Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tekanan intrakompartemen adalah faktor yang sangat penting untuk
menjamin kelangsungan vaskularisasi dan oksigenasi jaringan di dalam
suatu kompartemen tertutup. Tekanan kompartemen yang tinggi melebihi
nilai ambang yang dapat di toleransi maka akan menyebabkan gangguan
vaskularisasi dan oksigenasi. Pada keadaan yang normal kompartemen
tungkai bawah mempunyai tekanan < 10 mmHg.
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan tekanan intertisial di dalam ruang yang terbatas, yaitu di dalam
kompartemen osteofasial yang tertutup. Di mana ruangan tersebut berisi
otot, saraf dan pembuluh darah. Ketika tekanan intrakompartemen
meningkat, perfusi darah ke jaringan akan berkurang dan otot di dalam
kompartemen akan iskemik. Secara tegas, saat sindrom kompartemen tidak
teratasi maka tubuh akan mengalami nekrosis jaringan, gangguan fungsi
yang permanen dan jika semakin berat dapat terjadi gagal ginjal dan
kematian.
Pada tahun 1872 Richard Von Volkmann mempublikasikan mengenai
fraktur suprakondilar akan diikuti oleh trauma pada syaraf dan kontraktur
akibat sindrom kompartemen. Walaupun fraktur pada tulang panjang
merupakan penyebab tersering dari sindrom kompartemen trauma lain juga
dapat menyebabkan terjadinya sindrom kompartemen. Kregor PJ, dkk
dalam penelitian terhadap 31 penderita sindrom kompartemen kruris,
menemukan penyebab terbanyak adalah fraktur tibia dengan 19 fraktur
tertutup dan 21 fraktur terbuka (17 fraktur plateau, 13 fraktur batang tibia
dan 1 fraktur fibula). Sedangkan Mc Queen MM dan Court Brown CM
menemukan 1 kasus sindrom kompartemen akut kruris pada 12 jam pertama
dan 2 kasus pada 12 jam kedua akibat fraktur tibia. Sedangkan di Indonesia
belum terdapat data yang pasti mengenai sindrom kompartemen.

1
Adapun lokasi yang dapat mengalami sindrom kompartemen adalah di
bagian lengan bawah, lengan atas, perut, pantat dan seluruh ekstremitas
bagian bawah. Hampir semua cedera dapat menyebabkan sindrom
kompartemen, termasuk cedera akibat olahraga berat.
Gambaran klinis sindrom kompartemen seringkali tidak begitu jelas.
Selama ini untuk mendiagnosis sindroma kompartemen hanya berdasarkan
gejala klinis, yaitu 5 P (pain, pallor, pulselessness, paresthesia, paralysis).
Dimana pallor dan pulselessness terjadi hanya pada keadaan ekstem, yaitu
setelah otot dalam kompartemen berada pada stadium akhir iskemia. Denyut
nadi perifer biasanya teraba kecuali disertai cedera arteri. Paralysis juga
terjadi pada stadium akhir dari sindrom kompartemen, dimana kemungkinan
pemulihan aktifitas otot tinggal 13%. Gejala yang mungkin adalah nyeri
dan parestesi, dimana gejala tersebut tidak proporsional. Pengukuran
tekanan intrakompartemen secara kontinyu dapat menjadi acuan untuk
mengetahui onset timbulnya tekanan maksimal, sehingga dapat
meningkatkan kewaspadaan terhadap tanda-tanda timbulnya sindrom
kompartemen yaitu bila tekanan > 30 mmHg. Adapun tujuan dari terapi
sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan
mengembalikan aliran darah lokal, biasanya dengan pembedahan
(fasciotomi). Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik,
namun beberapa hal seperti timing, masih diperdebatkan.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas adapun rumusan masalah sebagai
berikut :
a. Apakah definisi sindrome kompartemen ?
b. Apakah etiologi sindrome kompartemen ?
c. Apakah klasifkasi dari sindrome kompartemen ?
d. Bagaimana patofisiologi sindrome kompartemen ?
e. Apa saja manifestasi klinis sindrome kompartemen ?
f. Apa saja komplikasi sindrome kompatemen ?

2
g. Apa saja pemeriksaan penunjang pada sindrome kompartemen ?
h. Bagaimana penatalaksanaan sindrome kompartemen ?
i. Bagaimana asuhan keperawatan sindrome kompatemen ?

C. TUJUAN
a. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan pada klien dengan
sindrome kompartemen.
b. Tujuan Khusus
Mahasiswa dapat menjelaskan tentang :
1. Definisi sindrome kompartemen.
2. Etiologi sindrome kompartemen.
3. Klasifikasi sindrome kompartemen.
4. Patofisiologi sindrome kompartemen.
5. Manifestasi sindrome kompartemen.
6. Komplikasi sindrome kompartemen.
7. Pemeriksaan penunjang pada sindrome kompartemen.
8. Penatalaksanaan sindrome kompartemen.
9. Asuhan keperawatan pada pasien sindrome kompartemen.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI
Menurut Salter, Compartment syndrome adalah peningkatan tekanan
dari suatu edema progresif di dalam kompartemen osteofasial yang kaku
pada lengan bawah maupun tungkai bawah (di antara lutut dan pergelangan
kaki) yang secara anatomis menggangu sirkulasi otot-otot dan saraf-saraf
intrakompartemen sehingga dapat menyebabkan kerusakkan jaringan
intrakompartemen.(1)
Menurut Michael S. Bednar et al, compartment syndrome adalah
kondisi yang terjadi karena peningkatan tekanan di dalam ruang anatomi
yang sempit, yang secara akut menggangu sirkulasi dan yang kemudian
dapat menggangu fungsi jaringan di dalam ruang tersebut.(2)
Menurut Stephen Wallace dan 1, compartment syndrome adalah
syndrome yang ditandai dengan gejala 7P yaitu pain (nyeri), paresthesi,
pallor (pucat), puffiness (kulit yang tegang), pulselessness (hilangnya
pulsasi), paralisis, dan poikilotermis (dingin).(1,3)
Menurut Andrew L. chen, diagnosis compartment syndrome dapat
ditegakkan jika pada pemeriksaan ditemukan tekanan intrakompartemen
yang meningkat di atas 45 mmHg atau selisihnya dengan tekanan diastolik
kurang dari 30 mmHg.(4)
Dapat disimpulkan bahwa compartment syndrome adalah sindrom
yang disebabkan oleh peningkatan tekanan dari suatu edema progresif di
dalam kompartemen osteofasial yang kaku pada lengan bawah maupun
tungkai bawah (di antara lutut dan pergelangan kaki) yang secara anatomis
menggangu sirkulasi otot-otot dan saraf-saraf intrakompartemen sehingga
dapat menyebabkan kerusakan jaringan di dalam kompartemen tersebut dan
pada pemeriksaan ditemukan tekanan intrakompartemen yang meningkat di
atas 45 mmHg atau selisihnya dari tekanan diastolik kurang dari 30 mmHg
serta ditandai dengan tanda dan gejala berupa 7P yaitu pain (nyeri),

4
paresthesi, pallor (pucat), puffiness (kulit yang tegang), pulselessness
(hilangnya pulsasi), paralisis, dan poikilotermis (dingin).

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota
gerak. Kompartemen osteofasial merupakan ruangan yang berisi otot, saraf
dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fasia serta otot-otot
yang masing-masing dibungkus oleh epimisium. Berdasarkan letaknya,
kompartemen terdiri dari beberapa jenis, antara lain:

1. Anggota gerak atas


a. Lengan atas:
1) Kompartemen volar, berisi otot flexor pergelangan tangan dan
jari tangan, nervus ulnar dan nervus median.
2) Kompartemen dorsal, berisi otot ekstensor pergelangan tangan
dan jari tangan, nervus interosseous posterior.
b. Lengan bawah:
1) Kompartemen volar, berisi otot flexor pergelangan tangan dan
jari tangan, nervus ulnar dan nervus median.
2) Kompartemen dorsal, berisi otot ekstensor pergelangan tangan
dan jari tangan, nervus interosseous posterior.
3) Mobile wad, berisi otot ekstensor carpi radialis longus, otot
ekstensor carpi radialis brevis, otot brachioradialis.
c. Wrist joint:
1) Kompartemen I, berisi otot abduktor pollicis longus dan otot
ekstensor pollicis brevis.
2) Kompartemen II, berisi otot ekstensor carpi radialis brevis, otot
ekstensor carpi radialis longus.
3) Kompartemen III, berisi otot ekstensor pollicis longus.
4) Kompartemen IV, berisi otot ekstensor digitorum communis,
otot ekstensor indicis.

5
5) Kompartemen V, berisi otot ekstensor digiti minimi.
6) Kompartemen VI, berisi otot ekstensor carpi ulnaris.

2. Anggota gerak bawah


a. Tungkai atas : terdapat tiga kompartemen, yaitu: anterior, medial
dan posterior.
b. Tungkai bawah (regio cruris):
1) Kompartemen anterior, berisi otot tibialis anterior dan
ekstensor ibu jari kaki, nervus peroneal profunda.
2) Kompartemen lateral, berisi otot peroneus longus dan brevis,
nervus peroneal superfisial.
3) Kompartemen posterior superfisial, berisi otot gastrocnemius
dan soleus, nervus sural.
4) Kompartemen posterior profunda, berisi otot tibialis posterior
dan flexor ibu jari kaki, nervus tibia.

C. ETIOLOGI
Terdapat berbagai penyebab yang dapat meningkatkan tekanan
jaringan lokal yang kemudian memicu timbulnya sindrom kompartemen,
tetapi terdapat 3 mekanisme yang seringkali mendasari terjadinya sindrom
kompartemen, yaitu :
a. Peningkatan akumulasi cairan dalam ruangan kompartemen.
Merupakan mekanisme yang paling sering menyebabkan sindroma
kompartemen. Hal ini dapat disebabkan oleh :
- Fraktur, terutama fraktur tibia merupakan penyebab yang paling
sering menyababkan peningkatan akumulasi cairan dalam ruangan
kompartemen.
- Cedera pada pembuluh darah besar, dapat menyebabkan sindroma
kompartemen melalui 3 mekanisme yaitu :
o Perdarahan yang masuk ke dalam ruang kompartmen.

6
o Sumbatan partial pada pembuluh darah tanpa disertai adanya
sirkulasi kolateral yang adekuat.
o Pembengkakan post iskemia bila perbaikan arteri dan sirkulasi
tertunda lebih dari 6 jam.
- Olahraga berat, dapat menyebabkan sindroma kompartemen akut
dan kronik. Seringkali dihubungkan dengan nyeri pada
kompartemen anterior pada tungkai.
- Luka bakar, selain dapat menyebabkan penyempitan ruang
kompartemen. Luka bakar juga dapat meningkatkan akumulasi
cairan dalam ruang kompartemen dengan timbulnya edema yang
massif.
Penyebab lain akumulasi cairan adalah perdarahan akibat pemeberian
antikoagulan, infiltrasi cairan dalam ruang kompartemen, gigitan ular
dan lain lain.
b. Menyempitnya ruang kompartemen.
- Jahitan tertutup pada fascia, sering terjadi pada atlit marathon
dengan hernia otot serta kerusakan fascia. Hernia biasanya bilateral
dan berkembang pada 1/3 tungkai bawah pada kompartemen
anterior dan lateral. Selama ini seringkali dilakukan jahitan ketat
pada hernia otot yang mengalami kerusakan fascia. Hal ini
mengakibatkan terjadinya pengurangan volume kompartemen dan
meningkatkan tekanan intra kompartemen sehingga menimbulkan
sindroma kompartemen akut.

- Luka bakar derajat tiga, luka bakar mengurangai ukuran


kompartemen dan menimbulkan jaringan parut pada kulit, jaringan
subkutan dan fascia menjadi satu.
c. Tekanan dari luar
- Intoksikasi obat, ketidak sadaran akibat penggunaan obat yang
overdosis dapat sindroma kompartemen bila orang tersebut
berbaring dengan tungkai terjepit. Tertekannya lengan serta

7
tungkai menghasilkan peningkatan tekanan intra kompartemen
lebih dari 50 mmHg.
- Penggunaan gips yang terlalu ketat, hal ini dapat menimbulkan
tekanan eksternal dikarenakan membatasi perkembangan dari
kompartemen.

D. KLASIFIKASI
Sindroma kompartemen dibagi menjadi 2 tipe, yaitu :
a. Sindrom Kompartemen Akut
Sindroma kompartemen akut merupakan suatu tanda kegawatan
medis. Ditandai dengan pembengkakan dan nyeri yang terjadi dengan
cepat. Tekanan dalam kompartemen yang meningkat dengan cepat
dapat menyebabkan tekanan pada saraf, arteri dan vena sehingga tanpa
penanganan yang tepat akan terjadi paralisis, iskemik jaringan bahkan
kematian. Penyebab umum terjadinya sindroma kompartemen akut
adalah fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan pada arteri dan luka
bakar.
b. Sindrom Kompartemen Kronik
Sindroma kompartemen kronik bukan merupakan suatu
kegawatan medis dan seringkali dikaitkan dengan nyeri ketika
aktivitas olahraga. Ditandai dengan meningkatnya tekanan
kompartemen ketika melakukan aktivitas olahraga. Gejala ini dapat
hilang dengan hanya menghentikan aktivitas olahraga. Penyebab
umum sindroma kompartemen kronik biasa terjadi akibat melakukan
aktivitas berulang ulang, misalnya pelari jarak jauh, pemain basket,
sepak bola dan militer.

E. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari compartment syndrome terdiri dari dua
kemungkinan mekanisme, yaitu: berkurangnya ukuran kompartemen
dan/atau bertambahnya isi dari kompartemen tersebut. Kedua mekanisme

8
tersebut sering terjadi bersamaan, ini adalah suatu keadaan yang
menyulitkan untuk mencari mekanisme awal atau etiologi yang sebenanya.
Edema jaringan yang parah atau hematom yang berkembang dapat
menyebabkan bertambahnya isi kompartemen yang dapat menyebabkan
atau memberi kontribusi pada compartment syndrome.
Tidak seperti balon, fasia tidak dapat mengembang, sehingga
pembengkakan pada sebuah kompartemen akan meningkatkan tekanan
dalam kompartemen tersebut.
Ketika tekanan di dalam kompartemen melebihi tekanan darah di
kapiler, pembuluh kapiler akan kolaps. Hal ini menghambat aliran darah ke
otot dan sel saraf. Tanpa suplai oksigen dan nutrisi, sel-sel saraf dan otot
akan mengalami iskemia dan mulai mati dalam waktu beberapa jam.
Iskemia jaringan akan menyebabkan edema jaringan. Edema jaringan di
dalam kompertemen semakin meningkatkan tekanan intrakompartemen
yang menggangu aliran balik vena dan limfatik pada daerah yang cedera.
Jika tekanan terus meningkat dalam suatu lingkaran setan yang semakin
menguat maka perfusi arteriol dapat terganggu sehingga menyebabkan
iskemia jaringan yang lebih parah.

9
10
F. MANIFESTASI KLINIS
Pada kompartemen sindrom, didapatkan tanda dan gejala yang dikenal
dengan 7P, yaitu:
a. Pain (nyeri) sering dilaporkan dan hampir selalu ada. Biasanya
digambarkan sebagai nyeri yang berat, dalam, terus-menerus, dan
tidak terlokalisir, serta kadang digambarakan lebih parah dari cedera
yang ada. Nyeri ini diperparah dengan meregangkan otot di dalam
kompartemen dan dapat tidak hilang dengan analgesik bahkan morfin.
Penggunaan analgesia kuat yang tidak beralasan dapat menyebabkan
masking pada iskemia kompartemental.
b. Paresthesia (kesemutan) biasanya terjadi ketika diawal terjadinya
kompartemen sindrom karena penekanan pada saraf dan pembuluh
darah di dalam kompartemen.
c. Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf
yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena
kompartemen sindrom.
d. Pulselessness: catatan bahwa hilangya pulsasi jarang terjadi pada pasien,
hal ini disebabkan tekanan pada kompartemen syndrome jarang
melebihi tekanan arteri.
e. Pallor (pucat) dikarenakan terjadinya penurunan perfusi ke dalam daerah
kompartemen.
f. Puffiness atau kulit yang tegang, bengkak, dan terlihat mengkilat
g. Poikilotermia (kulit terasa dingin)

G. KOMPLIKASI
Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan
segera akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain :
1. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen
2. Kontraktur volkam, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh
terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul

11
deformitas pada tanga, jari dan pergelangan tangan karena adanya
trauma pada lengan bawah
3. Trauma vascular
4. Gagal ginjal akut
5. Sepsis
6. Acture respiratory distress syndrome (ARDS)

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium
a. Comprehensive Metabolic Panel (CMP)
Sekelompok tes darah yang memberikan gambaran keseluruhan
keseimbangan kimia tubuh dan metabolisme. Metabolisme mengacu
pada semua proses fisik dan kimia dalam tubuh yang menggunakan
energi.
b. Complete Blood Cell Count (CBC)
Pemeriksaan komponen darah secara lengkap yakni kadar :
Hemoglobin, Hematokrit, Leukosit (White Blood Cell / WBC),
Trombosit (platelet), Eritrosit (Red Blood Cell / RBC), Indeks
Eritrosit (MCV, MCH, MCHC), Laju Endap Darah atau Erithrocyte
Sedimentation Rate (ESR), Hitung Jenis Leukosit (Diff Count),
Platelet Disribution Width (PDW), Red Cell Distribution Width
(RDW).
c. Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT)
bila pasien diberi heparin
d. Cardiac marker test (tes penanda jantung)
e. Urinalisis and urine drug screen
f. Arterial blood gas (ABG): cara cepat untuk mengukur deficit pH,
laktat
g. Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak
membantu dalam menentukan terapi pasiennya.

12
2. Imaging
a. Rontgen pada ekstrimitas yang terkena
b. USG, membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam
memvisualisasi Deep Vein Thrombosis (DVT)
c. MRI

I. PENATALAKSANAAN
Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi
defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah
lokal, melalui bedah dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai
terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih
diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi
neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi.
1. Terapi medikal/ non bedah
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam
bentuk dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:
a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan
ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena
dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat
iskemi.
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka
dan pembalut kontriksi dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat
menghambat perkembangan sindroma kompartemen
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk
darah
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan
manitol dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol
mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali energi
seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis
melalui kemampuan dari radikal bebas.

13
2. Terapi bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai
> 30 mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan
tekanan dengan memperbaiki perfusi otot. Jika tekanannya < 30
mmHg maka tungkai cukup diobservasi dengan cermat dan diperiksa
lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik,
evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi
jika memburuk maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan
dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal
dan insisi ganda. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering
digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi
tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan
arteri dan vena peroneal. Pada tungkai bawah fasciotomi dapat berarti
membuka keempat kompartemen, kalau perlu dengan mengeksisi satu
segmen fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis
otot dapat dilakukan debridemen jika jaringan sehat luka dapat dijahit
( tanpa regangan ) atau dilakukan pencangkokan kulit.
Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi, antara lain :
a. Adanya tanda - tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat.
b. Gambaran klinik yang meragukan dengan resiko tinggi ( pasien
koma, pasien dengan masalah psikiatrik dan dibawah pengaruh
narkoba ), dengan tekanan jaringan > 30 mmHg pada pasien
yang diharapkan memiliki tekanan jaringan yang normal.
Bila ada indikasi operasi dekompresi harus segera dilakukan
karena penundaan akan meningkatkan kemungkinan kerusakan
jaringan intrakompartemen sebagaimana terjadinya komplikasi.
Waktu adalah inti dari diagnosis dan terapi sindrom kompartemen.
Kerusakan nervus permanen mulai setelah 6 jam terjadinya hipertensi
intrakompartemen. Jika dicurigai adanya sindrom kompartemen,

14
pengukuran dan konsultasi yang diperlukan harus segera dilakukan
secepatnya.
Beberapa teknik telah diterapkan untuk operasi dekompresi
untuk semua sindrom kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan tanpa
torniket untuk mencegah terjadinya periode iskemia yang
berkepanjangan dan operator juga dapat memperkirakan derajat dari
sirkulasi lokal yang akan didekompresi. Setiap yang berpotensi
mambatasi ruang termasuk kulit dibuka di sepanjang daerah
kompartemen, semua kelompok otot harus lunak pada palpasi setelah
prosedur selesai. Debridemen otot harus seminimal mungkin selama
operasi dekompresi kecuali terdapat otot yang telah nekrosis.

15
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian Primer
Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawatdarurat sangat
tergantung dari kecepatann dan ketepatan dalaam memberikan
pertolongan. Semakin cepat pasien di temukan maka semakin cepat pula
pasien tersebut mendapakan pertolongan sehingga terhindar dari
kecacatan atau kematian.
Pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera masalah
actual / dari kondisi life threatening ( berdampak terhadap kemampuan
pasien untuk mempertahankan hidup ). Pengkajian tetap berpedoman pada
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal tersebut memungkinkan.
Priorotas penilaian dilakukan berdasarkan :
a. Circulation
Sirkulasi yang adekuat menjamin distribusi oksigen ke jaringan
dan pembuangan karbondioksida sebagai sisa metabolisme. Sirkulasi
tergantung dari fungsi sistem kardiovaskuler.
Denyut nadi karotis
Tekanan darah
Warna kulit, kelembaban kulit
Bagaimana perubahan tingkat kesadaran
Bagaimana capillary refill time

b. Airway
Selama memeriksa jalan nafas harus melakukan kontrol servikal,
barangkali terjadi trauma pada leher. Oleh karena itu langkah awal
untuk membebaskan jalan nafas adalah dengan melakukan manuver
head tilt dan chin lift. Data yang berhubungan dengan status jalan
nafas :
Sianosis (mencerminkan hipoksemia)

16
Retraksi interkosta (menandakan peningkatan upaya nafas)
Pernafasan cuping hidung
Bunyi nafas abnormal (menandakan ada sumbatan jalan nafas)
Tidak ada hembusan udara (menandakan obstruksi jalan nafas atau
henti nafas)

c. Breathing
Kebersihan jalan nafas tidak menjamin bahwa pasien dapat
bernafas secara adekwat. Inspirasi dan eksprasi penting untuk
terjadinya pertukaran gas, terutama masuknya oksigen yang diperlukan
untuk metabolisme tubuh. Inspirasi dan ekspirasi merupakan tahap
ventilasi pada proses respirasi.
Bersikan jalan nafas
Adanya / tidakknya sumbata jalan nafas
Distress pernafasan
Tanda tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring
d. Defribrilator
Defribrilator adalah simulasi detak jantung yang menggunakan
listrik tegangan tinggi untuk memulihkan korban serangan jantung.
Eksternal defribrilator dapat digunakan dengan cara diimplan ataupun
ditanam dalam tubuh ataupun dapat digunakan sebagai alat eksternal
biasa.
DC syok adalah memberikan tindakan arus listrik searag dengan
otot jantung melalui dinsing dada dengan menggunakan defribrilator.
Kardioversi adalah alat yang digunakan untuk memantau gambaran
irama jantung. Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan takikardi
supraventrikal dan ventrikel nadi teraba, energy yang diperlukan 100,
200, 300, dan 360 joule.
e. Exposure control
Kaji adanya tanda tanda trauma

17
Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder dilakukan setelah masalah airway, breathing,
dan circulation yang ditemukan pada pengkajian primer diatas. Pengkajian
sekunder meliputi pengkajian objektif, dan subjektif dan riwayat
keperawatan ( riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu,
riwayat pengobatan, riwayat keluarga ) dan pengkajian secara head to toe
f. Fahrenheit
Kaji :
Suhu tubuh
Suhu lingkungan
g. Get Vital Sign
Kaji :
Tekanan Darah
nadi
suhu
respirasi
h. Head to toe
Identitas Klien
Identitas klien yaitu terdiri dari nama, tanggal lahir, umur, jenis
kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, dan alamat.
Riwayat penyakit
1. Keluhan utama dan alasan klien ke rumah sakit
2. Lamanya waktu kejadian sampai dengan dibawah ke rumah
sakit
3. Riwayat penyakit lain yang pernah dialami / operasi
4. Faktor resiko keluarga contoh. Penyakit jantung, stroke,
hipertensi
5. Riwayat IM sebelumnya, kardiomiopati, GJK, penyakit katup
jantung, hipertensi
6. Penggunaan obat digitalis

18
7. Riwayat keluarga yang mengalami penyakit yang sama dengan
klien
Aktivitas
Gejalah : kelemahan, kelelahan umum, dank arena kerja
Tanda : perubahan frekuenzi jantung / TD dengan aktivitas /
olaraga
Integritas Ego
Gejala : perasaan gugup, perasaan terancam, stressor
sehubungan dengan masalah medik.
Tanda : cemas, takut, menolak, marah, gelisah, menangis
Makanan / cairan
Gejala : hilang nafsu makan, anoreksia, tidak toleran terhadap
makanan, mual / muntah, perubahan berat badan.
Tanda : perubahan berat badan, edema, perubahan pada
kelembaban kulit / turgor, pernapasan krekels.
Neurosensori
Gejala : pusing, berdenyut, sakit kepalah
Tanda : status mental / sensori berubah, perubahan perilaku,
perubahan pupil.
Nyeri / ketidaknyamanan
Gejala : nyeri dada, ringan sampai berat. Dimana dapat atau
tidak bisa dihilangkan dengan obat anti angina.
Tanda : perilaku distraksi.
Pengkajian kepalah, leher, wajah
1. periksa wajah, adakah luka dan laserasi, perubahan tulang
wajah dan jaringan lunak, adakah perdarahan serta benda asing.
2. Periksa mata, telinga, hidung, mulut.
3. Amati bagian kepala, adakah depresi tulang kepalah, tulang
wajah.
4. Kaji adaya kaku leher.
Pengkajian dada

19
1. Pergerakan dinding dada anterior dan posterior
2. Amati penggunaan otot bantu nafas
3. Penyakit paru kronis
4. Nafas pendek
Tanda : perubahan kecepatan / kedalaman pernapasan selama
periode distritmia
Sirkulasi
Gejala : riwayat IM sebelumnya akut 90 % - 95 % ,
kardiomiopati, GJK, penyakit katup jantung, hipertensi.
Tanda : nadi mungkin tidak teratur, bunyi jantung irama tidak
teratur.
Abdomen Dan Pelvis
Hal hal yang dikaji pada abdomen dan pelvis
1. Struktur tulang dan keadaan dinding abdomen
2. Tanda tanda adanya jejas
3. Massa : besarnya, lokasi, dan mobilitas
4. Nadi femoralis, nyeri abdomen, bising usus, distensi abdomen
Ekstremitas
Pengkajian di ekstremitas meliputi : tanda tanda injuri eksternal,
pergerakan dan kekuatan otot ekstremitas, sensasi keempat anggota
gerak, warna kulit, denyut nadi perifer.
Tanda : demam, kemerahan kulit, inflamasi, eritema, edema,
kehilangan tonus otot.
Tulang belakang
1. Deformitas tulang belakang, tanda tanda perdarahan, laserasi,
jejas, luka.
2. Palpasi deformitas tulang belakang.
i. Inspeksi posterior surface
Dikaji jika ada yang mengalami cedera pada bagian punggung.

20
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri akut b.d adanya peningkatan tekanan dalam kompartemen.
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan suplai O2 ke
jaringan.
c. Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri, ketidaknyamanan, penurunan
kekuatan otot.
d. Ansietas b.d Kurang Pengetahuan mengenai penyakit
e. Resiko infeksi b.d luka insisi ( post op )
f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
penurunan nafsu makan, rasa tidak nyaman ( nyeri ).

C. INTERVENSI
Diagnosa 1 : Nyeri akut b.d adanya peningkatan tekanan dalam
kompartemen.
Tujuan : Nyeri teratasi / berkurang.
kriteria hasil : Memperlihatkan pengendalian nyeri, yang
dibuktikan oleh indikator sebagai berikut ( sebutkan
1 5 : tidak pernah, jarang, kadang kadang, sering,
atau selalu ) :
- Mengenali awitan nyeri
- Menggunakan tindakan pencegahan
- Melaporkan nyeri dapat dikendalikan
Intervensi Rasional
1 Kaji ekspresi non verbal klien yang Klien yang mengalami nyeri
menunjukkan ketidaknyamanan sensitif, cenderung cemas.

2 Kaji nyeri secara PQRST Nyeri merupakan respon subjektif,


yang dapat dikaji menggunakan
skala nyeri dan sebagai tndak
lanjut penanganan.
3 atur posisi yang nyaman untuk Posisi yang nyaman dapat

21
istirahat pasien. mengurangi rangsangan / stimulus
eksternal nyeri.
4 Anjurkan klien untuk istirahat Istirahat dapat merelaksasikan
semua jaringan sehingga dapat
meningkatkan kenyamanan
5 Ajarkan teknik relaksasi dan Teknik ini dapat melancarkan
distraksi. peredaran darah sehingga
oksigenasi jaringan terpenuhi dan
dapat mengalikan perhatian pasien
terhadap nyeri sehingga nyeri akan
berkurang.
6 Kolaborasi pemberian analgetik. Analgetik dapat memblok lintasan
nyeri sehingga nyeri akan
berkurang.

Diagnosa 2 : Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d


penurunan suplai O2 ke jaringan.
Tujuan : Ketidakefektifan perfusi jaringan teratasi.
kriteria hasil : Menunjukan status sirkulasi yang dibuktikan oleh
indikator berikut ( sebutkan 1 5 : gangguan
ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak mengalami
penyimpangan dari rentang normal) :
- Nadi brachialis, radialis, femoralis dan pedalis.
- Tekanan darah siastolik dan diastolik.
Intervensi Rasional
1 Monitor tanda tanda vital seperti Mengupayakan TTV pasien tetap
suhu, tekanan darah, nadi, dan stabil
pernafasan
2 Kaji tanda homan ( nyeri pada betis Indikator trombosis vena.
dengan posisi dorsofleksi ).

22
4 Anjurkan klien untuk istirahat Istirahat dapat meningkatkan
pasokan O2 ke jaringan sehingga
kebutuhan oksigenasi jaringan
terpenuhi.

Diagnosa 3 : Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri,


ketidaknyamanan, penurunan kekuatan otot.
Tujuan : Klien mampu beraktivitas sesuai kemampuannya.
kriteria hasil : Memperlihatkan mobilitas yang dibuktikan oleh
indikator berikut ( sebutkan 1 5 : gangguan
ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak mengalami
gangguan ) :
- Keseimbangan
- Koordinasi
- Peforma posisi tubuh
- Pergerakan sendi dan otot
- Berjalan
- Bergerak dengan mudah
Intervensi Rasional
1 Observasi aktvitas yang mampuh Memudahkan dalam menentukan
dilakukan pasien. intervensi serta mengetahui
seberapa jauh tngkat toleransi
pasien.
2 Bantu klien untuk mendapatkan alat Alat bantu dapat mempermudah
bantu aktivitas seperti kursi roda. aktvtas klien.
3 Anjurkan keluarga untuk Motvasi kepada pasen dapat
memberikan motivasi diri dan meningkatkan derajat kesehatan.
penguatan kepada pasien.
4 Berikan atau bantu pasien untuk Dapat meningkatkan kemampuan
melakukan latihan rentang gerak pasien dalam melakukan rentang

23
pasif dan aktif. gerak pasif atau aktif.
5 Kolaborasi dengan ahli fisioterapi Pemilhan program terapi yang
untuk lathan fisik klien. tepat dapat meningkatkan derajat
kesehatan pasien.

Diagnosa 4 : Ansietas b.d Kurang Pengetahuan mengenai


penyakit
Tujuan : Rasa cemas klien akan berkurang / hilang
kriteria hasil : Menunjukan pengendalian diri terhadap ansietas,
yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (
sebutkan 1-5 : tidak pernah, jarang, kadang-kadang,
sering atau selalu ) :
- Merencanakan strategi koping untuk situasi
penuh tekanan.
- Mempertahankan peforma peran.
- Memantau distorsi persepsi sensori.
- Memantau manifestasi perilaku ansietas.
- Menggunakan teknik relaksasi untuk meredahkan
ansietas.
Intervensi Rasional
1 Observasi tingkat kecemasan klien : Beberapa rasa cemas didasari oleh
rencanakan penyuluhan bila informasi yang tidak akurat dan
tingkatnya rendah atau sedang. dapat dihilangkan dengan
memberikan informasi akurat.
2 Bantu klien untuk mengurangi Klien yang cemas mempunyai
kecemasannya. lapang persepsi dengan penurunan
kemampuan untuk belajar.
3 Libatkan keluarga dalam proses Peran serta keluarga sangat
keperawatan membantu dalam penentuan
koping.

24
4 Instruksikan klien untuk Teknik relaksasi dapat membantu
menggunakan teknik relaksasi. menurunkan tngkat atau derajat
kecemasan.
5 Berikan support sistem ( perawat, Dukungan dari beberapa orang
keluarga, teman dekat, dan yang mempunyai pengalaman yang
pendekatan spiritual ) sama akan sangat membantu klien.

Diagnosa 5 : Resiko infeksi b.d luka insisi ( post op )


Tujuan : Resiko infeksi dapat diminimalisir.
kriteria hasil : faktor resiko infeksi akan hilang, dibuktikan
dengan pengendalian resiko komunitas. Pasien dan
keluarga akan terbebas dari tanda dan gejala infeksi.
Intervensi Rasional
1 Observasi tanda tanda vital dan Klien biasanya masuk dengan
inflamasi. infeksi yang telah mencetuskan
keadaan atau mengalami infeksi
nosokomial
2 Lakukan tindakan aseptik sebelum Meminimalisir tngkat terjadinya
dan sesudah melakukan tindakan infeksi silang, yaitu dari perawat ke
pada pasien. pasien atau pasien ke perawat.
3 Anjurkan kelurga dan pengunjung Dapat mengurangi / mencegah
untuk melakukan tindakan cuci timbulnya infeksi.
tangan yang benar sebelum
bersentuhan dengan pasien.
4 Batasi pengunjung bila perlu. Untuk mencegah tmbulnya infeksi,
serta dapat meningkatkan waktu
istirahat pasien.

Diagnosa 6 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan


tubuh b.d penurunan nafsu makan, rasa tidak
nyaman ( nyeri ).

25
Tujuan : Nutrisi terpenuhi
kriteria hasil : Memperlihatkan status nutrsi yang dibuktikan oleh
indikator berikut : ( sebutkan 1 5 : gangguan
ekstrem, berat, ringan, sedang, atau tidak ada
penympangan dari rentang normal )
- Asupan gizi
- Asupan makanan
- Aupan cairan
- Energi
Intervensi Rasional
1 Kaji adanya alergi makanan Membantu dalam pemilihan
makanan yang tepat

2 Berikan makan terpilih ( sudah Dapat meningkatkan derajat


dikonsultasikan dengan ahli gizi ) kesehatan serta menghindarkan
dari resiko alergi.
3 Anjurkan klien untuk mengkonsumsi Meminimalisir respon mual dan
makanan selagi hangat. muntah.
4 Kolaborasi dengan ahli gizi dalam Pemberian kalori dan protein
menentukan jumlah kalori dan sesuai kebutuhan dapat
protein yang dbutuhkan pasien. meningkatkan berat badan dan
bebas dar malnutrisi.

D. EVALUASI
a. Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.
b. Tanda tanda vital pasien dalam rentang normal.
c. Klien dapat beraktivitas sesuai kemampuannya.
d. Rasa cemas klien berkurang / hilang.
e. Nutrisi klien terpenuhi

26
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi


peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni
kompartemen osteofasial yang tertutup. Sehingga mengakibatkan
berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan. Terdapat
berbagai penyebab yang dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang
kemudian memicu timbulnya sindrom kompartemen, yaitu: penurunan
volume kompartemen, peningkatan tekanan kompartemen, dan peningkatan
tekanan pada struktur kompartemen. Secara umum terdapat beberapa tanda
dari sindroma kompartemen, yang disingkat menjadi 7P :
1. Pain (nyeri), yang sering ditemukan dan terjadi di awal sindrom.
2. Parestesia, yaitu gangguan pada saraf sensorik.
3. Paralisis, yaitu gangguan motorik yang ditemukan setelah beberapa
waktu.
4. Pallor, yaitu pucat pada kulit akibat berkurangnya suplai darah.
5. Pulselessness, yaitu kehilangan denyut arteri.
6. Puffiness atau kulit yang tegang, bengkak, dan terlihat mengkilat
7. Poikilotermia (kulit terasa dingin)
Cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan teknik fasciotomi, yaitu
suatu tindakan operatif untuk membebaskan cairan yang terperangkap di
dalam kompartemen. Selain melalui gejala dan tanda yang timbul,
penegakan diagnosa sindrom kompartemen dilakukan dengan pengukuran
tekanan kompartemen. Dimana tindakan fasciotomi dilakukan jika tekanan
intrakompartemen mencapai > 30 mmHg. Jika tekanannya < 30 mm Hg
maka tungkai cukup diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-
jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik, evaluasi terus dilakukan

27
hingga fase berbahaya terlewati. Prognosis bisa baik sampai dengan buruk,
tergantung seberapa cepat penanganan dari sindrom kompartemen.

B. SARAN
Petugas kesehatan hendaknya mampu menegakkan diagnosis secara
tepat dan dapat mengambil keputusan untuk segera menindak lanjuti dimana
seseorang di diagnosa menderita sindroma kompartemen.

28
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, arif.2008.asuhan keperawatan klien dengan gangguan muskuloskeletal.


Jakarta : Salemba Medika.
Wilkinson, M Judith. 2017. Diagnose Keperawatan. Jakarta : EGC
Salter R B. 1999. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal
System; edisi ke-3. Maryland: Lippincott Williams & Wilkins
Paula Richard. Compartment syndrome, extremity. Available at
http://www.emedicine.com. Accessed on September 26th 2017.

29

Anda mungkin juga menyukai