PENDAHULUAN
Sindroma Raynaud merupakan suatu sindroma akibat insufisiensi arteri jari-jari tangan maupun kaki,
tanpa melihat penyebabnya maupun muncul sebagai akibat iskemik episodik atau kontinyu, nekrosis jari atau
gangren. Sindroma Raynaud dapat terjadi dengan sendirinya, atau dapat berupa gejala sekunder dari suatu
penyakit lain, misalnya skleroderma atau lupus. Sedangkan fenomena Raynaud adalah suatu fenomena dari
episode asfiksia digiti episodik yang disebabkan karena insufisiensi arteri akibat vasospasme atau obstruksi
organik (Birnstingl, 1971). Fenomena ini ditandai dengan serangan episodik, yang disebut serangan
vasospastik, yang menyebabkan konstriksi pembuluh darah pada jari kaki dan tangan. Fenomena ini pertama
kali dijelaskan oleh Maurice Raynaud pada tahun 1862. Secara sederhana, deskripsi umum fenomena
Raynaud berupa perubahan warna trifase pada digiti, dengan warna putih (pucat) yang menjadi biru
(sianosis) diikuti hiperemi reaktif (merah). Meskipun demikian, telah diketahui bahwa tidak setiap pasien
mengalami perubahan warna dengan seluruh trifase dan sebagian besar pasien datang dengan keluhan
perubahan warna unifase yang melibatkan perubahan warna terisolir digiti menjadi kebiruan, yang dikenal
sebagai akrosianosis. Akrosianosis adalah fenomena umum pada bayi yang baru lahir dan anak berusia
muda. Akrosianosis umumnya bilateral, simetris, dan melibatkan tangan serta kaki (Sharathkumar, 2011).
Studi yang mempelajari Raynauds phenomenon menunjukkan prevalensi terjadinya sindroma
Raynauds primer bervariasi pada tiap populasinya, berkisar antara 4,9-20,1% pada wanita dan 3,8-13,5%
pada laki-laki. Tidak ada predileksi ras pada sindroma Raynauds primer.
Di Amerika Serikat prevalensi terjadinya Raynauds phenomenon lebih tinggi pada wanita (11%)
dibandingkan pada laki-laki (8%). Insidensi tahunan terjadi pada 2,2% wanita dan 1,5% pada laki-laki.
Sedangkan insidensi sindroma Raynauds sekunder tergantung pada kelainan yang mendasari.
Kesehatan hiperbarik adalah ilmu yang mempelajari tentang masalah-masalah kesehatan yang timbul
akibat pemberian tekanan lebih dari 1 atmosfer (Atm) terhadap tubuh dan aplikasinya untuk pengobatan,
dimana pemberian oksigen tekanan tinggi untuk pengobatan yang dilaksanakan dalam ruang udara
bertekanan tinggi (RUBT) (Riyadi, 2013).
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.2.2 Klasifikasi
Raynauds phenomenon secara luas dibagi menjadi dua kategori: yang pertama adalah jenis
idiopatik, disebut Raynauds disease, dan yang kedua adalah jenis sekunder (Raynauds syndrome), yang
berhubungan dengan penyakit lain atau penyebab vasospasme yang telah diketahui (Creager, 2008).
3
Gambar 2.1. Klasifikasi Raynauds phenomenon (Creager, 2008)
2.2.3 Etiologi
Lebih dari 50% pasien dengan Raynauds phenomenon memiliki Raynauds disease. Raynauds
disease lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria, dan biasanya berusia antara 20 sampai 40
tahun. Jari-jari tangan lebih sering terkena dibandingkan jari-jari kaki (Creager, 2008).
Pada Raynauds phenomenon sekunder, Raynauds phenomenon terjadi pada 80-90% pasien dengan
sistemik sklerosis (skleroderma). Hal ini dapat menjadi satu-satunya gejala skleroderma selama bertahun-
tahun. Pada kelainan ini, abnormalitas pada pembuluh darah digitalis memegang peranan penting. Ischemic
fingertip ulcer dapat berkembang dan mengarah ke gangren dan autoamputasi. Sekitar 20% pasien dengan
systemic lupus erythematosus (SLE) memiliki Raynauds phenomenon. Kadang-kadang, iskemia digitalis
persisten dapat berkembang dan menyebabkan ulkus atau gangrene. Pada kebanyakan kasus yang berat,
pembuluh-pembuluh darah kecil tersumbat oleh endarteritis proliferatif. Raynauds phenomenon terjadi
sekitar 30% pada pasien dengan dermatomyositis atau polymyositis (Creager, 2008).
Aterosklerosis pada ekstremitas merupakan penyebab Raynauds phenomenon yang sering pada pria
>50 tahun. Thromboangiitis obliterans seharusnya dipertimbangkan sebagai penyebab Raynauds
phenomenon pada pria muda, terutama perokok. Kadang-kadang, Raynauds phenomenon juga dapat
mengikuti oklusi akut arteri sedang dan besar oleh adanya trombus atau embolus. Pada pasien dengan
thoracic outlet compression syndrome, Raynauds phenomenon dapat timbul sebagai akibat penurunan
tekanan intravaskular, stimulasi serat simpatetik pleksus brakialis, atau kombinasi keduanya. Raynauds
phenomenon juga berhubungan dengan berbagai dyscrasia darah dan hipertensi pulmonary primer (Creager,
2008).
4
Gambar 2.2. Etiologi Raynauds phenomenon (Sharathkumar, 2011)
2.2.4 Patofisiologi
Pada individu dengan Raynaud phenomenon,salah satu atau lebih dari bagian tubuh mengalami
vasospasme yang sering dengan disertai perubahan warna pada kulit. Pasien sering mendeskripsikan dalam
tiga tahap yang dimulai dari vasokonstriksi, diikuti cyanosis, dan kemerahan (rapid blood reflow).
Pada Raynaud phenomenon primer dihubungkan dengan perubahan fungsional. Sebaliknya, pada
Raynaud phenomenon sekunder terjadi kelainan struktural pada mikrovaskular.Patogenesis dibagi tiga
mekanisme vaskular, neural dan kelainan intravaskular
1. Kelainan Vaskular
Defisiensi mediator vasodilator termasuk nitrit oxide,telah berpengaruh pada patogenesis
Raynaud phenomenon,selain itu endothelin-1, yang merupakan suatu vasokonstriktor yang poten
ditemukan dalam endotelium, didapatkan pada sirkulasi dengan kadar yang tinggi pada pasien
dengan Raynaud phenomenon sekunder. Pelepasan endothelin-1 memicu rangsang vasoaktiv
termasuk angiotensin,vasopresin, TGF-beta.
Angiotensin mempunyai efek vasokonstriktiv dan profibrotik. Pada pasien dengan sklerotik
sistemik, abnormalitas struktural dihubungkan dengan proliferasi fibrotik vaskular yang
mengakibatkan penurunan aliran darah menuju digiti. (Heather Hansen,2014)
2. Kelainan Neural
5
Gangguan vasodilatasi dapat terjadi pada Raynaud phenomenon. Neuropeptide,kalsitonin gen-
related peptide, merupakan vasodilator poten yang disekresikan oleh saraf yang mempersarafi
pembuluh darah. Jumlah kalsitonin gen related yang berkurang ditemukan dalam biopsi pasien
dengan Raynaud primer maupun sklerosis sistemik. Pada pasien dengan Raynaud phenomenon
sekunder ditemukan peningkatan kadar neuropeptide Y. Neuropeptide Y merupakan vasokonstriktor
poten.
2.2.6 Manajemen
1. Terapi suportif
6
Perubahan gaya hidup efektif dapat membantu pada pasien dengan penyakit ringan.
Menghentikan kebiasaan merokok, menghentikan penggunaan obat-obatan yang berhubungan
dengan RP (Raynauds phenomenon), maupun merubah pekerjaan juga dapat membantu. Pil
kontraseptif seharusnya dihentikan bila diketahui ada hubungan dengan perkembangan RP (Belch,
1996).
Ketakutan terhadap penyakit juga dapat memperburuk gejala dan penghiburan kadang
diperlukan. Saran untuk mempertahankan kehangatan dan proteksi dari dingin sangat penting, antara
lain dapat dengan menggunakan sarung tangan dan kaos kaki penghangat (electrically heated gloves
and socks) (Belch, 1996).
Perawatan luka yang baik pada ulcer digitalis juga harus dilakukan. Jika ada ulkus yang
lembab, harus dilakukan swab dan dikirim untuk pemeriksaan kultur (Belch, 1996).
2. Simpatektomi
Simpatektomi operatif pada ekstremitas atas memiliki relapse rate yang tinggi dan respons
yang buruk pada RS (Raynauds Syndrome). Karena itu, terapi ini tidak lagi direkomendasikan
untuk RP (Raynauds phenomenon) pada ekstremitas atas. Di sisi lain, simpatektomi masih
memainkan peran penting pada terapi RP yang mengenai ekstremitas bawah di mana hasilnya dapat
menguntungkan (Belch, 1996).
3. Terapi Obat
Penggunaan vasodilator pada RP (Raynauds phenomenon) masih kontroversial karena
banyak studi yang menunjukkan tidak terkontrol. Tetapi, masih ada beberapa senyawa yang dapat
memberikan keuntungan, antara lain inositol, nicotinate, naftidrofuryl, dan oxpentifylline, yang
efeknya baru akan tampak setelah 2 sampai 3 bulan terapi. Pada pasien yang lebih berat, pengobatan
ini tidak memberikan keuntungan (Belch, 1996).
Banyak studi yang telah dilakukan untuk mempelajari penggunaan calcium channel
antagonist pada RP dan nifedipine sekarang telah menjadi gold standard terapi Raynauds. Meskipun
demikian, penggunaannya dibatasi oleh efek samping vasodilator yang susceptible pada pasien RP.
Hal ini meliputi kemerahan pada wajah, palpitasi, sakit kepala dan, pada jangka panjang, ankle
swelling. Jika pengobatannya perlu dihentikan karena efek samping ini, calcium antagonist lain
seperti diltiazem dan amilodipine dapat dicoba (Belch, 1996).
Salah satu pendekatan yang paling efektif pada RS (Raynauds Syndrome) yang
berhubungan dengan sklerosis sistemik adalah pengembangan terapi prostaglandin, yaitu dengan
PGE1 dan PGI2. Iloprost adalah analog PGI2 yang memberikan keuntungan pada terapi RP, di mana
iloprost lebih stabil dibandingkan PGE1 dan PGI2 (Belch, 1996).
7
Gambar 2.3. Flow chart management Raynauds phenomenon (Belch, 1996)
8
Komponen paling penting HBOT adalah meningkatkan jumlah oksigen terlarut dalam plasma dan
jaringan. Menempatkan pasien di ruang hiperbarik tidak memiliki efek fisiologis lain yang dikenal. Namun,
ada beberapa reaksi tubuh terhadap peningkatan oksigen, dan efek dari oksigen tekanan tinggi mirip dengan
efek obat tertentu (misalnya, dapat memblok peroksidasi lipid atau menyebabkan neovaskularisasi)
(Kindwall, 1992).
Ketika ada restriksi (oklusi) dalam aliran darah karena operasi, penyakit, atau cedera, sel-sel darah
merah memblokir pembuluh darah dan tidak dapat mentransfer oksigen ke sel-sel di sisi lain dari oklusi. Hal
ini menyebabkan pembengkakan dan kekurangan oksigen, menyebabkan hipoksia dan jaringan akan mulai
rusak.
Gambar 2.4.
Aliran darah yang
terhambat oleh restriksi
(www.hyperbaricmedicalcenter.com, 2012).
Menghirup oksigen 100% di bawah tekanan menyebabkan oksigen untuk berdifusi ke dalam plasma
darah. Plasma kaya oksigen ini mampu perjalanan melewati daerah restriksi, menyebarkan oksigen hingga 4
kali lebih jauh ke dalam jaringan. Lingkungan bertekanan membantu mengurangi pembengkakan dan
ketidaknyamanan, sambil memberikan tubuh dengan setidaknya 10 kali pasokan normal oksigen untuk
membantu memperbaiki jaringan yang rusak akibat oklusi asli atau kondisi hipoksia berikutnya
(www.hyperbaricmedicalcenter, 2012).
Gambar 2.5. Oksigenasi hiperbarik di dalam aliran darah
HBOT juga memediasi peningkatan nitrit okside (NO) (Boykin, Baylis 2007). NO menyebabkan efek
vasodilatasi langsung
maupun tidak langsung dengan cara
menghambat agen
vasokonstriktor seperti
angiotensin II
(www.cvphysiology.com,
2008). Sehingga diameter pembuluh
9
darah akan lebih besar.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Terapi oksigen hiperbarik dapat dimanfaatkan sebagai salah satu pilihan terapi dari Raynauds
syndrome. Manfaatnya antara lain adalah meningkatkan sirkulasi lokal, oksigenasi dan metabolisme sel,
meningkatkan kontrol saraf dan pembuluh darah sehingga mengurangi serangan, meningkatkan toleransi
suhu dingin dan serangan Raynaud, mengurangi mati rasa dan kesemutan, mengurangi kemungkinan
trombosis dengan mengurangi kekentalan darah, mengurangi efek iskemia (aliran darah rendah) dengan
meningkatkan transportasi oksigen, serta mengurangi kejadian ulkus maupun gangren.
3.2 Saran
Bagi penderita Raynauds syndrome, sebaiknya:
1. Selalu melindungi kedua tangan dan kaki pada cuaca dingin. Syal, topi, pakaian berlapis dapat
dipakai untuk menjaga kehangatan wajah dan suhu tubuh.
2. Menghentikan kebiasaan merokok.
3. Makan dan minum dapat membantu menjaga kehangatan tubuh. Cobalah untuk mengkonsumsi
makanan-makanan ringan untuk mempertahankan energi. Makanan dan minuman hangat juga sangat
penting, terutama pada cuaca dingin.
4. Latihan ringan akan dapat membantu sirkulasi tetapi jangan sampai jari-jari tangan dan kaki
kedinginan. Pada cuaca dingin, lakukan latihan indoor.
10