.

5. TOPIK PENYULUHAN UNTUK PENGANIAYAAN PASANGAN


Siklus kekerasan
Isu keamanan
Rencana untuk meninggalkan penganiaya
Manifestasi stres (ansietas, depresi, gangguan stres pasca trauma,
disosiasi)
Kelompok terapi dan pendukung
Penggunaan obat psikotropika
Perawatan kesehatan untuk cedera dan dasar pertolongan pertama
Informasi nutrisi, tidur dan olahraga
Perawatan anak (korban sekunder dari penganiayaan pasangan)
Keterampilan dan strategi sebagai orang tua
Informasi hukum, terutama undang-undang negara bagian atau hukum
lokal
Informasi tempat perlindungan
Dukungan sosial

6. INDIKASI KLINIS PENGANIAYAAN PASANGAN


Agitasi
Ansietas hebat
Depresi kronis
Penyalahgunaan zat
Insomnia atau mimpi buruk
Keluhan somatis yang multipel dan tidak khas
Cedera yang mencurigakan
7. CEDERA YANG UMUM DIDERITA WANITA YANG DIPUKULI
Cedera kepala, misalnya gegar otak, botak disana-sini dan pendarahan
retina
Cedera leher, khususnya bekas cekikan
Cedera diwajah, misalnya mata membiru, gigi tanggal dan tulag
hidung patah
Cedera di jaringan lunak, gigitan manusia atau luka bakar yang tidak
dapat dijelaskan
Fraktur atau dislokasi yang tidak dapat dijelaskan, khususnya pada
ekstremitas bagian atas
Memar atau cedera di bagian abdomen pada wanita hamil
Riwayat aborsi spontan
Cedera pada area genital

8. STRESSOR YANG MENYEBABKAN PENGANIAYAAN


PASANGAN
Pengangguran
Perasaan pribadi tentang ketidaknyamanan
Kesulitan finansial
Pasangan merupakan orang yang kurang berhasil
Pasangan memiliki keterampilan verbal yang adekuat
Isolasi social atau kurang dukungan social
Krisis, seperti okupasional atau cedera akibat kecelakaan, bangkrut
dan duka cita
Kehamilan
Masalah kesehatan kronis atau sering menderita penyakit
Tidak memiliki agama dalam keluarga atau terdapat pertentangan
agama
Pasangan memiliki nilai dan gaya hidup yang berbeda
Penerimaan dominansi paria yang tidak dapat dipertanyakan di dalam
suatu hubungan
Penyalahgunaan zat oleh salah satu atau kedua pasangan

E. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Diagnosa Keperawatan : Resiko Trauma
a. Kemungkinan penyebab
Riwayat konflik dengan pasangan
Kurang komunikasi dengan pasangan dalam jangka waktu lama
Keletihan kronis
Ansietas dan depresi terus-menurus
b. Batasaan Karakteristik
Terpajan penganiayaan fisik, seksual, atau emosional sebelumnya
Menerima tindakan kekerasan sebagai upaya penyelesaian masalah
Tidak mampu membuat keputusan
Mengungkapkan perasaan yang terbebani

Tujuan jangka panjang : Klien membuaat rencana guna menghadapi


segala kemungkinan untuk menjamin keamanannya dalam peristiwa
penyerangan di masa mendatang dan mempertimbangkan pilihan hukum
yang dimilikinya untuk mengakhiri situasi penganiayaaan.
Tujuan jangka pendek : Klien mengambil keputusan dan merencanakan
tindakan yang akan meningkatkan keselaamatan.

c. Intervensi dan Rasional


Minta klien untuk mendiskusikan situasi yang dialami dan
bagaimana perasaannya mengenai hal itu. Wanita yang dipukuli
sering menyalahkan diri mereka sendiri dan merasa tidak berdaya
untuk mengubah situasi penganiayaan.
Minta klien mengidentifikasi isyarat situasi yang berpotensi
menyebabkan pemukulan. Sangat menolong bila klien dapat
mengidentifikasi pendahuluan situasi yang mungkin menyebabkan
pemukulan sehingga ia dapat bertindak untuk memfasilitasi
keamanan.
Bicarakan berbagai cara untuk meningkatkan kemanan dan minta
klien untuk membuat rencana pribadi untuk keselamatan. Memiliki
sebuah rencana keselamatan merupakan tindakan perlindungan
dan memampukan klien untuk mengatasi situasi penganiayaan dan
berbagai akibatnya pada diri sendiri dan anak-anaknya.
Jelaskan pada klien bahwa ia tidak dapat mengubah perilaku
penganiayaan; ia hanya dapat mengubah responnya terhadap
pelaku penganiayaan dan merubah situasi penganiayaan. Apabila
klien melepaskan harapannya yang tidak realistis untuk dapat
mengontrol pasangan yang menganiaya, ia dapat memfokuskan
perhatiannya pada tugas-tugas yang dapat menolong dirinya
sendiri.
Kaji resiko bunuh diri dan kemungkinan kecelakaan yang terjadi
pada wanita. Wanita yang teraniaya mungkin memandang bunuh
diri sebagai jalan keluar dari situasi penganiayaan. Mereka rentan
mengalami kecelakaan karena tingkat ansietas yang tinggi
memengaruhi kemampuannya untuk meraawat diri sendiri dan
anak-anaknya
Bicarakan dengan klien tentang prevalensi kekerasan dalam rumah
tangga. Dengan mengatakan kepadaa wanita bahwa kekerasan di
dalam rumah tangga bukanlah hal yag wajar, memampukannya
menyadri bahwa situasi yang dihadapi tidaklah unik dan bahwa ia
bukan satu-satunya orang yang mengalaminya
Diskusikan bahwa bertahan tinggal di rumah relatif aman dan
tekankan perlunya rencana keselaamatan yang dapat dilakukan
sebagai respons terhadap penganiayaan yang berulang. Banyak
wanita yang memilih untuk tetap tinggal dengan penganiaya
karena takut gagal, takut mendapat bahaya fisik atau pembalasan
dendam lain, kurang memiliki sumber, harga diri, dan mendapat
tekanan dari orang yang bermakna. Bagi beberapa wanita ,
meninggalkan rumah lebih berbaahayaa daripada tetap tinggal
dirumah karena banyak wanita yang dibunuh oleh penganiaya
setelah mereka meninggalkan situasi penganiayaan.
Jika klien mempunya anak, tanyakan apakah anaknya juga
dianiaya. Tindkan harus dimbil jika ada laporan penganiayaan
anak. Diskusi mengenai efek kekerasan pada anak dapat
menggerakan wanita untuk memperbaiki situasi.
Diskusikan pilihan hukum seperti pilihan penahanan sementara
yang bisa dihunakan untuk melindungi wanita daari penganiayaan.
Wanita perlu tahu bahwa mereka dapat memperoleh TRO
(Temporary Restaining Order) selama 7-10 hari dan kemudian
mendapatkan bukti untuk memperoleh perinth penahan tetap.
Anjurkan klien untuk memperoleh imforasi tentang hak-hak yang
dimiliki. Minta ia menghubungi pengdilan yang mengatur
hubungan dalam rumah tangga untuk menapaat informasi
mengenai hak untuk mengajukan tuntutan pidana. Kaum wanita
perlu tahu bahwa seorang pria yang memukul pasangannyaa
adalah tindakan kriminal. Informasi mengenai hak-hak wanita
sangat penting dimilii untuk digunakan di masa datang karena
perilaku kekerasan cenderung kembali terjadi dalam berbagai
hubungan.

2. Diagnosa Keperawatan : Ketidakberdayaan


a. Kemungkinan penyebab
Riwayat disfungsi keluarga
Periode hidup yang lama dalam situasi penganiayaan
Depresi
Stressor menetap multipel
b. Batasan Karakteristik
Manifestasi gejala ansietas
Pernyataan tidak memiliki kontrol terhadap situasi
Kesulitan besar dalam mengekspresikan perasaan
Takut akan keselamatan diri dan anak-anaknya

Tujuan jangka panjang : Klien dapat semakin mengontrol kehidupannya


dengan membuat pernyataan positif tentang kemampuannya dan juga
dengan mengambil keputusan yang meningkatkan keamanannya.
Tujuan jangka pendek : Klien mendiskusikan situasi yag dialami dan
mulai mendefinisi ulang tentang dirinya sendiri sebagai seseorang yang
mempunyai kekuatan, Klien menggunakan perilaku penyesuaian
masalah dan keterampilan mengambil keputusan untuk mengubah situasi
yang di alaminya.

c. Intervensi dan Rasional


Terima pernyataan klien tentang rasa sakit dan perasaan tidak
berdaya. Klien harus merasa bebas untuk melepaskan perasaannya
supaya terjalin hubungan dengan perawat.
Dorong klien untuk membicarakan situasi ketika perasaan tidak
berdaya mulai muncul. Diskusi ini dapat membantu klien
mengembangkan kesadaran diri tentang isyarat yang
mempresipitasi perasaan tidak berdaya.
Dorong klien untuk mengingat kembali bagaimana ia telah
mengatasi situasi menyakitkan dan bermasalah di masa lalu. Ini
memmampukan klien untuk mengakui kekuatan dan
kemampuannya di masa lalu dalam mengatasi masalah,
mengidentifikasi area yang dapat dikontrolnya.
Dorong klien untuk mengidentifikasi cara-cara yang dapat
memuaskan kebutuhan dan pilihan pribadi dalam situasinya.
Efektivitas intervensi meningkat jika klien terlibat dalam membuat
perubahan.
Dorong klien untuk mengambil keuntungan pribadi supaya dapat
maju, seperti mengekspresikan perasaan positif (haraapan, tujuan,
atau kontrol) dan membuat keputusan sendiri. Mengakui kemajuan
meningkatkan rasa positif dalam diri sendiri dan menguatkan
martabaat klien.
Diskusikan pentingnya keselamastan sebagai dasar semua
keputusan. Klien perlu mengetahui bahwa semua tindakannya
harus menjamin keselamatan anak-anak dan didirnya sendiri
Ajari dan tinjau keterampilan penyelesaian masalah, misalnya
cara-cara untuk mengendalikan rasa frustasi, atau berbagai strategi
untuk mengekspresikan rasa marah serta mencegah rasa marah
agar tidak diinternalsisasikan. Mengajarkan cara untuk
menyelesaikan masalah membuat wanita mampu mengatasi semua
stressor dalam hidupnya.
Bersama klien berusaha menangani masalah yang diidentifikasi
sebagai cara untuk latihan dan menguatkan keterampilan
pengambilan keputusan yang baru dipelajari. Latihan ini
mamampukan klien mengimplementasikan keterampilan
keamanan dan keterampilan mempertahankan hidup daripada
tetap bertahan berperan sebagai korban.
Bicarakan tentang sumber-sumber yang tersedia, misalnya
bimbingan konseling, kelompok wanita, tempat perlindungan,
perawatan kesehatan, dan bantuan hokum. Pengetahuan tentang
sumber-sumber yang tersedia dapat menurunkan perasaan tidak
berdaya dalam diri klien.

F. TERAPI PADA KORBAN KDRT


Terapi modalitas yang disaranan untuk wanita yang teraniaya adalah terapi
individual, terapi kelompok dan terapi keluarga. Prioritas perawatan dalam
semua interaksi adalah keamanan klien, oleh sebab itu perlu dibuat rencana
yang digambarkan dengan baik. Biasanya terapi dimulai setelah dilakukan
intervensi krisis. Penganiaya juga harus berpartisipasi dalam terapi individu
atau terapi kelompok mereka (Untuk informasi lebih lanjut, lihat Stressor
yang menyebabkan penganiayaan pasangan, halaman 354). Orang yang
menganiaya harus membuat berbagai cara untuk mengidentifikasi dan
mengendalikan perasaan mereka yang impulsive dan meledak-ledak dengan
benar serta harus belajar menerima tanggung jawab untuk mengubah
perilaku kekerasan mereka. Terus anjurkan klien untuk mengevaluasi dan
merevisi rencana untuk berubah guna memenui kebutuhan diri wanita dan
anak-anaknya. Dorong klien utnuk mencari informasi tentang bantuan
umum, pekerjaan, kesehatan, pengacara, dan sumber-sumber hokum jika
kebutuhannya muncul.
1. Terapi Kelompok
Dorong klien untuk berinteraksi dengan anggota kelompok, berbagi
rasa tentang situasi yang dihadapi, rasa takut, dan kekhawatirannya.
Kuatkan rasa kemanusiaan klien dan fakta-fakta bahwa ia tidak
sendirian dalam berjuang melawan pasangan yang suka menganiaya.
Anjurkan klien untuk mengidentifikasi apa yang dibutuhkan dari
kelompok.
Eksplorasi bagaimana perubahan memungkinkan untuk anggota
kelompok.
Tingkatkan kontribusi klien ke anggota kelompok lain.
Anjurkan klien untuk menggunakan dukungan dan umpan balik dari
anggota kelompok sebagai cara untuk belajar dan memulai perubahan.
Bantu klien untuk menjadi kuat dan secara bertahap mulai mengambil
alih kendali kehidupannya.
Pergunakan kelompok yang ada untuk mempraktikkan dan
memperkuat keterampilan penyelesaian masalah dan pengambilan
keputusan mereka.
2. Terapi keluarga
Fokuskan pada kebutuhan dan rasa sakit setiap anggota keluarga.
Dorong tiap anggota untuk mengomunikasikan, mendengar,
mendukung dan berusaha memahami perspektif setiap anggota
keluarga pada situasi keluarga.
Identifikasikan pola penganiayaan atau perilaku kekerasan dalam
keluarga. Sering kali, pola peganiayaan dapat diturunkan dari generasi
ke generasi.
Diskusikan bagaimana penggunaan kekerasan menjadi perilaku yang
dipelajari yang diturunkan dari generasi ke generasi sebagai suatu
metode penyelesaian masalah.

3. Terapi Individual
Diskusikan gaya hidup dan situasi wanita
Eksplorasi pola-pola kekerasan yang sedang terjadi.
Bicarakan tentang riwayat klien, termasuk asal keluarga, dan
bagaimana ia membentuk hubungan dengan orang lain.
Kaji sifat klien yang mudah diserang, dan bantu dia mengenali pola-
pola pribadi yang menyebebakan ubungan destuktif dan
disfungsional.
Upayakan untuk mengubah pola piker dan ide-ide tidak sehat yang
berhubungan dengan harga diri rendah. Dorong klien untuk berhenti
memandang dirinya sebagai orang yang lebih rendah dari
pasangannya.
Anjurkan klien untuk mendapatkan kembali perasaan control dan
sikap mental asertif supaya dapat mengembangkan kekuatan
pribadinya.
Jelaskan bahwa klien mampu melindungi dan memelihara diri sendiri
dan anak-anaknya.
Ajarkan siklus kekerasan pada klien : tahap pembentukan ketegangan,
fase pemukulan akut, dan tahap bulan madu. Informasi ini memberi
wanita daya tilik kedalam dinamika penganiayaan pasangan.
Bila perlu, bantu klien memproses pengalaman penganiayaan.
Fokuskan pada bagaimana pengalaman tersebut mempengaruhi
wanita.
Diskuisikan dan dukung rencana klien untuk berubah.
Fokuiskan pada bagaimana menganggu atau memutuskan pola
penganiayaan.
Anjurkan klien, anak-anak dan anggota keluarga besar lain yang tepat
untuk mendiskusikan bagaimana penganiayaan mempengaruhi
kehidupan mereka.
Dorong untuk mengekspresikan perasaan
Jelaskan bahwa keluarga tidak dapat mengubah pelaku aniaya;
sebaliknya, orang tersebut perlu bertanggung jawab atas perilaku diri
sendiri dan orang lain.
Bersama dengan anggota keluarga berupaya membuat pedoman atau
epraturan untuk membuat susunan kekuatan, dan membantu mereka
mengatur penggunaan kekuatan sevara efektif.
Berupaya memberdayakan klien untuk tetap berada dalam peran
dewasa dan mempertahankan ruang lingkup antar generasi. Orang
dewasa harus bertindak seperti orang dewasa, dan anak-anak harus
bertindak seperti anak-anak.
Berupaya mencegah keterlibatan anggota keluarga dengan obat-
obatan atau alcohol sebagai suatu mekanisme koping.

4. PENGOBATAN
Obat-obatan psikotropika tidak lazim digunakan untuk klien yang
menderita penganiayaan.
Pada beberapa kondisi, sebuah obat dapat diberikan untuk penanganan
gejala tertentu dalam jangka pendek. Misalnya, klien yang mengalami
ansietas berat dapat diberikan obat antiansietas, atau klien depresi
berat dapat diberikan obat antidepresan untuk menambah psikoterapi
individual atau kelompok.
Di masa lalu, banyak klien teraniaya diberikan obat-obatan
antiansietas dan obat antinyeri. Klien yang diberi obat ini tampaknya
kurtang menghargai pilihan mereka dan membuat keputusan untuk
membantu diri dan anak-anak mereka. Klien depresi yang diberi obat
antidepresan yang sesuai, bagaimanapun juga lebih mampu membuat
keputusan dan mengungkan pilihan-pilihan.
Penggunaan obat yang tidak perlu dapat membahayakan klien yang
teraniaya dan harus dicegah karena meningkatkan kecenderungan
sedasi, yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi penilaian atau
menyebabkan kecelakaan akibat efek depresan pada system saraf
pusat. (Lihat lampiran D untuk informasi pengobatan).

G. Jurnal Terkait Dengan Kasus KDRT


1. Jurnal ke-1
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) SEBAGAI
SALAH SATU ISU KESEHATAN MASYARAKAT SECARA
GLOBAL
Oleh Mery Ramdani dan Fitri Yuliani
Dipublikasikan, 1 April 2015

Abstrak
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan kekerasan
yang paling banyak dialami oleh perempuan di Indonesia. KDRT di Kota
Padang terus meningkat yaitu sebanyak 98 kasus tahun 2011, 102 kasus
di 2012, dan 135 kasus pada 2013. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui hubungan riwayat kekerasan masa lalu dan pola asuh suami
sewaktu kecil dengan kejadian KDRT terhadap istri. Penelitian ini
menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi adalah semua suami
yang berada di Kecamatan Padang Selatan dengan jumlah sampel 400
orang. Pengumpulan data dengan cara penyebaran angket. Hasil
penelitian didapatkan kejadian KDRT sebebsar 61%, responden yang
pernah mengalami riwayat kekerasan di masa lalu (59,8%), memiliki
pola asuh yang buruk (55,3%). Terdapat hubungan antara riwayat
kekerasan di masa lalu (p=0,025), pola asuh sewaktu kecil (p=0,016),
dengan kejadian KDRT. Diharapkan kepada Komnas Perempuan dan
Camat Padang Selatan beserta jajarannya bekerja sama dengan jajaran
Polsek wilayah Padang Selatan untuk memberikan sosialisasi dan
informasi tentang perlindungan hukum.
Kata Kunci: KDRT,Riwayat Kekerasan, Pola Asuh

2. Jurnal ke-2
DINAMIKA FORGIVENESS PADA ISTRI YANG MENGALAMI
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
Oleh Dewa Ayu Dwika Puspita Dewi dan Nurul Hartini
Dipublikasikan, 26 Juni 2017

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dinamika
forgiveness pada istri yang mengalami KDRT. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus
instrumental. Kriteria subjek dalam penelitian ini yaitu seorang istri
yang memiliki rentang usia 18-40 tahun, pernah mengalami KDRT oleh
suami dan masih bertahan dalam perkawinan. Penelitian ini melibatkan
tiga orang subjek yang pernah mengalami KDRT oleh suami dan masih
bertahan dalam perkawinan selama 14-25 tahun. Penggalian data pada
penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan menggunakan teknik
analisis tematik theory driven. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa
istri yang mengalami KDRT sulit memaafkan pelaku karena adanya
ruminasi yaitu ingatan terhadap peristiwa KDRT yang pernah dialami
dan adanya atribusi serta penilaian negatif mengenai pelaku. Dinamika
forgiveness terjadi ketika istri yang mengalami KDRT mengubah
dorongan untuk menghindari pelaku dan mengurangi dorongan
membalas dendam terhadap pelaku ke arah yang positif melalui
akomodasi. Meskipun pelaku meminta maaf atas kesalahannya, namun
tidak ditemukan adanya empati untuk memaafkan pasangan. Penelitian
ini menemukan adanya dorongan untuk berbuat baik kepada pelaku
dengan melayani suami, meskipun demikian hal tersebut merupakan
tugas dari seorang istri dalam rumah tangga yaitu untuk melayani
suami.
Kata kunci: dinamika forgiveness, istri, kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT)

3. Jurnal ke-3
APLIKASI KONSEP STRESS ADAPTASI MENURUT CALISTA
ROY TERHADAP PENGALAMAN IBU RUMAH TANGGA
PASCA TRAUMA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(KDRT)
Oleh Syane A.F. Djaru, Esrom Kanine dan Tinneke Tololiu
Dipublikasikan, Februari 2016

Abstrak
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan
atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga., pengalaman ibu rumah
tangga terhadap kejadian ini menunntut ibu dalam melakukan adaptasi.
Tujuan penelitian ini adalah digambarkannya Pengalaman Ibu Rumah
Tangga pasca Trauma menurut konsep model stress adaptasi Calista
Roy. Penelitian ini dilaksanakan sejak Januari sampai dengan Februari
2015 di Kelurahan Girian Indah Lingkungan II dengan populasi adalah
ibu rumah tangga, sedangkan sampel diambil secara purposive
sampling. Metode Penelitian yang digunakan adalah Deskriptif Studi
Kasus. Hasil penelitian menunjukan bahwa hampir sebagian besar
adaptasi responden termasuk pada kategori adaptasi yang positif pada
aspek Fungsi peran yaitu sebanyak 26 orang (30,0%) dan adaptasi
Fisiologis. Sedangkan adaptasi pada kategori negatif yang paling
banyak adalah pada aspek konsep diri yaitu sebanyak 21 orang
(70,0%), dan adaptasi pada fungsi ketergantungan yaitu sebanyak 20
orang (66,3%). Kesimpulan penelitian ini adalah rentang sehat-sakit
berhubungan erat dengan keefektifan koping yang dilakukan untuk
memelihara kemampuan beradaptasi
Kata Kunci : Konsep Adaptasi Calista Roy, Stress pasca KDRT
BAB III
EVIDENCE BASED PRACTICE
(pembahasan dari jurnal dan teori terkait)

1. Kasus 1
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) SEBAGAI
SALAH SATU ISU KESEHATAN MASYARAKAT SECARA
GLOBAL
Oleh Mery Ramdani dan Fitri Yuliani
Dipublikasikan, 1 April 2015

Kekerasan dalam rumah tangga perbuatan yang dapat menimbulkan


kesengsaraan pada wanita baik fisik ataupun psikis nya. KDRT atau
kekerasan dalam rumah tangga sangat menjadi akar permasalahan dalam
hubungan rumah tangga. Peningkatan angka kejadian kekerasan dalam
rumah tangga setiap tahunnya selalu meningkat, tahun 2010 tercatat
kekerasan dalam rumah tangga berjumlah 101.128 kasus dan 2011 sebanyak
113.878 pada tahun 2012 dengan jumlah 142.662.
Kejadian KDRT sangkat banyak menyiksa terutama pada perempuan
karena selalu berdampak trauma pada seorang perempuan baik rasa takut
ataupun rasa cemas dapat juga menjadikan gangguan pada pola tidur klien
atau pola makan klien bila itu berjangka panjang dapat juga berdampak
pada gangguan reproduksi seperti menorhagia, hipomenorhagia ataupun
metrorhagia mengalami menopouse lebih cepat dan juga penurunan libido.
Faktor yang dapat terjadinya KDRT yaitu faktor individu seperti
penelantaran anak, penyimpangan psikologis, alkohol dll, faktor keluarga
seperti pola pengasuhan yang salah konflik dalam pernikahan dll, faktor
komunitas seperti kemiskinan, angka kriminalitas tinggi dll, faktor
situasional dan faktor lingkungan sosial.
Bentuk kekerasan fisik ringan seperti mencubit, mendorong,
menjambak, meludahi, mencakar. Kekerasan fisik berat menendang,
memukul (dengan tangan atau benda), menyulut dengan api rokok,
menampar. Kekerasan psikologis ringan seperti menghina, merendahkan
istri, mencaci maki dengan kata kasar. Kekerasan psikologis berat seperti
melarang bergaul dengan lingkungan sekitar, mengancam akan
menceraikan. Kekerasan seksual berat seperti memaksa berhubungan
seksual ketika istri sedang tidak menginginkannnya, memaksa berhubungan
seksual ketika istri sakit ataupun menstruasi. Kekerasan ekonomi ringan
seperti tidak memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kekerasan ekonomi besar
seperti melarang istri bekerja namun di telantarkan.

2. Kasus 2
DINAMIKA FORGIVENESS PADA ISTRI YANG MENGALAMI
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
Oleh Dewa Ayu Dwika Puspita Dewi dan Nurul Hartini
Dipublikasikan, 26 Juni 2017

Kekerasan pada wanita khususnya kekerasan pada rumah tangga lebih


banyak dari pada kekerasan di ranah komunitas. Kekerasan dalam rumah
tangga bisa di definisikan sebagai pola perilaku yang kejam pada suatu
perkawinan atau keluarga. Di Indonesia selalu ada ketimpangan terhadap
gender yaitu laki-laki yang selalu mendominasi dalam rumah tangga
sedangkan perempuan di anggap lemah dan kurang mandiri dan perbedaan
gender tersebut yang mengakibatkan perempuan selalu menjadi kekerasan
dalam rumah tangga.
Forgiveness adalah keinginan indvidu khususnya perempuan untuk
menghilangkan rasa benci, marah, acuh tak acuh terhadap orang yang
menyakitinya dan ada dorongan untuk mempunyai rasa cinta dan kasih
sayang dan di dorong untuk memaafkan dan terjadi ketika individu mampu
meredakan motivasi untuk menghindari pelaku dan motivasi untuk
membalas dendam khusunya terhadap pasangannya.
Fogiveness dipengaruhu oleh beberapa faktor diantaranya yaitu proses
kognitif dan emosional yang meliputi empati, kualitas hubungan memiliki
pengaruh terhadap pemaafan yang diberikan, faktor situasi seperti
permintaan maaf dari pasangan akan menimbulkan empati, dan mau
memaafkan pasangan serta adanya pengaruh kepribadian yang dimilki oleh
individu turut serta terlibat dalam pemaafan yang di berikan kepada
pasangan.

3. Kasus 3
APLIKASI KONSEP STRESS ADAPTASI MENURUT CALISTA
ROY TERHADAP PENGALAMAN IBU RUMAH TANGGA PASCA
TRAUMA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
Oleh Syane A.F. Djaru, Esrom Kanine dan Tinneke Tololiu
Dipublikasikan, Februari 2016

Setiap manusia mendambakan dimana keluarga sejahtera memiliki dan


membangun sebuah keluarga di karakteristikan setiap anggota yang
harmonis, bahagia dan sejahtera, keluarga yakni suami istri dan anak
terdapat adanya kasih sayang, saling menghormati dan menghargai yang
lain dengan mencapainya rumah tangga berdasarkan kasih dan sayang. Pada
kenyataannya bahwa tidak semua keluarga dapat berjalan nulus dalam
mengarungi hidupnya, tidak sepenuhnya dapat di rasakan kebahagiaan,
saling mencintai dan menyayangi. Melainkan terdapat rasa
ketidaknyamanan, tertekan, atau kesedihan. Bahkan terjadi berbagai ragam
kekerasan (KDRT).
Dampak yang ditimbulkan dari kekerasan dalam rumah tangga
terutama pada istri yang mengalami kekerasan adalsh merasa rendah diri,
cemas, penuh rasa takut, sedih, putus asa, terlihat lebih tua dari usianya.
Pasca trauma KDRT ini ibu mengalami stress pasca trauma, yang tampil
dalam bentuk mudah terkejut, selalu waspada, sangat takut bila melihat
pelaku. Stress merupakan interaksi dan transaksi antara individu dengan
lingkungan. Adaptasi terhadap stress adalah merupakan pertahanan yang di
dapat sejak lahir atau di peroleh karena belajar dari pengalaman untuk
mengatasi stress. Cara mengatasi stress dapat berupa membatasi tempat
terjadinya stress, mengurangi, atau menetralisasi pengaruhnya.
Pengalaman ibu rumah tangga terhadap kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) pada sebagian besar responden (63,3%) pada kategori kurang,
pengalaman ibu rumah tangga pasca trauma KDRT berdasarkan konsep
stress adaptasi Calista Roy yang didapatkan adalah pada adaptasi faktor
fisiologis. Aplikasi konsep stress adaptasi calistasi Roy pada pengalaman
ibu rumah tangga pasca trauma KDRT dapat menggambarkan konsep.
DAFTAR PUSTAKA

Copel, Linda Carman. 2002. Kesehatan Jiwa dan Psikiatri : Pedoman Klinis
Perawat.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Ibung, Dian & Nagiga, 2009. Haru Biru Mertua Menantu. Jakarta: PT
Media Elex Komputondo

Wicaksana, Inu. 2008. Mereka Bilang Aku Sakit Jiwa, refleksi kasus-kasus
psikiatri dan problematika kesehatan jiwa di Indonesia.Yogyakarta:
Penerbit KANISIUS

Anda mungkin juga menyukai