Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ginjal berperan penting sebagai organ pengatur keseimbangan tubuh dan organ
pembuangan zat-zat yang tidak berguna serta bersifat toksis bagi tubuh. Fungsi ginjal
dapat menurun seiring dengan makin tuanya umur seseorang, adanya penyakit, ataupun
akibat penggunaan obat-obatan tertentu dalam jangka waktu yang lama.

Kebanyakan obat ditemukan menyebabkan nefrotoksisitas memberi efek beracun


oleh satu atau lebih umum patogen mekanisme. ini termasuk diubah intraglomerular
hemodinamik, sel tubular toksisitas, infammation, nefropati kristal, rhabdomyolysis, dan
trombotik microan giopathy. Pengetahuan tentang obat menyinggung dan khusus
mereka pathogen ekanisme cedera ginjal sangat penting untuk mengenali dan mencegah
obat-induced gangguan ginjal. Berikut dalam makalah ini akan dibahas mengenai Drug
Induced Renal Disease secara keseluruhan.

1.2 Rumusan Masalah

1) Apa itu Drug Induced Renal Disease ?


2) Bagaimana Patogenesis Obat-Obat Menyebabkan Penyakit ginjal ?
3) Klasifikasi penyakit ginjal yang diinduksi oleh obat ?
4) Gejala dan Tanda, Tipe-Tipe Penyakit ginjal akibat penggunaan obat ?
5) pemeriksaan Laboratorium Klinis ?
6) Faktor Resiko dan pencegahan.?

1.3 Tujuan Makalah

Dapat mengetahui dan memahami Drug Induced Renal Disease secara keseluruhan.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ginjal

Ginjal berperan penting dalam tubuh manusia terutama dalam hal ekskresi obat.Obat-
obatan yang diekskresikan melalui ginjal dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal karena
obat beserta metabolitnya dapat terkonsentrasi di dalam ginjal sehingga menyebabkan
kerusakan pada sel-sel ginjal.Kerusakan ginjal yang terjadi dapat dilihat dengan adanya
penurunan nilai laju filtrasi glomerulus atau peningkatan nilai kreatinin.Penggunaan obat-
obatan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan ginjal baik gagal ginjal akut maupun
gagal ginjal kronik.Obat-obatan yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal di antaranya
adalah golongan aminoglikosida, tenofovir, amfoterisin B, penghambat enzim angiotensin,
golongan analgesik non steroid, siklosporin serta asiklovir.Penggunaan obat-obatan yang
dapat menyebabkan kerusakan ginjal harus dilakukan secara berhati-hati dengan
menggunakan dosis yang tepat dan dilakukan evaluasi serta monitoring terhadap fungsi ginjal.
Penyakit ginjal yang diduga timbul akibat adanya induksi dari obat-obatan tertentu
biasanya dapat dideteksi secara dini melalui kreatinin serum dan nitrogen urea darah. Kedua
parameter tersebut layak dijadikan parameter karena keduanya memiliki hubungan temporal
antara tingkat toksisitas ginjal dan penggunaan obat-obat yang berpotensi nefrotoksik.
Mekanisme terbentuknya penyakit ginjal akibat induksi obat dapat terjadi melalui toksisitas
imunologik (misal: glomerulonefritis dan nefritis interstisial alergik) maupun toksisitas
nonimunologik. Toksisitas imunologik maupun nonimunologik secara langsung akan
mempengaruhi karakteristik fungsi ginjal yang normal. Pencegahan penyakit ginjal akibat
induksi obat yang terbaik adalah dengan menghindari penggunaan obat-obat yang potensial
nefrotoksik. Namun, dalam kondisi tertentu dimana penggunaan obat-obat tersebut tidak
dapat dihindari, maka minimalisasi faktor resiko dengan teknik spesifik seperti hidrasi dapat
digunakan untuk mengurangi resiko nefrotoksik tersebut.

2
Penyakit ginjal terinduksi obat atau nefrotoksisitas obat merupakan suatu komplikasi
yang umum terjadi pada pasien yang menerima pengobatan dengan beberapa obat sekaligus.
Manivestasi klinis dari kondisi tersebut diantaranya adalah :
1. Kelainana asam-basa
2. Ketidakseimbangan elektrolit
3. Kelainan pada sedimentasi urin
4. Proteinuria
5. Pyuria, dan atau
6. Hematuria
Namun manivestasi paling umum dari nefrotoksisitas ini adalah adanya penurunan
laju filtrasi glomerulus (GFR = glomerular filtration rate) yang menyebabkan terjadinya
peningkatan kadar kreatinin serum (Scr) dan nitrogen urea darah (BUN = blood urea
nitrogen). Sehingga wajar jika BUN dan Scr dijadikan sebagai sarana deteksi awal bagi
penyakit ginjal akibat induksi obat ini. BUN dan Scr akan memberikan gambaran temporal
antara tingkat toksisitas ginjal dengan jangka waktu penggunaan obat-obat yang berpotensi

menyebabkan nefrotoksik.

2.2 Pengertian Drug Induced Renal Disease (DIRD)

Drug Induced Renal Disease adalah penyakit ginjal yang diduga timbul akibat
adanya induksi dari obat-obat tertentu. Penyakit ginjal terinduksi obat atau nefrotoksisitas
obat merupakan suatu komplikasi yang umum terjadi pada pasien yang menerima
pengobatan dengan beberapa obat sekaligus. Manivestasi klinis dari kondisi tersebut
diantaranya adalah :

3
1) Kelainana asam-basa
2) Ketidakseimbangan elektrolit
3) Kelainan pada sedimentasi urin
4) Proteinuria
5) Pyuria, dan atau
6) Hematuria
Namun manivestasi paling umum dari nefrotoksisitas ini adalah adanya
penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR = glomerular filtration rate) yang menyebabkan
terjadinya peningkatan kadar kreatinin serum (Scr) dan nitrogen urea darah (BUN
= blood urea nitrogen). Sehingga wajar jika BUN dan Scr dijadikan sebagai sarana
deteksi awal bagi penyakit ginjal akibat induksi obat ini. BUN dan Scr akan memberikan
gambaran temporal antara tingkat toksisitas ginjal dengan jangka waktu penggunaan
obat-obat yang berpotensi menyebabkan nefrotoksik.

2.3 Epidemiologi

Nefrotoksisitas akibat induksi obat terjadi disemua bagian pengaturan dimana


obat tersebut diberikan. Nefrotoksisitas obat terjadi pada sekitar 7% dari semua kasus
toksisitas obat dan sekitar 18-27% kasus gagal ginjal akut yang menjalani perawatan di
rumah sakit dan berkontribusi pada sekitar 35% pada kasus nekrosis tubular akut (NTA)
dan pada sebagian besar kasus nefritis interstisial alergik (NIA), serta nefropati yang
terjadi karena adanya perubahan hemodinamik ginjal dan obstruksi postrenal. Antibiotik
aminoglikosida, media radiokontras, antinflamasi nonsteroid, amfoterisin B dan ACE
inhibitor merupakan contoh-contoh obat yang dapat bersifat nefrotoksik.

Penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) dan obat-obat bebas


meningkatkan resiko nefrotoksik pada pasien yang pernah mengalami gagal ginjal akut.

2.4 Patogenesis Obat-Obat Menyebabkan Penyakit Ginjal

Penyakit ginjal yang diduga timbul akibat adanya induksi dari obat-obatan
tertentu biasanya dapat dideteksi secara dini melalui kreatinin serum dan nitrogen urea
4
darah. Kedua parameter tersebut layak dijadikan parameter karena keduanya memiliki
hubungan temporal antara tingkat toksisitas ginjal dan penggunaan obat-obat yang
berpotensi nefrotoksik. Mekanisme terbentuknya penyakit ginjal akibat induksi obat dapat
terjadi melalui toksisitas imunologik (misal: glomerulonefritis dan nefritis interstisial
alergik) maupun toksisitas nonimunologik. Toksisitas imunologik maupun nonimunologik
secara langsung akan mempengaruhi karakteristik fungsi ginjal yang normal.
Ginjal berperan penting dalam tubuh manusia terutama dalam hal ekskresi
obat.obat-obatan yang diekskresikan melalui ginjal dapat menyebabkan kerusakan pada
ginjal kerena obat beserta metabolitnya dapat terkonsentrasi di dalam ginjal sehingga
menyebabkan kerusakan sel-sel ginjal.kerusakan ginjal yang terjadi dapat di lihat dengan
adanya penurunan nilai laju filtrasi glomerulus atau peningkatan nilai
kreatinin.penggunaan obat-obatan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan ginjal
baik gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronik.obatan-obatan yang dapat menyebaban
kerusakan ginjal adalah golongan aminoglikosida,tenofovir,amfoterisin B, penghambat
enzim angiotensin,golongan analgesik non steroid, siklosporin serta asiklovir.penggunaan
obat-obatan yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal harus dilakukan secara berhati-hati
dengan menggunakan dosis yang tepat dan dilakukan evaluasi serta monitoring terhadap
fungsi ginjal.

2.5 Obat-Obatan Yang Bersifat Nefrotoksik

Kerusakan Sel Epitel Tubulus


1) Nekrosis Tubulus Akut
- Aminoglikosida
Pathogenesis dari penurunan GFR pada pasien yang menerima aminoglikosida
secara predominan menghasilkan kerusakan sel epitel tubulus proksimal yang
akhirnya dapat memicu obstruksi lumen tubular dan hasil filtrasi glumerulus
berindah ke epitel tubular yang sudah rusak. Toksisitas dari beberapa aminglikosida
berkaitan dengan muatan kation , yang difasilitasi oleh ikatan aminoglikosiada yang
telah terfiltrasi pada membrane luminal sel epitel tubulus renal (DiPiro, 2002).

5
Sebagai contoh, neomisin mempunyai gugus amino kationik, merupakan
aminogliksida yang sangat nefrotoksik, dibandingkan streptomisin, dengan 3
gugus amino yang sedikit toksik.
Gentamisin dan tobramisin , dengan 5 gugus amino mempunyai toksisitas
sedang dibandingkan amikasin dan netilmisin, dengan 4 dan 3 gugus amino,
yang biasanya sedikit toksik.
Pengikatan sel epitel tubular diikuti oleh transport intraseluler dan konsentrasi
dalam lisosom. Ikatan berikutnya dengan fosfolipid menyebabkan terjadinya
agregasi dan penghambatan aktivitas fosfolipase (DiPiro, 2002).

Disfungsi sel dan kematian yang disebabkan oleh pelepasan enzim lisosom
kedalam sitosol, penambahan rektif oksigen spesies, penurunan metabolisme sel,
dan penurunan sifat alir dalam mebran sel memicu penurunan dari aktivitas
pengikatan membrane dengan enzim, termasuk Na+-K+- ATPase, dipeptidyl
peptidase IV, dan aminopeptidase netral. Meskipun ikatan aminoglikosida pada
sel epitel tubular di fasilitasi oleh jumlah gugus kation yang ada, resiko toksisitas
juga merupakan faktor yang berpengaruh (DiPiro, 2002).

- Cisplatin/Carboplatin
Kerusakan tubulus proksmal muncul secara akut setelah pengguaan senyawa
mengandung platin, sebahai hasil ke tidakseimbangan produksi energy sel,
mungkin berpengaruh pada ikatan protein pada sel tubulus proksimal dengan gugus
sulfhidril dan gangguan aktivitas enzim sel dan fosforilasi oksidatif. Kerusakan
tubulus proksimal diikuti oleh penurunan GFR yang progresiv dan gangguan fungsi
tubulus distal (DiPiro, 2002).

- Amphotericin B
Mekanisme disfungsi gnjal termasuk toksisitas sel epitel tubulus secara langsung
dengan peningkatan permeabilitas tubulus dan nekrosis, hingga terjadi
vasokonstriksi arteri san iskemia. Permeabilitas membrane tubulus meningkat
tehadap Na dan K ketika amfoterisin berikatan dengan membrane dan bekerja
sebagai inophore. Vasokonstriksi ginjal terjadi dari mekanisme yang tidak sesuai,

6
mungkin termasukefek dari amfoterisin B pada influk Ca seluler dan aktivasi
vasokonstriktor prostaglandin. Diatas semua itu, kombinasi efek dari ditingkakanya
energy sel dan kebutuhan oksigen menyebabkan penigkatan permeabilitas
membrane sel, dan pengurangan penghantaran oksigen pada saat vasokonstriksi
renal menghasilkan nekrosis sel epitel tubulus dan kerusakan renal (DiPiro, 2002).

2) Osmotic Nephrosis
- Mannitol
Mekanismenya adlah pinositosis manitol kedalam sel, menyebabkan penembangan
sel dan obstruksi tubulus ginjal. Manitol dapat menyebabkan vasokonstriksi renal
secara langsung atau mengindksi diuretic osmosis dengan peningkatan
penghantaran cairan ke macula densa dan aliran balik tubloglomerular memicu
vasokonstriksi arteriole aferan pada glomerulus dan penurunan aliran darah ke
ginjal (DiPiro, 2002).

- Intravenous immunoglobulin
Larutan immunoglobulin intravena terdiri tari sukrosa hiperosmolar dan dapat
menyebabkan nefrosis osmotik dan gagal ginjal akut, yang bersifat reversiel denga
terapi diskontinu (DiPiro, 2002).

Hemodynamically-Mediated Renal Failure


- Angiotensin-converting enzyme inhibitors dan Angiotensin II receptor antagonists
Patogenesis ACEI dan ARB yang menyebabkan gagal ginjal adalah dengan penurunan
tekanan hidrostatik kapiler glomerulus yang akhirnya dapat menurunkan ultrafiltrasi
glomerulus. Ini terjadi ketika pengaturan aliran darah berkurang pada arteri aferen
glomerulus dan arteri eferen mengalami vaskonstrksi untuk menjaga tekanan
hidrosatik kapiler glomerulus untuk ultrafiltrasi (DiPiro, 2002).

- Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs


NSAID menghambat COX yang mengkatalis pembentukan prostaglandin dan merusak
fungsi renal dengan menurunkan sintesis dari vasodilator prostaglandin dari asam

7
arakidonat. Prostaglandin di ginjal disintesis di kortek ginjal dan medulla oleh
vascular endotel dan sel mesangial glomerulus. Penggunaan NSAID dalam iskemia
ginjal menyebabkan peningkatan aktivitas prostaglandin yang dapat menyebabkan
penurunan keseimbangan aktivitas diantara vasokonstriktor dan vasodilator ginjal
(DiPiro, 2002).

Contoh Masalah Penyakit-Penyakit Pada Ginjal Dan Obat Yang Menginduksi


Gangguan Ginjal

Kelas obat / obat (s) Mekanisme patofisiologis cedera ginjal


Analgesik
Acetaminophen, aspirin Nefritis interstitial kronis
Obat nonsteroidal anti-inflammatory Nefritis akut interstitial, diubah
hemodinamik intraglomerular, nefritis
interstitial kronis, glomerulonefritis
Antidepresan / stabilisator suasana hati
Amitriptyline (Elavil *), doxepin Rhabdomyolysis
(Zonalon), fluoxetine (Prozac)
Lithium Kronis interstitial nephritis,
glomerulonefritis, rhabdomyolysis
Antihistamin
Diphenhydramine (Benadryl), Rhabdomyolysis
doxylamine (Unisom)
Antimikroba
Acyclovir (Zovirax) Nefritis interstitial akut, nefropati kristal
Aminoglikosida Toksisitas sel tubular
Amfoterisin B (Fungizone *; Toksisitas sel tubular
deoxycholic formulasi asam lebih
daripada formulasi lipid)
Laktam beta (penisilin, sefalosporin) Nefritis interstitial akut, glomerulonefritis
(ampisilin, penisilin)
Foskarnet (Foscavir) Kristal nefropati, toksisitas sel tubular
Gansiklovir (Cytovene) Kristal nefropati
Pentamidin (Pentam) Toksisitas sel tubular
Kuinolon Nefritis interstitial akut, kristal nefropati
(ciprofloxacin [Cipro])
Rifampin (Rifadin) Nefritis interstitial akut
Sulfonamid Nefritis interstitial akut, nefropati kristal
Vankomisin (Vancocin) Nefritis interstitial akut

8
ARV
Adefovir (Hepsera), sidofovir Toksisitas sel tubular
(Vistide), tenofovir ()
Indinavir (Crixivan) Nefritis interstitial akut, nefropati kristal
Benzodiazepin Rhabdomyolysis
Inhibitor kalsineurin
Cyclosporine (Neoral) Diubah hemodinamik intraglomerular,
nefritis interstitial kronis, microangiopathy
trombotik
Tacrolimus (Prograf) Diubah hemodinamik intraglomerular
Agen kardiovaskular
Inhibitor enzim angiotensin- Diubah hemodinamik intraglomerular
converting, angiotensin receptor
blocker
Clopidogrel (Plavix), tiklopidin Mikroangiopati trombotik
(Ticlid)
Statin Rhabdomyolysis
Kemoterapi
Carmustine (Gliadel), semustine Nefritis interstitial kronis
(diteliti)
Cisplatin (Platinol) Nefritis interstitial kronis, toksisitas sel
tubular
Interferon-alfa (Intron A) Glomerulonefritis
Metotreksat Kristal nefropati
Mitomycin-C (Mutamycin) Mikroangiopati trombotik
Kontras pewarna Toksisitas sel tubular
Diuretik
Loops, tiazid Nefritis interstitial akut
Triamterene (Dyrenium) Kristal nefropati
Penyalahgunaan obat
Kokain, heroin, ketamin (Ketalar), Rhabdomyolysis
metadon, methamphetamine
Herbal
Herbal Cina dengan asam aristocholic Nefritis interstitial kronis
Inhibitor pompa proton
Lansoprazole (Prevacid), omeprazole Nefritis interstitial akut
(Prilosec), pantoprazole (Protonix)
Lainnya
Allopurinol (Zyloprim) Nefritis interstitial akut
Terapi emas Glomerulonefritis
Haloperidol (Haldol) Rhabdomyolysis
Pamidronat (Aredia) Glomerulonefritis

9
Fenitoin (Dilantin) Nefritis interstitial akut
Kina (Qualaquin) Mikroangiopati trombotik
Ranitidine (Zantac) Nefritis interstitial akut
Zoledronate (Zometa) Toksisitas sel tubular
* - Merek tidak tersedia di Amerika Serikat

2.6 Penilaian Toksisitas Ginjal

Karena penurunan GFR yang mengarah pada terjadinya peningkatan BUN dan Scr, maka
pemeriksaan rutin BUN dan Scr tersebut harus dilakukan untuk pemantauan toksisitas ginjal.
Selain itu, penurunan pengeluran urin juga dapat menjadi tanda awal adanya toksisitas,
terutama jika toksisitas tersebut disebabkan penggunaan media radiokontras, AINS dan ACE
inhibitor. Pada sebagian pasien yang belum memerlukan perawatan intensif rumah sakit,
nefrotoksisitas umumnya ditandai dengan adanya:

malaise
anoreksia
muntah
sesak nafas dan edema
hipertensi
Selanjutnya nilai BUN dan Scr dapat digunakan untuk menghitung penurunan laju
GFR. Nefrotoksisitas dapat dibuktikan dengan adanya perubahan fungsi tubular ginjal tanpa
penurunan GFR. Indikator luka tubular proksimal:

asidosis metabolik dengan bikarbonaturia


glikosuria tanpa hiperglikemia
penurunan fosfat, asam urat, kalium, dan magnesium dalam serum karena penurunan urinari
Sedangkan cedera distal ditandai dengan:

poliurea
asidosis metabolik karena adanya gangguan pengasaman urin
hiperkalemia karena adanya gangguan pengeluaran kalium
Enzim-enzim urinari dan protein berbobot molekul rendah juga digunakan sebagai penanda
awal adanya nefrotoksisitas. Misal adanya enzim N-acetyl-D-glucosaminidase, -glutamyl
transpeptidase dan glutathione S-transferase merupakan penanda adanya cedera tubular dan
digunakan untuk mendeteksi adanya kerusakan ginjal akut.

10
2.7 Pemeriksaan Laboratorium

Berikut beberapa pemeriksaan terkait gangguan ginjal :


a. Kreatinin Serum
Kreatinin adalah produk limbah dalam darah yang berasal dari aktivitas otot.
Produk limbah ini biasanya dibuang dari darah melalui ginjal, tapi ketika fungsi ginjal
melambat, tingkat kreatinin akanmeningkat. Biasanya hasil pemeriksaan serum
kreatinin digunakan untuk menghitung GFR. Jumlah kreatinin yang dikeluarkan
seseorang setiap hari lebih bergantung pada massa otot total daripada aktivitas otot
atau tingkat metabolisme protein, walaupun keduanya juga menimbulkan efek.
Pembentukan kreatinin harian umumnya tetap, kecuali jika terjadi cedera fisik yang
berat atau penyakit degeneratif yang menyebabkan kerusakan masif pada otot.
Nilai Rujukan
- DEWASA : Laki-laki : 0,6-1,3 mg/dl. Perempuan : 0,5-1,0 mg/dl. (Wanita sedikit
lebih rendah karena massa otot yang lebih rendah daripada pria).
- ANAK : Bayi baru lahir : 0,8-1,4 mg/dl. Bayi : 0,7-1,4 mg/dl. Anak (2-6 tahun) :
0,3-0,6 mg/dl. Anak yang lebih tua : 0,4-1,2 mg/dl. Kadar agak meningkat seiring
dengan bertambahnya usia, akibat pertambahan massa otot.
- LANSIA : Kadarnya mungkin berkurang akibat penurunan massa otot dan
penurunan produksi kreatinin.
Obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar kreatinin adalah : Amfoterisin B,
sefalosporin (sefazolin, sefalotin), aminoglikosid (gentamisin), kanamisin, metisilin,
simetidin, asam askorbat, obat kemoterapi sisplatin, trimetoprim, barbiturat, litium
karbonat, mitramisin, metildopa, triamteren.
Penurunan kadar kreatinin dapat dijumpai pada : distrofi otot (tahap akhir),
myasthenia gravis.
Untuk menilai fungsi ginjal, permintaan pemeriksaan kreatinin dan BUN hampir
selalu disatukan (dengan darah yang sama). Kadar kreatinin dan BUN sering
diperbandingkan. Rasio BUN/kreatinin biasanya berada pada kisaran 12-20. Jika kadar
BUN meningkat dan kreatinin serum tetap normal, kemungkinan terjadi uremia non-
renal (prarenal); dan jika keduanya meningkat, dicurigai terjadi kerusakan ginjal
(peningkatan BUN lebih pesat daripada kreatinin). Pada dialisis atau transplantasi
ginjal yang berhasil, urea turun lebih cepat daripada kreatinin. Pada gangguan ginjal

11
jangka panjang yang parah, kadar urea terus meningkat, sedangkan kadar kreatinin
cenderung mendatar, mungkin akibat akskresi melalui saluran cerna.
Rasio BUN/kreatinin rendah (<12)>20) dengan kreatinin normal dijumpai pada
uremia prarenal, diet tinggi protein, perdarahan saluran cerna, keadaan katabolik.
Rasio BUN/kreatinin tinggi (>20) dengan kreatinin tinggi dijumpai pada azotemia
prarenal dengan penyakit ginjal, gagal ginjal, azotemia pascarenal.

b. Glomerular Filtration Rate (Gfr)


GFR menggambarkan fungsi ginjal yang kita miliki dan umumnya diperkirakan
dari tingkat kreatinin darah. GFR atau LFG (laju filtrasi glomerular) adalah tes terbaik
untuk mengukur tingkat fungsi ginjal dan menentukan stadium penyakit ginjal. Para
dokter biasanya dapat menghitung dari hasil tes darah kreatinin, usia Anda, ras, gender
dan faktor lainnya.Penyakit ginjal lebih awal terdeteksi, semakin baik kesempatan
untuk memperlambat atau menghentikan perkembangannya.
Kreatinin adalah bahan ampas dalam darah yang dihasilkan oleh penguraian sel
otot secara normal selama kegiatan. Ginjal yang sehat menghilangkan kreatinin dari
darah dan memasukkannya pada air seni untuk dikeluarkan dari tubuh. Bila ginjal
tidak bekerja sebagaimana mestinya, kreatinin bertumpuk dalam darah.
Dalam laboratorium, darah kita akan dites untuk menentukan ada berapa miligram
kreatinin dalam satu desiliter darah (mg/dL). Tingkat kreatinin dalam darah dapat
berubah-ubah, dan setiap laboratorium mempunyai nilai normal sendiri, umumnya
0,6-1,2mg/dL. Bila tingkat kreatinin sedikit di atas batas atas nila normal ini, kita
kemungkinan tidak akan merasa sakit, tetapi tingkat yang lebih tinggi ini adalah tanda
bahwa ginjal kita tidak bekerja dengan kekuatan penuh.
Marker untuk estimasi LFG
Marker yang ideal untuk pengukuran LFG adalah marker yang non-toksik, dapat
mencapai kadar plasma yang stabil dalam keadaan keseimbangan, tidak terikat pada
protein plasma, difiltrasi bebas oleh glomerulus, tidak disekresi dan direabsorbsi oleh
tubulus ginjal.

1. Klirens inulin
Inulin merupakan marker yang ideal karena memenuhi semua persyaratan
tersebut, sehingga klirens inulin dipakai sebagai baku emas dalam penghitungan

12
LFG baik pada dewasa maupun pada anak-anak. Pengukuran LFG dengan klirens
inulin hanya dipakai dalam riset, karena klirens inulin sulit dilakukan dalam
praktek sehari-hari. Prosedur pemeriksaan adalah dengan cara infus inulin selama
3 jam agar diperoleh kadar yang stabil dalam cairan ekstraseluler. Dibutuhkan
intake cairan yang banyak.
2. Klirens kreatinin
Kreatinin endogen paling sering dipakai untuk menentukan LFG. Meskipun
kreatinin bebas filtrasi dalam glomerulus, terdapat sejumlah kecil kreatinin
disekresi dalam tubulus. Perlu pengumpulan kemih 24 jam. LFG berhubungan
terbalik dengan kadar kreatinin plasma.

c. Asam urat (uric acid)


Asam Urat adalah produk akhir metabolisme purin (adenine dan guanine) yang
merupakan konstituen asam nukleat. Asam urat terutama disintesis dalam hati yang
dikatalisis oleh enzim xantin oksidase. Asam urat diangkut ke ginjal oleh darah untuk
difiltrasi, direabsorbsi sebagain, dan dieksresi sebagian sebelum akhirnya
diekskresikan melalui urin. Peningkatan kadar asam urat dalam urin dan serum
(hiperuresemia) bergantung kepada fungsi ginjal, kecepatan metabolisme purin, dan
asupan diet makanan yang mengandung purin.
Asam urat dapat mengkristal dalam saluran kemih pada kondisi urin yang bersifat
asam dan dapat berpotensi menimbulkan kencing batu, oleh sebab itu fungsi ginjal
yang efektif dan kondisi urin yang alkalis diperlukan bila terjadi hiperuresemia.
Masalah yang banyak terjadi berkaitan dengan hiperuresemia adalah gout. Kadar asam
urat sering berubah dari hari ke hari sehingga pemeriksaan kadar asam urat perlu
diulang kembali setelah beberapa hari atau beberapa minggu.
Nilai Rujukan
- DEWASA : Laki-laki : 3.5-7.0 mg/dl. Perempuan : 2.5-6.0 mg/dl. Kadar panik :
>12mg/dl.
- ANAK : 2.5-5.5 mg/dl
- LANSIA : 3.5-8.5 MG/DL
Catatan : nilai normal dapat bervariasi di setiap laboratorium.

13
d. Blood Urea Nitrogen (BUN)
Blood Urea Nitrogen (BUN) atau nitrogen Urea adalah produk limbah normal
dalam darah anda yang berasal dari pemecahan protein dari makanan yang anda
makan dan dari metabolisme tubuh. Hal ini biasanya dihapus dari darah Anda dengan
ginjal Anda, tapi ketika fungsi ginjal melambat, tingkat BUN naik. BUN juga dapat
meningkat bila mengkonsumsi lebih banyak protein, dan dapat turun jika makan
sedikit protein.
Hampir seluruh ureum dibentuk di dalam hati, dari metabolisme protein (asam
amino). Urea berdifusi bebas masuk ke dalam cairan intra sel dan ekstrasel. Zat ini
dipekatkan dalam urin untuk diekskresikan. Pada keseimbangan nitrogen yang stabil,
sekitar 25 gram urea diekskresikan setiap hari. Kadar dalam darah mencerminkan
keseimbangan antara produksi dan ekskresi urea.
Ureum berasal dari penguraian protein, terutama yang berasal dari makanan. Pada
orang sehat yang makanannya banyak mengandung protein, ureum biasanya berada di
atas rentang normal. Kadar rendah biasanya tidak dianggap abnormal karena
mencerminkan rendahnya protein dalam makanan atau ekspansi volume plasma.
Namun, bila kadarnya sangat rendah bisa mengindikasikan penyakit hati berat. Kadar
urea bertambah dengan bertambahnya usia, juga walaupun tanpa penyakit ginjal.
Nilai Rujukan
- DEWASA : 5 25 mg/dl
- ANAK : 5 20 mg/dl
- BAYI : 5 15 mg/dl

e. Protein Urine
Bila ginjal Anda rusak maka dapat terjadi kebocoran protein ke urin. Adanya protein
dalam urin merupakan tanda awal penyakit ginjal kronis. Biasanya, hanya sebagian
kecil protein plasma disaring di glomerulus yang diserap oleh tubulus ginjal dan
diekskresikan ke dalam urin. Dengan menggunakan spesimen urin acak (random) atau
urin sewaktu, protein dalam urin dapat dideteksi menggunakan strip reagen (dipstick).
Normal ekskresi protein biasanya tidak melebihi 150 mg/24 jam atau 10 mg/dl urin.
Lebih dari 10 mg/dl didefinisikan sebagai proteinuria. Sejumlah kecil protein dapat
dideteksi pada urin orang yang sehat karena perubahan fisiologis. Selama olah raga,
stres atau diet yang tidak seimbang dengan daging dapat menyebabkan proteinuria
14
transien. Pra-menstruasi dan mandi air panas juga dapat menyebabkan proteinuria.
Bayi baru lahir dapat mengalami peningkatan proteinuria selama usia 3 hari pertama.

f. Osmolalitas urin test


Osmolalitas urin adalah pengukuran jumlah partikel terlarut dalam urin. Pengukuran
ini lebih tepat dilakukan daripada berat jenis untuk mengevaluasi kemampuan ginjal
untuk menghasilkan urine dengan konsentrasi pekat ataupun encer. Ginjal yang
berfungsi normal akan mengeluarkan lebih banyak air ke dalam urin sebagai asupan
cairan meningkat. Jika asupan cairan menurun, ginjal mengeluarkan air kurang dan
urin menjadi lebih terkonsentrasi.

2.8 Prinsip Pencegahan Nefropati Obat


Prinsip utama pencegahan nefrotoksisitas terinduksi obat adalah dengan menghindari
penggunaan obat-obat yang potensial menyebabkan terjadinya nefrotoksisitas. Namun
bila penggunaan obat-obat tersebut tidak mungkin dihindari maka penggunaannya harus
disertai dengan pengenalan faktor-faktor resiko dan penerapan teknik-teknik khusus
untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya nefrotoksisitas. Tidak ada faktor resiko
yang umum yang berlaku terhadap semua jenis obat, dan toksisitas biasanya berkembang
melalui berbagai mekanisme, baik melalui reaksi hipersensitivitas idiosinkratik maupun
15
melalui toksisitas seluler langsung. Dengan pengecualian pada gagal ginjal akut yang
disebabkan oleh AINS dan ACE inhibitor, toksisitasnya sering kali dapat dicegah setelah
diketahui adanya insufisiensi ginjal, penurunan aliran darah efektif ke ginjal akibat
adanya deplesi volume, gagal jantung atau penyakit liver. Pada pasien dengan hipertensi
atau gagal jantung sangat sensitif terhadap kombinasi ACE inhibitor dan AINS, terlebih
bila penggunaannya juga bersamaan dengan diuretik.

Teknik khusus yang cukup efektif untuk mengurangi nefrotoksisitas obat adalah dengan
hidrasi yang cukup untuk meningkatkan laju aliran urin tubular ginjal. Sedangkan teknik-
teknik lain yang masih kontroversial diantaranya adalah:
1) Penggunaan adefovir, suatu antiviral nukleotida yang secara aktif ditransport oleh
OAT1. Penghambatan transport OAT1 meminimalisir akumulasi adefovir di ginjal
sehingga menyebabkan pengurangan efek toksisitasnya.
2) Diflunisal, ketoprofen, flurbiprofen, indometasin, naproksen dan ibuprofen sama
efektifnya dengan probenesid yang menunjukan penghambatan yang cukup kuat
terhadap OAT1 pada pencegahan sitotoksisitas.
3) Antioksidan juga terbukti mampu memberikan proteksi dari nefrotoksisitas akibat
induksi gentamisin, siklosporin dan cisplatin.
4) Khelator besi juga memberikan proteksi terhadap toksisitas gentamisin..

2.9 Faktor Resiko Dan Pencegahan

Faktor Risiko-pasien terkait untuk obat-induced Nephrotoxicity


"Mutlak" atau "efektif" penurunan volume intravaskular
Usia yang lebih tua dari 60 tahun
Diabetes
Paparan beberapa nephrotoxins
Gagal jantung
Keracunan darah
Insufisiensi ginjal yang mendasarinya (laju filtrasi glomerulus <60 mL per menit
per 1,73 m2)

16
Faktor Risiko pasien yang terkait penggunaan obat dan Strategi Pencegahan
khusus untuk obat / Agen tertentu
Obat Faktor risiko Strategi pencegahan
Obat mengubah intraglomerular hemodinamik
ACE inhibitor, Insufisiensi ginjal yang Gunakan analgesik dengan
ARB, NSAID mendasari; penurunan volume kurang aktivitas
intravaskular; usia yang lebih prostaglandin
tua dari 60 tahun; penggunaan (acetaminophen, aspirin,
seiring inhibitor ACE, ARB, sulindac [Clinoril],
NSAID, cyclosporine (Neoral), nabumeton [Relafen; merek
atau tacrolimus (Prograf) tidak tersedia di Amerika
Serikat])
Deplesi volume yang benar
sebelum memulai obat,
terutama jika digunakan
secara kronis
Monitor fungsi ginjal dan
tanda-tanda vital berikut
inisiasi atau peningkatan
dosis, terutama jika
digunakan dalam pasien
yang berisiko
Cyclosporine, Seperti di atas, ditambah: dosis Memantau konsentrasi obat
tacrolimus yang berlebihan, penggunaan serum dan fungsi ginjal
bersamaan dengan obat Gunakan terendah dosis
nefrotoksik lain atau obat- efektif
obatan yang menghambat
cyclosporine atau tacrolimus
metabolisme
Obat terkait dengan tubular sel toksisitas
Aminoglikosida Insufisiensi ginjal yang Gunakan diperpanjang-
mendasari, durasi terapi> 10 interval pemberian dosis
hari, konsentrasi palung> 2 Mengelola selama masa
mcg per ml, penyakit hati aktif hari
bersamaan, hipoalbuminemia Batasi durasi terapi
Memantau tingkat obat
serum dan fungsi ginjal dua
sampai tiga kali per minggu
Mempertahankan tingkat
palung 1 mcg per ml
Amfoterisin B Insufisiensi ginjal yang Saline hidrasi sebelum dan
(Fungizone; merek mendasarinya, infus yang setelah pemberian dosis

17
tidak tersedia di cepat, dosis harian yang besar, Pertimbangkan pemberian
Amerika Serikat) formulasi deoxycholate lebih sebagai infus terus menerus
daripada formulasi lipid, durasi selama 24 jam
lama terapi Gunakan formulasi
liposomal
Batasi durasi terapi
Kontras pewarna Insufisiensi ginjal yang Gunakan kontras rendah-
mendasari, usia yang lebih tua osmolar dalam dosis
dari 70 tahun, diabetes, gagal serendah mungkin dan
jantung, penurunan volume, menghindari beberapa
eksposur diulang prosedur dalam 24 sampai
48 jam
0,9% garam atau natrium
bikarbonat (154 mEq per L)
infus sebelum dan setelah
prosedur
Menahan NSAID dan
diuretik setidaknya 24 jam
sebelum dan setelah
prosedur
Memantau fungsi ginjal 24
sampai 48 jam
pascaprosedur
Pertimbangkan asetilsistein
preprocedure
Obat terkait dengan nefropati interstitial kronis
Acetaminophen, Sejarah sakit kronis, usia yang Hindari penggunaan jangka
aspirin, NSAID lebih tua dari 60 tahun, jenis panjang, terutama dari lebih
kelamin perempuan, konsumsi dari satu analgesik
kumulatif analgesik> 1 gram Gunakan agen alternatif
per hari selama lebih dari dua pada pasien dengan nyeri
tahun kronis
Lithium Kadar obat yang tinggi Menjaga kadar obat dalam
rentang terapeutik
Hindari penurunan volume
Obat terkait dengan kristal nefropati
Acyclovir (Zovirax), Deplesi volume, insufisiensi Menghentikan atau
methotrexate, ginjal yang mendasarinya, mengurangi dosis
antibiotik sulfa, dosis yang berlebihan, Pastikan hidrasi yang
triamterene pemberian intravena memadai
(Dyrenium) Membangun aliran urin
tinggi
Mengelola secara lisan
18
tindakan umum untuk Mencegah Obat-induced Nephrotoxicity

Sesuaikan dosis obat dengan menggunakan rumus Cockcroft-Gault (pada orang


dewasa) atau formula Schwartz (pada anak).
Menilai fungsi ginjal dasar menggunakan persamaan MDRD, dan
mempertimbangkan fungsi ginjal pasien ketika meresepkan obat baru.
Hindari kombinasi nefrotoksik.
Faktor risiko yang benar untuk nefrotoksisitas sebelum memulai terapi obat.
Pastikan hidrasi yang cukup sebelum dan selama terapi dengan nephrotoxins
potensial.
Gunakan obat non-nefrotoksik sama efektif bila memungkinkan.
*MDRD = Modifikasi Diet di Penyakit Ginjal.

19
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Kebanyakan obat ditemukan menyebabkan nefrotoksisitas memberi efek beracun oleh
satu atau lebih umum patogen mekanisme. ini termasuk diubah intraglomerular
hemodinamik, sel tubular toksisitas, infammation, nefropati kristal, rhabdomyolysis, dan
trombotik microan giopathy. Pengetahuan tentang obat menyinggung dan khusus mereka
patogen mekanisme. cedera ginjal sangat penting untuk mengenali dan mencegah obat-
induced gangguan ginjal.

3.2 Saran
Hindari penggunaan obat-obat yang potensial menyebabkan terjadinya nefrotoksisitas.
Namun bila penggunaan obat-obat tersebut tidak mungkin dihindari maka
penggunaannya harus disertai dengan pengenalan faktor-faktor resiko dan penerapan
teknik-teknik khusus untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya nefrotoksisitas

20
DAFTAR PUSTAKA

Jha V, Chungks KS. Drug Induced renal desease. J Assoc Physicians india 1995 ; 43: 407-15

Schnellman RG, Kelly Katrina J, Phatophysology of nefrotoxic acute renal failure, Kidney
Atlas Book I, Chapt 15

Ricardi D, 2008, Molecular Physiology of Extracellular Calcium-Sensing, CaR, School of


Bioscience, Cardiff University

21

Anda mungkin juga menyukai