Anda di halaman 1dari 16

Referat

KORTIKOSTEROID SISTEMIK DALAM DERMATOLOGI

Disusun Oleh:
Nadya Aviodita, S.Ked
04084821719200

Pembimbing:
dr. Mutia Devi, Sp.KK, FINSDV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEROLOGI


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017

i
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
Kortikosteroid Sistemik Dalam Dermatologi

Oleh :
Nadya Aviodita, S.Ked 04084821719200

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Dermatologi dan Venerologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang Periode 28
Agustus 01 Oktober 2017.

Palembang, September 2017

dr. Mutia Devi, Sp.KK. FINSDV

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Kortikosteroid Sistemik Dalam
Dermatologi sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di
Departemen Dermatologi dan Venerologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Mutia
Devi, Sp.KK, FINSDV selaku pembimbing yang telah membantu penyelesaian
referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dokter
muda dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat kami harapkan. Demikianlah penulisan laporan ini,
semoga bermanfaat.

Palembang, September 2017

Penulis

3
KORTIKOSTEROID SISTEMIK DALAM DERMATOLOGI
Nadya Aviodita, S.Ked
dr. Mutia Devi, Sp.KK, FINSDV
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2017

PENDAHULUAN
Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang dihasilkan korteks adrenal.
Hormon ini dapat memengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot,
resistensi tubuh dan berperan penting pada tubuh dalam mengontrol respon
inflamasi.1 Kortikosteroid terbagi menjadi glukokortikoid (steroid yang memiliki
efek pada metabolisme dan fungsi imun) dan mineralokortikoid (steroid yang
memiliki aktivitas meretensi garam). Kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi,
imunosupresif, antiproliferatif, dan efek vasokonstriksi.2,3,4
Kortikosteroid dibagi menjadi dua, yaitu kortikosteroid topikal dan
kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid topikal digunakan pada berbagai penyakit
dermatologi, seperti dermatitis atopik, psoriasis, dan eritematous lupus diskoid.
Kortikosteroid sistemik digunakan pada kasus dermatologi, seperti pemfigus
vulgaris, dermatitis berat, sindroma Steven Johnson, dan nekrosis epidermal
toksik.3,4,5
Manfaat kortikosteroid sangat bervariasi, namun perlu dipertimbangkan
efek samping dari penggunaan obat ini. Penggunaan kortikosteroid cukup aman
dalam jangka pendek, tetapi akan menimbulkan efek samping jika digunakan
dalam jangka panjang. Efek samping dari penggunaan kortikosteroid sering terjadi
pada penggunaan lebih dari dua pekan.4,6
Referat ini bertujuan untuk mengetahui mengenai penggunaan obat
kortikosteroid sistemik sehingga dapat mengaplikasikan obat ini secara tepat dan
meminimalisir efek samping yang akan timbul.

DEFINISI

1
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di
bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon
adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini
berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap
stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme
karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.7
Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks dan medulla,
sedangkan bagian korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu fasikulata dan
glomerulosa. Zona fasikulata mempunyai peran yang lebih besar dibandingkan
zona glomerulosa. Zona fasikulata menghasilkan 2 jenis hormon yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Golongan glukokortikoid adalah
kortikosteroid yang efek utamanya terhadap penyimpanan glikogen hepar dan
khasiat anti-inflamasinya nyata, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air
dan elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol
dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alam. Terdapat juga glukokortikoid
sintetik, misalnya prednisolon, triamsinolon, dan betametason.3,8
Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya
terhadap keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan
deplesi K, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat
kecil. Oleh karena itu mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Prototip
dari golongan ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak
mempunyai khasiat anti-inflamasi yang berarti, kecuali 9 -fluorokortisol,
meskipun demikian sediaan ini tidak pernah digunakan sebagai obat anti-inflamasi
karena efeknya pada keseimbangan air dan elektrolit terlalu besar.7,8

GLUKOKORTIKOID
Sekitar 95% aktivitas glukokortikoid dari sekresi adrenokortikal merupakan
hasil dari sekresi kortisol, yang dikenal sebagai hidrokortisol. Namun, sejumlah
kecil aktivitas glukokortikoid cukup penting diatur oleh kortikosteron.8
Efek kortisol terhadap metabolisme karbohidrat adalah sebagai berikut:

2
1. Perangsangan glukoneogenesis dengan cara meningkatkan enzim terkait dan
pengangkutan asam amino dari jaringan ekstrahepatik, terutama dari otot
2. Penurunan pemakaian glukosa oleh sel dengan menekan proses oksidasi
NADH untuk membentuk NAD+
3. Peningkatan kadar glukosa darah dan Diabetes Adrenal dengan
menurunkan sensitivitas jaringan terhadap insulin.
Efek kortisol terhadap metabolisme protein adalah sebagai berikut:
1. Pengurangan protein sel
2. Kortisol meningkatkan protein hati dan protein plasma
3. Peningkatan kadar asam amino darah, berkurangnya pengangkutan asam
amino ke sel-sel ekstrahepatik, dan peningkatan pengangkutan asam amino ke
sel-sel hati.
Efek kortisol terhadap metabolisme lemak adalah sebagai berikut
1. Mobilisasi asam lemak akibat berkurangnya pengangkutan glukosa ke dalam
sel-sel lemak sehingga menyebabkan asam-asam lemak dilepaskan
2. Obesitas akibat kortisol berlebihan karena penumpukan lemak yang berlebihan
di daerah dada dan kepala, sehingga badan bulat dan wajah moon face,
disebabkan oleh perangsangan asupan bahan makanan secara berlebihan
disertai pembentukan lemak di beberapa jaringan tubuh yang berlangsung lebih
cepat daripada mobilisasi dan oksidasinya.
Selain efek dan fungsi yang terkait metabolisme, kortisol penting dalam
mengatasi stres dan peradangan karena dapat menekan proses inflamasi bila
diberikan dalam kadar tinggi, dengan mekanisme menstabilkan membran lisosom,
menurunkan permeabilitas kapiler, menurunkan migrasi leukosit ke daerah
inflamasi dan fagositosis sel yang rusak, menekan sistem imun sehingga menekan
produksi limfosit, serta menurunkan demam terutama karena kortisol mengurangi
pelepasan interleukin-1 dari sel darah putih. Kortisol juga dapat mengurangi dan
mempercepat proses inflamasi, menghambat respons inflamasi pada reaksi alergi,
mengurangi jumlah eosinofil dan limfosit darah, serta meningkatkan produksi
eritrosit, walaupun mekanismenya yang belum jelas.5,6

3
Hormon glukokortikoid mempunyai mekanisme kerja seluler sebagai
berikut:
1. Hormon masuk ke dalam sel melalui membran sel
2. Hormon berikatan dengan reseptor protein di dalam sitoplasma
3. Kompleks hormon-reseptor kemudian berinteraksi dengna urutan DNA
pengatur spesifik, yang disebut elemen respons glukokortikoid, untuk
membangkitkan atau menekan transkripsi gen
4. Glukokortikoid akan meningkatkan atau menurunkan transkripsi banyak gen
untuk mempengaruhi sintesis mRNA utnuk protein yang memperantarai
berbagai pengaruh fisiologis.

Regulasi kortisol dipengaruhi oleh hormon ACTH yang disekresi oleh


hipofisis. ACTH ini merangsang sekresi kortisol. Sedangkan sekresi ACTH
sendiri diatur oleh CRF/CRH (Corticotropin Releasing Factor/Hormone) dari
hipotalamus. ACTH ini mengaktifkan sel adrenokortikal untuk memproduksi
steroid melalui peningkatan siklik adenosin monofosfat (cAMP). Kortisol ini
apabila berlebih mempunyai umpan balik negatif terhadap sekresi ACTH dan
CRF yang masing-masing mengarah pada hipofisis dan hipotalamus agar sekresi
CRF, ACTH, dan kortisol kembali menjadi normal.7
Berlawanan dengan aldosteron, kortisol pada keadaan tertentu dapat
menyebabkan retensi Na+ dan meningkatkan ekskresi K+, tetapi efek ini jauh lebih
kecil daripada aldosteron. Hal ini disebabkan karena kortisol dapat menambah
kecepatan filtrasi glomeruli; selain itu kortisol juga dapat meningkatkan sekresi
tubuli ginjal.7

KLASIFIKASI KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid terbagi menjadi glukokortikoid dan mineralokortikoid.
1. Glukokortikoid
Glukokortikoid adalah golongan kortikosteroid yang mempunyai efek
utama terhadap penyimpanan glikogen hepar dan sebagai antiinflamasi, tetapi
hanya sedikit berpengaruh pada keseimbangan air dan elektrolit.

4
Glukokortikoid berperan dalam mempertahankan glukosa darah agar adekuat
untuk fungsi otak. Glukokortikoid juga menghasilkan resistensi insulin perifer
yang menghambat penyerapan glukosa oleh berbagai jaringan tubuh. Selain
itu, penyimpanan glikogen di hati ikut meningkat. Tempat penyimpanan lipid
distimulasi untuk mengalami lipolisis sehingga meningkatkan jumlah
trigliserida untuk menghasilkan energi. Contoh glukokortikoid alami adalah
kortisol (hidrokortison). Terdapat juga glukokortikoid sintetik, misalnya
prednisolon dan deksametason. 2,4

2. Mineralokortikoid
Mineralokortikoid adalah golongan kortikosteroid yang efek utamanya
terhadap keseimbangan air dan elektrolit yang menimbulkan efek retensi
natrium dan deplesi kalium. Mineralokortikoid bekerja dengan meningkatkan
reabsorpsi natrium dari bagian tubulus proksimal ginjal dan ekskresi kalium.
Natrium mengalami perpindahan dengan kalium, yang menyebabkan
hipokalemia jika terdapat efek mineralokortikoid berlebihan. ACTH tidak
memiliki kontrol langsung terhadap produksi mineralokortikoid. Mekanisme
kontrol utama mineralokortikoid adalah melalui sistem renin-angiotensin dan
level kalium serum. Contoh mineralokortikoid adalah aldosteron dan
desoksikortikosteron.2,4

MEKANISME KERJA KORTIKOSTEROID


Kortikosteroid masuk secara difusi ke sel target dan berikatan dengan GCR
(glucocorticoid receptor) di dalam sitoplasma. Kompleks ini perlu mengalami
perubahan konformasi. Hasil kompleks aktif melewati kapsul nukleus dan secara
langsung maupun tidak langsung berikatan dengan DNA. Kemudian terjadi
regulasi gen dan transkripsi beberapa mRNA (messeger ribonucleic acid)
spesifik.2,4
1. Efek antiinflamasi
Kortikosteroid menghambat pelepasan phospolipase A2 (enzim yang
berperan untuk pembentukan prostaglandin, leukotrienes, dan derivat jalur

5
asam arakhidonat lainnya). Kortikosteroid juga menghambat faktor
transkripsi, seperti protein 1 aktivator dan faktor inti sel k, yang berperan
dalam aktivasi gen pro-inflamasi.2,3
2. Efek imunosupresif
Kortikosteroid menghambat produksi dan efek faktor humoral yang
berperan dalam respon inflamasi, menghambat migrasi leukosit ke area
inflamasi, dan mencegah dengan fungsi sel endotelial, granulosit, sel mast,
dan fibroblast..2,3
3. Efek antiproliferatif
Kortikosteroid menghambat sintesis dan mitosis DNA. Selain itu,
kortikosteroid menghambat aktivitas fibroblast dan pembentukan kolagen.2,3
4. Vasokontriksi
Kortikosteroid menurunkan permeabilitas kapiler dengan mengurangi
jumlah histamin yang dikeluarkan oleh basofil dan sel mas.2

GLUKOKORTIKOID SISTEMIK
Glukokortikoid sistemik adalah imunosupresif kuat dan agen anti-inflamasi
yang sering digunakan untuk penyakit dermatologis berat.1,2,3
Indikasi dan kontraindikasi dari kortikosteroid sistemik dapat dilihat pada
Tabel 1, yaitu:
Dosis awal kortikosteroid sistemik tergantung dari penyakit dermatologi
yang dialami. Dalam pengobatan jangka pendek (3 pekan atau kurang),
penggunaan kortikosteroid tidak perlu diturunkan perlahan-lahan. Dalam
pengobatan jangka panjang (4 pekan atau lebih), penggunaan kortikosteroid perlu
diturunkan secara perlahan. Jika penurunan obat kortikosteroid tidak dilakukan
dengan benar, dapat terjadi sindrom withdrawal, antara lain mialgia, arthralgia,
gejala gastrointestinal, kelemahan, sakit kepala, dan perubahan emosi.4,8

Tabel 1. Indikasi dan Kontraindikasi Kortikosteroid Sistemik6

6
Indikasi Kortikosteroid Sistemik
Dermatosis bulosa Dermatitis
Dermatitis atopik Dermatitis kontak
Sindrom Steven Johnson/TEN Dermatitis atopik
Eritema multiform minor. Dermatosis lain
Penyakit autoimun Urtikaria berat
Sistemik lupus eritematosus

Kontraindikasi Kortikosteroid Sistemik


Absolut Relatif
Infeksi jamur sistemik Hipertensi
Keratitis herpes simpleks Gagal jantung kongestif
Hipersensitivitas. Psikosis sebelumnya
Depresi berat
Kehamilan
Katarak
Glaukoma
Diabetes melitus
TB aktif
Tes tuberkulin positif.
Osteoporosis

Tabel 2. Aktivitas, Dosis, dan Sediaan Kortikosteroid2


Aktivitas Dosis Oral
yang
Agen Sediaan
Anti-Inflamasi Topikal Mineralokortikoid Ekuivalen
(mg)
Kortikosteroid kerja singkat hingga sedang
Hidrokortison
1 1 1 20 Oral, suntikan, topikal
(kortisol)
Kortison 0,8 0 0,8 25 Oral
Prednison 4 0 0,3 5 Oral
Prednisolon 5 4 0,3 5 Oral, suntikan
Metilprednisolon 5 5 0 4 Oral, suntikan
Meprednison 5 0 4 Oral, suntikan
Kortikosteroid kerja sedang
Triamsinolon 5 5 0 4 Oral, suntikan, topical
Parametason 10 0 2 Oral, suntikan
Fluprednisolon 15 7 0 1,5 Oral
Kortikosteroid kerja lama
Betametason 25-40 10 0 0,6 Oral, suntikan, topikal
Deksametason 30 10 0 0,75 Oral, suntikan, topikal
Mineralokortikoid
Fludrokortison 10 0 250 2 Oral
Desoksikortiko-
0 0 10 Suntikan, pellet
steron asetat

7
Pada pengobatan berbagai dermtosis dengan kortikosteroid, bila telah
mengalami perbaikan, dosis diturunkan berangsur-angsur (tappering off) agar
penyakit tidak mengalami eksaserbasi dan tidak terjadi sindrom putus obat.

EFEK SAMPING KORTIKOSTEROID SISTEMIK


Efek samping kortikosteroid sistemik berhubungan dengan dosis obat yang
tinggi, durasi terapi yang lama, dan pemberian obat yang sering.4,6,9
1. Supresi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal
Supresi aksis HPA terjadi apabila terapi dengan kortikosteroid terlalu
lama. Efek supresi aksis HPA dapat bertahan hingga 1 tahun setelah terapi
dihentikan. Keluhan yang sering dialami adalah letargi, lemas, anoreksia, dan
nausea akibat penghentian kortikosteroid secara cepat. 4,6,9
2. Sindrom cushing
Sindrom Cushing iatrogenik adalah kumpulan gejala berupa peningkatan
berat badan yang cepat terutama perut dan wajah, penumpukan lemak pada
leher bagian belakang, hiperhidrosis, striae pada abdomen, penipisan kulit,
hirsutisme, hipertensi, gangguan menstruasi, penurunan libido akibat
kelebihan sekresi hormon kortisol dalam darah yang disebabkan pengunaan
kortikosteroid jangka panjang.1,2,4
3. Efek metabolik
Efek metabolik yang dapat terjadi dengan terapi kortikosteroid yaitu
dapat menyebabkan hiperglikemia dimana mekanismenya Glukokortikoid
meningkatkan produksi glikogen, meningkatkan glukoneogenesis melalui
katabolisme protein, menginduksi resistensi insulin menurunkan uptake
glukosa sel, hipertensi dengan mekanismenya Efek mineralokortikoid
retensi natrium, dan glukokortikoid-menginduksi vasokonstriksi , dan
hiperlipidemia dengan mekanismenya Kondisi katabolisme, diinisiasi oleh
peningkatan lipoprotein lipase. Hal tersebut dapat meningkatkan risiko
aterosklerosis dan beberapa penyakit metabolik lainnya seperti gagal jantung
kongestif dan diabetes mellitus.4,6
4. Efek gastrointestinal

8
Penggunaan kortikosteroid sistemik jangka panjang dapat meningkatan
insiden gastritis dan ulkus peptikum. Peningkatan insiden ini terjadi akibat
sifat kortikosteroid yang mengurangi tanda inflamasi dan menghambat
penyembuhan luka. Efek antinflamasi kortikosteroid yang menyebabkan
prostaglandin terhambat, juga terlibat dalam kerusakan mukosa lambung.
Pembentukan ulkus pada kondisi ini dipengaruhi oleh penurunan produksi
mukus dan pembentukan sel mukosa baru. Efek samping gastrointestinal
lainnya yaitu nausea, muntah, refluks gastroesofageal, esofagitis kandida, dan
pankreatitis pada pasien hipertrigliseridaemia. Konsumsi kortikosteroid
bersama makanan disertai penggunaan antagonis reseptor H 2 dapat
menurunkan risiko terjadinya ulkus peptikum.4,6,10
5. Osteonekrosis (Nekrosis Avaskular)
Mekanisme terjadinya osteonekrosis belum dimengerti dengan jelas,
walaupun hipertensi sekunder intraosseous akibat pembesaran sel lemak.
Gejala awal osteonekrosis dalah nyeri tulang yang terlokalisir terutama saat
istirahat dan adanya keterbatasan gerak satu atau lebih dua sendi. Lokasi
tersering adalah pada femur proksimal. Tanda radiografi pada osteonekrosis
belum terjadi dalam 6 bulan setelah nyeri tulang dirasakan. Untuk itu, MRI
merupakan pemeriksaan radiologi yang spesifik dan sensitif pada awal.
Tatalaksana awal pada kasus nekrosis adalah konservatif dan terdiri dari
pencegahan trauma, istirahat, dan mengurangi beban dengan menggunakan
penopang.4
6. Osteoporosis
Osteoporosis adalah salah satu efek samping terbanyak pada pasien yang
menggunakan kortikosteroid jangka panjang. Osteoporosis terjadi 30-50%
pada pasien yang diobati dengan kortikosteroid jangka panjang tanpa
memperkirakan pencegahannya. Demineralisasi terjadi pada 6-12 bulan awal
terapi. Penggunaan prednison dosis rendah (2,5 mg per hari) dapat
meningkatkan kejadian fraktur vertebra dan panggul. Demineralisasi tulang
dapat reversibel setelah penggunaan kortikosteroid dihentikan, terutama pada
usia muda. Kortikosteroid menurunkan absorbsi kalsium pada usus dan

9
menurunkan resorpsi kalsium pada tubulus ginjal yang dapat diperparah
dengan diet tinggi natrium. Penurunan kalsium serum akan menstimulus
pelepasan hormon paratiroid dan mengakibatkan peningkatan aktivitas
osteoklas sehingga terjadi resorpsi tulang. Selain itu, juga terjadi inhibisi
osteoblas dan sintesis matriks kolagen yang mendukung terjadinya
demineralisasi.4
7. Gangguan pertumbuhan pada anak
Kortikosteroid menghambat pertumbuhan dengan beberapa mekanisme,
yaitu mengintervensi retensi mineral dan nitrogen, inhibisi sintesis matriks
protein, dan menurunkan efek hormon pertumbuhan. Mekanisme terjadinya
melalui stimulasi somatostatin, yang menghambat growth hormone. Selain itu
kortikosteroid menyebabkan kehilangan Ca2+ melalui ginjal, akibatnya terjadi
sekresi parathyroid hormone yang meningkatkan aktivitas osteoklast dalam
meresorpsi tulang. Kortikosteroid juga menghambat hormon gonad, yang
pada akhirnya menyebabkan gangguan proses penulangan sehingga
menghambat pertumbuhan. Monitoring pertumbuhan sebaiknya dilakukan
setiap 3-6 bulan.4,6
6. Efek psikiatrik
Perubahan kognitif dan mood tergantung dengan dosis dan dapat muncul
cepat setelah penggunaan kortikosteroid. Hipomania dan mania adalah gejala
awal yang muncul, namun pada jangka panjang dapat menimbulkan
depresi.4,11

Tabel 3. Efek samping, Mekanisme, dan Faktor Risiko Terapi Kortikosteroid4,6,9,11,12

10
Efek Samping Mekanisme Faktor Risiko
Efek pada aksis HPA
Krisis Adrenal Penurunan ketersediaan glukokortikoid dan Penghentian secara tiba-tiba
mineralokortikoid, hilangnya mekanisme kompensasi kortikosteroid
Efek metabolic
Hiperglikemia Glukokortikoid meningkatkan produksi glikogen, Dosis tinggi kortikosteroid
meningkatkan glukoneogenesis melalui katabolisme
protein, menginduksi resistensi insulin menurunkan
uptake glukosa sel
Hipertensi Efek mineralokortikoid retensi natrium, dan Kortikosteroid dengan efek
glukokortikoid-menginduksi vasokonstriksi mineralokortikoid yang
tinggi (terapi lebih dari 1
tahun)
Hiperlipidemia Kondisi katabolisme, diinisiasi oleh peningkatan Dosis tinggi kortikosteroid
lipoprotein lipase
Perubahan Cushingoid Gangguan distribusi lipid, mekanisme belum jelas, Terapi kortikostreroid
hasil dari katabolisme lemak minimal selama 2-3 bulan

Efek pada tulang


Gangguan pertumbuhan Karena penurunan hormon pertumbuhan dan produksi Tidak ada.
IGF-1 menyebabkan maturitas tulang terhambat
Osteoporosis dan Penurunan aktivitas osteoblas di sumsum tulang dan Terapi kortikosteroid jangka
Osteonekrosis promosi apoptosis osteoblas dan osteosit sehingga panjang dan dosis 7,5 mg
densitas tulang menurun. atau lebih.
Efek gastrointestinal
Perforasi usus Efek katabolisme glukokortikoid menurunkan Dosis, durasi kortikosteroid
penyembuhan luka setelah anastomosis usus bukan faktor risiko

Penyakit ulkus peptikum Penurunan produksi mukus, peningkatan produksi Dosis total kortikosteroid 1
asam, kortikosteroid tidak langsung menyebabkan gram
iritasi gaster
Efek samping lainnya
Katarak Gangguan protein lensa dengan mekanisme yang Tidak ada pengurangan
belum jelas (biasanya tipe subkapsular posterior) dengan kortikosteroid QOD

Agitasi/Psikosis Kemungkinan akibat pergeseran elektrolit, gangguan Kortikosteroid minimal 40


fungsi eksitasi saraf, mungkin juga akibat edema otak mg/hari, dosis diatas 80
minimal mg/hari
Miopati Penurunan uptake glukosa dan asam amino oleh otot Kemungkinan dari
menyebabkan atrofi kortikosteroid fluorinasi,
penurunan kortikosteroid
yang cepat

Tabel 4. Efek Samping Kortikosteroid Sistemik pada Kulit


Kategori Mekanisme Efek Samping
Penyembuhan Penurunan kolagen, penurunan re-epitelialisasi Luka sulit sembuh, ulkus, striae

11
luka permanen, telangiektasis

Pilosebasea Androgenitas, infeksi fungal Acne steroid

Vaskular Efek katabolik pada otot polos vaskular Purpura

Efek pada rambut Belum diketahui Telogen effluvium

Efek kulit lainnya Imunosupresif akibat kortikosteroid Psoriasis pustular,

Resistensi insulin Acanthosis nigricans

KESIMPULAN
Kortikosteroid merupakan salah satu terapi yang sering digunakan dalam
dermatologi. Kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi, imunosupresif,
antiproliferatif, dan efek vasokonstriksi. Kortikosteroid dibagi menjadi dua, yaitu
topikal dan sistemik. Kortikosteroid sistemik digunakan pada kasus dermatologi
pemphigus vulgaris, dermatitis berat, sindrom Steven Johnson, nekrosis epidermal
toksik, dan sebagainya. Kortikosteroid aman jika digunakan dalam jangka waktu
pendek sehigga tanpa perlu dilakukan tapering off. Sedangkan, penggunaan
jangka panjang, kortikosteroid perlu dilakukan tapering off. Efek samping
kortikosteroid sistemik, antara lain supresi aksis hipofisis dan hipotalamus, efek
metabolik, efek gastrointestinal, osteonekrosis, osteoporosis, gangguan
pertumbuhan, dan psikosis. Upaya pencegahan terutama tapering off perlu
dilakukan untuk menghindari efek samping dari kortikosteroid sistemik sehingga
penggunaan obat dapat dimaksimalkan.

12
DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland,W.A. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC.2002.
Halaman 260.

2. Chrousos, G.P. Adrenokortikosteroid dan Antagonis Adrenokorteks. Dalam:


B.G. Katzung (Ed.). Farmakologi Dasar dan Klinik (Ed. 12 th). Jakarta: EGC;
2013. p.785-02.

3. Valencia I.C, Kerdel F.A. Topical corticosteroids. In: Wolff K. Fitzpatricks


Dermatology in General Medicine 8th ed. New York: McGraw-Hill
Companies; 2012. p. 2659-65.

4. Wolverton, Stephen E. Comprehensive dermatologic drug therapy, 3 rd ed.


Elsevier. Oxford: 2013.p.142-68.

5. Dhar S, Joly S, Deepak P. Systemic side-effects of topical corticosteroid.


Indian J. Dermatology; 2014. p.460-64.

6. Werth V.P. Systemic Glucocorticoids. In: Wolff K. Fitzpatricks Dermatology


in General Medicine 8th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2012. p.
2714-20.

7. Guyton, AC. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th . Jakarta: EGC

8. Djuanda A. Pengobatan dengan Kortikosteroid Sistemik dalam Bidang


Dermato-Venereologi. Dalam: Djuanda A., Hamzah M., Aisah S. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin (Ed. 6th). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Press; 2010. p. 339-42.

9. Liu D, Ahmet A, Ward L, Krishnamoorthy P, Mandelcorn ED, Leigh R et al.


A Practical Guide to The Monitoring and Management of The Complications
of Systemic Corticosteroid Therapy.Allergy, Asthma, and Clinical
Immunology Journal; 2013: 9-30.

10. Shaikh S, Verma H, Yadav N, Jauhari M, Bullangowda J. Applications of


Steroid in Clinical Practice: A Review. International Scholarly Research
Network; 2012: 1-11.

11. Warrington T.P, Bostwick J.M. Psychiatric Adverse Effects of


Corticosteroids.Mayo Clinic College of Medicine; 2006: 1361-67.

12. Kia S.M, Werth V.P. Prevention and Treatment of Systemic Glucocorticoid
Side Effects. International J. Dermatology; 2010: 239-48.

13

Anda mungkin juga menyukai