Anda di halaman 1dari 9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asma

2.1.1 Definisi

Menurut Global initiatif for asthma (GINA) tahun 2014, asma adalah
penyakit heterogen ditandai inflamasi kronik saluran nafas dengan gejala sesak
nafas, mengi, dada terasa berat, batuk semakin memberat dan keterbatasan aliran
udara ekspirasi. Serangan asma dipicu oleh berbagai macam faktor seperti pajanan
alergen, perubahan cuaca, latihan fisik, dan infeksi virus.

Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran


nafas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan
yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak nafas
dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya
bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan (Depkes, RI., 2009).

Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik: 1). Obstruksi saluran


napas yang reversible (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik secara
spontan maupun dengan pengobatan; 2). Inflamasi saluran napas; 3). peningkatan
respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas) (Setiati,
2014).

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan


banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau
dini hari (PDPI, 2003)

2.1.2 Epidemiologi

Angka kejadian penyakit asma akhir-akhir ini mengalami peningkatan dan


relative sangat tinggi dengan banyaknya morbiditas dan mortalitas. WHO
memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia saat ini terkena penyakit asma dan
diperkirakan akan mengalami penambahan 180.000 setiap tahunnya. (WHO,
2013)

Menurut America Academy of Allergy Organization Di Amerika Serikat


jumlah penderita asma terus bertambah. 1 dari 12 menderita asma pada tahun
2009 dibandingkan dengan 1 dari 14 orang (sekitar 20 juta atau 7%) pada tahun
2001. Menurut WHO tahun 2005, beban penyakit asma di Asia Tenggara sangat
berat yaitu 1 dari 4 orang penderita asma dewasa tidak bekerja dan kehilangan
hari kerja selama lebih dari 6 hari karena asma mencapai 19,2%, sementara 1 dari
3 anak yang menderita asma absen sekolah karena kekambuhan asma. Kemenkes
RI (2011) di Indonesia mengatakan penyakit asma masuk dalam sepuluh besar
penyebab kesakitan dan kematian. Angka kejadian asma 80% terjadi di negara
berkembang akibat kemiskinan, kurangnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan
fasilitas pengobatan.

Berdasarkan data RISKESDA tahun 2007 prevalensi penyakit asma di


Indonesia sebesar 3,5% dan prevalensi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
adalah 1,9%. Di Rumah Sakit Persahabatan sebagai salah satu pusat rumah sakit
khusus paru di Indonesia, didapatkan data jumlah pasien asma yang masuk ruang
gawat darurat mengalami peningkan pada tahun 1998 menjadi 2,210 pada tahun
2000 dan meningkat 3 kali lipat di tahun 2011 (Setiawan, 2012).

Menurut Provinsi, prevalensi asma berkisar antara 1,5% di Provinsi


Lampung hingga 7,2% di Gorontalo. Terdapat 17 Provinsi dengan prevalensi
asma lebih tinggi dari angka nasional diantaranya Provinsi Aceh sebesar 4,9%,
Provinsi Jawa Barat sebesar 4,1%, Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 6,5%
(Badan Litbangkes, 2008). Di Aceh prevalensi asma tertinggi adalah Aceh Barat
13,6% dan terendah di Sabang dan Gayo Lues masing-masing 1,3% (Anonim,
2012).

2.1.3 Klasifikasi asma

Menurut Global Initiatif for Asthma (GINA) tahun 2014, membagi


klasifikasi asma berdasarkan derajat beratnya asma:

a. Asma Intermiten
b. Asma Persisten ringan
c. Asma Persisten sedang
d. Asma Persisten berat
Tabel 2.1 Klasifikasi asma bronkial berdasarkan derajat berat asma:

Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru


1. Intermiten Bulanan APE = 80%
Tanpa gejala diluar =2 kali sebulan VEP1 = 80% nilai
serangan predileksi

Serangan singkat APE = 80% nilai


terbaik

Variabiliti
APE<20%
2. Persisten ringan Mingguan APE>80%
Gejala>1x/minggu, >2kali sebulan VEP1 = 80% nilai
tetapi<1x/hari predileksi APE =
Serangan dapat 80% nilai terbaik
mengganggu
aktifitas dan tidur Variabiliti APE
20%-30%
3. Persisten Harian APE 60-80%
sedang
Gejala setiap hari >1x/minggu VEP160-80% nilai
Serangan predileksi
mengganggu
aktifitas dan tidur APE 60-80% nilai
Membutuhkan terbaik
bronkodilator
setiap hari Variabiliti APE >
30%
4. Persisten berat Kontinyu APE = 60%
Gejala terus Sering VEP1 = 60% nilai
menerus predileksi

Sering kambuh APE = 60% nilai


terbaik
Aktivitas fisik
terbatas Variabiliti APE >
30%

APE = arus puncak ekspirasi

VEP1 = volume ekspirasi dalam 1 detik


Tabel 2.2 Menurut GINA, 2009 keadaan asma terkontrol dibagi menjadi:
terkontrol, terkontrol parsial dan tidak terkontrol.

A. Penilaian Terhadap
Kontrol Klinis Terkini
(sebaiknya > 4minggu)
Karakteristik Terkontrol Terkontrol Tidak
Parsial Terkontrol
1. Gejala 2 x/minggu 2x/minggu 3 atau lebih
siang keadaan kontrol
parsial pada
tiap-tiap
minggu
2. Hambatan Tidak ada ada
siang
3. Gejala Tidak ada ada
malam/bangun
waktu malam
4. Perlu 2 x/minggu > 2 x/minggu
reliver
5. Fungsi paru normal < 80% prediksi
(PEFR/PEV1) atau hasil
terbaik

2.1.4 Faktor resiko asma

Secara umum faktor resiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar, faktor
resiko yang berhubungan dengan terjadinya atau berkembangnya asma dan faktor
resiko yang berhubungan dengan serangan asma atau trigger factor atau faktor
pencetus asma bronkial antara lain:

A. Asap rokok
B. Tungau debu rumah
C. Binatang peliharaan
D. Jenis kelamin
E. Jenis makanan
F. Perabot rumah tangga
G. Perubahan cuaca
H. Riwayat penyakit keluarga
A. Asap rokok
Menurut Siroux V, Pin I, Oryszczyn MP, Moual NL, Kauffmann F,
(2000) Paparan terhadap asap rokok dapat memperburuk gejala asma
dan menyebabkan eksaserbasi asma baik pada perokok aktif mapun
pasif. Apabila dibandingkan dengan perokok pasif, perokok aktif
memiliki gejala asma yang lebih berat, serangan asma yang lebih
sering, dan skor keparahan asma yang lebih tinggi (Thomson NC
et.,all, 2004). Sekitar 25% dari penderita asma di negara-negara
berkembang merupakan perokok aktif (KEMENKES RI, 2010).

B. Tungau debu
Tungau debu rumah (Dermatophagoides Pteronyssinus)
yang sangat kecil 0,5mm yang umum di jumpai di tempat
tinggal manusia. Tungau debu rumah yang menyerang
penderita asma bronkial yang disebabkan oleh masuknya
suatu alergen ke dalam saluran napas seseorang sehingga
merangsang terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I atau
reaksi alergi (Beasley B, 2012).

C. Binatang peliharaan
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing,
hamster, burung dapat menjadi sumber alergen inhalan.
Sumber penyebab asma adalah alergen protein yang
ditemukan pada bulu binatang pada bagian muka dan
ekskresi (Hadibroto, 2005).

D. Jenis kelamin
Meurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin
laki-laki merupakan sebuah faktor resiko terjadinya asma
pada anak-anak. Akan tetapi, pada masa pubertas, rasio
prevalensi bergeser menjadi lebih sering terjadi pada
perempuan (NHLBI, 2007). Pada manusia dewasa tidak
didapati perbedaan angka kejadian asma di antara kedua
jenis kelamin (Maryono, 2009).

E. Jenis Makanan
Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu
sapi, ikan laut, kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat,
strawberry, mangga, durian berperan menjadi penyebab
asma. Makanan produk industry dengan pewarna buatan
(misal: tartazine), pengawet (metabisulfit), vetsin
(monosodum glutamate MSG) juga bisa memicu asma
(Purnomo, 2008).
F. Perabot rumah tangga
Bahan perabot rumah tangga yang dimaksud disini adalah
penggunaan kasur, bantal yang berbahan kapuk, karpet, dan
sofa busa. Pada benda benda tersebut jika tidak sering
dibersihkan akan menjadi tumpukan debu yang sehingga
dapat memicu terjadinya gangguan pernapasan (Plottel:
2010).

G. Perubahan cuaca
Perubahan cuaca dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Afmosfer yang mendadak dingin
merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan
kadang-kadang berhubungan dengan musim seperti musim
hujan, musim kemarau, musim panas, musim bunga (serbuk sari
beterbangan) (Rengganis, 2008). Perubahan tekanan dan suhu
udara, angin dan kelembaban dihubungkan dengan percepatan
dan terjadinya serangan asma (Wijaya, 2010).

H. Riwayat penyakit keluarga


Risiko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan
asma adalah tiga kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga
dengan asma disertai dengan salah satu atopi (GINA,
2009). Predisposisi keluarga untuk mendapatkan penyakit
asma yaitu kalau anak dengan salah satu orang tua terkena
mempunyai risiko menderita asma 25%, risiko bertambah
menjadi sekitar 50% jika kedua orang tua asmatisk
(Sundaru H dan Sukamto, 2006).Faktor ibu ternyata lebih
kuat menurunkan asma dibandingkan dengan bapak
(Manfaati A, 2004).

2.1.5 Patogenesis Asma


Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa sel.
Inflamasi kronis menyebabkan dilepaskannya beberapa macam mediator yang
dapat mengaktivasi sel target disaluran napas dan mengakibatkan
bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskuler dan edema, hiperekskresi mucus, dan
stimulasi refleks saraf (Supartini N et al.).
Pada asma terjadi mekanisme hiperesponsif bronkus dan inflamasi, kerusakan
sel epitel, kebocoran mikrovaskuler, dan mekanisme saraf.
Hiperesponsif bronkus adalah respon bronkus yang berlebihan akibat berbagai
rangsangan dan menyebabkan penyempitan bronkus. Peningkatan respon bronkus
biasanya mengikuti paparan alergen, infeksi virus pada saluran nafas atas, atau
paparan bahan kimia. Hiperesponsif bronkus dihubungkan dengan proses
inflamasi saluran napas. Pemeriksaan histopatologi pada penderita asma
didapatkan infiltrasi sel radang, kerusakan epitel bronkus, dan produksi secret
yang sangat kental. Meskipun ada beberapa bentuk rangsangan, untuk terjadinya
respon inflamasi pada asma mempunyai ciri khas yaitu inflamasi sel eosinophil
dan limfosit T disertai pelepasan epitel bronkus (Jenkis CR, 2000).

Proses inflamasi pada asma terjadi dalam inflamasi akut dan kronik:
1. Inflamasi akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang
terdiri atas reaksi asma tipe lambat.

Reaksi asma tipe cepat


Alergen akan terikat pada igE yang menempel pada sel mast dan
terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan
preformed mediator seperti histamine, protease dan newly generated
mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus, sekresi mucus dan vasodilatasi.

Reasksi fase lambat


Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan
melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+ neutrofil dan
makrofag.
2. Inflamasi kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut
ialah limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibrolast dan otot
polos bronkus.
Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+
subtype Th2. Limfosit ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran
napas dengan mengeluarkan sitokinin antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-13
dan Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis
IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta
memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a l 15-HETE, PGE2 pada
penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membrane markers seperti
molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokinin atau
khemokin.
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme
terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi
plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-
cell proteolytic enzyme dan metal oprotease sel epitel (PDPI, 2003).

2.1.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis asma klasik adalah serangan episodik seperti: batuk,
mengi dan sesak napas. Pada awal serangan gejala sering tidak jelas seperti rasa
berat di dada, dan pada asma alergik biasanya disertai pilek atau bersin. Meskipun
pada mulanya batuk tanpa disertai secret, tetapi pada perkembangan selanjutnya
pasien akan mengeluarkan secret baik mukoid, putih kadang-kadang purulent.
Sebagian kecil pasien asma gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi,
dikenal dengan istilah cough variant asthma. Pada asma alergik, sering
berhubungan dengan pemajanan alergen dan memberikan gejala terhadap faktor
pencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran
napas ataupun perubahan cuaca. Asma akibat pekerjaan, biasanya gejala
memburuk pada awal minggu dan membaik pada akhir minggu. Pada pasien yang
gejalanya tetap memburuk pada akhir minggu, gejalanya mungkin akan membaik
bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya (IPD, 2014).
Tabel 2.3 Gejala dan Derajat Keparahan Asma
Gejala ama yang sering Gejala yang mungkin Gejala asma berat
dijumpai terkait asma
Angka aliran puncak Pola pernapasan Angka aliran puncak
berada pada zona abnormal yang ditandai berada pada zona
kuning/waspada dengan ekspirasi yang bahaya/merah (biasanya
(biasanya 50-80% dari memanjang <50% dari normal)
normal) sianosis
Batuk dengan atau tanpa
produksi mucus; sering
bertambah berat saat
malam hari atau dini hari
sehingga membuat anak
sulit tidur
Kesulitan bernapas yang Napas terhenti sementara Perubahan kesadaran
bertambah berat saat Postur tubuh (seperti mengantuk,
malam hari atau dini hari membungkuk bingung) saat serangan
sehingga membuat anak asma
sulit tidur
Reaksi interkostal Nyeri dada Kesulitan bernapas yang
hebat
Wheezing Napas cuping hidung Takikardia
Biasanya muncul Dada terasa sesak Kegelisahan hebat akibat
tiba-tiba kesulitan bernapas
Umumnya Berkeringat
episodic
Dapat hilang
dengan sendirinya
Bisa bertambah
berat saat malam
hari atau dini hari
Bertambah berat
jika bernapas di
udara dingin
Bertambah berat
jika olah raga
Bertambah berat
dengan adanya
heartburn
(refluks)
Perbaikan dengan
penggunaan obat
yang tepat

Diadaptasi dari: National Library of Medicine. Medline Plus: Asthma.


http://ww.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000141.htm. Diakses pada 24
April 2009.
National Jewish Health. Asthma:signs and Symptoms.
http://www.nationaljewish.org/healthinfo.contitions/asthma/symptoms.aspx.
Diakses pada 24 April 2009.

2.1.7 Pemeriksaan Asma

A. Pemeriksaan fisik

1. Anamnesis

Menanyakan riwayat penyakit pasien dengan tujuan untuk menentukan


waktu saat timbul serangan dan beratnya gejala, bertujuan untuk
membandingkan dengan eksaserbasi sebelumnya (Prasetyo, 2010). Gejala
asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal
(GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan
pada auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat
terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah
terdapat penyempitan jalan napas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan
sangat membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan terdapat gejala-
gejala obstruksi saluran pernapasan (PDPI, 2006).

Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil oleh


karena kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus.
Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang
mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa
batuk, sesak napas, dan mengi (GINA, 2009).

Anda mungkin juga menyukai