Anda di halaman 1dari 6

Bayangan Yang Hilang

Cerpen Karangan: Rani Vidiarti


Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi), Cerpen Misteri, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 26 July 2017

Cahaya gelap kebiruan menembus kaca jendela kamarku. Kelopak mata yang masih melekat erat,
aku paksa untuk membuka. Perlahan aku mencoba membuka kedua kelopak mataku, tatapan
mataku tertuju ke arah benda bulat yang tepat di hadapanku. Terlihat benda mirip jarum bergerak di
sekitar angka-angka. Ada dua jarum yang terhenti menunjuk angka enam dan dua belas.

Ternyata sudah pagi. Huaaahh masih ngantuk lagi aku pun kemudian menarik selimut.
Eh dengan cemas aku kembali menatap jam dinding kamarku. Apa sudah jam enam, yang
benar saja. Huh
Mengawali langkah tergesa-gesa, aku segera mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Terlihat
ibu yang sedang memasak nasi goreng untuk sarapan pagi.
Untung saja pas lagi gak boleh shalat. Jadi gak kesiangan shalatnya sambil memutar kran air
untuk mengisi bak mandi.
Kenapa aku bisa bangun kesiangan ya? Padahal kan, tadi malam. Sambil memikirkan penyebab
aku telat bagun tidur pagi ini.

Aku mengambil air dari bak mandi dengan gayung yang ada di tanganku. Melupakan sesuatu yang
ingin aku ingat kembali dan meneruskan ritual mandi pagiku. Rata-rata sebelum berangkat ke
sekolah atau ke tempat kerja biasanya orang-orang selalu mengawali dengan mandi pagi, kalau gak
kesiangan sih. Jadi, tidak salah kan kalau aku bilang hal itu ritual.
Sentuhan dingin merasuki pori-pori kulit hingga menembus tulang. Aku merasakan sedang berada
di gurun pasir yang tandus. Eh, kok gurun pasir?. Maaf ralat, seperti berada di Kutub Utara yang
dipenuhi bongkahan es.

Berr dingin banget aku berlari kecil menuju kamar tidurku yang masih berantakan, karena
belum dibersihkan dan dikemas.
Tapi aku merasa ada yang aneh hari ini, kenapa kalau habis mandi kok terasa dingin ya? Tapi yang
lebih aneh pertanyaan apa itu? Pertanyaan bodoh muncul di benakku. Serasa tidak sah jika tidak
mengawali hari dengan hal ini.

Sepuluh menit berlalu. Aku yang sedang menatap cermin di lemari, sambil merapikan jilbab putih
yang aku pakai dengan menyematkan jarum pentul. Menambahkan mainan jilbab atau yang sering
dibilang bros jilbab. Tak butuh waktu lama, akhirnya aku siap untuk ke sekolah. Aku lalu
mengambil tas ransel yang berada di sebelah meja belajar. Aku berjalan ke dapur dan melihat
hidangan nasi goreng di meja makan. Lalu aku mengambil secentong nasi goreng dari tempat nasi.
Em ibu sedang mandi. Kalau aku menunggu ibu selesai mandi, bisa terlambat aku nanti.
Biasanya juga seperti ini sembari menyuapi mulutku.
Aku melanjutkan makanku dan menyudahinya dengan meminum segelas air. Melihat ibu yang tak
kunjung keluar dari kamar mandi, aku langsung pamit. Aku tulis sebuah kalimat di selembar kertas
kecil.
Ibu, Myesha berangkat ke sekolah dulu ya? Assalamualaikum ^_^

Segera aku memakai kaos kaki dan sepatu. Mengawali kaki kanan terlebih dahulu dan membaca
basmallah di dalam hati. Tidak butuh waktu lama, aku segera beranjak untuk berangkat ke sekolah.
Jalan kaki aja kali ya? Ibu juga lama banget lagi mandinya. Ya udah deh jalan kaki aja, itung-itung
olahraga ucapku sembari melangkahkan kaki.
Mengawali langkah perlahan namun pasti. Aku memulai langkah dengan penuh harap hari ini lebih
baik dari hari kemarin. Panas mentari yang menyentuh lembut mataku. Hembusan angin membuat
jilbab putihku menari-nari. Semua hal yang mungkin saja tak akan aku rasakan lagi.

Daun-daun berterbangan dan jatuh menyentuh tanah. Mentari semakin bersinar seakan memberi
isyarat pagi mulai beranjak pergi. Lima belas menit berlalu, akhirnya aku sampai di sekolah.
Menyusuri lorong-lorong menuju ruang kelasku. Terlihat sudah banyak teman-teman yang duduk
dan berdiri di depan kelas. Ada yang membaca buku, ada yang mengobrol, dan apa pula yang
termenung di pagi hari. Tatapan manis teman-teman, bahkan tatapan sinis pun aku dapatkan.
Terlihat di ujung sana teman sekelasku sedang menunggu bel masuk berbunyi.
Aku semakin dekat. Mempersiapkan senyum lebar untuk menyapa temanku pagi ini. Tiba-tiba aku
mendengar desas-desus temanku yang duduk di depan kelas.
Eh eh dia datang, sutt salah satu temanku memberi isyarat dan menatapku dengan mata
khawatir.
Apa yang sedang mereka bicarakan, sampai-sampai aku tidak boleh dengar. Dan ucapannya tadi?
ucapku dalam hati penuh pertanyaan. Lalu aku meletakkan tasku di bangku.
Sudahlah tidak usah pedulikan mereka semua, kita kan selalu ada untuk mendukungmu ucap
temanku Simbara. Seakan Simbara tau aku sedang memikirkan apa.
Iya, biarlah mereka berkomentar sesukanya. Tambah Acha menanggapi ucapan Simbara.

Bel masuk berbunyi, semua murid masuk ke kelasnya masing-masing. Seketika kelasku penuh.
Kami mulai melakukan kegiatan seperti biasa yaitu tadarus Al-Quran. Lima belas menit berlalu,
guru segera memasuki kelas dan mulai mengajar pembahasan baru.
Kami mengikuti pelajaran dengan cermat dan fokus. Pertanyaan dari teman-teman menghiasi
suasana kelas menjadi lebih hidup. Terkadang senda gurau juga terjadi.
Karena waktu sudah habis kita lanjutkan besok pagi ucap guruku mengakhiri pembelajaran hari
ini.
Iya bu jawab kami serempak, dan dilanjutkan ketua kelas menyiapkan teman-teman.
Guruku segera keluar kelas. Suasana kelas yang hening bak kuburan, sekarang berubah seperti
sarang lebah. Sementara aku masih sibuk dengan catatanku yang belum selesai. Begitu juga dengan
teman sebangkuku Sibel.

Oh iya, denger-denger guru bakalan rapat lo kemungkinan kita hanya diberi tugas ucap Acha
memecahkan keheningan kami berempat.
Wah, bagus dong. Jadi bisa refresing otak jawab Simbara befikir sedikit mendapat manfaat.
Tapi Simbara, kalau guru Matematika gak masuk. Itu bencana besar tau balas Sibel yang tidak
sependapat dengan Simbara.
Tapi kan sebelum selesai aku melanjutkan untuk mengungkapkan pendapat, tiba-tiba seorang
guru memasuki kelas kami.
Assalamualaikum? dengan langkah tergesa-gesa, ibu Sarah selaku guru Matematika memasuki
kelas. Kami hanya menjawab salamnya dalam hati.
Anak-anak, guru akan rapat. Jadi, tolong kerjakan soal latihan mandiri halaman dua
Nomor berapa saja yang dikerjakan bu? tanya salah satu temanku.
Dari nomor satu sampai dengan dua puluh ucapnya santai.
What?! Bu, sepuluh saja ya? Please? Bagas memohon keringanan dengan memasang wajah
melas.
Kerjakan di kertas selembar tambah bu Sarah tak menghiraukan permohonan Bagas. Lalu ia pergi
ke luar kelas.
Mulai terdengar kembali suara lebah di kelasku. Aku dan Sibel segera mengerjakan tugas dari bu
Sarah. Dengan seribu kesulitan kami mencoba memecahkan jawaban dari soal Matematika yang
membuat otak kami berputar.
Dua jam berlalu, tibalah untuk melanjutkan pelajaran yang lainnya. Lagi-lagi tetap sama, hanya
tugas yang ditinggalkan oleh guru-guru.
Sebenarnya guru-guru bahas soal apa sih? Kok lama amat gumamku sambil mengerjakan soal-
soal.

Akhirnya sekolah hari ini selesai, saatnya aku dan teman-teman pulang. Rasa lelah membungkusku
dengan keringat yang cukup mengganggu hidung. Aku memulai langkah ke luar gerbang sekolah.
Karena pergi jalan kaki ya pulang jalan kaki juga gumamku dalam hati.
Duluan ya? suara Simbara yang membawa sepeda motor membonceng Acha, menghentikan
langkahku. Aku hanya membalas dengan senyuman tipis.

Sinar mentari semakin menyengat, hembusan angin pembawa debu menyentuh dedaunan.
Bayangan benda-benda yang hampir sejajar. Seolah menandakan sudah pukul dua belas tepat. Aku
melangkah dengan perasaan tidak enak, seperti ada hal yang terjadi di rumah. Sedikit menyingsing
rok dan memperbesar langkahku, dengan maksud agar cepat sampai di rumah.

Sepuluh menit berlalu, aku sudah berdiri di depan pintu rumahku. Aku melihat suasana rumah yang
hening. Tidak menunggu waktu lama, lalu aku mengetuk pintu sembari mengucapkan salam.
Namun aku tidak mendapat jawaban apapun dari dalam rumah. Aku mengulangi untuk kedua
kalinya, tetap saja sama.
Bu Aisyah ke mana ya bu? Saya ketuk rumahnya kok gak ada yang nyaut? tanya bu Romlah
kepada salah satu tetanggaku.
Jadi ibu gak ada di rumah? Tapi ke mana? gumamku dalam hati menyimpulkan pertanyaan bu
Romlah yang tidak sengaja aku dengar. Aku hanya memandangi bu Romlah dan bu Susi dari
kejauhan.
Katanya tadi ke rumah sakit jawab bu Susi singkat.
Apa?! Ibu ke rumah sakit? aku panik dan tanpa pikir panjang aku berlari menuju rumah sakit.

Air mata di pipi terus saja mengalir tanpa henti. Cuaca yang tadinya cerah tiba-tiba berubah. Awan
mulai menghitam dan hujan mulai turun. Aku terus bertanya di dalam hati. Siapa yang sakit?
Apakah ibu? Atau ayah? Tapi mengapa aku tidak diberi tau? Inikah jawaban perasaanku tadi?

Langkahku terhenti tepat di depan rumah sakit. Aku tidak tau kenapa aku tidak merasakan lelah
sedikitpun. Padahal, jarak rumahku dan rumah sakit ini cukup jauh. Tanpa berfikir, aku memasuki
lorong demi lorong. Aku melihat ibu duduk di kursi tunggu tepat di depan ruang UGD dengan air
mata memenuhi wajahnya. Aku hapus air mata di pipi dan melangkah mendekati ibu.
Ibu siapa yang sakit? Apakah ayah baik-baik saja? Kakak dan adik baik-baik sajakan bu? aku
mulai bertanya kepada ibu dengan suara serak.
Ibu tidak langsung menjawab pertanyaanku. Ibu membisu dan terus menangis, sesekali melirik ke
arah pitu ruang UGD. Aku melihat ke arah pintu kaca itu, tetapi aku tidak melihat apapun. Gorden
warna biru menghalangi pandanganku, aku hanya melihat seseorang sedang terbaring di sana.
Ibu, berhentilah menangis, katakan siapa yang terbaring di sana? aku memaksa ibu mulai
berbicara dan duduk di sebelahnya. Tapi semua sia-sia. Ibu tetap diam seribu bahasa.
Aku yang putus asa berlari keluar. Mendongakkan kepala ke atas, dan menatap langit biru yang
sudah tertutup awan hitam.

Ya Allah, berikan kesabaran untuk ibu? Buatlah ibu mengerti, aku juga sedih saat ini. Kenapa ibu
diam saja? ucapku penuh kesedihan dan kehawatiran karena sikap ibu yang tidak seperti biasanya.
Tiba-tiba aku melihat seorang wanita berlari bersama seorang pria. Aku melihat mereka dengan
kening mengkerut.
Siapa mereka, sepertinya aku mengenal mereka gumamku sembari mengikuti mereka dari
belakang.
Ibu, sudahlah Kami ada untuk ibu. Ana dan Abdiel akan selalu bersama ibu suara wanita yang
menyebut namanya dengan nama kakakku.
Ana? Abdiel? Apakah kakak dan adikku? Lalu siapa yang di dalam sana? Apakah ayah? ucapku
penuh bertanya dan aku berlari memanggil ibu.
Ibuuuuuu Tangisku yang terisak-isak membuat suaraku makin serak. Tapi ibu tetap tidak
menghiraukanku.
Aku merasa mereka tidak peduli, bahkan mereka melupakanku karna hal ini. Sebenarnya siapa yang
berada di dalam sana? Kenapa kalian seperti ini?
Ibu kenapa ibu tidak peduli denganku. Apakah aku seburuk itu? Apa kesalahan yang aku
lakukan ibu? rintihku seakan tak percaya dengan perlakuan ibuku sendiri.

Kamu itu bodoh ya? Kamu bilang mereka tidak peduli? Malang sekali suara lembut seorang
wanita di balik tubuhku. Spontan aku langsung menoleh.
Ternyata ada orang yang senasib denganku ya? Perempuan pula tambah wanita berwajah pucat
berbaju putih seragam rumah sakit.
Siapa kamu? Aku senasib denganmu? Aku bukan orang yang berpenyakit seperti kamu! jawabku
ketus seolah melampiaskan marahku padanya.
Hai, jangan sombong dong Myesha. Arwah seperti dirimu itu tidak pantas untuk menyombongkan
diri ucapnya seolah meremehkanku.
Siapa yang arwah. Kamu atau aku hah?! Dan dari mana kamu tau namaku aku masih
menjawabnya dengan ketus.
Untuk apa kamu tau, ada yang lebih penting dari namamu. Bukankah kamu bertanya siapa yang
ada di dalam sana? Itu adalah kamu sendiri. Kamu lihat, di ruangan itu. Itu adalah jasadku, aku
sudah koma selama dua tahun lamanya. Tapi sayang, keluargaku tidak ada yang mengerti kalau aku
tersiksa. Mungkin mereka berfikir aku bisa hidup kembali, tapi aku sudah lama mati. Dan kamu
juga seperti itu. Tambah wanita misterius itu.
Kamu pikir aku akan percaya begitu saja. Jika kamu memang sudah mati dan arwahmu
gentayangan, jangan mencari orang untuk kamu jadikan sepertimu juga. Itu adalah ceritamu, bukan
hal yang aku alami. Dasar wajah pucat jawabku sombong dan mempertahankan harga diri.
Oh.. aku mengerti, saat ini ucapan tidak penting bukan? Yang kamu butuhkan bukti. Benar begitu?
Baiklah. Aku akan membuktikan seraya melangkah dan menarik pergelangan tanganku.
Mau kamu bawa ke mana aku? Ke kuburan, atau ke alammu? Menyebalkan! sembari aku
terpaksa mengikutinya dari belakang.

Beberapa detik kemudian aku sampai di sebuah daerah yang tidak asing bagiku. Aku berada di
sekolahku. Tapi ada yang aneh, kenapa aku bisa melihat kejadian tadi pagi saat kami sedang
belajar?
Kamu dan aku sedang melewati dimensi waktu, dan saat ini kamu berada di waktu yang lalu saat
kamu berpikir kamu pergi ke sekolah. Sebenarnya itu hanyalah khayalanmu. Tapi mungkin saja itu
nyata, dan yang pergi ke sekolah adalah arwahmu. Jelasnya seakan dia tau apa yang aku pikirkan.
Mana buktinya? Cuma ini doang, aku mah juga bisa kalo kayak gini jawabku seakan masih tidak
percaya.
Kamu lihat tempat dudukmu itu. Kosong, dan akan tetap kosong sampai nanti siang. Jelasnya
singkat dan jarinya menunjuk ke arah tempat dudukku. Yang aku lihat hanya Sibel sendiri di sana.
Kamu masih tidak percaya ya? Baiklah, aku akan memperlihatkan beberapa video yang mungkin
membuat kamu percaya. Saat kamu pertama kali datang. Kamu ingat? Ada dua orang temanmu
yang sedang membicarakanmu. Dan mereka tiba-tiba diam setelah kamu datang, tapi mereka diam
bukan karena kedatanganmu melainkan Sibel dia menjelaskan video yang ada di tangannya.
Halah, itu cuma editan doang sanggahku padanya masih tak percaya.
Kamu itu keras kepala ya? Baiklah aku akan menjelaskan lagi. Kamu ingat saat kamu pulang
sekolah, apakah kamu merasakan hangat dan apakah kamu melihat bayanganmu? Keluhnya dan ia
mulai menjelaskan.
Aku seakan terbawa kembali saat aku berada di sekolah dan saat aku pulang. Aku sempat berfikir,
apakah itu benar? Tapi mengapa, aku masih hidup. Aku belum mati, aku berbicara dengan mereka.
Bayanganmu telah hilang Myesha jelasnya singkat.
Kamu berpikir kamu berbicara dengan mereka? Tapi kamu tidak berpikir tentang pertanyaanmu
yang tidak ibumu jawab? Sebenarnya kamu tidak berbicara dengan mereka Myesha. lanjutnya dan
menunjukkan video percakapan antara Simbara, Acha, dan Sibel tanpa aku.
Bagaimana kamu bisa mendapatkan video ini? tanyaku penasaran dan penuh curiga.
Itu tidak penting jawabnya seakan merahasiakan sesuatu.
Aku mulai menyadari, jika aku memang benar-benar tidak ada di sana. Tapi aku masih tidak
percaya.
Myesha. Aku hanya ingin membantumu. Tetapi jika kamu mempercayai aku suara lembutnya
yang seolah merayuku dengan tawarannya.
Aku masih tidak percaya. Apa kamu mengerti! jawabku tegas tanpa keraguan.
Sudahlah, aku tidak ingin berdebat denganmu ucapnya pasrah dan melangkah pergi
meninggalkanku.

Aku kembali ke rumah sakit dan menuju ruang UGD untuk melihat sendiri siapa yang terbaring di
sana. Tapi aku tidak bisa melihatnya, karena aku mendengar suster melarang ibu untuk masuk. Aku
hanya terdiam dan terus berpikir. Aku tidak mencoba untuk kembali bertanya kepada ibu. Kakak
dan adikku terus mondar-mandir dan sesekali melirik ke arah pintu UGD dengan tangan diusapkan
ke muka.

Saat aku sedang termenung dan memikirkan apa yang terjadi sebenarnya, aku melihat wanita
berwajah pucat itu sedang berdiri di samping tiang dan menatapku dengan rasa iba. Aku
memalingkan wajah dengan tampang cuek dan jutek. Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari pintu
masuk. Aku menolehkan kepala dan melihat siapa yang datang.

Ayah? aku merasa gembira dan berlari mendekti ayah. Tetapi langkahku terhenti seketika.
Jika ayah di sini, berarti yang di dalam sana? aku mulai ragu dan melihat di sekelilingku mencari
wanita berwajah pucat itu.
Bagaimana? Apakah kamu sudah percaya? Bahwa kamu yang berada di sana dan bukan salah satu
dari keluargamu. Ucapnya mengejutkanku.
Tapi kenapa aku? Aku yakin, aku belum mati tanyaku butuh kejelasan yang pasti darinya.
Aku juga tidak tau, tapi kita bisa mencari tau. Ucapnya sambil melihat ke kiri dan ke kanan.
Nah.. itu dokter yang memeriksamu. Ayo kita ke sana ajaknya melangkah mendekati dokter dan
keluargaku.

Pak, bu. Anak bapak dan ibu mengalami penggumpalan darah di otaknya. Ini membuat anak bapak
dan ibu tidak sadarkan diri. Jelas sang dokter singkat.
Kenapa itu bisa terjadi dok? pertanyaan ibu yang diselimuti rasa khawatir.
Bisa jadi karena benturan keras di kepalanya saya juga akan memeriksa lebih lanjut dan mencari
jalan keluarnya.
Dok, tolong lakukan apa saja untuk kesehatan anak saya. Ucap ayah penuh was-was.
Baiklah pak, saya akan berusaha semampu saya sahut dokter menyanggupi.
Tolong selamatkan kakakku dok sambung adikku.

Dokter meninggalkan kami semua. Dan aku mulai memikirkan apa yang aku alami sebelumnya.
Seketika aku ingat kejadian malam itu. Saat aku sedang menyelesaikan tugasku, dan aku
mengakhirinya untuk tidur. Tiba-tiba kepalaku terbentur tembok kamar. Tapi seingatku aku
merasakan sakit dan tetap melanjutkan tidur. Kenyataannya aku bukan tidur, tetapi aku koma dan
tidak sadarkan diri.
Aku percaya padamu. Aku memang sedang berada di alam yang sama denganmu. Ucapku pelan
dan merasa sedih dengan keadaanku sekarang.
Aku tau kamu akan menyadarinya Myesha. Tapi aku berharap kamu akan sembuh dan kembali
bersama keluargamu lagi nanti. Tapi Myesha, satu hal yang harus kamu ingat jangan pernah sia-
siakan kehidupanmu untuk melakukan hal yang buruk dan tidak bermanfaat. Pesan wanita itu
singkat.
Terimakasih Maafkan atas ucapanku tadi, aku mengatakan itu karena aku tidak percaya padamu.
Aku menyesal sudah berkata kasar padamu, padahal kamu ingin membantuku jawabku mengakui
kesalahan dan penyesalan.
Wanita itu pun pergi meninggalkanku dan aku tetap berdiri menatap pintu ruang UGD, aku
mencoba menerobos masuk. Karena jika aku masuk, suster juga tidak akan menyadari
keberadaanku. Aku melihat tubuhku yang terbujur tak berdaya. Selang impus dan oksigen
menghiasi tangan dan hidungku.
Aku berdoa kepada Allah, untuk memberi kesempatan padaku sekali lagi. Aku adalah hamba yang
penuh dosa, dan aku belum banyak berbuat kebaikan. Aku juga anak yang belum sepenuhnya
berbakti kepada orangtua, aku bukan adik dan kakak yang baik untuk saudaraku.
Masih banyak yang harus hamba perbaiki Ya Allah, beri hamba kesempatan lagi untuk beribadah
kepada-Mu dan berbuat baik pada semua orang. Hamba mohon Ya Allah pintaku lirih kepada
sang pemilik nyawaku.

Aku termenung dan berharap bahwa ini bukan akhir dari ceritaku. Aku yakin, aku bisa sembuh, dan
aku yakin Allah mendengar doaku. Jika memang ini akhir dari ceritaku, aku hanya mampu
menuruti keinginan Allah. Aku juga yakin, bahwa semua yang terjadi adalah yang terbaik untukku
dari Allah. Tapi aku juga berharap, seluruh keluargaku ikhlas menerima semua ini dan merelakanku
untuk kembali pada-Nya. Aku ikhlas Ya Allah jika memang ini keputusan-Mu.

Anda mungkin juga menyukai