PENDAHULUAN
1
sejak tahun 1994. Data menunjukkan bahwa sejak tahun 1994-2000 ditemukan
147 kasus difteri (CFR 27,8%). Sebagian besar kasus difteri dilaporkan dari
puskesmas, sedangkan dari rumah sakit dilaporkan 7 kasus per tahun. Tidak
semua kasus yang dilaporkan disertai pemeriksaan laboratorium yang memadai
(P2MPLP, 2003).
Dalam hal ini, perawat berperan penting dalam memberikan pengetahuan
akan bahaya kasus difteri agar orang yang sehat dapat waspada akan penularan
difteri, dan pasien yang telah terjangkit difteri dapat segera dirawat seperti dengan
memberikan antitoksin, antibiotik atau dapat juga dengan imunisasi serta harus
mengisolasi di unit perawatan intensif karena difteri dapat menyebar dengan
mudah ke orang sekitar terutama yang tidak mendapatkan imunisasi penyakit ini.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
1) Untuk memenuhi tugas makalah Asuhan Keperawatan pada Klien
Difteri.
2) Untuk memberikan informasi kepada pembaca tentang asuhan
keperawatan pada klien difteri beserta pencegahannya.
2
2) Mengetahui dan memahami etiologi difteri.
3) Mengetahui dan memahami epidemiologi difteri.
4) Mengetahui dan memahami patofisiologi difteri.
5) Mengetahui dan memahami manifestasi klinis difteri.
6) Mengetahui dan memahami penanganan pada klien dengan difteri
7) Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada klien dengan
difteri
1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu membuat perencanaan asuhan keperawatan pada kasus
difteri.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Jadi, difteri adalah penyakit yang ditaklukkan pertama atas dasar prinsip
mikrobiologi dan kesehatan masyarakat yang umumnya menyerang sistem
respirasi anak-anak melalui udara.
5
diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek), suatu uji
rekasi rantai polymerase pengamata, atau dengan uji netralisasi toksin in vivo
pada marmot (uji kematian). Strain toksik tidak dapat dibedakan dengan uji tipe
koloni, mikroskopi atau biokimia. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Basil
difteria mempunyai sifat:
a. Membentuk pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah, dan
berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena, terdiri dari
fibrin, leukosit, jaringan nekrotik, dan kuman.
b. Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan
setelah beberapa jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan
yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan syaraf (toksin ini
amat ganas; 1/50 ml toksin dapat membunuh kelinci).
6
berupa infeksi droplet, selain itu dapat pula melalui benda atau makanan yang
terkontaminasi.
Penyakit difteria dapat mengenai bayi tetapi kebanyakan pada anak usai
balita. Penyakit difteria dapat berat dan ringan bergantung virulensi, banyaknya
basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan, ganya beruoa kelhan sakit menelan
dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak jika daya
tahan tubuhnya baik. Tetapi adanya bull neck ata sudah stridor dan dispnea.
Pasien difteria selalu dirawat di rumah sakit karena mempunyai resiko terjadinya
komplikasi seperti miokarditis atau sumbatan jalan napas.
7
patofisiologi pada beberapa kasus mungkin diperantarai secara imunologik
(Ngastiyah, 1997).
Toksin Difteri setelah terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang
bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya timbul
dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3 7 minggu.
Kelainan patologis yang mencolok adalah nekrosis toksik dan degenerasi hialin
pada berbagai macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak udim, kongesti,
infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien
tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstitial. Pada saraf tampak
neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati bisa
disertai hipoglikemia, kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular
akut pada ginjal. Penyakit ini dibagi menjadi 3 berdasar derajat berat ringannya,
yaitu:
1) Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya nyeri menelan.
2) Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring dan
menimbulkan bengkak pada laring.
3) Infeksi berat bila terjadi obstruksi nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis, neuritis, dan nefritis.
8
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan
pada tahun 1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan
hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar
masa inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal.
Demam jarang lebih tinggi dari 39C. Macam-macam difteri antara lain:
1) Difteri hidung
Difteri hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung pada
awalnya serous, kemudian serosanguinus, pada beberapa kasus terjadi
epistaksis. Pengeluaran secret bisa hanya berasal dari satu lubang hidung
ataupun dari keduanya. Sekret hidung bisa menjadi mukopurulen dan
dijumpai ekskoriasi pada lubang hidung luar dan bibir bagian atas yang
terlihat seperti impetigo. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak
membran putih pada daerah septum nasi. Sekret hidung kadang mengaburkan
adanya membran putih pada septum nasi.
Absorpsi toksin difteri pada hidung sangat lambat dan gejala sistemik
yang timbul tidak nyata, sehingga dalam penegakan diagnosis dibutuhkan
waktu yang lebih lama. Pada penderita yang tidak diobati, pengeluaran sekret
akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, dan ini merupakan
9
sumber penularan. Infeksi dapat diatasi secara cepat dengan pemberian
antibiotika.
10
3) Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring (gambar 8),
jarang sekali dijumpai berdiri sendiri. Gejala klinis difteri laring sukar
dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti stridor yang progresif,
suara parau, dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat
retraksi suprasternal, supraklavikular, intrakostal dan epigastrial. Bila terjadi
pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian
mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan
trakeobronkial. Pada difteri laring yang terjadi sebagai perluasan dari difteri
faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan
toksemia dimana didapatkan demam tinggi, lemah, sianosis, pembengkakan
kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa
mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
4) Difteri Kulit
Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada
dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi
nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh,
superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri
kulit tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau
stafilokokus, dan mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan kasus,
11
dermatosis yang mendasari, luka goresan, luka bakar atau impetigo yang
telah terkontaminasi sekunder. Tungkai lebih sering terkena dari pada badan
atau kepala. Nyeri, sakit, eritema, dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau
hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran pernapasan atau infeksi bergejala
dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian kecil penderita dengan difteri
kulit.
12
2.6 Penanganan pada Difteri
2.6.1 Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis difteria harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis,
oleh karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien.
Penentuan kuman difteria dengan sediaan langsung kurang dapat
dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara
fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.
Diagnosis pasti dengan isolasi C. diphtheria degan pembiakan pada media
loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenisitas secara in vivo (marmot) dan
in vitro (tes Elek) (Irawan dkk, 2010).
2.6.2 Penatalaksanaan
A. Pengobatan Difteri
a. Pengobatan umum
Perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang
dilakukan pada permulaan dirawat, 1 minggu kemudian dan minggu
berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal. Pada
umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah
baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet
yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap
bebas sreta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
humidifier.
13
2) Antibiotik.
Penisilin Prokain 50.000 Unit/KgBB/hari sampai 3 hari
bebas demam. Pada pasien yang dilakukan takeostomi
ditambahkan kloramfenikol 75 mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis.
Mekanisme kerja Penisilin Prokain dengan merintangi atau
menghambat pembentukan (sintesa) dinding sel bakteri
sehingga bila sel bakteri tumbuh dengan dinding sel yang tidak
sempurna maka bertambahnya plasma atau air yang terserap
dengan jalan osmosis akan menyebabkan dinding sel pecah
sehingga bakteri menjadi musnah.
Penisilin menghambat pembentukan Mukopeptida yang
diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba. Terhadap
mikroba yang sensitif, Penisilin akan menghasilkan efek
bakterisid (membunuh kuman) pada mikroba yang sedang aktif
membelah. Mikroba dalam keadaan metabolik tidak aktif (tidak
membelah) praktis tidak dipengaruhi oleh Penisilin, kalaupun
ada pengaruhnya hanya bakteriostatik (menghambat
perkembangan).
14
Bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid
untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.
B. Pencegahan Difteri
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan
memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada
umumnya setelah seorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap
penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi. Pencegahan secara
khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan karier.
Jenis vaksin difteri yang diberikan harus disesuaikan dengan usia
saat pemberian. Sebagai imunisasi dasar, vaksin difteri diberikan
bersamaan dengan imunisasi tetanus dan pertusis, dalam bentuk vaksin
DPT. Vaksin DPT (DtaP atau DTwP) diberikan untuk anak usia diatas
6 minggu sampai 7 tahun. Anak dengan usia 7 18 tahun diberikan
vaksin difteri dalam bentuk vaksin Td (tetanus dan difteri) atau vaksin
Tdap (Tetanus toxoid, reduce diphtheria toxoid, dan acellular pertusis
vaccine adsorbed). Vaksin Td diberikan juga pada anak dengan kontra
indikasi terhadap komponen pertusis dan dianjurkan pada anak usia
lebih dari 7 tahun untuk memperkecil efek samping dari pasca-
imunisasi karena toxoid difteri. Vaksin TdaP (Adacel atau Boostrix)
diberikan 1 kali suntikan ke dalam otot, vaksin ini dapat diberikan pada
usia 11-65 tahun.
15
Booster usia 15-18 bulan
Booster usia 4-6 tahun
Usia 7-18 tahun, tiga dosis dalam bentuk vaksin Td
Dosis 1 dan 2 interval 4 minggu
Dosis 2 dan 3 interval 6 bulan
Booster 6 bulan setelah dosis ketiga
Dewasa
Sebagai imunisasi primer, 1 dosis dalam bentuk
Tdap
Sebagai booster tiap 10 tahun, dalam bentuk vaksin
Td
Cara pemberian Suntikan kedalam otot (IM)
Efektivitas 90 %
Kontra indikasi Alergi terhadap vaksin
Efek samping Demam, nyeri dan bengkak pada tempat suntikan reaksi
alergi.
C. Komplikasi Difteri
1) Pada saluran pernapasan: terjadi obstruksi jalan napas dengan
segala akibatnya, bronkopneumonia, atelektasis.
2) Kardiovaskuler: miokarditis, yang dapat terjadi akibat toksin yang
dibentuk kuman difteria
3) Kelainan pada ginjal: nefritis
4) Kelainan saraf: kira-kira 10% pasien difteria mengalami komplikasi
yang mengenai susunan saraf terutama sistem motorik, dapat
berupa:
a. Paralisis/ paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia (suara
sengau), tersedak/sukar menelan. Dapat terjadi pada minggu 1-2.
b. Paralisis/paresis otot-otot mata; dapat mengakibatkan strabismus,
gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis yang timbul pada
minggu 3.
c. Paralisis umum yang dapat terjadi setelah minggu 4. Kelainan
dapat menegani otot muka, leher, anggota gerak dan yang paling
berbahaya bila mengenai otot pernapasan.
16
D. Prognosis Difteri
Prognosis penyakit ini bergantung pada:
1) Umur pasien: Makin muda usianya semakin jelek prognosisnya
2) Perjalanan penyakit: makin terlambat ditemukan penyakitnya
semakin memperparah keadaan
3) Letak lesi difteri: bila di hidung tergolong ringan
4) Keadaan umum pasien
5) Terdapatnya komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis
6) Pengobatan: terlambat pemberian ADS, prognosis semakin buruk.
17
BAB III
3.1 Pengkajian
a. Identitas
Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Tanggal pemeriksaan :
Alamat :
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi keluhan utama pasien difteri: pasien demam hingga 38,9,
common cold, pilek ringan, secret menjadi purulen dan dijumapi
ekskoriasi pada lubang hidung luar dan bibir bagian atas yang terlihat
seperti impetigo, pengeluaran sekeret berlangsung selama beberapa
minggu, nyeri tenggorokan, nadi cepat, lemah, napas bau, susah menelan,
batuk kering.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Bersangkutan dengan pernah atau tidak mengalami difteri terdahulu,
seberapa sering terkena penyakit pernapasan (flu, batuk, dll), durasi saat
mengalami penyakit pernapasan, apakah memiliki alergi terhadap debu,
kerentanan tubuh terhadap penyakit, apakah sudah mendapatkan imunisasi
difteri secara rutin saat anak-anak.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji apakah anggota keluarga ada yang pernah mengidap difteri,
kapan anggota keluarga terakhir mengalami difteri, apakah pengobatan
difteri terdahulu sudah menyembuhkan total.
18
4) Pemeriksaan fisik
Memeriksa TTV pada anak dan melakukan observasi secara IPPA dari
kepala sampai kaki (head to toe) yang terpenting adalah kaji tanda-tanda
yang terjadi pada nasal, tonsil/faring, dan laring.
1. B1 : breathing
RR frekuensi meningkat, sesak napas, batuk kering, adanya secret
dengan eksoriasi, nyeri tenggorokan, obstruksi laring
2. B2 : blood
Takikardi, kelemahan otot jantung, sianosis
3. B3 : brain
Normal
4. B4 : bladder
Normal
5. B5 : bowel
Anoreksia, nyeri menelan, napas bau, kurang nutrisi
6. B6 : bone
Kelemahan otot, turgor kulit menurun
5) Pemeriksaan penunjang
Uji shick dilakukan dengan menyuntikkan sejumlah kecil toksin difteri
ke dalam kulit. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah
cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan
dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang
telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. Pada seseorang yang tidak mengandung
antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah
beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick
dapat positif pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam
24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun
pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau
mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi
19
alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
(FKUI kapita selekta). Jika uji shick ini menunjukkan adanya kerentanan
terhadap difteri, maka orang dewasa sekalipun harus diimunisasi secara
aktif.
6) Pola aktivitas
1. Pola nutrisi metabolik
Disesuaikan dengan tanda difteri seperti apakah nafsu makan
berkurang (anoreksia), muntah, sulit menelan, dan napas bau.
2. Pola eliminasi
Bandingkan sesudah atau sebelm penyakit difteri dengan mencatat
frekuensi sehari.
3. Pola aktivitas dan latihan
Jika klien terjangkit difteri maka tampak anak akan malas beraktivitas,
lemah dan lesu.
4. Pola tidur dan istirahat
Mengkaji apakah anak tidur dengan nyaman atau tidak mau tidur.
Anak tidurnya terganggu karena pernapasan tersumbat oleh secret.
5. Kognitif dan perceptual
Anak akan susah berkonsentrasi
6. Persepsi diri
Karena klien masih ank-anak maka konsep dirinya akan masih dalam
tahap perkembangan dan anak akan tampak cemas karena penyakit
yang diderita atau karena perpisahan.
7. Hubungan peran
Anak tampak diam karena efek hospitalisasi.
20
2) Tidak efektifnya bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi pada
jalan napas.
3) Penurunan nutrisi dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi
yang kurang.
4) Risiko kurangnya wolume cairan berhubungan dengan proses penyakit
(metabolism meningkat, intake cairan menurun).
D. Evaluasi:
1. Perubahan RR menjadi normal
2. Frekuensi sesak napas dalam sehari
3. Pemberian oksigen tambahan efektif atau tidak
21
2) Dx: Ttidak efektifnya bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi
pada jalan napas.
A. Tujuan umum: mempertahankan patensi jalan napas
B. Tujuan khusus: mempertahankan patensi jalan napas dan mempermudah
pertukaran gas
C. Kriteria hasil:
1. Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih/jelas
2. Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas, misal:
batuk efektif dan mengeluarkan secret
22
Sokongan tangan/kaki dengan
meja, bantal, dan lain-lain
membantu menhurunkan
kelemahan otot dan dapat sebegai
alat ekspansi dada.
5. Pertahankan polusi lingkungan Pencetus tipe reaksi alergi
minimum, misal debu, asap dan pernapasan yang dapat mentriger
bulu bantal yang berhubungan episode akut
dengan kondisi indvidu
6. Dorong/bantu latihan napas Memberikan pasien beberapa cara
dalam untuk mengatasi dan mengontrol
dispnea dan menurunkan jebakan
udara.
7. Kolaborasi:
1. Bantu mengawasi efek Alat untuk menurunkan spasme
pengobatan nebulizer bronkus dengan mobilisasi sekret.
dan fisioterapi lain, Analgesic diberikan untuk
misal: spirometer memperbaiki batuk dengan
intensif, IPPB, tiupan menurunkan ketidaknyamanan
botol, perkusi, postural tetapi haru sdigunakan secara
drainage. Laukan hati-hati karena dapat
tindakan diantarra waktu menurunkan upaya batuk atau
makan dan batasi cairan menekan pernapasan.
bila mungkin
2. Berikan pbat sesuai
indikasi mukolitik,
ekspektoran,
bronkodilator, analgesic.
D. Evaluasi:
1. Kepatenan jalan napas
2. Banyaknya sekret dan warna secret
23
C. Kriteria hasil:
1. Menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat
2. Menunjukkan perilaku/perubahan pola hidup untuk meningkatkan
dan/atau mempertahankan berat badan
24
4) Dx: Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit
(metabolisme meningkat, intake cairan menurun).
A. Tujuan umum: mengurangi risiko kekurangan volume cairan tubuh
B. Tujuan khusus: meningkatkan intake cairan klien supaya proses
berkembangnya penyakit dapat dihambat dan dapat segera disembuhkan.
C. Kriteria hasil:
1. Menyatakan pemahaman penyebab/faktor risiko individu
2. Menunjukkan tehnik, perubahan pola hidup untuk meningkatkan
lingkungan yang aman
3. Kulit lembab
4. Membrane mukosa oral lembab
25
menurunkan tahanan terhadap
infeksi
D. Evaluasi:
1) Keadekuatan cairan klien
2) Perkembangan proses patologis
26
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Difteri adalah penyakit yang ditaklukkan pertama atas dasar prinsip
mikrobiologi dan kesehatan masyarakat yang umumnya menyerang sistem
respirasi anak-anak melalui udara. Difteri disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae yang akan mati dalam pemanasan suhu 60 selama 10 menit, tetapi
tahan hidu p sampai beberapa minggu dalam es, air, susu,dan lender yang telah
mengering. Pengamatan wabah difteri di Inggris dan Amerika Serikat dengan
menggunakan teknik molekuler memberi kesan bahwa C.diphteriae nontoksik
asli yang diberi bertoksin, menimbulkan penyakit setelah pemasukkan
C.diphteriae bertoksin tersebut. Toksin difteri dapat diperagakan in vitro dengan
teknik imunopresipitin agar (uji Elek), suatu uji rekasi rantai polymerase
pengamata, atau dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmot (uji kematian).
Strain toksik tidak dapat dibedakan dengan uji tipe koloni, mikroskopi atau
biokimia. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari).
C.diphtiriae adalah penghuni tersendiri membrane mukosa dan kulit
manusia. Penyebaran terutama melalui udara bersama tetes-tetes pernapasan atau
kontak langsung dengan sekeresi pernapasan individu bergejala atau eksudat dari
lesi kulit yang terinfeksi. Pengidap (carrier) pernapasan tidak bergejala penting
dalam penularan. Penularan melalui susu yang terkontaminasi dan pengurus
makanan yang terkontaminasi telah terbukti atau dicurigai. Penularan umumnya
melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat pula melalui benda atau
makanan yang terkontaminasi. Penyakit difteria dapat mengenai bayi tetapi
kebanyakan pada anak usai balita. Penyakit difteria dapat berat dan ringan
bergantung virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak.
Kuman berkembang biak pada saluran napas atas, dan dapat juga pada vulva,
kuit mata, walaupun jarang terjadi (Haryanto, 2006). Virulensi utama organisme
terletak pada kemampuannya menghasilkan eksotoksin polipeptida 62-KD kuat,
27
yang menghambat sintesis protein dan menyebabkan nekrosis jaringan lokal.
Dalam beberapa hari pertama infeksi saluran pernapasan, koagulum organisme
nekrotik tebal, sel epitel, fibrin, leukosit, dan bentuk eritrosit berlanjut dan
menjadi pseudomembran melekat abu-abu coklat.
Manifestasi klinis penyakit difteri tergantung pada berbagai faktor dan
bervariasi, tanpa gejala sampai keadaan yang hipertoksik serta fatal.Sebagai
faktor primer adalah imunitas pasien terhadap toksin difteri, virulensi serta
kemampuan kuman C.Difterie membentuk toksin, dan lokasi penyakit secara
anatomis. Difteri bisa memberikan gejala seperti penyakit sistemik, tergantung
pada lokasi penyakit secara anatomi, namun demam jarang melebihi 38,9C.
Vaksin imunisasi difteri atau Vaksin DPT diberikan pada anak-anak
sebanyak 3 kali untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang
penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin akan lebih rentan
terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
4.2 Saran
Difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak sehingga disarankan
untuk anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan
wajib pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah
imunisasi. Sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT)
setiap 10 tahun sekali.
Selain itu juga dapat disarankan untuk menjaga kebersihan badan, pakaian,
dan lingkungan karena difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk
dengan tingkat sanitasi rendah dan memberikan pengetahuan tentang bahaya
difteria bagi anak.
Sebagai perawat, penderita difteri memerlukan perawatan isolasi selama 2-3
minggu dan pengawasan EKG yang dilakukan pada permulaan dirawat sampai
hasil EKG 2x normal serta membutuhkan istirahat baring selama 2-3 minggu.
28
DAFTAR PUSTAKA
Arif Muttaqin. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dgn Gangguan Sistem
Pernapasan. Salemba Medika.
Cahyono, dr. J. B. Suharjo B. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi.
Yogyakarta: Kanisius.
Hull, David. dkk. 2008. Edisi 3 Dasar-dasar Pediatri. Jakarta: EGC.
Tim Dosen keperawatan respirasi I: Laily Hidayati, S.Kep., Ns., M.Kep, Ninuk Dian
Kurniawati S.Kep., Ns., MANP, Kristiawati, S.Kp., Sp.Kep.An., M.Kep. 2014.
Modul praktikum laboratorium mata ajar keperawatan respirasi I. Surabaya:
Program Studi Pendidikan Ners Universitas Airlangga.
29
Lampiran 1
WOC DIFTERI
Corynebacterium diphteriae
Tersebar di udara
30