Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD)
tahun 2014 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai
penyakit respirasi kronis yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya
hambatan aliran udara yang persisten dan biasanya bersifat progresif serta
berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronis saluran nafas yang
disebabkan oleh gas atau partikel iritan tertentu. Eksaserbasi dan komorbid
berperan pada keseluruhan beratnya penyakit pada seorang pasien.1
Pada definisi ini tidak lagi dimasukan terminologi bronkhitis kronik dan
emfisema karena emfisema merupakan suatu diagnosis patologik dan bronkitis
kronis merupakan suatu diagnosis klinis, dan secara khusus dikemukakan
pentingnya eksaserbasi dan komorbid pada definisi GOLD 2014.1,2
PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebabnya antara lain
meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya faktor penjamu yang
diduga berhubungan dengan kejadian PPOK. Merokok merupakan faktor risiko
terpenting penyebab PPOK disamping faktor risiko lainnya seperti pencemaran
udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan, di tempat kerja dan faktor
genetik.2,3
World Health Organization (WHO) dalam Global Status of Non-
communicable Diseases tahun 2010 mengkategorikan PPOK ke dalam empat
besar penyakit tidak menular yang memiliki angka kematian yang tinggi setelah
penyakit kardiovaskular, keganasan dan diabetes. GOLD Report 2014
menjelaskan bahwa biaya untuk kesehatan yang diakibatkan PPOK adalah 56%
dari total biaya yang harus dibayar untuk penyakit respirasi. Biaya yang paling
tinggi adalah diakibatkan kejadian eksaserbasi dari penyakit ini.1
WHO memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK
akan meningkat sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya meningkat
dari ke-6 menjadi ke-3 setelah penyakit jantung iskemik dan penyakit

1
kardiovaskular.4 Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Departemen
Kesehatan RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronchial menduduki peringkat
ke enam setelah penyakit jantung, stroke, infeksi saluran nasfas bawah,
HIV/AIDS dan penyakit perinatal.2 Data di Indonesia berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%.
Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih
tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding perempuan(3,3%).5

1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian
Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi dan diharapkan
agar dapat menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi
para pembaca khususnya kalangan medis tentang diagnosis dan penatalaksanaan
PPOK.

1.2.2. Tujuan Khusus


Tujuan penulisan dari referat ini adalah untuk mengetahui anatomi dan
fisiologi paru, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, penegakkan diagnosis,
penatalaksanaan dan komplikasi PPOK.

1.3. Metode Penulisan


Referat ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada
berbagai literatur.

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAPSAN

2.1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan

2
Gambar 2.1. Anatomi Sistem Pernafasan6

Sistem pernafasan terbagi dua yaitu saluran pernafasan bagian atas yang
terdiri dari rongga hidung, faring, laring dan pernafasan bagian bawah terdiri
dari trakea, bronkus, bronkiolus dan alveolus. 7

Gambar 2.2. Mekanisme Pernafasan6

Mekanisme pernafasan meliputi proses inspirasi yaitu memasukan udara


ke paru-paru dan ekspirasi yaitu pengeluaran udara dari paru-paru. Proses
inspirasi dan ekspirasi melibatkan kontraksi - relaksasi otot-otot tulang rusuk dan
otot diafragma seperti pada (gambar 2.2).6

3
Gambar 2.3 Fisiologi pernafasan8

Pernafasan mencakup dua proses yang terpisah tetapi berkaitan yang terdiri
dari pernafasan internal dan pernafasan eksternal. Prosesnya mencakup empat
langkah seperti (gambar 2.3) yaitu:8

4
1. Udara secara bergantian dimasukan dan dikeluarkan dari paru sehingga
udara dapat dipertukarkan antara atmosfer (lingkungan eksternal) dan
alveolus paru. Pertukaran ini melalui mekaisme bernafas atau ventilasi.
Kecepatan ventilasi diatur untuk menyesuaikan aliran udara antara
atmosfer dan alveolus sesuai kebutuhan metabolik tubuh akan penyerapan
O2 dan pengeluaran CO2.
2. Oksigen dan karbondioksida dipertukarkan antara udara di alveolus dan
darah didalam kapiler paru melalui proses difusi.
3. Darah mengangkut O2 dan CO2 antara paru dan jaringan.
4. Oksigen dan karbondioksida dipertukarkan antara jaringan dan darah
melalui proses difusi menembus kapiler sistemik (jaringan) untuk proses
metabolik yang dilakukan di dalam mitokondria dimana glukosa dari
makanan bereaksi dengan oksigen dari pernafasan untuk menghasilkan
energi biokimia dalam bentuk Adenosin Triofosfat (ATP).

BAB III
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

3.1. Etiologi PPOK

5
Faktor resiko yang paling umum adalah merokok dan yang lainnya berupa
riwayat pekerjaan, polusi udara, stres oksidatif, infeksi saluran nafas berulang dan
defisiensi alfa-1 antitripsin.9

1. Merokok
Asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab
gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian
dilaporkan bahwa terdapat penurunan VEP1. Angka kematian pada
perokok mempunyai nilai yang bermakna dibandingkan dengan bukan
perokok. Resiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang
dihisap dan usia mulai merokok.

Asap rokok mengandung lebih 4.000 zat kimia, 40 diantaranya


merupakan penyebab terjadinya kanker (karsinogen) pada organ tubuh
manusia. Zat-zat kimia yang beracun dan berbahaya untuk pernafasan
adalah nikotin, tar, kerbon monoksida, karbon dioksida.10

Hal yang dapat membantu penilaian faktor resiko merokok pada


PPOK antara lain:2
a. Riwayat merokok (Perokok aktif, perokok pasif dan bekas perokok).
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB)
Yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari
dikalikan lama merokok dalam tahun :
Ringan : 0-200
Sedang : 200-600
Berat : >600

2. Riwayat Pekerjaan
Polusi ditempat kerja: polusi dari tempat kerja misalnya debu debu
organik (debu sayuran dan bakteri atau racun racun dari jamur), industri
tekstil (debu dari kapas) dan lingkungan industri (pertambangan, industri
besi dan baja, industri kayu).11

3. Polusi udara
Polusi udara terbagi menjadi :

6
Polusi di dalam ruangan
- Asap rokok
- Asap kompor
Polusi di luar ruangan
- Gas buang kendaraan bermotor
- Debu jalanan

4. Stres oksidatif
Ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang
menyebabkan terjadinya PPOK.

5. Riwayat Infeksi Saluran Nafas Bawah Berulang


Infeksi saluran pernafasan adalah faktor resiko yang berpotensi
untuk perkembangan dan progresifitas PPOK pada orang dewasa.

6. Defisiensi Alfa-1 Antitripsin


Faktor resiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan alpha-
1 antitripsin sebagai inhibitor dari protease serin.2

3.2. Patofisiologi PPOK


a. Patofisiologi rokok dapat menyebabkan PPOK

2 4

Tc1

7
Gambar 3.1. Patofisiologi rokok menyebabkan PPOK12
1. Asap rokok mengandung zat berbahaya untuk pernafasan yaitu
nikotin, tar, karbon monoksida dan karbon dioksida. Zat ini
dapat mengiritasi saluran pernafasan.
2. Asap rokok mengaktifkan sel epitel saluran pernafasan. Sel
epitel menghasilkan mediator inflamasi (TGF dan CTG)
3. Mediator inflamasi TGF dapat menyebabkan fibrosis pada
saluran pernafasan perifer.
4. Asap rokok mengaktifkan makrofag alveolar. Makrofag
meningkatkan mediator inflamasi ( kemotaktik factor, IL 8,
CXC chemokines dan LTB4) dan protease serta menunjukkan
fagositosis yang tidak sempurna.
5. Limfosit T: CD4+ meningkat pada dinding saluran nafas dan
parenkim paru, dengan peningkatan rasio CD8+Peningkatan sel
T CD8+ (Tc1) dan sel Th1 yang mensekresikan interferon
gamma, merupakan sel sitotoksik untuk sel-sel alveolar yang
berkontribusi terhadap kerusakan alveolar.
Limfosit B meningkat dalam saluran nafas perifer dan folikel
limfoid sebagai respon terhadap kolonisasi kuman dan infeksi
saluran nafas. Eosinofil meningkat di dalam sputum dan
dinding saluran nafas selama eksaserbasi.
6. Neutrofil meningkat dalam dahak perokok. Neutrofil
ditemukan sedikit pada jaringan. Keduanya mungkin
berhubungan dengan hipersekresi lendir dan pelepasan
protease.
7. Protease menyebakan destruksi dining alveolar dan
hipersekresi mukus. (Gambar 3.1).

b. Patofisiologi stress oksidatif menyebabkan PPOK


Stress oksidatif adalah keadaan dimana jumlah radikal bebas di
dalam tubuh melebihi kapasitas untuk menetralkannya. Stress oksidatif
terjadi akibat ketidakseimbangan antioksidan dan oksidan.1

8
Antioksidan adalah zat yang mampu memperlambat atau mencegah
proses oksidasi, contohnya vitamin A, C, E, melantonin, betakaroten,
seperti sayur-sayuran, kacang-kacangan, jagung, kedelai dan buah.
Oksidan adalah reaksi kimia yang dapat menghasilkan radikal bebas,
sehingga memicu reaksi berantai yang dapat merusak sel, oksidan
terdapat pada fast food, makanan kemasan/ kaleng dan polusi udara.

Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan


endogen timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan
eksogen dari polutan dan asap rokok. Biomarker stres oksidatif
(misalnya, peroksida hidrogen, 8-isoprostan) meningkat dalam dahak,
kondensat hembusan nafas dan sirkulasi sistemik pada pasien PPOK.
Stres oksidatif lebih lanjut meningkat pada eksaserbasi. Oksidan yang
dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat yang dihirup lainnya yang
dilepaskan dari sel-sel inflamasi (seperti makrofag dan neutrophil)
diaktifkan. Mungkin juga ada penurunan antioksidan endogen pada
pasien PPOK. 2

Stres oksidatif memiliki beberapa konsekuensi yang merugikan di


paru, termasuk aktivasi gen inflamasi, inaktivasi antiproteases,
stimulasi sekresi lendir, dan stimulasi eksudasi plasma meningkat.
Banyak dari efek samping dimediasi oleh peroxynitrite, yang dibentuk
melalui interaksi antara anion superoksida dan oksida nitrat. Oksida
nitrat yang dihasilkan oleh sintase oksida nitrat induktif, terdapat pada
saluran udara perifer dan parenkim paru pasien PPOK. Stres oksidatif
juga dapat mencakup pengurangan dalam kegiatan histone deacetylase
pada jaringan paru dari pasien PPOK, yang dapat menyebabkan
peningkatan ekspresi gen inflamasi dan juga pengurangan tindakan
anti-inflamasi glukokortikosteroid.12

c. Defisiensi Alfa-1 Antitripsin

9
Gambar 3.2. Defisiensi Alfa-1 Antitripsin12

Faktor resiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan


alpha-1 antitripsin sebagai inhibitor dari protease serin. Alfa-1-antitripsin
merupakan inhibitor protease yang diproduksi di hati dan bekerja
menginhibisi neutrophil elastase di paru. Jika konsentrasi plasma alfa-1-
antitripsin dibawah dari 1g/liter maka resiko berkembangnya emfisema
akan meningkat drastis dan menjadi PPOK.

Kekurangan alfa 1 antitripsin hanya sebagian kecil dari populasi di


dunia. Paling sering dijumpai pada individu origin Eropa Utara.
Ditemukan pada usia muda dengan kelainan emphysema panlobular
dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan
perokok dengan kekurangan alpha-1 antitripsin yang berat. Defisiensi
antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia. Resiko obstruksi aliran
udara yang di turunkan secara genetik telah diteliti pada perokok yang
mempunyai keluarga dengan PPOK berat. Hasil penelitian menunjukkan
keterkaitan bahwa faktor genetik mempengaruhi kerentanan timbulnya
PPOK. (Gambar 3.2)2

3.3. Eksaserbasi

10
Eksaserbasi adalah kejadian akut yang ditandai dengan perburukan gejala
13
bila dibandingkan dengan hari-hari biasa, serta memerlukan perubahan terapi.
Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon inflamasi dalam
saluran nafas pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus atau oleh
polusi lingkungan. Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan eksaserbasi PPOK,
masih banyak yang belum diketahui.1

Dalam eksaserbasi ringan dan sedang terdapat peningkatan neutrofil,


beberapa studi lainnya juga menemukan eusinofil dalam dahak dan dinding
saluran nafas. Hal ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi mediator tertentu,
termasuk TNF-, LTB4 dan IL-8, serta peningkatan biomarker stress oksidatif.
Pada eksaserbasi berat masih banyak hal yang belum jelas, meskipun salah satu
penelitian menunjukan peningkatan neutrofil pada dinding saluran nafas dan
peningkatan ekspresi kemokin. Selama eksaserbasi terlihat peningkatan
hiperinflasi dan terperangkapnya udara, dengan aliran ekspirasi berkurang,
sehingga terjadi sesak nafas yang meningkat.2

3.4. Komorbiditas
Penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, depresi, anxietas, disfungsi otot
skletal, sindroma metabolik dan kanker paru sering dijumpai pada penderita
PPOK.13
Kejadian kardiovaskular merupakan alasan utama pasien PPOK dirawat,
sekitar 50% dari semua rawatan pasien PPOK dan penyebab kedua kematian
(sekitar 20-25%) pada penderita dengan PPOK ringan sampai sedang. Hubungan
antara PPOK dan penyakit jantung kroner didasari oleh adanya inflamasi sistemik,
yang ditandai dengan peningkatan penanda inflamasi sistemik seperti CRP dan
TNF alfa. Peningkatan derajat PPOK berbanding lurus dengan peningkatan
inflamasi sistemik yang terjadi dan inflamasi tersebut diperkirakan menyebabkan
peningkatan aterosklerosis.

Hasil penelitian potong lintang menunjukkan prevalensi osteoporosis


sebesar 75% pada pasien dengan PPOK GOLD stadium 4 yang sangat berkorelasi

11
dengan pengurangan massa bebas lemak terutama pada wanita. Fraktur vertebra
ditemukan pada lebih dari 50% laki-laki penderita PPOK tanpa riwayat
menggunakan steroid. Osteoporosis diaktifkan oleh tingginya kadar serum IL-6
dan TNF alfa pada pasien PPOK. Peningkatan kadar IL-6 dan TNF alfa
merangsang diferensiasi makrofag menjadi osteoklas lewat sel-sel mesenkim.

Pasien dengan PPOK adalah 3 sampai 4 kali lebih mungkin menderita


kanker paru-paru daripada perokok dengan fungsi paru normal. Kanker paru-paru
ditemukan pada 40-70% pasien dengan PPOK, terutama pada penyakit yang berat,
dan hal ini merupakan penyebab umum kematian pada PPOK.

Peradangan sistemik pada pasien PPOK, dan khususnya sitokin


proinflamasi TNF alfa dan IL-6 dapat menimbulkan resistensi insulin serta
meningkatkan resiko DM dan sindroma metabolik yang ditandai dengan obesitas
sentral, diabetes, hipertensi, dan hiperlipidemia. 14

3.5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah:2
1) Gagal nafas
Pada pasien PPOK dapat mengalami gagal nafas ketika struktur paru
mengalami kerusakan secara irreversible. Gagal nafas terjadi apabila penurunan
oksigen terhadap karbondioksida dalam paru dengan hasil analisis gas darah PO2
< 60 mmHg dan PCO2 > 60 mmHg.
2) Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada
kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya
kadar limposit darah.
3) Kor pulmonal
Pada pasien PPOK karena hipoksia menyebabkan vasokontriksi pembuluh
darah kecil paru. Pada pembuluh darah saluran udara mengalami disfungsi respon
inflamasi dan sel endotel. Hilangnya pembuluh darah kapiler memberikan

12
peningkatan tekanan sirkulasi paru yang progresif.

3.6. Prognosis
Prognosis PPOK tergantung pada beratnya obstruksi, adanya kor pulmonale,
kegagalan jantung kongestif dan derajat gangguan analisa gas darah. Prognosis
penyakit ini bervariasi. Bila pasien tidak berhenti merokok, penurunan fungsi paru
akan lebih cepat dari pada bila pasien berheenti merokok. Prognosis jangka
pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan gejala klinis pada
waktu berobat. Penderita dengan sesak nafas ringan (<50 tahun), 5 tahun
kemudian akan terlihat perbaikan. Tetapi, bila penderita datang dengan sesak
sedang, maka 5 tahun kemudian 42% penderita akan sesak lebih berat dan
meninggal.

BAB IV
DIAGNOSIS PPOK

4.1. Diagnosis PPOK


4.1.1. Anamnesis
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan:
Tabel 4.1 Indikator kunci untuk mendiagnosis PPOK2

Gejala Keterangan
Sesak -Progresif ( sesak bertambah berat seiring
perjalanan waktu)
-Bertambah berat dengan aktifitas
Persistent (menetap sepanjang hari)
-Dijelaskan oleh bahasa pasien perlu
usaha untuk bernafas, Berat, sukar
bernafas, terengah-engah
Batuk Kronik -Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak

13
Batuk kronik Berdahak -Setiap batuk kronik berdahak dapat
mengindikasikan PPOK
Riwayat terpajan faktor resiko -Asap rokok
Debu dan bahan kimia ditempat kerja
-Asap dapur

4.1.2. Pemeriksaan Fisik


1. Inspeksi15
a) Abnormalitas dinding dada yang menunjukkan hiper inflasi paru
termasuk iga tampak mendatar
b) Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)

Gambar 4.1. Barrel Chest16

c) Hemidiafragma yang mendatar


d) Laju respirasi istirahat meningkat lebih dari 20 kali/menit dan pola
nafas lebih dangkal.
e) Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)

14
Gambar 4.2. Pursed - lips breathing15

f) Penggunaan otot bantu nafas


g) Hipertofi otot bantu nafas
h) Pelebaran sela iga
i) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
dileher dan edema tungkai.
j) Penampilan pink puffer atau blue bloater

Gambar 4.3. Blue Bloater dan Pink Puffer17


a. Blue Bloater
a. Penderita gemuk
b. Sianosis
c. Edema tungkai
d. Ronki basah di basal paru
b. Pink Puffer

15
a. Penderita kurus
b. Kulit kemerahan
c. Pernapasan pursed lips breathing

2. Palpasi15
a) Irama jantung diapeks mungkin sulit ditemukan karena
hiperinflasi paru
b) Hiperinflasi menyebabkaan hati letak rendah dan mudah
dipalpasi
c) Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

3. Perkusi15
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.

4. Auskultasi15
a) Suara nafas vesikuler normal, atau melemah
b) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada
ekspirasi paksa
c) Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh, lebih keras pada processus
xypoideus.

4.1.3. Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis PPOK ditegakkan tidak hanya berdasarkan gejala dan tanda
klinis yang dialami pasien, tetapi juga berdasarkan hasil laboratorium dan
radiodiagnostik.2

1. Darah rutin
Dari pemeriksaaan analisa gas darah PCO2 yang meningkat dan
hb yang menuru menyebabkan terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan
penambahan eritropoisis. Hipoksia yang kronik merangsang
pembentukan eritropoitin sehingga menimbulkan polisitemia.18

2. Elektrokardiografi
Untuk mengetahui adanya komplikasi pada jantung. Bila ada
komplikasi cor pulmonale maka dapat ditemukan gelombang P
pulmonal, right bundle branch block, dan right ventricular hypertrophy
(dapat terjadi karena hipoksemia kronis).19

16
Gambar 4.4. Gambaran EKG PPOK19

3. Analisis gas darah


Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan
pH normal atau menurun, HCO3- menurun.2
4. Faal paru
a. Spirometri

Pengukuran spirometri dievaluasi dengan membandingkan hasil
pengukuran terhadap nilai acuan yang tepat berdasarkan usia,
tinggi badan, jenis kelamin dan ras.2

Cara kinerja spirometri :
Volume ekspirasi dilakukan dengan benar
Rekaman harus dilakukan cukup waktu untuk mencatat
suatu kurva volume/waktu yang dicapai, mungkin
memerlukan waktu lebih dari 15 detik pada penyakit berat.
Baik KVP maupun VEP1 harus merupakan nilai terbesar
yang diperoleh dari salah satu 3 kurva dengan teknis yang
benar, nilai KVP dan nilai VEP1 dalam tiga kurva harus
bervariasi dengan perbedaan tidak lebih dari 5% atau 100
ml.

17
Rasio VEP1/KVP harus diambil dari kurva yang secara
teknis dapat diterima dengan nilai terbesar dari KVP
maupun VEP1.
Evaluasi:
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)

Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%).

Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75%

VEP1 % merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit.1,2

Gambar 4.5. Volume Ekspirasi Paksa 20

18
Gambar 4.6. Volume Ekspirasi20

b. Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi
sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20 % nilaiawal dan
< 200 ml. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
VEP1 harus diukur sebelum diberikan bronkodilator.
Bronkodilator harus diberikan dengan inhaler dosis terukur melalui
perangkat spacer atau nebulizer untuk meyakinkan telah dihirup.
Dosis bronkodilator harus ditentukan untuk mendapatkan kurva
tertinggi pada dosis tertentu. Protokol dosis yang memungkinkan
adalah 400 g 2-agonis, hingga 160 g antikolinergik, atau
gabungan keduanya. VEP1 harus diukur lagi 10-15 menit setelah
diberikan bronkodilator kerja singkat tau 30-45 menit setelah
diberikan bronkodilator kombinasi. Peningkatan VEP1 yang baik
dan dianggap bermakna bila lebih besar dari 200 ml atau 12% di
atas VEP1 sebelum pemberian bronkodilator. Hal ini sangat
membantu untuk melihat perubahan serta perbaikan klinis. 2

5. Radiologi
Rontgen toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
penyakit paru lain.

19
Gambar 4.6 Rontgen toraks normal20

Gambar 4.7 Rontgen toraks pada PPOK20

Pada pasien PPOK tampak kedua lapangan paru terlihat lebih


hitam dan lebih besar secara volume dibandingkan dengan gambaran
normal. Hemidiafragma terlihat rata dan pada bagian tengah Lebih
sedikit pembuluh darah yang terlihat secara peripheral terutama di
bagian atas dan tengah, tetapi arteri pulmonari terlihat besar di
pertengahan, menandakan adanya perkembangan hipertensi arterial
pulmonari lanjutan.20

6. Ekokardiografi
Ekokardiografi dua dimensi dapat memperlihatkan dimensi ruang-ruang
jantung secara multiple sehingga berguna untuk menilai hipertrofi ventrikel

20
kanan. Ekokardiografi M-Mode memberikan gambaran yang terbatas dalam
evaluasi ventrikel kanan namun dapat memperlihatkan pergerakan katup
pulmoner abnormal pada hipertensi pulmoner.21

4.2. Penilaian Gejala PPOK

Tabel 4.2. Modified British Medical Research Council (mMRC) questionnaire22

Centang kotak yang sesuai dengan kondisi pasien (hanya satu kotak saja)

mMRC Grade 0 Saya hanya susah bernapas jika aktivitas berat

mMRC Grade 1 Napas saya menjadi pendek jika naik tangga


dengan bergegas atau berjalan ke tanjakan

mMRC Grade 2 Saya berjalan lebih lambat dibandingkan teman


sebaya karena susah bernapas, atau saya harus
berhenti untuk mengambil napas ketika berjalan
di tangga

mMRC Grade 3 Setelah berjalan 100 meter atau beberapa menit


di tangga, saya harus berhenti untuk mengambil
napas

mMRC Grade 4 Saya tidak bisa keluar rumah karena susah


bernapas atau tidak bisa mengganti baju karena
susah bernapas

21
Gambar 4.8. COPD Assessment Test (CATTM)22

4.3. Pengelompokan Pasien PPOK

Riwayat Eksaserbasi

2 atau 1
menyebabkan
hospitalisasi
C D
0 atau 1 (tidak
menyebabkan
hospitalisasi)
A B
mMRC 0-1 mMRC 2
CAT < 10 CAT 10

Gejala
Gambar 4.9. Pengelompokan pasien PPOK22

4.4. Klasifikasi Derajat PPOK

22
Tabel 4.2. Klasifikasi derajat keparahan hambatan aliran udara

Gold 1 Ringan VEP 1 80% prediksi

Gold 2 Sedang 50% VEP 1 < 80 % prediksi

Gold 3 Berat 30 % VEP 1 < 50 % predileksi

Gold 4 Sangat berat VEP 1 < 30 % prediksi

4.3. Diagnosis Banding

Tabel 4.3. Diagnosis banding PPOK21

Diagnosis Gejala
Asma Onset awal sering pada anak.
Gejala bervariasi dari hari ke hari.
Gejala pada malam / menjelang pagi.
Disertai alergi, rinitis atau eksim .
Riwayat keluarga dengan asma.
Sebagian besar keterbatasan aliran udara reversible
Gagal jantung Auskultasi,terdengar ronki halus di bagian basal.
kongestif Foto toraks tampak jantung membesar, edema paru.
Uji fungsi paru menunjukkan restriksi bukan
obstruksi.
Bronkiekstasis Sputum produktif dan purulen.
Umumnya terkait dengan infeksi bakteri.
Auskultasi terdengar ronki kasar
Foto toraks /CT-scan toraks menunjukkan pelebaran
dan penebalan bronkus.
Tuberculosis Onset segala usia
Foto toraks menunjukkan infiltrat di paru.
Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)
Prevalensi tuberkulosis tinggi di daerah endemis

23
BAB V
PENATALAKSANAAN PPOK

5.1. Tujuan Penatalaksanaan22


a) Mengurangi gejala:
a. Menghilangkan gejala

24
b. Meningkatkan toleransi latihan
c. Meningkatkan status kesehatan
b) Menurunkan resiko:
a. Mencegah perkembangan penyakit
b. Mencegah dan mengobati eksaserbasi
c. Menurunkan angka kematian

5.2. Penatalaksanaan PPOK


Tabel 5.1. Penatalaksanaan menurut derajat PPOK2
DERAJAT I VEP1 /KVP < 70% Hindari faktor risiko :
VEP1 80 % BERHENTI MEROKOK,
Prediksi PAJANAN KERJA
Dipertimbangkan
pemberian vaksinasi
influenza
Tambakan
bronkodilator kerja pendek
(bila diperlukan)
DERAJAT II** VEP1/KVP < 70% Berikan pengobatan rutin
50 % < VEP1< 80 % dengan satu atau lebih
Prediksi bronkodilator kerja lama
Tambahkan rehabilitasi
fisis
DERAJAT III VEP1 /KVP 70% Tambahkan inhalasi
30 % VEP1 50% glukokortikosteroid jika
Prediksi terjadi eksaserbasi
berulang-ulang
DERAJAT IV VEP1 /KVP < 70% Tambahkan pemberian
VEP1 < 30 % oksigen jangka panjang
Prediksi kalau terjadi gagal nafas
kronik
Lakukan tindakan
operasi bila diperlukan

5.2.1 Terapi Non Farmakologis


1. Edukasi2

25
- Berhenti merokok
- Penggunaan obat-obatan
- Penggunaan oksigen
- Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
- Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
- Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
- Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas

5.2.2. Terapi Farmakologis


Tabel 5.2. Pilihan terapi PPOK2, 22

Beta2 agonis
Short acting Beta2 agonis (SABA)
Long acting Beta2 agonis (LABA)
Antikolinergik
Short-acting anticholinergics (SAMA)
Long-acting anticholinergics (LAMA)
Kombinasi short-acting beta2-agonists + anticholinergic dalam satu
inhaler
Kombinasi long-acting beta2-agonists + anticholinergic dalam satu
inhaler
Methylxanthines
Kombinasi long-acting beta2-agonists + ICS dalam satu inhaler
Phosphodiesterase-4 inhibitors

A. Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan
FEV1 atau mengubah variable spirometri dengan cara mempengaruhi
tonus otot polos pada jalan nafas.
2 Agonist (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari 2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan nafas
dengan menstimulasi reseptor 2 adrenergik dengan meningkatkan C-
AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi.
Efek bronkodilator dari short acting 2 agonist biasanya dalam waktu 4-6
jam.
Antikolinergik

26
Efek utamanya adalah memblokade efek asetilkolin pada reseptor
muskarinik. Efek bronkodilator dari short acing anticholinergic inhalasi
lebih lama dibanding short acting 2 agonist.
B. Methylxanthine
Obat ini dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi.
Namun obat ini tidak direkomendasikan jika obat lain tersedia.
C. Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat
memperbaiki gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi
frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1 < 65 % prediksi.
D. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi
dengan menghambat pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan
obat ini memiliki efek samping seperti mual, menurunnya nafsu makan,
sakit perut, diare, gangguan tidur dan sakit kepala. 22,23
5.2.3. Terapi Farmakologis Lainnya2,22,23
Vaksin
: Vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien PPOK usia
>65 tahun.
Alpha-1 Augmentation therapy
: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia muda dengan defisiensi alpha-1
antitripsin herediter berat. Terapi ini sangat mahal, dan tidak tersedia di
hampir semua negara dan tidak direkomendasikan untuk pasien PPOK yang
tidak ada hubungannya dengan defisiensi alpha-1 antitripsin.

Antibiotik
: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang mencetuskan
eksaserbasi.

Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan


: Ambroksol, erdostein, carbocysteine, ionated glycerol dan N-acetylcystein
dapat mengurangi gejala eksaserbasi.

Immunoregulators (immunostimulators, immunomodulator)


Antitusif: Golongan obat ini tidak direkomendasikan.

27
Vasodilator : nitric oxide kontraindikasi pada PPOK stabil. Penggunaan
endothelium modulating agent untuk pengobatan hipertensi pulmoner yang
dihubungkan dengan PPOK tidak direkomendasi.

5.3. Terapi Oksigen


Terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama, bertujuan untuk
memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa,
dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Indikasi
pemberian oksigen:
PaO2 < 60 mmHg atau Saturasi O2 < 90%
PaO2 diantara 55-59 mmHg atau saturasi O2 > 89% disertai kor
pulmonale, perubahan P pulmonale, Ht > 55%, dan tanda-tanda
gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit.
Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat
dengan gagal nafas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada
PPOK eksaserbasi akut di unit gawat darurat ruang rawat ataupun ICU.
Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang di rawat di rumah adalah
pemberian oksigen jangka panjang (Long Term Oxigen Therapy / LTOT),
pemberian oksigen pada waktu aktivitas dan timbul sesak mendadak. Terapi
oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah padakeadaan stabil terutama
bila tidur atau sedang aktrifitas, lama pemberian 15 jam setiap hari. Pemberian
nasal kanul 1-2 L/i. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah
hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.

5.4. Pengelolaan PPOK Stabil


Agonis -2 kerja singkat baik yang dipakai secara reguler maupun saat
diperlukan dapat memperbaiki FEV1 dan gejala, walaupun pemakaian pada
PPOK tidak dianjurkan apabila dengan dosis tinggi. Agonis -2 kerja lama,
durasi kerja sekitar 12 jam atau lebih. Saat ini yang tersedia adalah formoterol
dan salmeterol. Obat ini dipakai sebagai ganti agonis -2 kerja cepat apabila
pemakaiannya memerlukan dosis tinggi atau dipakai dalam jangka waktu
lama. Efek obat ini dapat memperbaiki FEV1 dan volume paru, mengurangi

28
sesak napas, memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan kejadia
eksaserbasi, akan tetapi tidak dapat mempengaruhi mortaliti dan besar
penurunan faal paru. Agonis -2 dengan durasi kerja 24 jam , preparat yang
ada adalah indacaterol. Kortikosteroid inhalasi dipilih pada pasien PPOK
dengan FEV1.
Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan beta2 agonist kerja lama
lebih efektif daripada salah satu antara kortikosteroid dan bronkodilator dalam
peningkatan fungsi paru dan mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan
PPOK sedang sampai sangat berat. Pengobatan jangka panjang dengan
kortikosteroid oral tidak direkomendasikan.
Phosphodiesterase-4 inhibitors, pada GOLD 3 dan GOLD 4 pasien dengan
riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronis, phosphodiesterase-4 inhibitor
roflumilast ini mengurangi eksaserbasi pada pasien yang di terapi dengan
kortikosteroid oral. 24

5.5. Pengelolaan PPOK Eksaserbasi


Eksaserbasi dari PPOK didefignisikan sebagai kejadian akut dengan
karakteristik perburukan gejala respirasi yang biasanya lebih parah dari gejala
normal dan biasanya akan merubah pengobatan.
Menilai keparahan eksaserbasi secara garis besar ada 3 yang perlu dinilai
yaitu pengukuran gas darah arterial, foto torak berguna untuk mengeleminasi
diagnosis lain, dan pada elektrokardiograpi bisa membantu diagnosis masalah
jantung pada eksaserbasi. Tes spirometrik tidak direkomendasikan selama
eksaserbasi karena sulit dilakukan dan pengukurannya bisa tidak akurat. 24
Manajemen eksaserbasi pada PPOK diberikan oksigen dengan target
saturasi 88-92%. Pemberian Tingkat oksigenasi yang adekuat (PaO2 > 8,0
kPa, 60 mmHg atau SaO2 >90%) mudah tercapai pada pasien PPOK yang
tidak ada komplikasi, tetapi retensi CO2 dapat terjadi secara perlahan-lahan
dengan perubahan gejala yang sedikit sehingga perlu evaluasi ketat
hiperkapnia. Gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury
mask) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau non-
rebreathing, tergantung kadar PaCO2 dan PaO2. Pemberian rebreathing mask
(RM) diberikan bila PCO2 menurun dan pemberian oksigen non rebreathing
mask (NRM) bila PCO 2 meningkat. Pada PPOK NRM di kontraindikasi.

29
Jadi oksigen yang diberikan adalah rebreathing mask pemberian rebreathing
mask untuk mencegah terjadinya hiperkapnea. 23
Beta 2 -agonist kerja cepat dengan atau tanpa antikolinergik kerja cepat
lebih dipilih untuk pengobatan eksaserbasi. Kortikosteroid sistemik dapat
meningkatkan fungsi paru FEV1 dan menurunkan resiko kekambuhan awal,
kegagalan terapi dan lama dirumah sakit. Dosis sebesar 30-40 mg
prednisolone setiap hari selama 10-14 hari direkomendasikan. Pemberian
antibiotik harus diberikan kepada pasien dengan tiga gejala jantung:
peningkatan dyspnea, peningkatan volume sputum, peningkatan purulence
dari sputum, peningkatan purulence dari sputum dan gejala kardinal lain, dan
membutuhkan ventilasi mekanikal. 21,22,23
Terapi tambahan bergantung pada kondisi klinis dari pasien dan
keseimbangan cairan dengan perhatian spesial pada pelaksanaan diuretik,
antikoagulan, pengobatan komorbiditas, dan aspek nutrisional harus diperhatikan.
23

Grup C Grup D
Pertimbangkan Pertimbangkan
LAMA + LABA LABA + ICS antibiotic gol. makrolida
Roflumilast jika FEV1 <
50% pred. dan pasien (pada pasien
sebelumnya perokok)
bronkitis kronis

Eksaserbasi Eksaserbasi
lebih lanjut lebih lanjut Gejala
LAMA persisten/
+ LABA eksaserbasi
+ ICS lebih lanjut
LAMA
Eksaserbasi
lebih lanjut

LAMA LAMA + LABA LABA + ICS

Grup A Grup B

Lanjut, berhenti atau coba LAMA + LABA


kelas bronchodilator lainnya

Gejala persisten
Evaluasi hasil

LABA atau LAMA


Bronchodilator

30
Gambar 5.1. Pengelolaan farmakologi PPOK stabil22

BAB VI
PENUTUP

6.1. Kesimpulan

1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik


yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat
progressif nonreversibel atau reversibel parsial.
2. Gejala PPOK secara umum ada tiga yaitu, batuk, berdahak dan sesak
nafas khsususnya saat beraktivitas.
3. Diagnosis ditegakkan berdasarkan aanmnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
4. Prinsip penatalaksanaan PPOK seperti berhenti merokok, terapinon
farmakologis dan farmakologis yang sesuai dengan pasien spesifik,
tergantung beratnya gejala, resiko eksaserbasi, availabilitas obat, dan
respon pasien.

6.2. Saran

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang bahaya rokok


terhadap organ tubuh terutama paru-paru melalui media cetak
maupun media elektronik.
2. Meningkatkan kualitas hidup dengan penyesuaian aktifitas serta
melakukan terapi non ramakologis serta farmakologis yang tujuan
utamanya adalah untuk mengurangi keluhan sesak nafas atau
gangguan fisik.
3. Peningkatan penyediaan literatur tentang PPOK.

31

Anda mungkin juga menyukai