Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan kongenital pada kolon yang ditandai dengan

tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus Meissneri dan pleksus mienterikus

Aurbachi. Sembilan puluh persen kelainan ini terdapat pada rektum dan sigmoid. Penyakit ini

diakibatkan oleh karena terhentinya migrasi kraniokaudal sel krista neuralis di daerah kolon

distal pada minggu kelima sampai minggu keduabelas kehamilan untuk membentuk system saraf

intestinal. Kelainan ini bersifat genetik yang berkaitan dengan perkembangan sel ganglion usus

dengan panjang yang bervariasi, mulai dari anus, sfingter ani interna kearah proksimal, tetapi

selalu termasuk anus dan setidaktidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan

pasase usus fungsional.

Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun

patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana

Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini

disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion. Risiko

tertinggi terjadinya penyakit Hirschsprung biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat

keluarga penyakit Hirschsprung dan pada pasien penderita Down Syndrome. Rektosigmoid

paling sering terkena, sekitar 75% kasus, fleksura lienalis atau kolon transversum pada 17%

kasus. Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan risiko terjadinya penyakit

Hirschsprung. Penyakit Hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh ibu

aganglionosis dibandingkan oleh ayah.

Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin mengingat

berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat membahayakan jiwa pasien seperti terjadinya

1
konstipasi, enterokolitis, perforasi usus serta sepsis yang dapat menyebabkan kematian.

Diagnosis kelainan ini dapat ditegakkkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

rontgen dengan foto polos abdomen maupun barium enema, pemeriksaan histokimia,

pemeriksaan manometri serta pemeriksaan patologi anatom. Manifestasi penyakit Hirschsprung

terlihat pada neonatus cukup bulan dengan keterlambatan pengeluaran meconium pertama yang

lebih dari 24 jam. Kemudian diikuti tanda-tanda obstruksi, muntah, kembung, gangguan defekasi

seperti konstipasi, diare dan akhirnya disertai kebiasaan defekasi yang tidak teratur.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan perut yang kembung, gambaran usus pada dinding

abdomen dan bila kemudian dilakukan pemeriksaan colok dubur, feses akan keluar menyemprot

dan gejala tersebut akan segera hilang. Pada pemeriksaan enema barium didapatkan tanda-tanda

khas penyakit ini, yaitu : adanya gambaran zone spastik, zone transisi serta zone dilatasi.

Gambaran mukosa yang tidak teratur menunjukkan adanya enterokolitis. Adanya gambaran zone

transisi akan menunjukkan ketinggian kolon yang aganglionik dengan akurasi 90%. Penyakit

Hirschsprung terdapat kenaikan aktivitas asetilkolinesterase pada serabut saraf dalam lamina

propia dan muskularis mukosa. Pewarnaan untuk asetilkolineserase dengan tehnik Karnovsky

dan Roots akan dapat membantu menemukan sel ganglion di submukosa atau pada lapisan

muskularis khususnya dalam segmen usus yang hipoganglionosis. Pemeriksaan

elektromanometri dilakukan dengan memasukkan balon kecil ke dalam rektum dan kolon,

dengan kedalaman yang berbeda-beda akan didapatkan kontraksi pada segmen aganglionik yang

tidak berhubungan dengan kontraksi pada segmen yang ganglionik. Pemeriksaan patologi

anatomi dilakukan dengan memeriksa material yang didapatkan dari biopi rektum yang

dilakukan dengan cara biopsi hisap maupun biopsi manual. Diagnosis penyakit ini dapat

ditegakkan bila tidak ditemukan sel ganglion Meissner dan sel ganglion Auerbach serta

ditemukan penebalan serabut saraf.

2
Bila hasil pemeriksaan klinis dan radiologis enema barium ditemukan tanda khas

penyakit Hirschsprung, maka tidak seorang pasienpun yang tidak menderita penyakit

Hirschsprung. Insiden penyakit Hirschsprung adalah satu dalam 5.000 kelahiran hidup, dan laki-

laki 4 kali lebih banyak dibanding perempuan.

Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah dan pengobatan

bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasi-komplikasi yang

mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita sampai pada saat operasi

definitif dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit,

asam basa dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi

usus serta mencegah terjadinya sepsis.

Tindakan bedah pada penyakit Hirschsprung terdiri atas tindakan bedah sementara dan

tindakan bedah definitif. Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen

dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal bagian distal.

Tindakan ini dapat mencegah terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama

terjadinya kematian pada penderita penyakit Hirschsprung.

Beberapa metoda penatalaksanaan bedah definitif untuk kelainan Hirschsprung ini telah

diperkenalkan, mula-mula oleh Swenson dan Bill (1946) berupa prosedur rektosigmoidektomi,

Duhamel (1956) berupa prosedur retrorektal, Soave (1966) berupa prosedur endorektal

ekstramukosa serta Rehbein yang memperkenalkan tekhnik deep anterior resection. Sejumlah

komplikasi pasca operasi telah diamati oleh banyak peneliti, baik komplikasi dini berupa infeksi,

dehisiensi luka, abses pelvik dan kebocoran anastomose, maupun komplikasi lambat berupa

obstipasi, inkontinensia dan enterokolitis. Namun secara umum diperoleh gambaran hasil

penelitian bahwa ke-empat prosedur bedah definitif diatas memberikan komplikasi yang hampir

sama, namun masing-masing prosedur memiliki keunggulan tersendiri dibanding dengan

prosedur lainnya, tergantung keahlian dan pengalaman operator yang mengerjakannya.

3
Costa et al. (2006) menyatakan bahwa enterokolitis merupakan komplikasi yang amat

berbahaya dan merupakan penyebab utama terjadinya mortalitas maupun morbiditas pada

penderita penyakit Hirschsprung yang telah dilakukan operasi definitif. Keadaan ini diakibatkan

oleh karena stasis usus yang memicu proliferasi bakteri didalam lumen usus diikuti invasi ke

mukosa sehingga terjadilah inflamasi lokal maupun sistemik.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Penyakit Hirschsprung

Penyakit Hirschsprung juga disebut dengan aganglionik megakolon kongenital

adalah salah satu penyebab paling umum dari obstruksi usus neonatal (bayi berumur

0-28 hari). Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit dari usus besar (kolon) berupa

gangguan perkembangan dari sistem saraf enterik. Pergerakan dalam usus besar

didorong oleh otot. Otot ini dikendalikan oleh sel-sel saraf khusus yang disebut sel

ganglion. Pada bayi yang lahir dengan penyakit Hirschsprung tidak ditemui adanya

sel ganglion yang berfungsi mengontrol kontraksi dan relaksasi dari otot polos dalam

usus distal. Tanpa adanya sel-sel ganglion (aganglionosis) otot-otot di bagian usus

besar tidak dapat melakukan gerak peristaltik (gerak mendorong keluar feses).

Gambar 2.1 Foto penderita penyakit Hirschsprung berumur 3 hari

2.2 Embriologi Kolon

Dalam perkembangan embriologis normal, sel-sel neuroenterik bermigrasi dari

krista neural ke saluran gastrointestinal bagian atas kemudian melanjutkan ke arah


5
6
distal. Sel-sel saraf pertama sampai di esofagus dalam gestasi minggu kelima. Sel-sel

saraf sampai di midgut dan mencapai kolon distal dalam minggu kedua belas. Migrasi

berlangsung mula-mula ke dalam pleksus Auerbach, selanjutnya sel-sel ini menuju ke

dalam pleksus submukosa. Sel-sel krista neural dalam migrasinya dibimbing oleh

berbagai glikoprotein neural atau serabut-serabut saraf yang berkembang lebih awal

daripada sel-sel krista neural.

Glikoprotein yang berperan termasuk fibronektin dan asam hialuronik, yang

membentuk jalan bagi migrasi sel neural. Serabut saraf berkembang ke bawah menuju

saluran gastrointestinal dan kemudian bergerak menuju intestine, dimulai dari

membran dasar dan berakhir di lapisan muskular.

Secara embriologik, kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon kiri

berasal dari usus belakang. Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga buah pita

yang disebut taenia yang berukuran lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga

kolon berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus (kantong kecil) dan biasa disebut

haustra (bejana). Kolon tranversum dan kolon sigmoideum terletak intraperitoneal

dan dilengkapi dengan mesentrium.

Gangguan rotasi usus embrional dapat terjadi dalam perkembangan embriologik

sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai mesentrium yang lengkap. Keadaan ini

memudahkan terjadinya putaran atau volvulus sebagian besar usus yang sama halnya

dapat terjadi dengan mesentrium yang panjang pada kolon sigmoid dengan radiksnya

yang sempit.
2.3 Anatomi dan Fisiologi Kolon

Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang

sekitar 1,5 m yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar

lebih besar daripada usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), namun semakin dekat

dengan anus diameternya pun semakin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum,

kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat

pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus

besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan

mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus.

Kolon terbagi atas kolon asenden, tranversum, desenden, dan sigmoid. Kolon

membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut

dengan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista

iliaka dan membentuk lekukan berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke

kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Bagian utama usus yang terakhir

disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara ke

bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan

dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis

ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci).

Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses

akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorpsi air dan

elektrolit. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses

yang sudah terdehidrasi sampai berlangsungnya defekasi. Kolon mengabsorpsi sekitar

800 ml air per hari dengan berat akhir feses yang dikeluarkan adalah 200 gram
dan 80%-90% diantaranya adalah air. Sisanya terdiri dari residu makanan yang tidak

terabsorpsi, bakteri, sel epitel yang terlepas, dan mineral yang tidak terabsorpsi.

Gambar 2.2 Anatomi Usus besar (Kolon)

2.4 Epidemiologi

2.4.1 Distribusi dan Frekuensi

Penyakit Hirschsprung terjadi pada 1 dari 5.000 kelahiran hidup dan

merupakan penyebab tersering obstruksi saluran cerna bagian bawah pada neonatus.

Penyakit yang lebih sering ditemukan memperlihatkan predominasi pada laki-laki

dibandingkan perempuan dengan perbandingan 4:1. Insidens penyakit Hirschsprung

bertambah pada kasus-kasus familial yang rata-rata mencapai sekitar 6% (berkisar

antara 2-18%). Sementara untuk distribusi ras setara untuk bayi berkulit putih dan

Amerika keturunan Afrika.


Penelitian yang dilakukan Iqbal dkk. (2010) di Rumah Sakit Sheikh Zayed,

Pakistan menunjukkan proporsi penyakit Hirschsprung lebih tinggi pada anak laki-

laki (70,59% ; 12 dari 17 orang) daripada anak perempuan (29,41% ; 5 dari 17

orang). Penelitian tersebut juga menunjukkan proporsi penyakit Hirschsprung lebih

banyak ditemukan pada umur < 2 tahun (58,83% ; 10 dari 17 orang) dibandingkan

dengan umur > 2 tahun (41,17% ; 7 dari 10 orang).

Berdasarkan penelitian Hidayat dalam kurun waktu 3 tahun (2005-2008) di

Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo terhadap 28 kasus penyakit Hirschsprung

menunjukkan proporsi jenis kelamin laki-laki adalah 42,85% (12 dari 28 kasus) dan

pada perempuan adalah 57,15% (16 dari 28 kasus).

Menurut penelitian Kartono yang menangani penyakit Hirschsprung di RS

Cipto Mangunkusumo memperlihatkan proporsi penyakit Hirschprung lebih banyak

ditemukan pada pasien berumur 0-1 bulan yaitu sebesar 29,71% (52 dari 175 orang)

sedangkan untuk umur 1 bulan-1 tahun sebesar 22,85% (40 dari 175 orang). Kartono

juga mencatat penderita penyakit Hirschsprung sebanyak 131 orang (74,85%)

berjenis kelamin lelaki sedangkan perempuan yang berjumlah 44 orang (25,15%).

Hasil penelitian Sari di RSUP H. Adam Malik pada tahun 2005-2009 tercatat

ada 50 orang anak yang menderita penyakit Hirschsprung dan dijadikan sampel

penelitian. Dari 50 orang sampel tersebut, distribusi tertinggi pada kelompok usia 0-2

tahun yaitu sebanyak 40 orang (80%). Ada 36 orang (72%) berjenis kelamin laki-laki

dan 14 orang (28%) berjenis kelamin perempuan yang tercatat menderita penyakit

Hirschsprung.
2.4.2 Determinan Penyakit Hirschsprung

2.4.2.1 Faktor Bayi

2.4.2.1.1 Umur Bayi

Bayi dengan umur 0-28 hari merupakan kelompok umur yang paling rentan

terkena penyakit Hirschsprung karena penyakit Hirschsprung merupakan salah satu

penyebab paling umum obstruksi usus neonatal (bayi berumur 0-28 hari).

2.4.2.1.2 Riwayat Sindrom Down

Sekitar 12% dari kasus penyakit Hirschsprung terjadi sebagai bagian dari

sindrom yang disebabkan oleh kelainan kromosom. Kelainan kromosom yang paling

umum beresiko menyebabkan terjadinya penyakit Hirshsprung adalah Sindrom

Down. 2-10% dari individu dengan penyakit Hirschsprung merupakan penderita

sindrom Down. Sindrom Down adalah kelainan kromosom di mana ada tambahan

salinan kromosom 21. Hal ini terkait dengan karakteristik fitur wajah, cacat jantung

bawaan, dan keterlambatan perkembangan anak.

2.4.2.2 Faktor Ibu

2.4.2.2.1 Umur

Umur ibu yang semakin tua (> 35 tahun) dalam waktu hamil dapat

meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Bayi dengan

Sindrom Down lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang

mendekati masa menopause.


2.4.2.2.2 Ras/Etnis

Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan perkawinan kerabat

dekat (sedarah) seperti suku Batak Toba (pariban) dan Batak Karo (impal).

Perkawinan pariban dapat disebut sebagai perkawinan hubungan darah atau incest.

Perkawinan incest membawa akibat pada kesehatan fisik yang sangat berat dan

memperbesar kemungkinan anak lahir dengan kelainan kongenital.

2.5 Etiologi

Sel neuroblas bermigrasi dari krista neuralis saluran gastrointestinal bagian atas

dan selanjutnya mengikuti serabut-serabut vagal yang telah ada ke kaudal. Penyakit

Hirschsprung terjadi bila migrasi sel neuroblas terhenti di suatu tempat dan tidak

mencapai rektum. Sel-sel neuroblas tersebut gagal bermigrasi ke dalam dinding

usus dan berkembang ke arah kraniokaudal di dalam dinding usus.

Mutasi gen banyak dikaitkan sebagai penyebab terjadinya penyakit

Hirschsprung. Mutasi pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan neoplasia

endokrin 2A atau 2B pada penyakit Hirschsprung. Gen lain yang berhubungan dengan

penyakit Hirschsprung termasuk sel neurotrofik glial yang diturunkan dari

faktor gen yaitu gen endhotelin-B dan gen endothelin -3.


Gambar 2.3 Dilatasi kolon akibat tidak ditemukannya sel saraf pada bagian akhir

usus Pleksus Myenterik (Auerbach) dan Pleksus Submukosal (Meissner)

2.6 Patofisiologi

Istilah megakolon aganglionik menggambarkan adanya kerusakan primer

dengan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom pada pleksus submukosa

(Meissner) dan myenterik (Auerbach) pada satu segmen kolon atau lebih.

Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga

pendorong (peristaltik), yang menyebabkan akumulasi/ penumpukan isi usus dan

distensi usus yang berdekatan dengan kerusakan (megakolon). Selain itu, kegagalan

sfingter anus internal untuk berelaksasi berkontribusi terhadap gejala klinis adanya

obstruksi, karena dapat mempersulit evakuasi zat padat (feses), cairan, dan gas.

Persarafan parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus yang

aganglionik mengakibatkan peristaltik abnormal, konstipasi dan obstruksi usus

fungsional. Di bagian proksimal dari daerah transisi terjadi penebalan dan pelebaran

dinding usus dengan penimbunan tinja dan gas yang banyak.

Penyakit Hirschsprung disebabkan dari kegagalan migrasi kraniokaudal pada

prekursor sel ganglion sepanjang saluran gastrointestinal antara usia kehamilan


minggu ke-5 dan ke-12. Distensi dan iskemia pada usus bisa terjadi sebagai akibat

distensi pada dinding usus, yang berkontribusi menyebabkan enterokolitis (inflamasi

pada usus halus dan kolon), yang merupakan penyebab kematian pada bayi/anak

dengan penyakit Hirschsprung.

2.7 Gambaran Klinis

Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai yakni pengeluaran mekonium yang

terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang

terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan.

Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus,

sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk

waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat

berkurang ketika mekonium dapat dikeluarkan segera.

Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus dan dapat disebabkan

oleh kelainan lain seperti atresia ileum. Muntah yang berwarna hijau disebabkan oleh

obstruksi usus, yang dapat pula terjadi pada kelainan lain dengan gangguan pasase

usus, seperti pada atresia ileum, enterokolitis netrotikans neonatal, atau peritonitis

intrauterine. Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita

penyakit Hirschsprung yang dapat menyerang pada usia berapa saja namun yang

paling tinggi saat usia dua-empat minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia

satu minggu. Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feses berbau busuk, dan

disertai demam.
2.8 Penatalaksanaan

Sampai pada saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya dapat

dilakukan dengan pembedahan. Tindakan-tindakan medis dapat dilakukan tetapi

untuk menangani distensi abdomen dengan pemasangan pipa anus atau pemasangan

pipa lambung dan irigasi rektum. Pemberian antibiotika dimaksudkan untuk

pencegahan infeksi terutama untuk enterokolitis dan mencegah terjadinya sepsis.

Cairan infus dapat diberikan untuk menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, dan

asam basa tubuh.

Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama

dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi definitif.

Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah komplikasi

dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan menghilangkan

distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien. Tahapan kedua adalah

dengan melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang ganglionik

dengan bagian bawah rektum.

Dikenal beberapa prosedur tindakan definitif yaitu prosedur Swensons

sigmoidectomy, prosedur Duhamel, prosedur Soaves Transanal Endorectal Pull-

Through, prosedur Rehbein dengan cara reseksi anterior, prosedur Laparoskopic Pull-

Through, prosedur dan prosedur miomektomi anorektal.

Setelah diagnosis penyakit Hirschsprung ditegakkan maka sejumlah tindakan

praoperasi harus dikerjakan terlebih dahulu. Apabila penderita dalam keadaan

dehidrasi atau sepsis maka harus dilakukan stabilisasi dan resusitasi dengan

pemberian cairan intravena, antibiotik, dan pemasangan pipa lambung. Apabila


sebelum operasi ternyata telah mengalami enterokolitis maka cairan resusitasi cairan

dilakukan secara agresif, pemberian antibiotik broad spektrum secara ketat kemudian

segera dilakukan tindakan dekompresi usus.

2.9 Komplikasi

Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat digolongkan

atas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi sfingter.

Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada penderita penyakit

Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan invasi bakteri

dan translokasi. Perubahan-perubahan pada komponen musin dan sel neuroendokrin,

kenaikan aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau rotavirus

dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada keadaan yang sangat berat

enterokolitis akan menyebabkan megakolon toksik yang ditandai dengan demam,

muntah hijau, diare hebat, distensi abdomen, dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi

nekrosis akibat iskemia mukosa diatas segmen aganglionik akan menyebakan

terjadinya sepsis, pnematosis dan perforasi usus.

Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber pada kondisi obstruksi usus letak

rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan sirkulasi darah pada dinding usus,

sehingga dinding usus mengalami iskemia dan anoksia. Jaringan iskemik mudah

terinfeksi oleh kuman, dan kuman menjadi lebih virulen. Terjadi invasi kuman dari

lumen usus, ke mukosa, sub mukosa, lapisan muscular, dan akhirnya ke rongga

peritoneal atau terjadi sepsis. Keadaan iskemia dinding usus dapat berlanjut yang
akhirnya menyebabkan nekrosis dan perforasi. Proses kerusakan dinding usus mulai

dari mukosa, dan dapat menyebabkan enterokilitis.

Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita

penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling

tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu.

Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam.

Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis

enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi. Kejadian

enterokolitis berdasarkan prosedur operasi yang dipergunakan Swenson sebesar

16,9%, Boley-Soave sebesar 14,8%, Duhamel sebesar 15,4% dan sebesar Lester

Martin 20%. Gambaran klinis distensi abdomen ada sebanyak 29 orang, diare

sebanyak 38 orang, darah pada feses sebanyak 2 orang , muntah sebanyak 31 orang,

dan panas ada sebanyak 22 orang.

2.10 Prognosis

Kelangsungan hidup pasien dengan penyakit Hirschsprung sangat bergantung

pada diagnosis awal dan pendekatan operasi. Secara umum prognosisnya baik, 90%

pasien dengan penyakit Hirschsprung yang mendapat tindakan pembedahan

mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai

masalah dengan saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen.

Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%.
2.11 Pencegahan

2.11.1 Pencegahan Primer

Pencegahan primer pada penderita HIrschsprung dapat dilakukan dengan cara:

a. Health Promotion

Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang disebabkan oleh pengaruh

genetik yang tidak terlepas dari pola konsumsi serta asupan gizi dari ibu hamil

sehingga ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan disarankan berhati-

hati terhadap obat-obatan, makanan awetan dan alcohol yang dapat memberikan

pengaruh terhadap kelainan tersebut. Pada tahap health promotion ini, sebagai

pencegahan tingkat pertama (primary prevention) adalah perlunya perhatian terhadap

pola konsumsi sejak dini terutama sejak masa awal kehamilan. Menghindari

mengkonsumsi makanan yang bersifat karsinogenik, mengikuti penyuluhan mengenai

konsumsi gizi seimbang serta olah raga dan istirahat yang cukup.

b. Spesific Protection

Pada tahap ini pencegahan dilakukan walaupun belum dapat diketahui adanya

kelainan maupun tanda-tanda yang berhubungan dengan penyakit Hirschsprung.

Pencegahan lebig mengarah pada perlindungan terhadap ancaman agent penyakitnya

misalnya melakukan akses pelayanan Antenatal Care (ANC) terutama pada skrining

ibu hamil beresiko tinggi, imunisasi ibu hamil, pemberian tablet tambah darah dan

pemeriksaan rutin sebagai upaya deteksi dini obstetric dengan komplikasi.

2.11.2 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan guna mengetahui adanya penyakit

Hisrchsprung dan menegakkan diagnosis sedini mungkin. Keterlambatan diagnosis


dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang merupakan penyebab kematian seperti

enterokolitis, perforasi usus, dan sepsis. Pada tahun 1946 Ehrenpreis menekankan

bahwa diagnosa penyakit Hirschsprung dapat ditegakkan pada masa neonatal.

Berbagai teknologi tersedia untuk menegakkan diagnosis penyakit

Hirschsprung. Dengan melakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang

teliti, pemeriksaan radiografik, serta pemeriksaan patologi anatomi biopsi isap

rektum, diagnosis penyakit Hirschsprung pada sebagian besar kasus dapat

ditegakkan.
2.11.2.1 Anamnesis

Adapun tanda-tanda yang dapat dilihat pada saat melakukan anamnesis adalah

adanya keterlambatan pengeluaran mekonium pertama yang pada umumnya keluar

> 24 jam, muntah berwarna hijau, adanya obstipasi masa neonatus. Jika terjadi pada

anak yang lebih besar obstipasi semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan

terhambat. Selain itu perlu diketahui adanya riwayat keluarga sebelumnya yang

pernah menderita keluhan serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal

sebelum usia dua minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi.

2.11.2.2 Pemeriksaan Fisik

Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami obstipasi.

Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan

menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan tampak perut anak sudah kembali

normal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui bau dari feses, kotoran yang

menumpuk dan menyumbat pada usus bagian bawah dan akan terjadi pembusukan.
2.11.2.3 Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penting pada penyakit

Hirschsprung. Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan enema

barium merupakan pemeriksaan diagnostik terpenting untuk mendeteksi penyakit

Hirschsprung secara dini pada neonatus. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai

gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi masih sulit untuk

membedakan usus halus dan usus besar.

Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa penyakit

Hirschsprung adalah enema barium, dimana akan dijumpai tiga tanda khas yaitu

adanya daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya

bervariasi, terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah

daerah dilatasi, serta terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit

Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah

24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses. Gambaran khasnya adalah

terlihatnya barium yang membaur dengan feses ke arah proksimal kolon. Sedangkan

pada penderita yang tidak mengalami Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi

kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.


Gambar 2.4 Foto polos abdomen pada penderita penyakit Hirschsprung

Gambar 2.5 Foto barium enema pada penderita penyakit Hirschsprung

2.11.2.4 Pemeriksaan Patologi Anatomi

Diagnosis patologi-anatomik penyakit Hirschsprung dilakukan melalui

prosedur biopsi yang didasarkan atas tidak adanya sel ganglion pada pleksus

myenterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Di samping itu akan

terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut saraf (parasimpatik). Akurasi


pemeriksaan akan semakin tinggi apabila menggunakan pengecatan

immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada

serabut saraf parasimpatik.

Biasanya biopsi hisap dilakukan pada tiga tempat yaitu dua, tiga, dan lima

sentimeter proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan, maka

dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach. Dalam

laporannya, Polley (1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa ada hasil

negatif palsu dan komplikasi.

2.11.2.5 Manometri Anorektal

Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif yang

mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan sfingter

anorektal. Dalam praktiknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil

pemeriksaan klinis, radiologis, dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini

memiliki dua komponen dasar yaitu transuder yang sensitif terhadap tekanan seperti

balon mikro dan kateter mikro, serta sistem pencatat seperti poligraph atau komputer.

Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung

adalah hiperaktivitas pada segmen dilatasi, tidak adanya kontraksi peristaltik yang

terkoordinasi pada segmen usus aganglionik, sampling reflex tidak berkembang yang

artinya tidak dijumpainya relaksasi sfingter interna setelah distensi rektum akibat

desakan feses atau tidak adanya relaksasi spontan.


(a) (b)

Gambar 2.6 (a) Hasil pemeriksaan manometri anorektal pada pasien tanpa penyakit

Hirschsprung sedangkan gambar 2.6 (b) menunjukkan hasil

pemeriksaan manometri anorektal pada penderita penyakit

Hirschsprung
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit Hirschsprung juga disebut dengan aganglionik megakolon kongenital

adalah salah satu penyebab paling umum dari obstruksi usus neonatal (bayi berumur

0-28 hari). Manifestasi penyakit Hirschsprung terlihat pada neonatus cukup bulan

dengan keterlambatan pengeluaran meconium pertama yang lebih dari 24 jam.

Kemudian diikuti tanda-tanda obstruksi, muntah, kembung, gangguan defekasi seperti

konstipasi, diare dan akhirnya disertai kebiasaan defekasi yang tidak teratur.

Diagnosis kelainan ini dapat ditegakkkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan rontgen dengan foto polos abdomen maupun barium enema,

pemeriksaan histokimia, pemeriksaan manometri serta pemeriksaan patologi anatom.

Sampai pada saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya dapat dilakukan

dengan pembedahan.

.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood, Lauralee. (2011). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 6,


(diterjemahkan oleh Brahm U. Pendit). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Grace, Pierce A & Borley Neil R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. Surabaya: Erlangga
3. Mansjoer, Arif (ed). 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta. Media Aesculapius
4. Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC
5. Cilley RE, Statter MB, Hirschl RB,et al. Definitive treatment of Hirschsprungs disease in
the newborn with a one stage procedure. Arch Dis Child 2001;84:212-7.

Anda mungkin juga menyukai