Anda di halaman 1dari 6

2.

2 Kanker Payudara
2.2.1 Etiologi dan Patogenesis
Ada 3 pengaruh penting pada kanker payudara: a. Faktor genetik

Faktor genetik berpengaruh dalam peningkatan terjadinya kanker payudara. Pada


percobaan tikus dengan galur sensitif kanker, melalui persilangan genetik didapatkan
tikus yang terkena kanker. Ada faktor turunan pada suatu keluarga yang terkena kanker
payudara. Kelainan ini diketahui terletak di lokus kecil di kromosom 17q21 pada kanker
payudara yang timbul saat usia muda (Restifo dan Wunderlich, 2001).

b. Hormon

Kelebihan hormon estrogen endogen atau lebih tepatnya terjadi ketidakseimbangan


hormon terlihat sangat jelas pada kanker payudara. Banyak faktor resiko yang dapat
disebutkan seperti masa reproduksi yang lama, nulipara, dan usia tua saat mempunyai
anak pertama akan meningkatkan estrogen pada siklus menstruasi. Wanita pasca
menopause dengan tumor ovarium fungsional dapat terkena kanker payudara karena
adanya hormon estrogen berlebihan. Suatu penelitian menyebutkan bahwa kelebihan
jumlah estrogen di urin, frekuensi ovulasi, dan umur saat menstruasi dihubungkan
dengan meningkatnya resiko terkena kanker payudara (Bast, 1985; Sobin dan Wittekind,
2002). Epitel payudara normal memiliki reseptor estrogen dan progesteron. Kedua
reseptor ditemukan pada sebagian besar kanker payudara. Berbagai bentuk growth
promoters (transforming growth factor-alpha/epitehlial growth factor, platelet-derived
growth factor), fibroblast growth factor dan growth inhibitor disekresi oleh sel kanker
payudara manusia. Banyak penelitian menyatakan bahwa growth promoters terlibat
dalam mekanisme autokrin dari tumor. Produksi GF tergantung pada hormon estrogen,
sehingga interaksi antara hormon disirkulasi, reseptor hormon pada sel kanker dan GF
autokrin merangsang sel tumor menjadi lebih progresif (Restifo dan Wunderlich, 2001;
Junqueira, et al., 1995; Whiteside dan Haberman, 2003).

c. Faktor lingkungan dan gaya hidup

Pengaruh lingkungan diduga karena berbagai faktor antara lain alkohol, diet tinggi lemak,
dan infeksi virus. Hal tersebut mungkin mempengaruhi onkogen dan gen supresi tumor
dari kanker payudara (Restifo dan Wunderlich, 2001).

2.2.2 Klasifikasi
Berdasarkan gambaran histologis, WHO membuat klasifikasi kanker payudara sebagai
berikut (Sobin dan Wittekind, 2002; Junqueira, et al., 1995; Robbin, et al., 1994).

a. Kanker payudara non invasif

i. Karsinoma intraduktus non invasif

Karsinoma intraduktus adalah karsinoma yang mengenai duktus disertai infiltrasi jaringan
stroma sekitar. Terdapat 5 subtipe dari karsinoma intraduktus, yaitu
komedokarsinoma, solid, kribriformis, papiler, dan mikrokapiler. Komedokarsinoma
ditandai dengan selsel yang berproliferasi cepat dan memiliki derajat keganasan
tinggi.
Karsinoma jenis ini dapat meluas ke duktus ekskretorius utama, kemudian
menginfiltrasi papilla dan areola, sehingga dapat menyebabkan penyakit Paget pada
payudara.

ii. Karsinoma lobular in situ

Karsinoma ini ditandai dengan pelebaran satu atau lebih duktus terminal dan/atau
tubulus, tanpa disertai infiltrasi ke dalam stroma. Sel-sel berukuran lebih besar dari
normal, inti bulat kecil dan jarang disertai mitosis.

b. Kanker payudara invasif

i. Karsinoma duktus invasif

Karsinoma jenis ini merupakan bentuk paling umum dari kanker payudara.
Karsinoma duktus infiltratif merupakan 65 80% dari karsinoma payudara. Secara
histologis, jaringan ikat padat tersebar berbentuk sarang. Sel berbentuk bulat sampai
poligonal, bentuk inti kecil dengan sedikit gambaran mitosis. Pada tepi tumor,
tampak sel kanker mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitar seperti sarang, kawat
atau seperti kelenjar. Jenis ini disebut juga sebagai infiltrating ductus carcinoma not
otherwise specified (NOS), scirrhous carcinoma, infiltrating carcinoma atau
carcinoma simplex.

ii. Karsinoma lobular invasif

Jenis ini merupakan karsinoma infiltratif yang tersusun atas sel-sel berukuran kecil
dan seragam dengan sedikit pleimorfisme. Karsinoma lobular invasif biasanya
memiliki tingkat mitosis rendah. Sel infiltratif biasanya tersusun konsentris disekitar
duktus berbentuk seperti target. Sel tumor dapat berbentuk signet ring,
tubuloalveolar, atau solid (Chapoval, et al., 1998).

iii. Karsinoma musinosum

Pada karsinoma musinosum ini didapatkan sejumlah besar mukus intraseluler dan
ekstraseluler yang dapat dilihat secara makroskopis maupun mikroskopis. Secara
histologis, terdapat 3 bentuk sel kanker. Bentuk pertama, sel tampak seperti pulau-
pulau kecil yang mengambang dalam cairan musin basofilik. Bentuk kedua, sel
tumbuh dalam susunan kelenjar berbatas jelas dan lumennya mengandung musin.
Bentuk ketiga terdiri dari susunan jaringan yang tidak teratur berisi sel tumor tanpa
diferensiasi, sebagian besar sel berbentuk signet ring.

iv. Karsinoma meduler

Sel berukuran besar berbentuk poligonal atau lonjong dengan batas sitoplasma tidak
jelas. Diferensiasi dari jenis ini buruk, tetapi memiliki prognosis lebih baik daripada
karsinoma duktus infiltratif. Biasanya terdapat infiltrasi limfosit yang nyata dalam
jumlah sedang di antara sel kanker, terutama dibagian tepi jaringan kanker.

v. Karsinoma papiler invasif


Komponen invasif dari jenis karsinoma ini berbentuk papiler. vi. Karsinoma
tubuler

Pada karsinoma tubuler, bentuk sel teratur dan tersusun secara tubuler selapis,

dikelilingi oleh fibrous stroma. Jenis seperti ini merupakan karsinoma dengan

diferensiasi tinggi (Abbas, et al., 2005).

vii. Karsinoma adenokistik

Jenis ini merupakan karsinoma invasif dengan karakteristik sel yang berbentuk
kribriformis. Sangat jarang ditemukan pada payudara.

viii. Karsinoma apokrin

Karsinoma ini didominasi dengan sel yang memiliki sitoplasma eosinofilik, sehingga
menyerupai sel apokrin yang mengalami metaplasia. Bentuk karsinoma apokrin
dapat ditemukan juga pada jenis karsinoma payudara yang lain.

2.3 Kemoterapi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan terapi kanker payudara, antara lain
stadium kanker, usia, ukuran dari tumor, menopause dan apakah sel-sel kanker memiliki reseptor
terhadap hormon tertentu (misalnya estrogen) atau protein-protein khusus pada permukaan
reseptor (Anonimb, 2013).
Kemoterapi adalah suatu pengobatan sistemik yang melibatkan penggunaan obat antikanker
atau obat-obat sitotoksik yang biasanya diberikan melalui injeksi ataupun secara oral. Kemoterapi
seringkali digunakan sebagai terapi tambahan pada perawatan yang lain, seperti pembedahan atau
terapi radiasi. Kemoterapi biasanya diberikan 1 2 minggu setelah operasi. Namun, untuk tumor
yang lebih besar, sebaiknya dilakukan kemoterapi pra-operasi (Damayanti, 2006).

Pengobatan kanker dengan kemoterapi telah dibuktikan lebih efektif jika digunakan secara
kombinasi dua atau lebih jenis obat. Obat-obat yang digunakan secara kombinasi hendaknya telah
menunjukkan efektivitas ideal pada penggunaan tunggal, memiliki mekanisme yang berbeda satu
dengan yang lain, dan memiliki profil toksisitas yang berbeda sehingga dapat digunakan pada dosis
optimal (Damayanti, 2006).

Resiko penggunaan obat-obat sitotoksik adalah obat-obat ini dapat menyebabkan proliferasi
pada jaringan yang normal. Efek samping ini dapat menurunkan kualitas hidup pasien tersebut. Pada
Tabel 2.1 disajikan keterangan mengenai efek samping dari pengobatan kanker dengan kemoterapi
yang umum terjadi berdasarkan skala waktu kejadian efek samping tersebut (Damayanti, 2006).

Tabel 2.1 Efek samping kemoterapi

Waktu Kejadian Efek Samping


Efek Samping Kemoterapi
Kemoterapi
Plebitis, hyperuricaemia, mual/muntah,
Immediate (terjadi dalam hitungan jam) gagal ginjal akut, anafilaksis, iritasi kulit,
demam
Ototoksisitas, hipomagnesemia, diare,
Awal (terjadi dalam hitungan hari) stomatitis, konjungtivitis, alopecia,
myelotoxicity
Fibrosis pulmo, neurophaty perifer,
Tertunda (terjadi dalam hitungan minggu) hiperpigmentasi, hepatocellular toxicity,
anemia
Lambat (terjadi dalam hitungan bulan/ Menopause dini, malignan sekunder,
tahun) sterilitas

2.4 DRPs
2.4.1 Definisi DRPs
DRPs adalah adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien terkait terapi obat, dan secara
nyata maupun potensial berpengaruh pada outcome yang diinginkan pasien. Suatu kejadian dapat
disebut DRPs apabila terdapat dua kondisi, yaitu: (a) adanya kejadian tidak diinginkan yang dialami
pasien, kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosa penyakit, ketidakmampuan
(disability) yang merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultur atau ekonomi; dan (b)
adanya hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat (Strand, et al., 1990).

2.4.2 Klasifikasi DRPs


Jenis-jenis DRPs dan penyebabnya menurut Cipolle, et al. (2004) disajikan sebagai berikut:

a. Membutuhkan terapi tambahan obat

i. Pasien mempunyai kondisi medis baru yang membutuhkan terapi awal pada obat.

ii. Pasien mempunyai penyakit kronik yang membutuhkan terapi obat berkesinambungan.

iii. Pasien mempunyai kondisi kesehatan yang membutuhkan farmakoterapi kombinasi

untuk mencapai efek sinergisme atau potensiasi.

iv. Pasien dalam keadaan resiko pengembangan kondisi kesehatan baru yang dapat

dicegah dengan penggunaan pencegah penyakit melalui terapi obat dan/atau tindakan

pramedis.

b. Terapi obat yang tidak perlu

i. Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan yang tidak tepat indikasi pada waktu itu.
ii. Pasien yang tidak sengaja maupun sengaja menerima sejumlah racun dari obat atau

bahan kimia, sehingga menyebabkan rasa sakit pada waktu itu.

iii. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol, dan rokok. iv. Kondisi kesehatan

pasien lebih baik diobati dengan terapi tanpa obat.

v. Pasien yang mendapatkan beberapa obat untuk kondisi yang mana hanya satu terapi

obat yang terindikasi.

vi. Pasien yang mendapatkan terapi obat yang tidak tepat dihindarkan dari reaksi efek

samping yang disebabkan oleh pengobatan lainnya.

c. Terapi obat salah

i. Pasien menerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan.

ii. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan.

iii. Bentuk sediaan obat tidak tepat.

d. Dosis terlalu rendah

i. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk memberikan respon kepada pasien.

ii. Konsentrasi obat dalam darah pasien di bawah batas terapetik yang diharapkan.

iii. Selang waktu pemberian obat terlalu jarang sehingga tidak

menghasilkan respon yang diinginkan.

e. Reaksi obat yang merugikan

i. Pasien memperoleh reaksi alergi dalam pengobatan.

ii. Ketersediaan obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau makanan

pasien.

iii. Penggunaan obat menyebabkan terjadinya reaksi yang tidak dikehendaki yang tidak

terkait dengan dosis.

iv. Penggunaan obat yang kontraindikasi.

f. Dosis terlalu tinggi


i. Dosis terlalu tinggi untuk memberikan respon kepada pasien.

ii. Pasien dengan konsentrasi obat di dalam darah di atas batas teurapetik obat yang

diharapkan.

iii. Obat, dosis, rute atau perubahan formulasi tidak tepat untuk pasien.

iv. Dosis dan frekuensi pemberian tidak tepat untuk pasien.

g. Kepatuhan

i. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan, pengobatan,

pemberian atau pemakaian).

ii. Pasien tidak patuh dengan aturan yang diberikan untuk pengobatan.

iii. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal.

iv. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena kurang mengerti.

v. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena sudah

merasa sehat.

Anda mungkin juga menyukai