Anda di halaman 1dari 3

Proses Munculnya Qawa'id Fiqhiyyah

Hasrul BS Minggu, Desember 15, 2013 Fiqih, Kaidah Fiqih, Ushul Fiqih,

Kaidah-kaidah fiqih merupakan kaidah yang menjadi titk temu dari masalah-masalah fiqih. Mengetahui kaidah-kaidah
fiqih akam memudahkan akan memberikan kemudahan untuk menerapkan fiqih dalam waktu dan tempat yang
berbeda untuk kasus, keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah dalam memberi solusi terhadap
problem-problem yang terus muncul dan berkembang dengan tetap berpegang kepada kemaslahatan, keadilan,
kerahmatan dan hikmah yang terkandung di dalam fiqih.

Mengigat kaidah Fiqih merupakan salah satu cabang keilmuan dalam islam yang biasa disebut Ilmu al-Qawaid al-
Fiqhiyyah atau dalam terminologi lain dikenal al-Asybah wa al-Nazhair. Ilmu ini juga memenuhi prasyarat sebagai
ilmu yang independen dan memiliki teori-teori seperti pada khasanah keilmuan pada umumnya serta ruang lingkup
yang sangat luas. Adapun dalam makalah ini, kami hanya memaparkan sekilas Sejarah Perkembangan dan
Penyusunan Qawaid Fiqhiyyah. Semoga dapat menjadi sebuah bahan bacaan dalam memahami sisi keilmuan ini
khusunya mengenai sejarah perkembangannya hingga saat ini.

Sejarah qawaid fiqhiyyah sebenarnya tidak terlepas dari masa terdahulu, yaitu pada masa Nabi Muhammad SAW,
masa Sahabat, dan masa Tabiin. Pada masa-masa ini keberadaan sebuah ilmu masih dalam bentuk bakunya yang
bersumber dalam Al-Quran maupun keterangan-keterangan Nabi Muhammad yang dikenal dengan Sunnah. Konteks
keilmuan secara umum pada abad-abad pertama belum memiliki sistematika dan metodologi khusus. Hal ini
disebabkan segala persoalan yang dihadapai ketika itu dijelaskan secara langsung oleh Nabi Muhammad. Akibatnya
ijtihad yang masih berada diantara benar atau salah tidak diperlukan. Akan tetapi, benih-benih kaidah sebenarnya
sudah ada semenjak masa Nabi.[1]

Beliau adalah penjelas utama dari kandungan ayat-ayat al-Quran dalam menghadapi problematika kehidupan yang
memerlukan hukum baru. Di sisi lain, Rasululah akan menggali hukum dengan beristinbat terhadap ayat-ayat al-
Quran apabila keterangannya masih global. Prosesnya inilah yang selanjutnya melahirkan proses pembentukan
hukum-hukum Islam termasuk Qawaid Fiqhiyyah. Atas Keterangan di atas dapat dipahami bahwa keberadaan
Qawaid fiqhiyyah pada periode awal masih dalam tunas perkembangan. Pada proses munculnya Qawaid Fiqhiyyah
dapat dikelompokan dalam tiga fase, yaitu:[2]

a) Periode Nabi Muhammad Saw


Pada periode ini, tidak ada spesialisasi ilmu tertentu yang dikaji dari al-Quran dan al-Hadis. Semangat Sahabat
sepenuhnya dicurahkan kepada jihad dan mengaplikasikannya apa yang diperoleh dari Nabi berupa ajaran al-Quran
dan al-Hadis. Ilmu pengetahuan hanya berkisar pada masalah qiraah dan mendengarkan hadis-hadis Nabi serta
mengaplikasikan dan mengembangkan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi ketika menghadapi persoalan-
persoalan yang baru.

Artinya pada masa Nabi ini setiap ada permasalahan yang muncul, oleh sahabat langsung ditanyakan kepada Nabi.
Hadis-hadis Nabi yang membicarakan tentang hukum, banyak memaki pola qaidah umum yang artinya dapat
mencakup dan menempuh seluruh persoalan-persoalan fiqih (Jawami al Kalim). Seperti hadis yang berbunyi:[3]

Tidak boleh berbuat madhorat terhadap diri sendiri dan orang lain.
Luka hewan ternak adalah sia-sia.
Bukti dibebankan kepada pendakwa sedangkan sumpah dibebankan kepada terdakwa.
Menurut para ahli fiqih, hadis-hadis diatas berbentuk ungkapan yang berpola qaidah fiqih. Walaupun hadis tersebut
secara formal belum disebut kaidah tetapi tetap sebagai hadis saat itu, seperti:

Pinjaman adalah amanah


Hutang harus dibayar
Orang yang menjamin adalah penanggung

Hadis-hadis diatas memiliki arti umum yang mencakup beberapa aspek hukum dan merangkul masalah-masalah
yang bersifat subordinatif.

Berdasarkan uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa dari sekian ribu hadis terdapat hadis-hadis yang memiliki
karakter yang sama dengan kaidah fiqih yang keberadaannya sangat penting dalam ilmu fiqih. Lafash-lafash diatas
dihubungkan dengan kata yang jelas atau kata ganti (dhamir), tetapi yang demikian tidak disyaratkan. [4]

b) Periode Sahabat
Pada periode ini pola pikir sahabat mulai mengalami transformasi kearah ijtihad, dimana dalam pengambilan
hukumnya itu merujuk pada al-Quran dan Sunnah. Hal ini disebabkan karna banyaknya persoalan baru yang tidak
pernah terjadi pada masa Nabi. Kemudian pada periode inilah juga mencul penggunaan rayu, qiyas, ijma.

b) Periode Tabiin
Mengenai keberadaan qawaid fiqhiyyah pada masa tabiin, bisa dikatakan pada masa ini adalah masa awal
perkembangan fiqih. Dimana hal yang menonjol pada masa ini yaitu dimulai pendasaran terhadap ilmu fiqih. Pada
periode ini juga ditandai dengan munculnya para ulama-ulama fiqih atau para pembesar dan murid-muridnya yang
memberikan pengarahan-pengarahan kepada kelompok masarakat yang mengkaji fiqih ketika itu. Kelompok kajian
ini pada setiap daerah biasanya di kepalai oleh para tabiin seperti: [1]

Said bin Musayyab di Madinah,


Atha bin Abi Rabah di Makah,
An-Nakahi di Kuffah,
Hasan al basri di Basrah,
Makhul di Syam, dan
Thawus di Yaman.

Berbeda dengan masa khulafa al-rasyidun, pada masa ini kajian fiqih masuk dan lebih condong pada wilayah teori.
Banyak hukum fiqih yang di produksi oleh proses penalaran terhadap teori di bandingkan hukum fiqih yang di hasilkan
dari pemahaman terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya yang disamakan dengan kasus baru.
Sehingga, fiqih tidak hanya mampuh menjelaskan persoalan-persoalan waqiiyyah (aktual) namun lebih dari itu.

NEXT:
>> Perkembangan dan Pembentukan Qawaid Fiqhiyyah
>> Pembukuan dan Penyempurnaan Qawaid Fiqhiyyah [NYUSUL GUYS]
ENDNOTE

[1] Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA, Sejarah Qawaid Fiqhiyyah (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004), hal.1
[2] Ibid, hal. 1-12
[3] Al-Allamah Jalal Al-Faqih Mustafa Dziraq, Qawaid Fiqhiyyah (Jiddah: Dar al-Basyir, 2000), hal. 90
[4] Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA, Sejarah Qawaid Fiqhiyyah (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004), hal. 9
[5] Ibid, hal. 12-13

Anda mungkin juga menyukai