Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seperti yang telah diketahui bahwa makhluk hidup memerlukan energy yang
digunakan untuk pergerakan, pertumbuhan, sintesis biomolekul serta transport ion
melintasi membrane sel. Organisme akan menggunakan energy tersebut secara efisien
untuk proses hidup. Dalam rangka untuk menghasilkan energy, karbohidrat, lipid, asam
amino dengan melalui jalur metabolism yang berbeda akan dipecah dan menghasilkan
sejumlah molekul pembawa energy yang selanjutnya melalui proses oksidasi biologi.
Senyawa pembawa energy digolongkan menjadi 2, yaitu : 1) low energy phosphates-
ADP , AMP , glukosa-1 phosphate- yang bertugas menangkap energy bebas dan high
energy phosphates (HEP)kreatin fosfat, ATP, karbamoil fosfat, GTP, fosfoenol piruvat
dan CTP- yang membawa energy tinggi untuk diberikan kepada reaksi biokimia. Terdapat
tiga sumber utama senyawa HEP dalam konsevasi energy yaitu : 1) Proses glikolisis, 2)
Siklus asam sitrat, dan 3) Fosforilasi oksidatif.
NADH yang merupakan hasil dari Siklus Krebs yang terjadi dalam mitokondria akan
digunakan dalam reaksi reduksi untuk menghasilkan ATP yang merupakan molekul
pembawa energy melalui proses fosforilasi oksidatif. Banyak manifestasi berkaitan
dengan adanya radikal bebas yang merupakan hasil dari proses oksidasi biologi seperti
penuaan dini, keganasan, namun mekanisme perjalanan penyakit tersebut masih sulit
untuk dijelaskan.
Dari pembelajaran kita mengenai Oksidasi Biologi ini, maka penulis mengharapkan
agar kita semua bisa menggunakan oksidasi biologi ini dalam kehidupan sehari-hari.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian oksidasi biologi?
2. Apa saja enzim yang terdapat dalam reaksi oksidasi biologi?
3. Bagaimana peran ATP dalam proses metabolisme?
4. Bagaimana peran oksidasi dalam biomedis?
5. Bagaimana implementasi oksidasi dalam kehidupan?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui pengertian oksidasi biologi
2. Mengetahui enzim yang terdapat dalam reaksi oksidasi biologi
3. Mengetahui peran ATP dalam proses metabolisme
4. Mengetahui peran oksidasi dalam biomedis
5. Mengetahui implementasi oksidasi dalam kehidupan

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Oksidasi Biologi


Oksidasi adalah pengeluaran elektron dan reduksi adalah pemerolehan elektron.
Sebagai contoh adalah oksidasi ion fero menjadi feri. Dengan demikian oksidasi akan
selalu disertai reduksi akseptor elektron.
Secara kimiawi, oksidasi didefinisikan sebagai pengeluaran elektron dan reduksi
sebagai penangkapan electron, sebagaimana di lukiskan oleh oksidasi ion fero menjadi
feri e (elektron) Fe 2+ Fe3+ Dengan demikian, oksidasi selalu disertai reduksi aseptor
electron. Prinsip oksidasi reduksi ini berlaku pada berbagai sistem biokimia dan
merupakan konsep penting yang melandasi pemahaman sifat oksidasi biologi. Banyak
oksidasi biologi dapat berlangsung tanpa peran serta molekul oksigen, misalnya:
dehidrogenasi. Reaksi ini dilandasi oleh hukum Termodinamika (Nareswara, 2013).
Menurut Nareswara (2013), kaidah pertama ini merupakan hukum penyimpanan
energi, yang berbunyi: energi total sebuah sistem, termasuk energi sekitarnya adalah

2
konstan. Ini berarti bahwa saat terjadi perubahan di dalam sistem tidak ada energi yang
hilang atau diperoleh. Namun energi dapat dialihkan antar bagian sistem atau dapat
diubah menjadi energi bentuk lain. Contohnya energi kimia dapat diubah menjadi energi
listrik, panas, mekanik dan sebagainya. Sedangkan kaidah kedua termodinamika: Kaidah
kedua berbunyi: entropi total sebuah sistem harus meningkat bila proses ingin
berlangsung spontan. Entropi adalah derajat ketidakteraturan atau keteracakan sistem.
Entropi akan mencapai taraf maksimal di dalam sistem seiring sistem mendekati keadaan
seimbang yang sejati.
Peran senyawa fosfat berenergi tinggi dalam penangkapan dan pengalihan energy.
Untuk mempertahankan kehidupan, semua organisme harus mendapatkan pasokan energi
bebas dari lingkungannya. Ada 3 sumber utama yang berperan dalam konservasi atau
penangkapan energi.
a. Fosforilasi oksidatif. Fosforilasi oksidatif adalah sumber terbesar dalam organisme
aerobik. Energi bebas untuk menggerakkan proses ini berasal dari oksidasi rantai
respirasi di dalam mitokondria dengan menggunakan oksigen.
b. Glikolisis. Dalam glikolisis terjadi pembentukan netto dua yang terjadi akibat
pembentukan laktat.
c. Siklus asam sitrat ( Mardiani, 2004).
2.2 Enzim Yang Terlibat Dalam Oksidasi Biologi
Enzim yang terlibat dalam proses oksidasi dan reduksi dinamakan oksidoreduktase
dalam uraian berikut, enzim oksidoreduktase dibagi menjadi 4 kelompok (Nareswara,
2013), yaitu:
1. Enzim Oksidase
Enzim Oksidase menggunakan oksigen sebagai akseptor hydrogen. Enzim oksidase
mengatalisis pengeluaran hydrogen dari substrat dengan menggunakan oksigen
sebagai akseptor hidrogennya. Enzim-enzim tersebut membetuk air atau hydrogen
peroksida sebagai produk reaksi. Sebagian oksidase mengandung tembaga sitokrom.
oksidase merupakan hemoprotein yang tersebar luas dalam banyak jaringan, dengan
gugus prostetik heme yang secara khas ditemukan dalam mioglobin, hemoglobin,
serta sitrokom lain. Enzim ini merupakan komponem terakhir pada rantai pembawa
(carrier) respiratorik yang ditemukan dalam mitokondria dan dengan demikian
bertanggung jawab atas reaksi pemindahan elektron yang dihasilkan dari oksidasi
molekul substrat oleh dehidrogenase kepada akseptornya yang terakhir, yaitu
oksigen. Gas karbon monoksida, sianida, dan hydrogen sulfide merupakan racun
bagi enzim sitokrom oksidase. Sifat yang berlainan sehubungan dengan efek karbon
monoksida serta sianida.
2. Dehidrogenase
3
Dehidrogenase tidak dapat menggunakan oksigen sebagai akseptor hidrogen
Ada sejumlah besar enzim didalam kelompok ini. Enzim-enzim tersebut
melaksanakan 2 fungsi utama:
a. Pemindahan hidrogen dari substrat yang satu kepada substrat yang lain dalam reksi

oksidasi-reduksi berpasangan. Enzim dehidrogenase ini bersifat sangat spesifik


untuk substratnya, tetapi sering memakai koenzim atau pembawa hidrogen yang
sama seperti enzim dehidrogenase lain, misal, NAD. Karena reaksi berlangsung
reversibel, sifat-sifat ini memudahkan senyawa ekuivalen preduksi dipindahkan
secara bebas didalam sel.
b. Sebagai komponen dalam rantai respirasi pengangkutan elektron dari substrat ke
oksigen.
3. Hidroperoksidase
Enzim Hidroperoksidase menggunakan hidrogen Peroksida atau Peroksida Organik
sebagai substrat. Ada dua tipe enzim yang masuk ke dalam kategori ini : peroksidase
dan katalase. Kedua tipe enzim ini ditemukan baik pada hewan maupun tumbuhan.
Enzim hidroperoksidase melindungi tubuh terhadap senyawa-senyawa peroksida
yang berbahaya. Penumpukan senyawa peroksida dapat menghasilkan radikal bebas
yang selanjutnya akan merusak membran sel dan keungkinan menimbulkan penyakit
kanker serta aterosklerosis. (Nareswara, 2013)
4. Oksigenase
Enzim oksigenase mengatalisis pemindahan langsung dan inkorporasi oksigen ke
dalam molekul substrat. Enzim oksigenase lebih berhubungan dengan sintesis atau
penguraian berbagai tipe metabolit dibandingkan mengambil bagian dalam reaksi
yang bertujuan memberikan enegi pada sel. Enzim-enzim dalam kelompok ini
mengatalisis inkorporasi (penyatuan) oksigen kedalam molekul substrat. Peristiwa
ini berlangsung melalui 2 tahap :
a. Pengikatan oksigen dengan enzim pada tapak aktif.
b. Reaksi saat oksigen yang terikat direduksi atau dipindahkan kepada substrat.
2.3 Peran ATP Dalam Proses Metabolisme
Adenosin-5-trifosfat (ATP) adalah multifungsi nukleotida yang memainkan peran
penting dalam biologi sel sebagai koenzim, yaitu molekul unit mata uang intraselular
energi transfer. Ini adalah sumber energi yang dihasilkan selama fotosintesis dan respirasi
sel dan dikonsumsi oleh banyak enzim dan berbagai proses selular, termasuk reaksi
biosintetik, motilitas, dan pembelahan sel. ATP terdiri dari adenosin difosfat (ADP) atau
adenosin monofosfat (AMP ) dan penggunaannya dalam metabolisme mengubahnya
kembali ke prekursor ini in ATP each day. Oleh karena itu ATP didaur ulang terus-
4
menerus dalam organisme, dengan membalik tubuh manusia beratnya sendiri dalam ATP
setiap hari. ATP digunakan sebagai substrat dalam transduksi sinyal jalur oleh kinase yang
memfosforilasi protein dan lipid, maupun oleh adenilat siklase, yang menggunakan ATP
untuk menghasilkan pembawa pesan kedua molekul siklik AMP. Rasio antara ATP dan
AMP digunakan sebagai cara untuk sel merasakan betapa besar energi yang tersedia dan
mengontrol jalur-jalur metabolisme yang menghasilkan dan mengkonsumsi ATP. Terlepas
dari peran dalam metabolisme energi dan sinyal, ATP juga dimasukkan ke dalam asam
nukleat oleh polimerase dalam proses replikasi DNA dan transkripsi.

Struktur molekul ini terdiri dari purin basa (adenin) terikat pada 1 karbon atom dari
sebuah. Ini adalah penambahan dan penghapusan gugus fosfat ini yang mengkonversi
antar ATP, ADP dan AMP. Ketika ATP digunakan dalam sintesis DNA, maka gula ribosa
pertama dikonversi menjadi deoksiribosa oleh ribonukleotida reduktase.

Sifat fisik dan kimia


ATP terdiri dari adenosin terdiri dari adenin cincin dan ribosa gula dan tiga
fosfat kelompok (trifosfat). Kelompok yang phosphoryl, dimulai dengan kelompok
paling dekat dengan ribosa, yang disebut sebagai alpha (), beta (), dan gamma ()
fosfat. ATP sangat larut dalam air dan sangat stabil dalam larutan pH antara 6,8-7,4,
tetapi cepat dihidrolisis pada pH yang ekstrim. Akibatnya, ATP paling baik disimpan
sebagai garam anhidrat. ATP adalah molekul yang tidak stabil di unbuffered air, yang
hydrolyses untuk ADP dan fosfat. Hal ini karena kekuatan ikatan antara residu fosfat
dalam ATP kurang dari kekuatan dari hidrasi ikatan antara produk-produknya (ADP
+ fosfat), dan air. Jadi, jika ATP dan ADP berada dalam kesetimbangan kimia dalam
air, hampir semua ATP pada akhirnya akan dikonversi ke ADP. Sebuah sistem yang
jauh dari kesetimbangan mengandung energi bebas Gibbs, dan mampu melakukan
pekerjaan. Sel hidup menjaga rasio ATP menjadi ADP pada suatu titik sepuluh lipat
dari kesetimbangan, dengan konsentrasi ATP ribuan kali lipat lebih tinggi daripada
konsentrasi ADP. Perpindahan dari kesetimbangan berarti bahwa hidrolisis ATP dalam
sel melepaskan energi dalam jumlah besar.
2.4 Peran Oksidasi Dalam Biomedis
Pada kepentingan biomedis, fosforilasi oksidatif berguna untuk mempelajari proses
obat/racun yang dapat menghambat fosfolirasi oksidatif dan mempelajari kelainan
bawaan (miopati, encepalopati, dll).
a. Pemanfaatan Enzim Sebagai Alat Diagnosis
Enzim sebagai petanda (marker) dari kerusakan suatu jaringan atau organ akibat
penyakit tertentu.

5
Penggunaan enzim sebagai petanda dari kerusakan suatu jaringan mengikuti
prinsip bahwasanya secara teoritis enzim intrasel seharusnya tidak terlacak di cairan
ekstrasel dalam jumlah yang signifikan. Pada kenyataannya selalu ada bagian kecil
enzim yang berada di cairan ekstrasel. Keberadaan ini diakibatkan adanya sel yang
mati dan pecah sehingga mengeluarkan isinya (enzim) ke lingkungan ekstrasel,
namun jumlahnya sangat sedikir dan tetap. Apabila enzim intrasel terlacak di dalam
cairan ekstrasel dalam jumlah lebih besar dari yang seharusnya, atau mengalami
peningkatan yang bermakna/signifikan, maka dapat diperkirakan terjadi kematian
(yang diikuti oleh kebocoran akibat pecahnya membran) sel secara besar-besaran.
Kematian sel ini dapat diakibatkan oleh beberapa hal, seperti keracunan bahan kimia
(yang merusak tatanan lipid bilayer), kerusakan akibat senyawa radikal bebas, infeksi
(virus), berkurangnya aliran darah sehingga lisosom mengalami lisis dan
mengeluarkan enzim-enzimnya, atau terjadi perubahan komponen membrane
sehingga sel imun tidak mampu lagi mengenali sel-sel tubuh dan sel-sel asing, dan
akhirnya menyerang sel tubuh (penyakit autoimun) dan mengakibatkan kebocoran
membrane.
Contoh penggunaan enzim sebagai petanda adanya suatu kerusakan jaringan
adalah sebagai berikut:
a. Peningkatan aktivitas enzim renin menunjukkan adanya gangguan perfusi darah
ke glomerulus ginjal, sehingga renin akan menghasilkan angiotensin II dari suatu
protein serum yang berfungsi untuk menaikkan tekanan darah.
b. Peningkatan jumlah Alanin aminotransferase (ALT serum) hingga mencapai
seratus kali lipat (normal 1-23 sampai 55U/L) menunjukkan adanya infeksi virus
hepatitis, peningkatan sampai dua puluh kali dapat terjadi pada penyakit
mononucleosis infeksiosa, sedangkan peningkatan pada kadar yang lebih rendah
terjadi pada keadaan alkoholisme.
c. Peningkatan jumlah tripsinogen I (salah satu isozim dari tripsin) hingga empat
ratus kali menunjukkan adanya pankreasitis akut, dan lain-lain.
Enzim sebagai suatu reagensia diagnosis.
Sebagai reagensia diagnosis, enzim dimanfaatkan menjadi bahan untuk
mencari petanda (marker) suatu senyawa. Dengan memanfaatkan enzim, keberadaan
suatu senyawa petanda yang dicari dapat diketahui dan diukur berapa jumlahnya.
Kelebihan penggunaan enzim sebagai suatu reagensia adalah pengukuran yang
dihasilkan sangat khas dan lebih spesifik dibandingkan dengan pengukuran secara
kimia, mampu digunakan untuk mengukur kadar senyawa yang jumlahnya sangat

6
sedikit, serta praktis karena kemudahan dan ketepatannya dalam mengukur. Contoh
penggunaan enzim sebagai reagen adalah sebagai berikut:
a. Uricase yang berasal dari jamur Candida utilis dan bakteri Arthobacter
globiformis dapat digunakan untuk mengukur asam urat.
b. Pengukuran kolesterol dapat dilakukan dengan bantuan enzim kolesterol-oksidase
yang dihasilkan bakteri Pseudomonas fluorescens.
c. Pengukuran alkohol, terutama etanol pada penderita alkoholisme dan keracunan \

alkohol dapat dilakukan dengan menggunakan enzim alcohol dehidrogenase yang


dihasilkan oleh Saccharomyces cerevisciae, dan lain-lain.
Enzim sebagai petanda pembantu dari reagensia.
Sebagai petanda pembantu dari reagensia, enzim bekerja dengan
memperlihatkan reagensia lain dalam mengungkapkan senyawa yang dilacak.
Senyawa yang dilacak dan diukur sama sekali bukan substrat yang khas bagi enzim
yang digunakan. Selain itu, tidak semua senyawa memiliki enzimnya, terutama
senyawa-senyawa sintetis. Oleh karena itu, pengenalan terhadap substrat dilakukan
oleh antibodi. Adapun dalam hal ini enzim berfungsi dalam memperlihatkan
keberadaan reaksi antara antibodi dan antigen. Contoh penggunaannya adalah
sebagai berikut:
a. Pada teknik imunoenzimatik ELISA (Enzim Linked Immuno Sorbent Assay),
antibodi mengikat senyawa yang akan diukur, lalu antibodi kedua yang sudah
ditandai dengan enzim akan mengikat senyawa yang sama. Kompleks antibodi-
senyawa-antibodi ini lalu direaksikan dengan substrat enzim, hasilnya adalah zat
berwarna yang tidak dapat diperoleh dengan cara imunosupresi biasa. Zat
berwarna dapat digunakan untuk menghitung jumlah senyawa yang direaksikan.
Enzim yang lazim digunakan dalam teknik ini adalah peroksidase, fosfatase
alkali, glukosa oksidase, amilase, galaktosidase, dan asetil kolin transferase.
b. Pada teknik EMIT (Enzim Multiplied Immunochemistry Test), molekul kecil
seperti obat atau hormon ditandai oleh enzim tepat di situs katalitiknya,
menyebabkan antibodi tidak dapat berikatan dengan molekul (obat atau hormon)
tersebut. Enzim yang lazim digunakan dalam teknik ini adalah lisozim, malat
dehidrogenase, dan gluksa-6-fosfat dehidrogenase.
b. Pemanfaatan Enzim Di Bidang Pengobatan
Pemanfaatan enzim dalam pengobatan meliputi penggunaan enzim sebagai obat,
pemberian senyawa kimia untuk memanipulasi kinerja suatu enzim dengan demikian
suatu efek tertentu dapat dicapai (enzim sebagai sasaran pengobatan), serta manipulasi
terhadap ikatan protein-ligan sebagai sasaran pengobatan. (Nareswara, 2013)
7
Penggunaan enzim sebagai obat biasanya mengacu kepada pemberian enzim untuk
mengatasi defisiensi enzim yang seyogyanya terdapat di dalam tubuh manusia untuk
mengkatalis rekasi-reaksi tertentu. Berdasarkan lamanya pemberian enzim sebagai
pengobatan, maka keadaan defisiensi enzim dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu
keadaan defisiensi enzim yang bersifat sementara dan bersifat menetap. Contoh
keadaan defisiensi enzim yang bersifat sementara adalah defisiensi enzim-enzim
pencernaan. Seperti yang diketahui, enzim-enzim pencernaan sangat beragam,
beberapa di antaranya adalah protease dan peptidase yang mengubah protein menjadi
asam amino, lipase yang mengubah lemak menjadi asam lemak, karbohidrase yang
mengubah karbohidrat seperti amilum menjadi glukosa serta nuklease yang
mengubah asam nukleat menjadi nukleotida. Adapun defisiensi enzim yang bersifat
menetap menyebabkan banyak kelainan, yang biasanya juga disebut sebagai kelainan
genetic mengingat enzim merupakan protein yang ditentukan oleh gen. Contoh
kelainan akibat defisiensi enzim antara lain adalah hemofilia. Hemofilia adalah suatu
keadaan di mana penderita mengalami kesulitan penggumpalan darah (cenderung
untuk pendarahan) akibat defisiensi enzim-enzim terkait penggumpalan
darah. (Nareswara, 2013)
Enzim sebagai sasaran pengobatan merupakan terapi di mana senyawa tertentu
digunakan untuk memodifikasi kerja enzim, sehingga dengan demikian efek yang
merugikan dapat dihambat dan efek yang menguntungkan dapat dibuat.
Berdasarkan sasaran pengobatan, dapat dibagi menjadi terapi di mana enzim sel
individu menjadi sasaran dan terapi di mana enzim bakteri patogen yang menjadi
sasaran. Pada terapi di mana enzim sel individu sebagai sasaran kinerja terapi,
digunakan senyawa-senyawa untuk mempengaruhi kerja suatu enzim sebagai
penghambat bersaing. Contoh penyakit yang dapat diobati dengan terapi ini adalah:
a) Melitus
Pada penyakit Diabetes Melitus, senyawa yang diinduksikan adalah akarbosa
(acarbose), di mana akarbosa akan bersaing dengan amilum makanan untuk
mendapatkan situs katalitik enzim amilase (pankreatik -amilase) yang
seyogyanya akan mengubah amilum menjadi glukosa sederhana. Akibatnya
reaksi tersebut akan terganggu, sehingga kenaikan gula darah setelah makan
dapat dikendalikan. (Nareswara, 2013)
b) Penumpukan cairan
Enzim anhidrase karbonat merupakan enzim yang mengatur pertukaran H dan
Na di tubulus ginjal, di mana H akan terbuang keluar bersama urine, sedangkan

8
Na akan diserap kembali ke dalam darah. Adalah senyawa turunan sulfonamida,
yaitu azetolamida yang berfungsi menghambat kerja enzim tersebut secara
kompetitif sehingga pertukaran kation di tubulus ginjal tidak akan terjadi. Ion
Na akan dibuang keluar bersama dengan urine. Sifat ion Na yang higroskopis
menyebabkan air akan ikut keluar bersamaan dengan ion Na; hal ini membawa
keuntungan apabila terjadi penumpukan cairan bebas di ruang antar sel (udem).
Dengan kata lain senyawa azetolamida turut berperan dalam menjaga
kesetimbangan cairan tubuh.
c) Pengendalian tekanan darah diatur oleh enzim renin-EKA dan angiosintase.
Enzim renin-EKA berperan dalam menaikkan tekanan darah dengan
menghasilkan produk angiotensin II, sedangkan angiosintase bekerja terbalik
dengan mengurangi aktivitas angiotensin II. Untuk menghambat kenaikan
tekanan darah, maka manipulasi terhadap kerja enzim khususnya EKA dapat
dilakukan dengan pemberian obat penghambat EKA (ACE Inhibitor).
d) Mediator radang prostaglandin yang dibentuk dari asam arakidonat melibatkan
dua enzim, yaitu siklooksigenase I dan II (cox 1 dan cox II). Ada obat atau
senyawa tertentu yang mempengaruhi kinerja cox 1 dan cox II sehingga dapat
digunakan untuk mengurangi peradangan dan rasa sakit.
e) Dengan menggunakan prinsip pengaruh senyawa terhadap enzim, maka enzim
yang berfungsi untuk memecah AMP siklik (cAMP) yaitu fosfodiesterase (PD)
dapat dihambat oleh berbagai senyawa, antara lain kafein (trimetilxantin),
teofilin, pentoksifilin, dan sildenafil. Teofilin digunakan untuk mengobati sesak
nafas karena asma, pentoksifilin digunakan untuk menambah kelenturan
membran sel darah merah sehingga dapat memasuki relung kapiler, sedangkan
sildenafil menyebabkan relaksasi kapiler di daerah penis sehingga aliran darah
yang masuk akan bertambah dan tertahan untuk beberapa saat.
f) Penyakit kanker merupakan penyakit sel ganas yang harus dicegah
penyebarannya. Salah satu cara untuk mencegah penyebarannya adalah dengan
menghambat mitosis sel ganas. Seperti yang diketahui, proses mitosis
memerlukan pembentukan DNA baru (purin dan pirimidin). Pada pembentukan
basa purin, terdapat dua langkah reaksi yang melibatkan formilasi (penambahan
gugus formil) dari asam folat yang telah direduksi. Reduksi asam folat ini dapat
dihambat oleh senyawa ametopterin sehingga sintesis DNA menjadi tidak
berlangsung. Selain itu penggunaan azaserin dapat menghambat biosintesis
purin yang membutuhkan asam glutamate. 6-aminomerkaptopurin juga dapat

9
menghambat adenilosuksinase sehingga menghambat pembentukan AMP (salah
satu bahan DNA). (Nareswara, 2013)
g) Pada penderita penyakit kejiwaan, pemberian obat anti-depresi (senyawa)
inhibitor monoamina oksidase (MAO inhibitor) dapat menghambat enzim
monoamina oksidase yang mengkatalisis oksidasi senyawa amina primer yang
berasal dari hasil dekarboksilasi asam amino. Enzim monoamina oksidase
sendiri merupakan enzim yang mengalami peningkatan jumlah ada sel susunan
saraf penderita penyakit kejiwaan.
Pada terapi di mana enzim mikroorganisme yang menjadi sasaran kerja, digunakan
prinsip bahwa enzim yang dibidik tidak boleh mengkatalisis reaksi yang sama atau
menjadi bagian dari proses yang sama dengan yang terdapat pada sel pejamu. Hal ini
bertujuan untuk melindungi sel pejamu, sekaligus meningkatkan spesifitas terapi ini.
Karena yang dibidik adalah enzim mikroorganisme, maka penyakit yang dihadapi
kebanyakan adalah penyakit-penyakit infeksi. Contoh terapi dengan menjadikan enzim
mikroorganisme sebagai sasaran kerja antara lain:
a. Pada penyakit tumor
b. Penggunaan antibiotika
c. Perbedaan mekanisme sintesis protein antara mikroorganisme dan sel pejamu
juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu prinsip terapi. Penggunaan
antibiotika tertentu dapat menghambat sintesis protein pada mikroorganisme.
Interaksi protein-ligan sebagai sasaran pengobatan. Pengobatan dengan sasaran
interaksi protein-ligan mengacu kepada prinsip interaksi sistem mediator-reseptor, di
mana apabila mediator disaingi oleh molekul analognya sehingga tidak dapat berikatan
dengan reseptor, sehingga efek dari mediator tersebut tidak terjadi. Contoh pengobatan
dengan menjadikan interaksi protein-ligan sebagai sasarannya antara lain:
a. Pengendalian tekanan darah yang diatur oleh hormon adrenalin.
b. Penggunaan antihistamin untuk tujuan tertentu.
2.5 Implementasi Dalam Kehidupan
Banyak reaksi-reaksi kimia yang terjadi selama pengolahan pangan yang pada
akhirnya berpengaruh terhadap nilai gizi, keamanan, dan penerimaannya. Masing-masing
jenis reaksi dapat melibatkan reaktan atau substrat yang berbeda, tergantung pada jenis
bahan pangan dan kondisi penanganan, pengolahan dan penyimpanan. Komposisi bahan
pangan secara umum sama, terutama terdiri dari lipid, karbohidrat, dan protein, dengan
demikian banyak reaksi-reaksi umum yang sama. Disamping itu, banyak reaktan untuk
suatu reaksi terdapat pada sebagian besar bahan pangan. Sebagai contoh, reaksi

10
pencoklatan non-enzimatis (reaksi Maillard) melibatkan senyawa karbonil yang dapat
berasal baik dari gula pereduksi atau hasil oksidasi asam askorbat, hidrolisis pati dan
oksidasi lipid. Oksidasi dapat melibatkan lipid, protein, vitamin, pigmen, dan lebih
spesifik lagi oksidasi melibatkan triasilgliserida yang umum terdapat pada bahan pangan
atau fosfolipid yang ada di sebagian bahan pangan.
Beberapa reaksi kimia yang dapat menyebabkan perubahan nilai gizi dan keamanan
pangan.

Jenis reaksi Contoh (terjadi pada)


Pencoklatan Pada bahan-bahan pangan yang dipanggang
nonenzimatis
Oksidasi Lipid (menghasilkan off-flavour, bau dan rasa yang
menyimpang), degradasi vitamin dan protein
Hidrolisis Lipid, protein, vitamin, karbohidrat, pigmen
Interaksi logam Kompleksasi (antosianin), kehilangan Mg+
Isomerisasi Lipid dari klorofil
Polimerisasi Lipid Cis berubah menjadi trans
Denaturasi protein Pada penggorengan
Cross-linking protein Koagulasi putih telur, inaktivasi enzim
Perubahan glikolitik Pengolahan bahan berprotein pada suasana
alkali
Pada pasca mortem jaringan hewan atau pasca
panen jaringan tanaman
Sumber Apriyantono (2001)
A. Pencoklatan Nonenzimatis (Reaksi Maillard)
Reaksi Maillard (ditemukan oleh pakar biokimia Perancis Louiss Camille
Maillard) adalah suatu reaksi kimia yang terjadi antara asam amino dan gula
tereduksi, biasanya pada suhu yang tinggi. Seperti layaknya proses karamelisasi
(tetapi karamelisasi berbeda dengan Maillard) reaksi non enzimatik ini menghasilkan
pewarnaan coklat (browning). Pada reaksi Maillard gugus karbonil dari glukosa
bereaksi dengan gugus nukleofilik grup amino dari protein yang menghasilkan warna
dan aroma yang khas; proses ini berlangsung dalam suasana basa. Proses yang terjadi
pada reaksi Maillard adalah:

11
1. Gugus karbonil dari gula bereaksi dengan gugus amino menghasilkan N-
glikosamin dan air.
2. Gugus glikosamin yang tidak stabil mengalami pengaturan kembali membentuk
ketosamin.
3. Selanjutnya ketosamin dapat mengalami proses lebih lanjut:
Memproduksi air dan redukton
Membentuk diasetil, aspirin, pyruvaldehyde dan bentuk ikatan hidrolitik rantai
pendek lainnya.
Membentuk polimer nitrogen berwarna coklat (melanoidism).
Faktor yang merangsang terjadinya reaksi Maillard: Pemanasan, kelembaban
yang tinggi dan suasanan basa. Reaksi Maillard berperan dalam memberikan aroma
dan warna dalam berbagai jenis makanan seperti: roti panggang, daging panggang,
kopi
Walaupun memberikan keuntungan dalam memberi warna dan aroma, reaksi
Maillard juga menjadi efek yang tidak diinginkan pada beberapa proses biologis dan
makanan. Interaksi antara gugus karbonil dan amino dapat merusak kualitas nutrisi
protein dengan cara mengurangi jumlah lysine dan beberapa jenis asam amino lain
dan membentuk zat yang menghambat atau bersifat antinutrisi. Reaksi ini juga
berhubungan dengan aroma dan pewarnaan yang tidak diinginkan pada beberapa
makanan seperti makanan kering.
Pada produk nutirsi parenteral saat ini baik yang bersifat 2 in 1 atupun 3 in 1
yang menggabungkan glukosa , protein dan lipid dalam satu kemasan (contohnya
Clinimix dari Kalbe Farma yang mengandung sekaligus Glukosa dan Asam amino)
salah satu tujuan dari pemisahan dari asam amino dan glukosa pada chamber yang
berbeda adalah untuk menghindari reaksi Maillard ini, karena pada saat proses
sterilisasi yang menggunakan tekhnik pemanasan maka warna produk dapat berubah
menjadi coklat dan kualitas proteinnya dapat rusak. Jadi pada saat hendak diberikan
ke pasien baru sekatnya dibuka sehingga asam amino dan glukosa bercampur.
B. Enzymatic Browning
Browning reactions are some of the most important phenomena occurring in
food during processing and storage. They represent an interesting research for the
implications in food stability and technology as well as in nutrition and health. The
major groups of reactions leading to browning are enzymatic phenol oxidation and

12
so-called nonenzymatic browning (Manzocco et al. 2001). Dijelaskan diatas bahwa
reaksi pencoklatan merupakan fenomena yang penting yang terjadi pada makanan
hingga proses dan penyimpanan. Reaksi pencoklatan dapat dialami oleh buah-buahan
dan sayur-sayuran yang tidak berwarna. Reaksi ini disebut reaksi pencoklatan karena
menyebabkan warna makanan berubah menjadi coklat. Ada beberapa hal yang
menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan, salah satunya adalah keberadaan enzim.
Reaksi pencoklatan ini dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu reaksi pencoklatan
enzimatis dan reaksi pencoklatan non-enzimatis. (Ghaffar, 2012)
Reaksi pencoklatan enzimatis pada bahan pangan ini memiliki dua macam
dampak yaitu dampak yang menguntungkan dan juga dampak yang merugikan.
Dampak yang menguntungkan misalnya saja pada teh hitam, teh oolong dan teh hijau.
Reaksi pencoklatan enzimatis bertanggung jawab pada warna dan flavor yang
terbentuk (Fennema, 1996). Begitu juga yang terjadi pada produk pangan lain seperti
misalnya kopi. Polifenol oksidase juga bertanggung jawab pada karakteristik warna
coklat keemasan pada buah-buahan yang telah dikeringkan seperti kismis, buah prem,
dan buah ara (Ghaffar, 2012).
C. Denaturasi Protein
Denaturasi protein adalah hilangnya sifat-sifat struktur lebih tinggi oleh
terkacaunya ikatan hidrogen dan gaya-gaya sekunder lain yang memutuskan molekul
protein. Akibat dari suatu denaturasi adalah hilangnya banyak sifat-sifat biologis suatu
protein (Fessenden, 1989).
Salah satu penyebab denaturasi protein adalah perubahan temperatur, dan juga
perubahan pH. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan denaturasi adalah
detergent, radiasi zat pengoksidasi atau pereduksi, dan perubahan jenis pelarut.
Denaturasi dapat bersifat reversibel, jika suatu protein hanya dikenai kondisi
denaturasi yang lembut seperti perubahan pH. Jika protein dikembangkan
kelingkungan alamnya, hal ini untuk memperoleh kembali struktur lebih tingginya
yang alamiah dalam suatu proses yang disebut denaturasi. Denaturasi umumnya
sangat lambat atau tidak terjadi sama sekali (Fessenden, 1989).
Protein sering mengalami perubahan sifat setelah mengalami perlakuan
tertentu, meskipun sangat sedikit ataupun ringan dan belum menyebabkan terjadinya
pemecahan ikatan kovalen atau peptida, perubahan inilah yang dinamakan dengan
denaturasi protein. Denaturasi protein dapat terjadi dengan berbagai macam
perlakuan, antara lain dengan perlakuan panas, pH, garam, dan tegangan permukaan.
13
Laju denaturasi protein dapat mencapai 600 kali untuk tiap kenaikan 10oC. Suhu
terjadinya denaturasi sebagian besar protein terjadi berkisar antara 55 oC 75oC.
Denaturasi akan menyebabkan perubahan struktur protein dimana pada
keadaan terdenaturasi penuh, hanya struktur primer protein saja yang tersisa, protein
tidak lagi memiliki struktur sekunder, tersier dan kuartener. Akan tetapi belum terjadi
pemutusan ikatan peptida pada kondisi terdenaturasi penuh. Denaturasi protein yang
berlebihan dapat menyebabkan insolubilitasi yang dapat mempengaruhi sifat-sifat
fungsional protein yang tergantung pada kelarutannya.
Pada protein yang mengalami denaturasi, proteinnya akan mengendap karena
gugus-gugus yang bermuatan positif dan negatif dalam jumlah yang sama atau dalam
keadaan titik isoelektrik (netral). Pada denaturasi terjadi pemutusan ikatan hidrogen,
interaksi hidrofobik dan ikatan garam hingga molekul protein tidak punya lipatan lagi.
Garam-garam seperti misalnya natrium klorida dalam konsentrasi tertentu dapat
menyebabkan denaturasi atau koagulasi. Protein yang telah mengalami denaturasi
akan memberikan beberapa perubahan dalam beberapa hal, seperti :
1) Viskositas naik ( karena mol menjadi asimetris dan lipatan hilang )
2) Rotasi optis larutan protein meningkat.
Contoh: koagulasi putih telur, pada protein telur mudah terdenaturasi oleh adanya
panas dan tegangan muka bila putih telur tersebut diaduk sampai menjadi buih.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Secara kimiawi, oksidasi didefinisikan sebagai pengeluaran elektron dan reduksi


sebagai penangkapan electron, sebagaimana di lukiskan oleh oksidasi ion fero menjadi
feri e (elektron) Fe 2+ Fe3+ Dengan demikian, oksidasi selalu disertai reduksi aseptor
electron. Prinsip oksidasi reduksi ini berlaku pada berbagai sistem biokimia dan
merupakan konsep penting yang melandasi pemahaman sifat oksidasi biologi. Banyak
oksidasi biologi dapat berlangsung tanpa peran serta molekul oksigen, misalnya:
dehidrogenasi. Reaksi ini dilandasi oleh hukum Termodinamika (Nareswara, 2013).

Enzim yang terlibat dalam proses oksidasi dan reduksi dinamakan oksidoreduktase
dalam uraian berikut, enzim oksidoreduktase dibagi menjadi 4 kelompok (Nareswara,
2013), yaitu: Enzim Oksidase, Enzim Dehidrogenase, Enzim Hidroperoksidase, dan
Enzim oksigenase.

Implementasi dalam kehidupan yaitu reaksi-reaksi kimia yang terjadi selama


pengolahan pangan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap nilai gizi, keamanan, dan
penerimaannya. Masing-masing jenis reaksi dapat melibatkan reaktan atau substrat yang
berbeda, tergantung pada jenis bahan pangan dan kondisi penanganan, pengolahan dan
penyimpanan. Komposisi bahan pangan secara umum sama, terutama terdiri dari lipid,
karbohidrat, dan protein, dengan demikian banyak reaksi-reaksi umum yang sama.
Disamping itu, banyak reaktan untuk suatu reaksi terdapat pada sebagian besar bahan
pangan. Sebagai contoh, reaksi pencoklatan nonenzimatis (reaksi Maillard) Pencoklatan
Nonenzimatis (Reaksi Maillard), Enzymatic Browning, dan Denaturasi Protein

3.2 Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan
fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber
yang lebih banyak, yang tentunya dapat dipertanggungjawabkan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Murray, Robert. 2009. Biokimia Harper. Jakarta: EGC

Murray R K, et al. 2006. Biokimia Harper. Jakarta : UI Press

Davis S.P., 1985, prinsip-prinsip biokimia, Jakarta)

Gernida. 1996, Biokimia. Jakarta : Gramedia

Poedjiadi, A. 2006. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta : UI Press

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta

16

Anda mungkin juga menyukai