PENDAHULUAN
1
kardiovaskular.4 Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Departemen
Kesehatan RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronchial menduduki peringkat
ke enam setelah penyakit jantung, stroke, infeksi saluran nasfas bawah,
HIV/AIDS dan penyakit perinatal.2 Data di Indonesia berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%.
Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih
tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding perempuan(3,3%).5
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian
Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi dan diharapkan
agar dapat menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi
para pembaca khususnya kalangan medis tentang diagnosis dan penatalaksanaan
PPOK.
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAPSAN
2
Gambar 2.1. Anatomi Sistem Pernafasan6
Sistem pernafasan terbagi dua yaitu saluran pernafasan bagian atas yang
terdiri dari rongga hidung, faring, laring dan pernafasan bagian bawah terdiri
dari trakea, bronkus, bronkiolus dan alveolus. 7
3
Gambar 2.3 Fisiologi pernafasan8
Pernafasan mencakup dua proses yang terpisah tetapi berkaitan yang terdiri
dari pernafasan internal dan pernafasan eksternal. Prosesnya mencakup empat
langkah seperti (gambar 2.3) yaitu:8
4
1. Udara secara bergantian dimasukan dan dikeluarkan dari paru sehingga
udara dapat dipertukarkan antara atmosfer (lingkungan eksternal) dan
alveolus paru. Pertukaran ini melalui mekaisme bernafas atau ventilasi.
Kecepatan ventilasi diatur untuk menyesuaikan aliran udara antara
atmosfer dan alveolus sesuai kebutuhan metabolik tubuh akan penyerapan
O2 dan pengeluaran CO2.
2. Oksigen dan karbondioksida dipertukarkan antara udara di alveolus dan
darah didalam kapiler paru melalui proses difusi.
3. Darah mengangkut O2 dan CO2 antara paru dan jaringan.
4. Oksigen dan karbondioksida dipertukarkan antara jaringan dan darah
melalui proses difusi menembus kapiler sistemik (jaringan) untuk proses
metabolik yang dilakukan di dalam mitokondria dimana glukosa dari
makanan bereaksi dengan oksigen dari pernafasan untuk menghasilkan
energi biokimia dalam bentuk Adenosin Triofosfat (ATP).
BAB III
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)
5
Faktor resiko yang paling umum adalah merokok dan yang lainnya berupa
riwayat pekerjaan, polusi udara, stres oksidatif, infeksi saluran nafas berulang dan
defisiensi alfa-1 antitripsin.9
1. Merokok
Asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab
gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian
dilaporkan bahwa terdapat penurunan VEP1. Angka kematian pada
perokok mempunyai nilai yang bermakna dibandingkan dengan bukan
perokok. Resiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang
dihisap dan usia mulai merokok.
2. Riwayat Pekerjaan
Polusi ditempat kerja: polusi dari tempat kerja misalnya debu debu
organik (debu sayuran dan bakteri atau racun racun dari jamur), industri
tekstil (debu dari kapas) dan lingkungan industri (pertambangan, industri
besi dan baja, industri kayu).11
3. Polusi udara
Polusi udara terbagi menjadi :
6
Polusi di dalam ruangan
- Asap rokok
- Asap kompor
Polusi di luar ruangan
- Gas buang kendaraan bermotor
- Debu jalanan
4. Stres oksidatif
Ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang
menyebabkan terjadinya PPOK.
2 4
Tc1
7
Gambar 3.1. Patofisiologi rokok menyebabkan PPOK12
1. Asap rokok mengandung zat berbahaya untuk pernafasan yaitu
nikotin, tar, karbon monoksida dan karbon dioksida. Zat ini
dapat mengiritasi saluran pernafasan.
2. Asap rokok mengaktifkan sel epitel saluran pernafasan. Sel
epitel menghasilkan mediator inflamasi (TGF dan CTG)
3. Mediator inflamasi TGF dapat menyebabkan fibrosis pada
saluran pernafasan perifer.
4. Asap rokok mengaktifkan makrofag alveolar. Makrofag
meningkatkan mediator inflamasi ( kemotaktik factor, IL 8,
CXC chemokines dan LTB4) dan protease serta menunjukkan
fagositosis yang tidak sempurna.
5. Limfosit T: CD4+ meningkat pada dinding saluran nafas dan
parenkim paru, dengan peningkatan rasio CD8+Peningkatan sel
T CD8+ (Tc1) dan sel Th1 yang mensekresikan interferon
gamma, merupakan sel sitotoksik untuk sel-sel alveolar yang
berkontribusi terhadap kerusakan alveolar.
Limfosit B meningkat dalam saluran nafas perifer dan folikel
limfoid sebagai respon terhadap kolonisasi kuman dan infeksi
saluran nafas. Eosinofil meningkat di dalam sputum dan
dinding saluran nafas selama eksaserbasi.
6. Neutrofil meningkat dalam dahak perokok. Neutrofil
ditemukan sedikit pada jaringan. Keduanya mungkin
berhubungan dengan hipersekresi lendir dan pelepasan
protease.
7. Protease menyebakan destruksi dining alveolar dan
hipersekresi mukus. (Gambar 3.1).
8
Antioksidan adalah zat yang mampu memperlambat atau mencegah
proses oksidasi, contohnya vitamin A, C, E, melantonin, betakaroten,
seperti sayur-sayuran, kacang-kacangan, jagung, kedelai dan buah.
Oksidan adalah reaksi kimia yang dapat menghasilkan radikal bebas,
sehingga memicu reaksi berantai yang dapat merusak sel, oksidan
terdapat pada fast food, makanan kemasan/ kaleng dan polusi udara.
9
Gambar 3.2. Defisiensi Alfa-1 Antitripsin12
3.3. Eksaserbasi
10
Eksaserbasi adalah kejadian akut yang ditandai dengan perburukan gejala
13
bila dibandingkan dengan hari-hari biasa, serta memerlukan perubahan terapi.
Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon inflamasi dalam
saluran nafas pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus atau oleh
polusi lingkungan. Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan eksaserbasi PPOK,
masih banyak yang belum diketahui.1
3.4. Komorbiditas
Penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, depresi, anxietas, disfungsi otot
skletal, sindroma metabolik dan kanker paru sering dijumpai pada penderita
PPOK.13
Kejadian kardiovaskular merupakan alasan utama pasien PPOK dirawat,
sekitar 50% dari semua rawatan pasien PPOK dan penyebab kedua kematian
(sekitar 20-25%) pada penderita dengan PPOK ringan sampai sedang. Hubungan
antara PPOK dan penyakit jantung kroner didasari oleh adanya inflamasi sistemik,
yang ditandai dengan peningkatan penanda inflamasi sistemik seperti CRP dan
TNF alfa. Peningkatan derajat PPOK berbanding lurus dengan peningkatan
inflamasi sistemik yang terjadi dan inflamasi tersebut diperkirakan menyebabkan
peningkatan aterosklerosis.
11
dengan pengurangan massa bebas lemak terutama pada wanita. Fraktur vertebra
ditemukan pada lebih dari 50% laki-laki penderita PPOK tanpa riwayat
menggunakan steroid. Osteoporosis diaktifkan oleh tingginya kadar serum IL-6
dan TNF alfa pada pasien PPOK. Peningkatan kadar IL-6 dan TNF alfa
merangsang diferensiasi makrofag menjadi osteoklas lewat sel-sel mesenkim.
3.5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah:2
1) Gagal nafas
Pada pasien PPOK dapat mengalami gagal nafas ketika struktur paru
mengalami kerusakan secara irreversible. Gagal nafas terjadi apabila penurunan
oksigen terhadap karbondioksida dalam paru dengan hasil analisis gas darah PO2
< 60 mmHg dan PCO2 > 60 mmHg.
2) Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada
kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya
kadar limposit darah.
3) Kor pulmonal
Pada pasien PPOK karena hipoksia menyebabkan vasokontriksi pembuluh
darah kecil paru. Pada pembuluh darah saluran udara mengalami disfungsi respon
inflamasi dan sel endotel. Hilangnya pembuluh darah kapiler memberikan
12
peningkatan tekanan sirkulasi paru yang progresif.
3.6. Prognosis
Prognosis PPOK tergantung pada beratnya obstruksi, adanya kor pulmonale,
kegagalan jantung kongestif dan derajat gangguan analisa gas darah. Prognosis
penyakit ini bervariasi. Bila pasien tidak berhenti merokok, penurunan fungsi paru
akan lebih cepat dari pada bila pasien berheenti merokok. Prognosis jangka
pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan gejala klinis pada
waktu berobat. Penderita dengan sesak nafas ringan (<50 tahun), 5 tahun
kemudian akan terlihat perbaikan. Tetapi, bila penderita datang dengan sesak
sedang, maka 5 tahun kemudian 42% penderita akan sesak lebih berat dan
meninggal.
BAB IV
DIAGNOSIS PPOK
Gejala Keterangan
Sesak -Progresif ( sesak bertambah berat seiring
perjalanan waktu)
-Bertambah berat dengan aktifitas
Persistent (menetap sepanjang hari)
-Dijelaskan oleh bahasa pasien perlu
usaha untuk bernafas, Berat, sukar
bernafas, terengah-engah
Batuk Kronik -Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak
13
Batuk kronik Berdahak -Setiap batuk kronik berdahak dapat
mengindikasikan PPOK
Riwayat terpajan faktor resiko -Asap rokok
Debu dan bahan kimia ditempat kerja
-Asap dapur
14
Gambar 4.2. Pursed - lips breathing15
15
a. Penderita kurus
b. Kulit kemerahan
c. Pernapasan pursed lips breathing
2. Palpasi15
a) Irama jantung diapeks mungkin sulit ditemukan karena
hiperinflasi paru
b) Hiperinflasi menyebabkaan hati letak rendah dan mudah
dipalpasi
c) Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
3. Perkusi15
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
4. Auskultasi15
a) Suara nafas vesikuler normal, atau melemah
b) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada
ekspirasi paksa
c) Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh, lebih keras pada processus
xypoideus.
1. Darah rutin
Dari pemeriksaaan analisa gas darah PCO2 yang meningkat dan
hb yang menuru menyebabkan terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan
penambahan eritropoisis. Hipoksia yang kronik merangsang
pembentukan eritropoitin sehingga menimbulkan polisitemia.18
2. Elektrokardiografi
Untuk mengetahui adanya komplikasi pada jantung. Bila ada
komplikasi cor pulmonale maka dapat ditemukan gelombang P
pulmonal, right bundle branch block, dan right ventricular hypertrophy
(dapat terjadi karena hipoksemia kronis).19
16
Gambar 4.4. Gambaran EKG PPOK19
17
Rasio VEP1/KVP harus diambil dari kurva yang secara
teknis dapat diterima dengan nilai terbesar dari KVP
maupun VEP1.
Evaluasi:
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%).
Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75%
VEP1 % merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit.1,2
18
Gambar 4.6. Volume Ekspirasi20
b. Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi
sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20 % nilaiawal dan
< 200 ml. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
VEP1 harus diukur sebelum diberikan bronkodilator.
Bronkodilator harus diberikan dengan inhaler dosis terukur melalui
perangkat spacer atau nebulizer untuk meyakinkan telah dihirup.
Dosis bronkodilator harus ditentukan untuk mendapatkan kurva
tertinggi pada dosis tertentu. Protokol dosis yang memungkinkan
adalah 400 g 2-agonis, hingga 160 g antikolinergik, atau
gabungan keduanya. VEP1 harus diukur lagi 10-15 menit setelah
diberikan bronkodilator kerja singkat tau 30-45 menit setelah
diberikan bronkodilator kombinasi. Peningkatan VEP1 yang baik
dan dianggap bermakna bila lebih besar dari 200 ml atau 12% di
atas VEP1 sebelum pemberian bronkodilator. Hal ini sangat
membantu untuk melihat perubahan serta perbaikan klinis. 2
5. Radiologi
Rontgen toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
penyakit paru lain.
19
Gambar 4.6 Rontgen toraks normal20
6. Ekokardiografi
Ekokardiografi dua dimensi dapat memperlihatkan dimensi ruang-ruang
jantung secara multiple sehingga berguna untuk menilai hipertrofi ventrikel
20
kanan. Ekokardiografi M-Mode memberikan gambaran yang terbatas dalam
evaluasi ventrikel kanan namun dapat memperlihatkan pergerakan katup
pulmoner abnormal pada hipertensi pulmoner.21
Centang kotak yang sesuai dengan kondisi pasien (hanya satu kotak saja)
21
Gambar 4.8. COPD Assessment Test (CATTM)22
Riwayat Eksaserbasi
2 atau 1
menyebabkan
hospitalisasi
C D
0 atau 1 (tidak
menyebabkan
hospitalisasi)
A B
mMRC 0-1 mMRC 2
CAT < 10 CAT 10
Gejala
Gambar 4.9. Pengelompokan pasien PPOK22
22
Tabel 4.2. Klasifikasi derajat keparahan hambatan aliran udara
Diagnosis Gejala
Asma Onset awal sering pada anak.
Gejala bervariasi dari hari ke hari.
Gejala pada malam / menjelang pagi.
Disertai alergi, rinitis atau eksim .
Riwayat keluarga dengan asma.
Sebagian besar keterbatasan aliran udara reversible
Gagal jantung Auskultasi,terdengar ronki halus di bagian basal.
kongestif Foto toraks tampak jantung membesar, edema paru.
Uji fungsi paru menunjukkan restriksi bukan
obstruksi.
Bronkiekstasis Sputum produktif dan purulen.
Umumnya terkait dengan infeksi bakteri.
Auskultasi terdengar ronki kasar
Foto toraks /CT-scan toraks menunjukkan pelebaran
dan penebalan bronkus.
Tuberculosis Onset segala usia
Foto toraks menunjukkan infiltrat di paru.
Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)
Prevalensi tuberkulosis tinggi di daerah endemis
23
BAB V
PENATALAKSANAAN PPOK
24
b. Meningkatkan toleransi latihan
c. Meningkatkan status kesehatan
b) Menurunkan resiko:
a. Mencegah perkembangan penyakit
b. Mencegah dan mengobati eksaserbasi
c. Menurunkan angka kematian
25
- Berhenti merokok
- Penggunaan obat-obatan
- Penggunaan oksigen
- Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
- Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
- Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
- Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas
Beta2 agonis
Short acting Beta2 agonis (SABA)
Long acting Beta2 agonis (LABA)
Antikolinergik
Short-acting anticholinergics (SAMA)
Long-acting anticholinergics (LAMA)
Kombinasi short-acting beta2-agonists + anticholinergic dalam satu
inhaler
Kombinasi long-acting beta2-agonists + anticholinergic dalam satu
inhaler
Methylxanthines
Kombinasi long-acting beta2-agonists + ICS dalam satu inhaler
Phosphodiesterase-4 inhibitors
A. Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan
FEV1 atau mengubah variable spirometri dengan cara mempengaruhi
tonus otot polos pada jalan nafas.
2 Agonist (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari 2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan nafas
dengan menstimulasi reseptor 2 adrenergik dengan meningkatkan C-
AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi.
Efek bronkodilator dari short acting 2 agonist biasanya dalam waktu 4-6
jam.
Antikolinergik
26
Efek utamanya adalah memblokade efek asetilkolin pada reseptor
muskarinik. Efek bronkodilator dari short acing anticholinergic inhalasi
lebih lama dibanding short acting 2 agonist.
B. Methylxanthine
Obat ini dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi.
Namun obat ini tidak direkomendasikan jika obat lain tersedia.
C. Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat
memperbaiki gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi
frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1 < 65 % prediksi.
D. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi
dengan menghambat pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan
obat ini memiliki efek samping seperti mual, menurunnya nafsu makan,
sakit perut, diare, gangguan tidur dan sakit kepala. 22,23
5.2.3. Terapi Farmakologis Lainnya2,22,23
Vaksin
: Vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien PPOK usia
>65 tahun.
Alpha-1 Augmentation therapy
: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia muda dengan defisiensi alpha-1
antitripsin herediter berat. Terapi ini sangat mahal, dan tidak tersedia di
hampir semua negara dan tidak direkomendasikan untuk pasien PPOK yang
tidak ada hubungannya dengan defisiensi alpha-1 antitripsin.
Antibiotik
: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang mencetuskan
eksaserbasi.
27
Vasodilator : nitric oxide kontraindikasi pada PPOK stabil. Penggunaan
endothelium modulating agent untuk pengobatan hipertensi pulmoner yang
dihubungkan dengan PPOK tidak direkomendasi.
28
sesak napas, memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan kejadia
eksaserbasi, akan tetapi tidak dapat mempengaruhi mortaliti dan besar
penurunan faal paru. Agonis -2 dengan durasi kerja 24 jam , preparat yang
ada adalah indacaterol. Kortikosteroid inhalasi dipilih pada pasien PPOK
dengan FEV1.
Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan beta2 agonist kerja lama
lebih efektif daripada salah satu antara kortikosteroid dan bronkodilator dalam
peningkatan fungsi paru dan mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan
PPOK sedang sampai sangat berat. Pengobatan jangka panjang dengan
kortikosteroid oral tidak direkomendasikan.
Phosphodiesterase-4 inhibitors, pada GOLD 3 dan GOLD 4 pasien dengan
riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronis, phosphodiesterase-4 inhibitor
roflumilast ini mengurangi eksaserbasi pada pasien yang di terapi dengan
kortikosteroid oral. 24
29
Jadi oksigen yang diberikan adalah rebreathing mask pemberian rebreathing
mask untuk mencegah terjadinya hiperkapnea. 23
Beta 2 -agonist kerja cepat dengan atau tanpa antikolinergik kerja cepat
lebih dipilih untuk pengobatan eksaserbasi. Kortikosteroid sistemik dapat
meningkatkan fungsi paru FEV1 dan menurunkan resiko kekambuhan awal,
kegagalan terapi dan lama dirumah sakit. Dosis sebesar 30-40 mg
prednisolone setiap hari selama 10-14 hari direkomendasikan. Pemberian
antibiotik harus diberikan kepada pasien dengan tiga gejala jantung:
peningkatan dyspnea, peningkatan volume sputum, peningkatan purulence
dari sputum, peningkatan purulence dari sputum dan gejala kardinal lain, dan
membutuhkan ventilasi mekanikal. 21,22,23
Terapi tambahan bergantung pada kondisi klinis dari pasien dan
keseimbangan cairan dengan perhatian spesial pada pelaksanaan diuretik,
antikoagulan, pengobatan komorbiditas, dan aspek nutrisional harus diperhatikan.
23
Grup C Grup D
Pertimbangkan Pertimbangkan
LAMA + LABA LABA + ICS antibiotic gol. makrolida
Roflumilast jika FEV1 <
50% pred. dan pasien (pada pasien
sebelumnya perokok)
bronkitis kronis
Eksaserbasi Eksaserbasi
lebih lanjut lebih lanjut Gejala
LAMA persisten/
+ LABA eksaserbasi
+ ICS lebih lanjut
LAMA
Eksaserbasi
lebih lanjut
Grup A Grup B
Gejala persisten
Evaluasi hasil
30
Gambar 5.1. Pengelolaan farmakologi PPOK stabil22
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
6.2. Saran
31