Anda di halaman 1dari 39

About Me

Privacy Policy

Disclaimer

ANEKA RAGAM MAKALAH

HOME
SUMBANG MAKALAH
PASANG IKLAN
DAFTAR ISI
HUBUNGI KAMI
FOLLOW
o
o
o
o
BANTUAN
o
o
o

Home Hukum Pemerintahan Makalah Hukum Di Indonesia


MAKALAH HUKUM DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Hukum merupakan suatu pedoman yang mengatur pola hidup manusia yang
memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan ketentraman hidup bagi
masyarakat. Oleh karena itulah, hukum mengenal adanya adagium ibi societes ibi
ius. Adagium ini muncul karena hukum ada karena adanya masyarakat dan
hubungan antar individu dalam bermasyarakat. Hubungan antar individu dalam
bermasyarakat merupakan suatu hal yang hakiki sesuai kodrat manusia yang tidak
dapat hidup sendiri karena manusia adalah makhluk polis, makhluk yang
bermasyarakat (zoon politicon).[1]

Semua hubungan tersebut diatur oleh hukum, semuanya adalah hubungan hukum
(rechtsbetrekkingen).[2] Maka untuk itulah dalam mengatur hubungan-hubungan
hukum pada masyarakat diadakan suatu kodifikasi hukum yang mempunyai tujuan
luhur yaitu menciptakan kepastian hukum dan mempertahankan nilai keadilan dari
subtansi hukum tersebut. Sekalipun telah terkodifikasi, hukum tidaklah dapat statis
karena hukum harus terus menyesuaikan diri dengan masyarakat, apalagi yang
berkaitan dengan hukum publik karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup
orang banyak dan berlaku secara umum.

Seiring perkembangan zaman permasalahan di bidang hukumpun semakin hari


semakin rumit dan kompleks. Khususnya lagi dalam hukum pidana yang mencita-
citakan lahirnya sebuah kodifikasi baru pengganti Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (selanjutnya disebut KUHP saja) warisan kolonial yang telah terlalu jauh
tertinggal oleh zaman. Patut dicatat, pembaharuan hukum pidana selalu
menimbulkan pertentangan-pertentangan pendapat yang tidak hanya terjadi antara
para ahli hukum saja melainkan juga melahirkan pertentangan di tengah masyarakat.
Pertentangan yang terjadi tidak hanya mencakup persolan pembaharuan hukum
pidana (penal reform) nasional yang berkaitan dengan aturan umum dan rumusan
deliknya namun juga mencakup kebijakan criminal (criminal policy) yang merupakan
persoalan yang tak kalah penting guna mencegah meluasnya
perkembangan/kecendrungan kejahatan (crime trend). Hukum pidana yang
domeinnya sebagai hukum publik membuat perkembangan hukum pidana selalu
menjadi sorotan di tengah masyarakat. Contoh kecil yang dapat kita lihat ialah
bagaimana respon masyarakat yang sangat antusias terhadap wacana penegasan
ancaman pidana mati terhadap terhadap para koruptor.

Menurut Hegel Negara ialah realitas Roh atau kesadaran, yang menjawab
pertentangan dalam masyarakat. Tanpa Negara pertentangan yang ada di dalam
masyarakat tidak dapat diselesaikan.[3] Maka menyikapi permasalahan dan
pertentangan yang terjadi di dalam pembaharuan hukum pidana, Negaralah yang
harus mengambil kebijakan guna mencegah terjadi pertentangan yang semakin
meluas yang bukannya mendatangkan solusi melainkan melahirkan debat kusir yang
tak bermakna.

Sebuah pro dan kontra atau pertentangan pendapat yang masih terus berlangsung
dalam domein hukum pidana sebagaimana tersebut di atas ialah mengenai
keberadaan lembaga pidana mati baik dalam kedudukan sebagai hukum positif
maupun dalam upaya pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari hukuman
(pidana). Sebagaimana diketahui eksistensi lembaga pidana pidana mati dituangkan
dalam KUHP, yang secara terperinci menyatakan sebagai berikut :

Pasal 10. Pidana terdiri atas:

a. Pidana pokok :

1. pidana mati,
2. pidana penjara,
3. kurungan,
4. denda.

b. Pidana tambahan

1. pencabutan hak-hak tertentu,


2. perampasan barang-barang tertentu,
3. pengumuman putusan hakim. [4]

Berdasarkan uraian pasal 10 KUHP tersebut dapatlah diketahui bahwa lembaga


pidana mati merupakan salah satu hukuman yang masih jelas keberadaannya
sebagai bagian dari hukuman (pidana) yang dapat dijatuhkan.

Pro dan kontra mengenai pidana mati bukanlah suatu pertentangan yang baru timbul
di tengah masyarakat luas dan para ahli hukum namun telah terjadi semenjak dahulu
dan sebagai bukti, persoalan ini pernah diangkat oleh J.E.Sahetapy dalam skripsinya
yang berjudul Pidana Mati dalam Negara Pancasila (telah dipublikasikan dalam
judul yang sama). Apakah pidana mati hanya merupakan suatu alasan murah bagi
penguasa Negara sebagai alat penegak untuk mempertahankan tertib hukum dalam
memberantas penjahat-penjahat ulung dan berkaliber besar dengan ancaman maut,
belum termasuk daftar perghitungan terhadap orang-orang yang tak dapat dikenakan
baju penjahat karena mereka adalah seperti lazim diberi julukan penjahat politik [5]
merupakan salah satu alasan beliau untuk mempermasalahkan pidana mati dalam
tulisannya mengenai eksitensi pidana mati di Negara Pancasila (baca Indonesia).

Selayaknya KUHP yang diberlakukan secara umum di keseluruhan wilayah Republik


Indonesia sejak tanggal 29 September 1958 (berdasarkan UU No. 73 Tahun 1958,
LN Tahun 1958 No. 127), maka pidana mati beserta pidana lainnya seperti yang
termuat dalam pasal 10 KUHP juga berlaku secara keseluruhan di wilayah Republik
Indonesia (asas teritorialitas). Sebelumnya KUHP juga diberlakukan di Indonesia
namun didasarkan atas hukum transitoir (pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945) dan masih kental nuansa dualismenya. Unifikasi hukum pidana nasional
ini menimbulkan suatu kejanggalan karena sebagaimana diketahui KUHP yang
merupakan warisan kolonial (cerminan W.v.S. dari Belanda) tersebut masih
memberlakukan pidana mati sedangkan Belanda sebagai Negara kiblat KUHP
Nasional kita telah menghapuskan ancama pidana mati sebagai hukuman (pidana)
yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang dianggap bersalah oleh pengadilan
dalam Crimineel Wetboek nya (KUHP Belanda).
Memang tidak ada suatu keharusan untuk menerapkan hukum pidana di Indonesia
harus seutuhnya sama dengan Negara yang menjadi kiblat hukum pidana nasional
kita, namun karena pidana mati berkaitan dengan hak hidup seseorang maka tentu
menimbulkan pertentangan yang melahirkan pro kontra atau silang pendapat antara
para ahli hukum pidana yang sampai pada saat ini belum jelas akhirnya. Wajar
pertentangan tersebut muncul, namun perlu sekali lagi digaris bawahi bahwa Negara
tentu mempunyai pertimbangan khusus memberlakukan pidana mati dalam hukum
pidana kita sebagaimana tertuang dalam pasal 10 huruf a angka 1 KUHP tersebut.

Simons dalam sebuah tulisannya pernah menyatakan, masalah adil-tidaknya


hukuman mati itu tidaklah dapat dipersoalkan, apabila sudah jelas bahwa tanpa
hukuman tersebut ketertiban hukum tidak dapat dipertahankan.[6] Maka berdasarkan
pendapat Simons tersebut jelas di sini bahwa keberadaan lembaga pidana mati
merupakan kebutuhan yang mutlak pada saat itu, mengingat keberadaan Negara
Indonesia yang belum stabil saat itu dan bila dilihat dari segi adat istiadat di
Indonesia, hukuman (pidana) mati tidaklah bertentangan dengan adat istiadat dan
hukum agama, khususnya hukum pidana Islam yang juga mengenal adanya
hukuman mati (yang mana mayoritas Warga Negara Indonesia merupakan penganut
agama Islam).

Adapun pengaturan tentang pidana mati yang diatur dalam beberapa pasal di KUHP
yaitu pasal 104; pasal 111 ayat (2); pasal 124 ayat (1); pasal 124 bis; pasal 140 ayat
(3); pasal 340; pasal 365 ayat (4); pasal 444; pasal 479k ayat (2) dan pasal 479o
ayat (2), sedangkan aturan di luar KUHP yang mengatur tentang pidana mati antara
lain terangkum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
(pasal 59 ayat (2)); Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika (pasal
80 ayat (1) huruf a; pasal 80 ayat (2) huruf b; pasal 80 ayat (3) huruf a; pasal 82 ayat
(1) huruf a; pasal 82 ayat (2) huruf a; pasal 82 ayat (3) huruf Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (tahun 1999 & 2001), Undang-Undang
Pengadilan HAM (tahun 2000) dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme (tahun 2003).

Penjatuhan pidana mati tersebut, tidaklah dijatuhkan kepada sembarangan orang


melainkan khusus kepada pelaku kejahatan khusus (extraordinary crime), yang
dianggap pelakunya telah memperlihatkan dari perbuatannya bahwa ia adalah
individu yang sangat berbahaya bagi masyarakat, dan oleh karena itu harus dibuat
tidak berbahaya lagi dengan cara dikeluarkan dari masyarakat atau pergaulan
hidup[7] (baca dipidana mati). Salah satu tokoh yang mendukung keberadaan
lembaga pidana mati di negeri ini ialah ialah R. Santoso Poedjosoebroto yang
merupakan mantan wakil ketua Mahkamah Agung, berpendapat pidana mati itu
adalah merupakan senjata pamungkas atau akhir dalam keadilan,[8] namun dalam
penjatuhan pidana mati haruslah diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hak-
hak si terpidana dan eksekusinya pun dilakukan dengan cara yang patut dan
berprikemanusiaan.

Tidak dapat dipungkiri masih banyak ahli yang tak sependapat dengan hal tersebut,
namun keberadaan lembaga pidana mati haruslah dihargai dalam kedudukannya
sebagai suatu bagian dari hukum pidana positif Indonesia. Selain Sahetapy, masih
banyak ahli yang menentang atau kontra terhadap eksistensi lembaga pidana mati
(namun tidak sepenuhnya menentang konsep pidana mati yang tertuang RKUHP) di
Indonesia yang salah satunya adalah Sudarto yang berpendapat :

Hilangnya nyawa berarti hilangnya manusia itu sendiri. Adakah alasan yang cukup
kuat untuk menghilangkan nyawa manusia itu sendiri ? Kekeliruan dari pengadilan
selalu dapat terjadi, dan kalau hal ini terjadi dalam penjatuhan hukuman mati, maka
tidak ada kemungkinan lain sama sekali untuk memperbaiki. Manfaat dari pidana ini
sangat diragukan.[9]

Keberadaan pidana mati bukan hanya menjadi sebuah permasalahan yang terjadi di
Indonesia namun juga terjadi di banyak Negara lainnya. Hal ini dapat dilihat dari
pendapat Von Henting yang secara terang-terangan menolak mengenai keberadaan
lembaga pidana mati. Beliau berpendapat, ada pengaruh yang kriminogen dari pada
pidana mati ini terutama sekali disebabkan karena Negara telah memberikan suatu
contoh yang jelek dengan pidana mati tersebut sebenarnya Negaralah yang
berkewajiban untuk mempertahankan nyawa manusia, dalam keadaan yang
bagaimanapun.[10]
Selain mengenai hilangnya hak untuk hidup seseorang, pidana mati juga
menimbulkan permasalahan lain yang tak kalah pelik dan juga memiliki keterkaitan
erat dengan ranah hak asasi manusia yaitu mengenai kapan pelaksanaan eksekusi
mati dilaksanakan. Peristiwa ini terjadi dikarenakan di Indonesia tidak ada peraturan
yang mengatur limit (batas) waktu pelaksanaan eksekusi terhadap si terpidana. Hai
inilah yang mengakibatkan terjadinya suatu kumulasi pidana. Secara normatif,
kumulasi pidana ini tidak akan pernah didapati dasar hukum dan pengakuan
mengenai keberadaannya, namun di dalam prakteknya akan sering kali
diketumukan. Maka dapat penulis katakan bahwa penundaan eksekusi yang terlalu
lama menyebabkan terjadinya kumulasi pidana penjara dan pidana mati terhadap si
terpidana.

Bila di lihat secara riil memang hal tersebut di atas mempunyai sisi positif bagi si
terdakwa, namun bila secara cermat diamati akan terlihat hal tersebut lebih banyak
mendatangkan kerugian dari pada keuntungan bagi si terdakwa. Contoh konkrit yang
dapat kita lihat dari kasus Kusni Kasdut dan Hengki Tupanawaei yang menunggu
selama lebih kurang 25 tahun, terlepas dari aspek yuridis sesungguhnya merupakan
pemidanaan tersendiri. Apalagi impliksai sosiologisnya : menunggu kematian selama
25 tahun.[11] Jelaslah di sini bahwa penundaan eksekusi pidana mati merupakan
suatu bentuk pengabaian terhadap penderitaan yang dialami oleh si terpidana.
Selain itu, dalam keberadaan terpidana mati di Lembaga Pemasyarakatan menjelang
pelaksanaan eksekusi yang tak jelas kapan waktunya tersebut tentu memposisiskan
si terdakwa selayaknya narapidana, bahkan si terpidana mati dipastikan akan jauh
lebih banyak kehilangan hak-haknya di balik tembok tinggi tersebut dibandingkan
narapidana penghuni Lembaga Pemasyarakatan dikarenakan sistem pengamanan
dan pengawasan yang jauh lebih ketat pasti akan diterapkan terhadapnya.

Analisis terhadap uraian di atas menunjukkan dengan jelas adanya pemerkosaan


hak asasi manusia yang terjadi terhadap hak-hak si terpidana mati. Hipotesa tersebut
muncul karena menurut Undang-Undang Hak Asasi Manusia setiap orang diberikan
hak untuk hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin[12].
Jaminan tersebut juga merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak yang harus
ada) terhadap semua orang termaksud terpidana yang menjalani masa hukuman di
Lembaga Pemasyarakatan walaupun ada batasan tertentu yang dapat dilanggar.
Berdasarkan hal tersebut, timbullah pertanyaan, dapatkah jaminan tersebut kita
temui pada perasaan sanubari setiap terpidana mati yang sampai sekarang gundah
menunggu kapan maut dihadapakan padanya.

Kontradiksi yang sebagaimana tersebut di atas, memang juga terjadi pada


penerapan pidana mati, namun dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi
terhadap uji materil keabsahan pidana mati yang diatur dalam UU No 22 Tahun 1997
tentang Narkotika yang memutuskan bahwa pidana mati tidaklah bertentangan
dengan UUD 1945 (uji materil dimohonkan oleh pelaku kasus tindak pidana
narkotika) jelas mementalkan penolakan terhadap keberadaan lembaga pidana mati
di Indonesia. Berbeda dengan kumulasi yang disebutkan penulis di atas yang jelas-
jelas memperkosa hak asasi si terpidana mati karena tidak ada kepastian hukum
yang menentukan kapan regu tembak akan di hadapkan padanya yang sudah
barang tentu merampas rasa keadilan bagi si terpidana mati.

Mengutip apa yang dituliskan oleh Bung Karno, zaman akan menjadi hakim dan
zaman akan menentukan siapa yang benar.[13] Sungguh benar apa yang dikatakan
oleh Bung Karno dan menurut penulis saat (zaman) inilah bangsa ini harus
menjawab permasalahan kumulasi pidana tersebut. Dengan membiarkan zaman
berikutnya memutuskan dan menyelesaikan persoalan ini, maka sama saja dengan
membiarkan pemerkosaan hak asasi manusia terus berlangsung di depan mata
kita.

B. Masalah Pokok

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dapat ditetapkan
masalah pokok dalam penelitian ini ialah :

Bagaimanakah Tujuan Pemidanaan Indonesia?


Bagaimana Pengaturan Tentang Pidana Penjara dan Pidana Mati ?
Bagaimanakah Pro Kontra Pidana Mati di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tujuan Pemidanaan

Sebagaimana telah terurai, pemidanaan secara sederhana dapat diartikan dengan


penghukuman. Penghukuman yang dimaksud berkaitan dengan penjatuhan pidana
dan alasan-alasan pembenar (justification) dijatuhkannya pidana terhadap seseorang
yang dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van
gewijsde) dinyatakan secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana.
Tentunya, hak penjatuhan pidana dan alasan pembenar penjatuhan pidana serta
pelaksanaannya tersebut berada penuh di tangan negara dalam realitasnya sebagai
roh.

Patut diketahui, bahwa tidaklah semua filsuf ataupun pakar hukum pidana sepakat
bahwa negaralah yang mempunyai hak untuk melakukan pemidanaan (subjectief
strafrech). Hal ini dapat terlihat jelas pada pendapat Hezewinkel-Suringa yang
mengingkari sama sekali hak mempidana ini dengan mengutarakan keyakinan
mereka bahwa si penjahat tidaklah boleh dilawan dan bahwa musuh tidaklah boleh
dibenci.[14] Pendapat ini dapat digolongkan sebagai bentuk negativisme, dimana
para ahli yang sependapat dengan Suringa tersebut menyatakan hak menjatuhkan
pidana sepenuhnya menjadi hak mutlak dari Tuhan.

Negativisme yang dimaksud di atas, penulis anggap sebagai bentuk penegakan


hukum secara utopis di masa sekarang ini, dikarenakan penegakan hukum agama
menganggap Negara adalah perpanjangan tangan Tuhan di dunia. Sementara itu,
dewasa ini cenderung untuk mengkotomikan antara konsep-konsep sistem
pemerintahan dan penegakan hukum dengan ajaran-ajaran agama tertentu. Bagi
kalangan religius hal ini dianggap menuju arah paham sekularisme (walaupun tidak
secara absolut), namun hal ini semakin hari-hari semakin banyak dipraktekkan pada
banyak Negara pada sistem ketatanegaraan yang berimplikasi pada bentuk hukum
pidana positif. Hal ini dapat terlihat jelas pada Negara kita dengan tidak
diberlakukannya hukum agama secara mutlak dalam hukum nasional kita (faktor
kemajemukan sosial) dan juga pada Negara-negara lainya.
Jadi, dapatlah kita berpedoman pada mazhab wiena yang menyatakan hukum dan
negara adalah identik, karena adalah tak lain daripada satu susunan tingkah laku
manusia dan satu ketertiban paksaan kemasyarakatan.[15]

Kembali berbicara mengenai tujuan pemidanaan, bahwa pada prinsipnya tujuan


tersebut termaktub dalam berbagai teori pemidanaan yang lazim dipergunakan.
Secara garis besar, teori pemidanaan terbagi dua dan dari penggabungan kedua
teori pemidanaan tersebut lahir satu teori pemidanaan lainnya. Adapun tiga teori
pemidanaan yang dijadikan alasan pembenar penjatuhan pidana :

1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien),


2. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien),
3. Teori gabungan (verenigingstheorien).

Ad 1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien).

Teori ini juga dikenal dengan teori mutlak ataupun teori imbalan dan teori ini lahir
pada akhir abad ke-18. Menurut teori-teori absolut ini, setiap kejahatan harus diikuti
dengan pidana tidak boleh tidak tanpa tawar-menawar. Seseorang mendapat
pidana karena telah melakukan kejahatan.[16] Maka, pemberian pidana disini
ditujukan sebagai bentuk pembalasan terhadap orang yang telah melakukan
kejahatan.

Ada banyak filsuf dan dan ahli hukum pidana yang menganut teori ini, diantaranya
ialah Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, JJ Rousseau. Dari banyak pendapat ahli
tersebut penulis tertarik dengan pendapat yang disampaikan Hegel mengenai
argumennya terhadap hukuman bila dikolerasikan dengan teori absolut. Dimana
hukuman dipandang dari sisi imbalan sehingga hukuman merupakan dialectische
vergelding.[17] Hal ini memperlihatkan bahwa pembalasan (vergelding) diuraikan
dengan nuansa dialektika sebagaimana pola Hegel berfilsafat.
Jadi, dalam teori ini pidana dapat disimpulkan sebagai bentuk pembalasan yang
diberikan oleh negara yang bertujuan menderitakan penjahat akibat perbuatannya.
Tujuan pemidanaan sebagai pembalasan pada umumnya dapat menimbulkan rasa
puas bagi orang, yang dengan jalan menjatuhkan pidana yang setimpal dengan
perbuatan yang telah dilakukan.[18]

Ad 2. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien).

Lahirnya teori ini menurut penulis merupakan suatu bentuk negasi terhadap teori
absolut (walaupun secara historis teori ini bukanlah suatu bentuk penyempurnaan
dari teori absolut) yang hanya menekankan pada pembalasan dalam penjatuhan
hukuman terhadap penjahat. Teori yang juga dikenal dengan nama teori nisbi ini
menjadikan dasar penjatuhan hukuman pada tujuan dan maksud hukuman sehingga
ditemukan manfaat dari suatu penghukuman (nut van destraf).

Teori ini berprinsip penjatuhan pidana guna menyelenggarakan tertib masyarakat


yang bertujuan membentuk suatu prevensi kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-
beda: menakutkan, memperbaiki, atau mebinasakan. Lalu dibedakan prevensi umum
dan khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak
melakukan delik.[19]

Feurbach sebagai salah satu filsuf penaganut aliran ini berpendapat pencegahan
tidak usah dilakukan dengan siksasaan tetapi cukup dengan memberikan peraturan
yang sedemikian rupa sehingga bila orang setelah membaca itu akan membatalkan
niat jahatnya.[20] Selain dengan pemberian ancaman hukuman, prevensi umum
(general preventie) juga dilakukan dengan cara penjatuhan hukuman dan
pelaksanaan hukuman (eksekusi). Eksekusi yang dimaksud dilangsungkan dengan
cara-cara yang kejam agar khalayak umum takut dan tidak melakukan hal yang
serupa yang dilakukan oleh si penjahat.

Seiring perkembangan zaman, apa yang menjadi substansi tujuan pemidanaan


sebagaimana yang terurai dalan prevensi umum menuai kritikan. Salah satu kritikan
yang paling mendasar dapat penulis perlihatkan berdasarkan pendapat Dewey yang
menyatakan :
Banyak pelaku kejahatan tidak mempertimbangkan hukuman. Terkadang karena
mereka mengalasakit jiwa ayau feebleminded atau berbuat dibawah tekanan
emosi yang berat. Terkadang ancaman hukuman itu menjadikan mereka seolah-olah
dibujuk. Banyak tahanan yang mengemukakan reaksi kejiwaaannya dikala proses
dari pelanggaran undang-undang. Semua ini memperlihatkan bahwa sesunggyhnya
hanya sedikit yang mempertimbangkan undang-undang penghukuman.[21]

Pada prevensi khusus, tujuan pemidanaan ditujukan kepada pribadi si penjahat agar
ia tidak lagi mengulangi perbuatan yang dilakukannya. Van Hamel dalam hal ini
menunjukkan bahwa prevensi khusus dari suatu pidana ialah :

1. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang
mempunyai kesempatan untuk tidak melakukan niat buruknya.

2. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki si terpidana.


3. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki.
4. Tujuan satu-satunya pidana ialah mempertahnkan tertib hukum.[22]

Maka dapat disimpulkan bahwa dalam teori relatif, negara dalam kedudukannya
sebagai pelindung masyarakat menekankan penegakkan hukum dengan cara cara
prenventif guna menegakkan tertib hukum dalam masyarakat.

Ad 3. Teori gabungan (verenigingstheorien).

Teori gabungan merupakan suatu bentuk kombinasi dari teori absolut dan teori relatif
yang menggabungkan sudut pembalasan dan pertahanan tertib hukum masyarakat.
Dalam teori ini, unsur pembalasan maupun pertahanan tertib hukum masyarakat
tidaklah dapat diabaikan antara satu dengan yang lainnya.

Berdasarkan penekanan atau sudut dominan dalam peleburan kedua teori tersebut
ke dalam bentuk teori gabungan, teori ini dibedakan menjadikan tiga bentuk yaitu,
teori gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan, teori gabungan teori
gabungan yang menitikberatkan pertahanan tertib masyarakat, dan teori gabungan
yangmemposisikan seimbang antara pembalasan dan pertahanan tertib masyarakat.

Menurut, Wirjono Prodjodikoro, bagi pembentuk undang-undang hukum pidana, bagi


para jaksa dan hakim tidak perlu memilih salah satu dari ketiga macam teori hukum
pidana tersebut dalam menunaikan tugas.[23] Penulis dalam hal ini secara tegas
menyatakan sepakat dengan apa yang disampaikan Wirjono Prodjodikoro
dikarenakan nilai-nilai keadilan bukanlah didasarkan dari teori apa yang dianut
melainkan berdasarkan unsur humanis yang berkenaan dengan kondisi masyarakat
dan si pembuat (penjahat) yang diproses melalui perpaduan logika dan hati yang
terlahir dalam sebuah nurani.

B. Pidana Mati dan Pidana Penjara di Indonesia

Pidana mati dan pidana penjara merupakan bagian dari jenis-jenis pidana yang
berlaku berdasarkan hukum pidana positif Indonesia. Sebagaimana diketahui kedua
bentuk pidana tidaklah dapat dikumulasikan. Hanya saja dalam tataran das sein hal
ini sering terjadi terhadap terpidana mati. Oleh karena keganjilan tersebut penulis
akan mencoba menguraikan pidana mati dan pidana penjara secara terpisah serta
korelasi kedua jenis pidana dalam permasalahan pidana mati guna mempermudah
memahami hasil penelitian penulis yang akan diuraikan pada bab berikutnya.

a. Pidana Penjara

Pidana penjara merupakan jenis hukuman yang berdasarkan pelakasanaannya


mempunyai kemiripan pelaksanaan pidana kurungan. Hal ini dapat dilihat dari
pendapat Satochid Kartanegara yang menyatakan kedua bentuk hukuman ini sama-
sama dilakukan dengan cara merampas kemerdekaan orang-orang yang melanggar
undang-undang. Hanya saja, pada pidana kurungan si narapidana mempunyai
beberapa hak istimewa yang tidak dipunyai oleh narapidana hukuman penjara dan
begitu juga sebaliknya. Adapun hak yang tidak dimiliki oleh narapidana hukuman
penjara ialah hak pistole, sebaliknya narapidana pidana kurungan tidak berhak
mendapatkan pembebasan bersyarat.
Berdasarkan sejarah, pelaksanaan pidana penjara sebagai bentuk hukuman yang
merampas kemerdekaan barulah dikenal pada awal abad ke-18. Pada saat itu
pidana pejara lahir sebagai pidana baru yang berbentuk membatasi kebebasan
bergerak, merampas kemerdekaan, menghilangkan kemerdekaan yang harus
dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana penjara bagi narapidana.[24]
Indonesia sendiri mengenal pidana penjara secara normatif sejak diberlakukan
berdasarkan ordonantie10 Desember 1917 Staatsblad tahun 1917 No. 708 yang
dikenal dengan Gestichtenreglement[25] yang berinduk pada WvS.

Pada saat ini, pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilaksanakan berdasarkan


ketentuan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan dan
berbagai peraturan dibawahnya. Dalam hal itu, pelaksanaan pidana penjara
disesuaikan dengan fungi pokok Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat
narapidana dibina selama menjalani pidana yang dijatuhkan padanya dan dalam hal
ini narapidana juga dikategorikan sebagai warga binaan Lembaga Pemasyarakata.
Adapun fungsi pokok Lembaga Pemasyarakatan yaitu membina serta
mempersiapkan para narapidana supaya dapat hidup bermasyarakat tanpa
menggangu dan merugikan anggota masyarakat yang lain.[26]

Berdasarkan pasal 12 ayat (1) KUHP, pidana penjara dibagi menjadi dua yaitu
seumur hidup dan selama waktu tertentu. Dilihat dari sudut penjatuhan pidana dan
juga sudut terpidana, pidana seumur hidup bersifat pasti (definite sentence) karena si
terpidana dikenakan jangka waktu yang pasti (a definite periode of time), yaitu
menjalani pidana sepanjang hidup di dunia ini[27]. Selain itu, pidana seumur hidup
juga dianggap sebagai bentuk hukuman yang berlebihan bagi beberapa ahli hukum
dan masyarakat pemerhati hak asasi manusia. Bahkan ada pendapat seorang
terpidana mati (Doris Ann Foster) di salah satu Negara bagian Amerika Serikat yang
secara frontal menolak pidana penjara seumur hidup. Ia menyatakan, bahwa ia
hanya mau mati atau dibebaskan (lebih baik mati dari pada pidana seumur hidup. I
want to die or to be free, katanya.[28]
Menurut penulis, apa yang disampaikan Foster sangatlah menarik untuk dicermati,
dikarenakan hampir sebagia besar terpidana mati memiliki pandangan yang berbeda
sengan Foster. Namun,

Pada pidana penjara selama waktu tertentu ukuran pemidanaan (strafmaat) paling
pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. Pidana
penjara selama waktu tertentu dapat pula dijatuhkan dua puluh tahun berturut-turut
dalam hal kejahatan yang diancam dengan pidana mati, pidana seumur hidup dan
pidana penjara selama waktu tertentu atau apabila terdapat perbarengan
(concursus), pengulangan (recidive) ataupun ditentukan lain oleh aturan perundang-
undangan di luar KUHP.

Selain pidana penjara seumur hidup, bentuk pidana penjara selama waktu tertentu
berdasarkan fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan
suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan yang
telah melahirakan suatu sistem pembinaan.[29]

Berdasarkan penjelasan di atas, timbullah kontradiksi yang mencolok antara pidana


seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu berdasarkan aspek tujuan
pemidanaan. Dalam hal ini, Barda Nawawi arief berpendapat :

Mengingat sifat/karakterisitik pidana seumur hidup yang demikian, maka sebenarnya


ada kontradiksi ide antara pidana seumur hidup dengan sistem pemasyarakatan ini.
Pidana penjara seumur hidup lebih berorientasi pad aide perlindungan kepentingan
masyarakat, sedangkan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan lebih
berorientasi pada ide perlindungan kepentingan masyarakat, sedangkan pidana
penjara denagn sistem pemasyarakatan lebih berorientasi pada ide
perlindungan/pembinaan dan perbaikan (rehabilitasi) si terpidana untuk dikembalikan
kepada masyarakat.[30]

Jadi dapat penulis simpulkan bahwa ada ketidak singkronan pada sistem
pemasyarakatan dengan bentuk pidana seumur hidup. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya diadakan perbaikan-perbaikan pada pidana penjara sebagai sarana
penal yang paling laris untuk menghindari kekeliruan yang dapat muncul di
kemudian hari.

b. Pidana Mati

Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa
seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini juga merupakan
hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan
diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan
bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman
yang sangat ditakuti oleh umum.[31]

Berdasarkan sejarah pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang relatif baru di
Indonesia. Pidana ini telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hal ini dapat
dibuktkan dengan memperhatikan jenis-jenis pidana menurut hukum adat atau huum
para raja dahulu, umpamanya :

a. mencuri dihukum potong tangan


b. pidana mati dilakukan dengan jalan memotong-motong daging dari badan (sayab),
kepala ditumbuk (sroh), dipenggal dan kemudian kepalanya ditusuk dengan gantar
(tanjir), dan sebagainya.[32]

Pelaksanaan eksekusi mati di wilayah Indonesia tidak hanya terpatok pada


keterangan di atas. Misalnya, di Aceh eksekusi bisa dilaksanakan dengan lembing, di
Bali dapat dilaksanakan dengan cara ditenggelamkan ke laut,sedangkan pada suku
batak dilaksanakan dengan sistem alternatif dimana apabila pembunuh tidak
membayar uang salah maka eksekusi bisa dilaksanakan, dan berbagai macam jenis-
jenis eksekusi mati lainnya. Dengan memperhatikan kebiasaaan (adat) dan hukum
adat dari Aceh sampai Irian memperlihatkan kepada kita pidana mati dikenal oleh
semua suku di Indonesia. Hingga penulis menarik kesimpulan bahwa bukan Belanda
lah yang memperkenalkan pidana mati pada bangsa ini.
Penerapan hukum pidana oleh pemerintah Belanda di wilayah Indonesia
diberlakukan berdasarkan pemberlakuan Wet boek van Strafrecht yang mulai
berlaku pada 1 Januari 1918. Pada ketentuan ini, pidana mati ditetapkan sebagai
salah satu jenis pidana pokok yang tertuang dalam pasal 10. Pelaksanaan eksekusi
pidana mati dilakukan dengan hukuman gantung sebagaimana diatur dalam pasal 10
KUHP. Kemudian dengan Staatsblad 1945 Nomor123 yang dikeluarkan oleh
pemerintah Belanda, pidana mati dijatuhkan dengan cara ditembak mati. Hal ini
diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tahun 1964, Lembaran
Negara 1964 Nomor 38 kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang nomor 5
Tahun 1969 yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan cara
menembak mati terpidana. Dalam hal ini eksekusi harus dihadiri Jaksa (Kepala
Kejaksaan Negeri) sebagai eksekutor dan secara tekhnis pelaksaan eksekusi
dilakukan oleh regu tembak kepolisian.

Patut diketahui bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati haruslah


dilaksanakan setelah putusan pengadilan yang dijatuhkan padanya berkekuatan
hukum tetap dan kepada si terpidana telah diberikan kesempatan untuk mengajukan
grasi kepada Presiden. Pelaksanaan eksekusi dapat dilaksanakan dengan terlebih
dahulu melalui fiat executie (persetujuan Presiden).

Maka jelaslah disini bahwa pidana mati pada dasarnya dan seharusnya dijadikan
sebagai sarana penal yang terakhir dan hanya dapat dipergunakan terhadap orang-
orang yang tidak dapat dilakukan pembinaan lagi dan dirasakan membahayakan
kehidupan masyarakat luas bahkan negara sekalipun

Mengenai korelasi pidana penjara secara normatif tidak ada kaitanya sama sekali,
hanya saja pidana mati dipergunakan sebagai sarana bagi Negara untuk merampas
kemerdekaan terpidana menjelang dilaksanakan eksekusi agar ia tidak melarikan
diri. Berdasarkan hal tersebut, timbulah permasalahan dimana sarana pidana
penjara seolah dijatuhkan Negara sebagai bentuk hukuman tambahan terhadap
terpidana mati. Dikatakan demikian karena kecendrungan yang terjadi di negeri kita
pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana berlangsung dalam waktu yang relatif
lama. Maka di Negara ini seolah-olah sebagian besar terpidana mati menjalani dua
bentuk hukuman sekaligus, yaitu dengan diawali pidana penjara terlebih dahulu, lalu
barulah dilaksanakan pidana yang sesungguhnya dijatuhkan padanya yaitu pidana
mati.

Permasalahan ini menyebabkan semakin kompleksnya problematika pada pidana


mati. Kini topik pemberitaan seolah-olah bergeser menyangkut problematika
penundaan eksekusi pidana mati.[33] Oleh beberapa alasan yang penulis sebutkan
tersebutlah suatu pro dan kontra terhadap eksistensi mengenai lembaga pidana
mati.

C. Pro Kontra Pidana Mati di Indonesia

Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai
pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun
terjadi hampir di seluruh Negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis
hak asasi manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan
kontra pada lembaga pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional.

Kecendrungan para ahli yang setuju pidana mati tetap dipertahankan eksistensinya,
umumnya didasarkan pada alasan konvensional yaitu kebutuhan pidana mati sangat
dibutuhkan guna menghilangkan orang-orang yang dianggap membahayakan
kepentingan umum atau negara dan dirasa tidak dapat diperbaiki lagi, sedangkan
mereka yang kontra terhadap pidana mati lazimnya menjadikan alasan pidana mati
bertentangan dengan hak asasi manusia dan merupakan bentuk pidana yang tidak
dapat lagi diperbaiki apabila setelah eksekusi dilakukan diemukan kesalahan atas
vonis yang dijatuhkan hakim

Selanjutnya, penulis akan menguraikan berbagai -alasan dan para ahli yang pro
(mendukung) maupun kontra terhadap pidana mati, serta pandangan penulis
mengenai eksistensi lembaga pidana mati. Adapun beberapa ahli maupun tokoh
yang mendukung eksistensi pidana mati ialah Jonkers, Lambroso, Garofalo,
Hazewinkel Suringa, Van Hanttum, Barda Namawi Arief, Oemar Senoadji, dan T.B
Simatupang.

Jonkers mendukung pidana mati dengan pendapatnya bahwa alasan pidana tidak
dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan bukanlah alasan yang dapat
diterima untuk menyatakan pidana mati tak dapat diterima. Sebab di pengadilan
putusan hakim biasanya didasarkan alasan-alasan yang benar.[34]

Selanjutnya, Lambroso dan Garofalo berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat
yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang
tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.[35] Individu itu tentunya adalah orang-orang
yang melakukan kejahatan yang luar biasa serius (extraordinary crime)

Pada kesempatan lain, Suringa berpendapat pidana mati merupakan suatu bentuk
hukuman yang sangat dibutuhkan dalam suatu masa tertentu terutama dalam hal
transisi kekuasaan yang beralih dalam waktu yang singkat. Penulis bergumen seperti
itu didasarkan pendapat Suringa yang menyatakan bahwa pidana mati adalah suatu
alat pembersih radikal yang pada setiap masa revolusioner kita cepat dapat
mempergunakanya.[36]

Salah satu pakar hukum pidana dan tokoh pembaharuan hukum pidana nasional
Barda Nawawi Arief secara eksplisit dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa
pidana mati masih perlu dipertahankan dalam konteks pembaharuan KUHP
Nasional. Hal ini dapat penulis gambarkan, melalui pendapatnya yang menyatakan :
bahwa walaupun dipertahankan pidana mati terutama didasarkan sebagai upaya
perlindungan masyarakat (jadi lebih menitikberatkan atau berorintasi pada
kepentingan masyarakat), namun dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif,
hati-hati dan berorientasi juga pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku tindak
pidana).[37]

Hal yang disampaikan Barda ini hampir senada dengan apa yang pernah
disampaikan oleh seorang jenderal purnawirawan dan tokoh gereja di Indonesia
yang pada dasarnya sepakat apabila lembaga pidana mati dihapuskan
keberadaannya di Indonesia, namun dengan pertimbangan lain ia juga secara tegas
menyatakan pidana mati masih harus dipertahnkan dikarenakan hukuman tersebut
adalah alat untuk menjaga ketentraman masyarakat. Hukuman mati harus
dibicarakan dari segi kepentingan masyarakat.[38]

Bahkan Marjono Reksodiputro yang juga seorang tokoh pembaharuan hukum pidana
nasional mendukung keberadaan lembaga pidana mati dengan membantah hipotesa
yang meragukan efektivitas pidana mati melalui penndapatnya yang menyatakan
hubungan ancaman hukuman mati dengan mengurangi kejahatan atau tindak
kejahatan sangat hipotetical. Kurang bisa dibuktikan, tetapi bukan berarti bahwa
tidak dapat mengurangi. Orang yang mengatakan hapuskan hukuman matipun tidak
dapat membuktikan bahwa pidana mati itu tidak efektif.[39]

Berdasarkan pendapat Andi Hamzah dan A. Sumangelipu dinyatakan secara tegas


pidana mati sama sekali tidaklah bertentangan dengan Pancasila. Hal ini tergambar
dari bab empat (Pidana Mati dalam Pancasila) buku mereka yang berjudul Pidana
mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan yang menggambarkan secara
terperinci bahwa tidakaada di antara keseluruhan sila dalam Pancasila yang
bertentangan dengan keberadaan pidana mati di negra Indonesia.

Selanjutnya, inkonstitusioanal atau tidaknya pidana mati sebenarnya telah terjawab


dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada Permohonan Pengujian materil Undang-
Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar
1945 yang diajukan oleh empat terpidana mati kasus narkotika melalui kuasa
hukumnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas pidana mati yang termaktub di
dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika. Berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa ancaman
pidana mati pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika tidaklah
bertentangan dengan Konstitusi. Secara analogi dapat ditrik sebuah kesimpulan
bahwa pidana mati bukanlah suatu tindakan inkonstituional.

Untuk memperkuat argumen di atas, maka alangkah baiknya penulis


memperkuatnya dengan menyajikan bunyi dari Konklusi dari Putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap permohonan tersebut, yang menyatakan :
Ketentuan Pasal 80 Ayat (1) huruf a, Ayat (2) huruf (a), Ayat (3) huruf a; Pasal 81
Ayat (3) huruf (a); Pasal 82 Ayat (1) huruf a, Ayat 2 (huruf) a dan Ayat (3) huruf a
dalam UU Narkotika, sepanjang yang mengenai ancaman pidana mati, tidak
bertentatangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.[40]

Berdasarkan keterangan tersebut, sebenarnya dapatlah secara jelas bahwa pidana


mati tidaklah bertentangan dengan Konstitusi Negara kita dan masih layak
dipertahankan keberadaannyanya dalam hukum pidana positif. Hanya saja
berdasarkan putusan tersebut pembaharuan hukum pidana yang berkaitan dengan
pidana mati hendaknya untuk ke depan memperhatikan sungguh-sungguh hal
sebagai berikut :

a. pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang
bersifat khusus dan alternatif;
b. pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang
apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan penjara seumur hidup
atau selama 20 puluh tahun;
c. pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
d. eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seorang yang sakit jiwa
ditangguhkan sampai perempuanhamil tersebut melahirkan dan terpidana mati yang
sakit jiwa tersebut sembuh.[41]

Jadi, berdasarkan uraian pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa para pendukung
pidana mati pada zaman modern ini semata-mata menjadikan pidana mati sebagai
instrumen untuk melindungi masyarakat dan Negara baik dalam bentuk preventif
maupun represif. Represif di sini bukanlah menjadikan mereka yang diperintah
menjadi rentan dan lemah[42] layaknya kekuasaan otoriter yang menjadikan pidana
mati sebagai alat untuk menyingkirkan orang-orang yang bersebrangan dengan
penguasa. Selain itu, dalam perumusan KUHP Nasional yang baru, dalam hal pidana
mati haruslah memperhatikan buni putusan di atas.
Demikian sebaliknya, para ahli dan tokoh yang kontra terhadap pidana mati pun
tidaklah sedikit dan menyandarkan argumennya pada sebuah landasan berpikir yang
ilmiah. Seorang tokoh aliran klasik yang sangat terkenal karena kevokalannya
menetang pidana mati ialah seorang berkebangsaan Italia yang bernama Beccaria.
Alasan Beccaria menentang pidana mati ialah proses yang dijalankan dengan cara
yang amat buruk sekali[43] terhadap seseorang yang dituduh membunuh anaknya
sendiri (beberapa waktu setelah eksekusi dapat dibuktikan bahwa putusan tersebut
salah).

Setelah keharuman nama Beccaria tenggelam, maka muncullah nama-nama tokoh


dan ahli yang menentang pidana mati. Adapun nama-nama tersebut adalah Ferri,
Leo Polak, Modderman dan tokoh lainnya, sedangkan di Indonesia tokoh yang sanat
vokal menentang pidana mati ialah Roeslan Saleh, J.E. Sahetapy, dan Todung Mulia
Lubis yang semenjak muda telah terang-terangan menolak keberadaan pidana mati
sedari muda (serta tokoh dan ahli lainnya yang tidak penulis sebutkan secara satu
persatu).

Ferri yang juga seorang berkbangsaan Italia dalam hal menentang pidana mati
berpendapat bahwa untuk menjaga orang yang mempunyai pradisposisi untuk
kejahatan cukup dengan pidana penjara seumur hidup, tidak perlu dengan pidana
mati.[44]

Apa yang disampaikan Ferri tidak jauh berbeda dengan yang diampaikan krminolog
Oxvord, Roger Hood yang menggunakan anaalisis efek jera pidana mati dan penjara
seumur hidup. Adapun pendapatnya adalah gegabah bila kita menerima hipotesis
bahwa hukuman mati atas pembunuhan menghasilkan efek jera yang jauh lebih
besar daripada yang dihasilkan oleh hukuman yang diangap lebih ringan, yakni
hukuman penjara seumur hidup.[45]

Menurut penulis jelas pendapat Ferri maupun Roger Hood bertentatangan dengan
apa yang telah disampaikan Foster (terpidana mati) yang lebih memilih mati
dibandingkan dipidana penjara seumur hidupnya. Jelas, hal ini melahirkan
kontradiksi sikap batin yang sangat mencolok yang menurut penulis melahirkan
pendapat yang apriori dikarenakan sikap batin pada setiap orang adalah relatif.
Pendapat lainya yang disampaikan oleh Modderman menggunakan analogi dalam
menolak adanya pidana mati :

Tokh saudara-saudara masih mendirikan kebun-kebun binatang di mana


dikumpulkan binatang-binatang buas, yang juga tidaklah mustahil dapat meloloskan
diri dari kekurangan-kekurangannya dan mengacau keamanan masyarakat. Saya
akan lebih takut andaikata tiba-tiba kepergok dengan binatang buas demikian,
daripada kepergok denagn penjahat penjahat yang dimaksudkan di atas.[46]

Pendapat ini sungguh kontras dengan yang terjadi di Indonesia, dikarenakan


beberapa tahun setelah pendapat Modderman disepakati mengenai penghapusan
pidana mati, di Indonesia malah diberlakukan pidana mati. Berdasarkan
perbandingan hukum pidana dapat kita simak pendapat Andi Hamzah, sebagaimana
terurai berikut :

Di dalam KUHP Indonesia tercantum pidana mati, sedangklan di Belanda sejak


tahun 1870 sudah dihapus. Alasannya, ialah keadaan di Indonesia berbeda dengan
Belanda, ribuan pulau-pulau, beraneka ragam suku bangsa, tenaga kepolisian
kurang mencukupi, jadi perlu pidana yang lebih berat. Dengan sendirinyap pasal-
pasal yang berkaitan dengan pidana mati seperti pasal 6 dan pasal 11 (pelaksanaan
pidana mati) terdapat dalam WvSI (KUHP) tetapi tentu tidak ada dalam Ned.
WvS.[47]

Secara historis dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa ketidak konsistenan
Belanda dalam penolakan terhadap pidana mati sesungguhnya didasakan pada
konsep tirani untuk mempertahankan kekuasaan di negeri jajahan Indonesia.

Sebuah kisah yag menarik dalam kontroversi pidana mati dapat juga kita rasakan
dari rasa pertobatan seorang terpidana mati. Hal ini dapat penulis perlihatkan melalui
penggalan surat dari seorang terpidana mati tertanggal 3 februari 1967 berikut ini :

Dear Rev. Khoo. So forgive me for this. My farewell letter being so brief, and I fear
incoherent. Do you remember the day you first saw me here, how I kept repeating to
you I am an atheist almost with pride ? But as I watched you come here so often,
spending so much of your time and giving so much yourself to the Pulau Senang
boys and the rest of us, expecting and receiving nothing in return, I asked myself,
What is the motivates this man such altruistic acts ? Is there really a God as he so
undoubtedly believes ? But one day 17th of December 1965 apparent reason I
was over whwlmed by desire to kneel down in prayer and pour out my heart to God,
surrendering my self to him and admitting to Him that revenge was in my heart. He
listen and understood and as I got to know Him better trought the succeeding days
and weeks, He told me that I should be above revenge and hate, that only love and
understanding should occupy my thoughts and guide my action. Thro yoi I found
Christ and thro him I shall find the kingdom of heaven. Till then, fare thee well. Yours
in Christ, Sd. Sunny Ang.[48]

Secara jujur penulis sangat tersentuh dengan penggalan surat ini, namun patut
diketahui Tuhan juga menciptakan suatu hukuman bagi umatnya yang berbuat salah
dan begitu jugalah hal ini terjadi dalam realitas kehidupan bernegara. Bila dibedah
melalui pisau religius, sebenarnya keberadaan pidana mati di sini membawa sebuah
anugerah kepada Ang, dengan hukuman tersebut mengenal Tuhan secara lebih
dalam terlepaskan dari belenggu ateisme.

Berkaitan dengan keberadaan pidana mati dalam korelasinya dengan Pancasila,


Sahetapy memiliki pendapat yang berbeda dengan Andi Hamzah dan A.
Sumangelipu. Sahetapy dalam skripsinya (telah dipublikasikan) menjelaskan[49]
bahwa pidana mati bertentangan dengan norma dasar Negara ini yaitu Pancasila.
Hal ini disandarkan pada pasal 95 ayat (2), walaupun pada saat itu telah didekritkan
kembali pada UUD 1945 (namun patut diketahui bahwa UUDS juga dlahirkan dari
Pancasila). Selain bersandarkan alasan tersebut, Sahetapy juga menyatakan bahwa
pidana mati merupan warisan kolonial yang tidaklah pantas untuk dilanjutkan
(sebagaimana diterangkan di atas).

Pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam Permohonan Pengujian materil Undang-


Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar
1945 yang menyatakan bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan konstitusi
terdapat empat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstituisi. Hakim-
hakim tersebut adalah Hakim Konstitusi H. Harjono, Hakim Konstitusi H. Achmad
Roestandi, Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki, dan Hakim Konstitusi Maruarar
Siahaan. Dalam hal ini penulis sedikit menyampaikan alasan Hakim Konstitusi
Maruarar Siahaan menolak adanya pidana mati. :

Bagi hak untuk hidup, tidak terdapat petunjuk yang menyatakan pembatasan hak itu
dapat dilakukan dengan menghilangkan hidup itu sendiri, meskipun diakui dan telah
menjadi bagian dari hak asasi orang lain yang harus pula dihormati, hak untuk hidup
boleh dibatasi karena hukum membutuhuhkan keadilan untuk mengembalikan
keseimbangan yang dicederai oleh pelanggaran yang dilakukannya berupa
pembatasan ruang geraknya dengan ditempatkan dalam tempat khusus serta
menjalani pembinaan-pembinaan tertentu yang diwajibkan.

Jelas pendapat Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menitikberatkan pada konsep


hak asasi manusia. Hal ini sesuai dengan perkembangan penolakan terhadap pidana
mati dewasa ini (masa sebelumnya penolakan pidana mati ditekankan atas
pelaksanaan eksekusi yang kejam dan efektivitas pidana mati tersebut).

Maka jelaslah, permasalahan pro dan kontra terhadap pidana mati merupakan suatu
permasalahan yang tidak mudah untuk digeneralisirkan dalam satu pola pikir yang
sama pada setiap orang.

Kontroversi penolakan (kontra) terhadap eksistensi lembaga pidana mati membawa


sebuah ekses yang sangat luar biasa dahsyatnya, dimana banyak Negara yang
menghapuskan jenis pidana ini pada hukum pidana positif negaranya. Berdasarkan
data Amnesty International (2006) menyebutkan bahwa sampai saat ini ada 129
negara yang telah menghapuskan pidana mati (death penalty) dari ketentuan hukum
pidana positifnya. Dari data tersebut, 88 negara menghapus hukuman mati secara
total, 11 negara memberlakukannya secara sangat spesifik, yaitu hanya untuk
kejahatan di waktu perang (war time), dan 30 negara masih mempertahankannya
dalam hukum nasionalnya namun tak pernah lagi melaksanakannya dalam praktik.

Menurut Roeslan Saleh beberapa Negara yang tidak lagi mengancamkan pidana
mati pada KUHP nasionalnya ialah :
Portugal tahun 1846, Negara Bagian di Amerika Serikat tahun 1847, di San Marino
tahun 1848, di Venezuela tahun 1649, di Rhode Island (USA) tahun 1852, di
Wiscounsin tahun 1853, di Toskane tahun 1859, Columbia dan Rumania tahun 1864,
di Netherland tahun 1870, di Costa Rica tahun 1880. di Maine tahun 1887, di Italia
tahun 1890, di Brazilia tahun 1891, di Equador dan Peru tahun tahun 1895, di
Norwegia tahun 1902, Rusia tahun 1903, (sekarang pidana mati berlaku di Uni
Soviet), di Austria tahun 1918, di Swedia tahun 1921, Lituania 1922, di New Zeland
tahun 1925, di Uruguay tahun 1926, di Chili tahun 1930 dan Denmark tahun 1993.
Tetapi ada di antara yang tersebut di atas yang memberlakukan lagi pidana mati
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.[50]

Sebagai contoh Negara Belanda yang menghapuskan pidana mati pada ketentuan
hukum pidananya masih mencantumkan pidana mati pada Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Militer Negara tersebut. Hanya saja penjatuhan hukuman tersebut
hanya dapat dilakukan, apabila hakim berpendapat bahwa keamanan dari negara itu
menghendakinya demikian (pasal 9).[51] Selain itu, Negara tetangganya Belgia
mencantumkan pidana mati di dalam KUHP sipilnya, diamana ketentuan tersebut
tidak pernah lagi dilaksanakan lagi dalam prakteknya.

Sementara itu, masih ada 68 negara yang sampai kini masih konsisten
mempertahnkan pidana mati pada ketentuan hukum pidana nasionalnya. Dimana
Indonesia adalah salah satu dari negara tersebut.

Untuk menutup bab ini, penulis akan menguraikan pendapat pribadi mengenai
pidana mati. Pada dasarnya, penulis tidaklah sepakat dengan keberadaan pidana
mati dalam konteks hukum pidana nasional ataupun secara global, namun secara
rasional dengan memperhatikan kebutuhan pada saat ini maupun ke depan, penulis
menyadari pidana mati masih dibutuhkan sebagai suatu alat untuk melindungi
masyarakat. Perlunya pidana mati dipertahankan menurut penulis berdasarkan tiga
alasan. Pertama, masalah keadilan dan kepastian hukum. Apabila pidana mati
dihapuskan dan kemudian diadakan kembali dengan mengenyampingkan asas non
retroaktif, lebih patut dipertanyakan dimana keadilan yang seharusnya menjadi satu
dalam bentuk kepastian hukum. Ini dikarenakan suatu keadaan ke depan tidaklah
dapat diprediksi dan ditafsirkan secara mutlak dengan mengadakan pengandaian-
pengandaian yang apriori. Maka, lebih baik pidana mati tetap dipertahankan dengan
catatan hanya ditujukan kepada pelaku kejahatan yang luar biasa serius
(extraordinary crime).

Kedua, masalah kebudayaan. Tidaklah dapat disangkal bahwa Negara kita yang
multi cultural ini mengenal pidana mati dalam berbagai peraturan adat semenjak
zaman kerajaan dahulu (sebelum terbentuknya Negara Indonesia). Untuk
memperkuat pendapat ini, maka penulis menyandarkannya pada pendapat Von
Savigny yang menyatakan hukum adalah bagian dari budaya masyarakat. Hukum
tidak lahir dari suatu tindakan bebas (arbitrary act of a legislator), tetapi dibangun
dan dapat ditemukan dalam jiwa masyarakat.

Ketiga, unsur religius. Memperhatikan norma dasar Negara kita yang


memperlihatkan bahwa bangsa ini ialah bangsa yang cinta dan takut akan Tuhan
yang berarti tidaklah dapat kita sangkal secara religius, agama mengakui hukuman
sebagai akibat dari sebuah tingkah laku yang jahat. Sebagai contoh, Islam mengenal
hukuman mati (qishas) sebagai bentuk hukuman terhadap jarimah yang mutlak telah
digariskan oleh ALLAH dan hanya dapat hapus apabila keluarga korban memberi
maaf dan barulah dapat diberlakukansemacam ganti rugi (diyat).

Berdasarkan ketiga alasan tersebut, penulis beranggapan bahwa nilai-nilai humanis


yang berlebihanlah yang sebenarnya menyeret kita dalam penolakan terhadap
pidana mati. Jika sebelum pidana tersebut dilaksanakan diberikan kesempatan
terlebih dahulu kepada si terpidana untuk berertobat dan eksekusi pun dilakukan
dengan cara meringankan penderitaan-penderitaan fisik yang berlebihan, maka
tidaklah beralasan untuk menolak pidana mati sebagai suatu sarana perlindungan
rakyat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai
pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun
terjadi hampir di seluruh Negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis
hak asasi manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan
kontra pada lembaga pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional.

Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa
seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini juga merupakan
hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan
diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan
bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman
yang sangat ditakuti oleh umum.

Daftar Pustaka dan Footnote

A. Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di
Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.
__________, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Sinar Grafika, Jakarta,
2008.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2005.
Dalil Adisubroto, Pembinaan Narapidana sebagai Sarana Merealisasikan Tujuan
Pidana Lembaga Pemasyarakatan (Disampaikan dalam Seminar Nasional Tentang
Pemasyarakatan : Pengintegrasian Tujuan Pemidanaan dengan Sistem
Pemasyarakatan Mendatang. Fakultas Hukum UII 24 Juli 1995
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Darsono P, Karl Marx Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi, Diadit Media, Jakarta,
2006.
Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai
Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.
_____________, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988.
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2006
Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Buku Panduan Penyusunan Penulisan
Skripsi, 2007.
H.A.W. Widjaja, Penerapan Nilai-Nilai Pancasila & HAM di Indonsia, Rineka Cipta,
Jakarta, 2000.
Hans Kelsen, Teori Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media & Nuansa, Bandung,
2006.
J.E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila, P.T. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2007.
Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2008.
Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2005.
P.AF. Lamintang dan D. Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek Van Het
Nederlanches Strafrecht), Pionir Jaya, Bandung, 1992.
Philip Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung, 2007.
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi), Rajawali Pers,
Jakarta, 2005.
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus,
Politea, Bogor
R. Tresna, Azas-Azaz Hukum Pidana, P.T. Tiara, Jakarta, 1959.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan
Singkat, P.T. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
_____________, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Pres, Jakarta, 1986.
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi,
Jakarta, 1964.
Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian I, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2008.
Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, P.T. Pradnya Paramita, Jakata, 1978.

__________________
[1] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995,
hlm. 73.
[2] L.J. van Apeldoorn, pengantar Ilmu hukum, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta, 2000,
hlm. 6.

[3] Darsono P, Karl Marx Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi, Diadit Media, Jakarta,
2006, hlm. 21.
[4] Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2005,
hlm. 5-6.
[5] J.E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila, P.T. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2007, hlm. 5-6.

[6] P.AF. Lamintang & D. Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek Van Het
Nederlanches Strafrecht), Pionir Jaya, Bandung, 1992, hlm. 393.

[7] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,


2005, hlm. 105.

[8] Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai


Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal
57.

[9] ibib., , hlm. 11


[10] ibid., hlm. 127.
[11] J.E. Sahetapy, Op.Cit, hlm. 77.

[12] Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165).

[13] Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Panitia Penerbit Dibawah Bendera


Revolusi, Jakarta, 1964, hlm. 521.

[14] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika


Aditama, Bandung, 2008, hlm. 23.
[15] Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian I, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2008, hlm.
67.
[16] Prodjodikoro,Loc.Cit.
[17] Marpaung, Loc. Cit.
[18] Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm.
47.
[19] Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 34.
[20] Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Loc. Cit.

[21] Sutherland & Cressey (disadur oleh Sudjono D), The Control of Crime Hukuman
dalam Perkembangan Hukum Pidana, Tarsito, Bandung, 1974, hlm. 62.

[22] Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 36.


[23] Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., hlm. 29.

[24] Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika


Aditama, Bandung, 2006, hlm. 88.

[25] Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Op.cit., hlm. 61.

[26] Dalil Adisubroto, Pembinaan Narapidana sebagai Sarana Merealisasikan Tujuan


Pidana Lembaga Pemasyarakatan (Disampaikan dalam Seminar Nasional Tentang
Pemasyarakatan : Pengintegrasian Tujuan Pemidanaan dengan Sistem
Pemasyarakatan Mendatang. Fakultas Hukum UII 24 Juli 1995.

[27] Dwidja Priyatno, Op.cit., hlm. 1.

[28] A. Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini
dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 74.

[29] Dwidja Priyatno, Op.cit., hlm. 3.


[30] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2005, hlm. 238.
[31] R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi), Rajawali Pers,
Jakarta, 2005, hlm. 187.

[32] R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik


Khusus, Politea, Bogor,hlm 14.

[33] J.E. sahetapy, Op.cit., hlm 75.


[34] A. Hamzah dan A. Sumangelipu, Op.cit., hlm 25 - 26.
[35] Ibid., hlm.27
[36] Ibid., hlm.27

[37] Barda Nawawi Arief, Op.cit., hlm 89.


[38] A. Hamzah dan A. Sumangelipu, Op.cit., hlm 35.

[39] Herliady , Efektivitas Hukuman Mati,


http://herliady.blog.friendster.com/efektivitas-hukuman-mati/. Diakses pada 29 April
2009.

[40] Putusan Mahkamah Konstitusi


[41] Putusan Mahkamah Konstistusi
[42] Philip Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung, 2007,
hlm. 33.
[43] A. Hamzah dan A. Sumangelipu, Op.cit., hlm 37.
[44] Ibid., hlm. 38.

[45] Todung mulia Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan
Pendapat Hakim Konstitusi, Kompas Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 106.

[46] A. Hamzah dan A. Sumangelipu, Op.cit., hlm. 42


[47] Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Sinar Grafika,
Jakarta, 2008, hlm 11.

[48] Sahetapy, Op.cit., hlm 123 & 124.


[49] Sahetapy, Op.cit., hlm 14.
[50] Ibid., hlm 43.
[51] P.AF. Lamintang dan D. Simons, Op.cit., hlm 392.

SHARE THIS ARTICLE :


Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.


Enter your em Subscribe

Print PDF
RELATED POST:

Makalah Remaja tentang Narkoba

Makalah Sumber Ajaran Islam

Makalah Penyalahgunaan Narkoba

Makalah Pengertian Lembaga Masyarakat


Makalah Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Narkotika

Makalah Hukum Di Indonesia

Makalah Transfusi Darah Menurut Pandangan Islam

Makalah Asuransi Syariah

Makalah Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka Dan Kaitannya Dengan Penegakan


Supremasi Hukum

Makalah Pemerintahan Indonesia Dan Hukum Syariat Islam


Makalah Pengertian Hukum

Makalah Hubungan Syariat Islam dengan Fiqih

Next
Makalah Sistem Manajemen Sisa Tanaman | Crop Residue
Management System
Previous
Makalah Berpikir Ilmiah dan Bertindak Kreatif
ARSIP MAKALAH
Makalah Tentang Agama

1. Agama Islam
2. Antara Manusia Dan Agama
3. Diversifikasi Pendidikan Agama Dan Keagamaan
4. Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
5. Islam dan Iman
6. Konsep Ruang Lingkup Pengantar Studi Islam
7. Makalah Agama Islam
8. Makalah Agama Islam | Dinul Islam
9. Makalah Aktivitas Keagamaan
10. Makalah Korupsi Dalam Perspektif Islam
11. Makalah Pendidikan Keagamaan Luar Sekolah
12. Manajemen Pendidikan Agama Islam | Lembaga Non Formal
13. Pelaksanaan Pendidikan Keagamaan
14. Pendidikan Agama Dalam Kebijakan Pendidikan Islam
15. Pendidikan Agama sebagai Pembudayaan Dan Pemberdayaan
16. Pengertian Riddah
17. Psikologi Agama
18. Relasi Negara | Agama dan Pendidikan
19. Ruang Lingkup Pengantar Studi Agama Islam

Makalah Tentang Pendidikan

1. Akar Historis Dualisme Dalam Sistem Pendidikan di Indonesia


2. Akreditasi Program Studi Pada Program Diploma
3. Arti Pendidikan
4. Bahan Ajar atau Materi Pelajaran
5. Dasar dan Tujuan Pendidikan
6. Dikotomi Dan Dualisme Pendidikan
7. Diversifikasi Pendidikan Agama Dan Keagamaan
8. Dualisme Sistem Pendidikan Islam
9. Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
10. Fungsi Keluarga Dalam Pendidikan Budi Pekerti
11. Ganjaran dan Hukuman dalam Pendidikan
12. Hubungan Politik Dan Pendidikan | Makalah
13. Ilmu Pendidikan
14. Ilmu Pendidikan Dan Perpustakaan
15. Integrasi Pendidikan Agama Dan Umum | Dualisme Pendidikan
16. Kepemimpinan Visioner | Kharismatik dan Teori Atribusi
17. Konsep Pendidikan Murtadha Muthahhari
18. Kurikulum Satuan Pendidikan Madrasah Aliyah
19. Landasan Bimbingan dan Konseling
20. Makalah Dampak Rokok dan Merokok
21. Makalah Dualisme Pendidikan
22. Makalah Esensi Manusia dalam Pendidikan Islam
23. Makalah Globalisasi
24. Makalah Hakikat Pendidikan
25. Makalah Hubungan Politik Dengan Pendidikan
26. Makalah Insektisida
27. Makalah Intelegensi dalam Psikologi Pendidikan
28. Makalah Karakteristik Belajar yang Efektif
29. Makalah Kondisi Pembelajaran Efektif
30. Makalah Landasan Pendidikan
31. Makalah Metode Pendidikan Islam
32. Makalah Paragraf Narasi
33. Makalah Pendidikan
34. Makalah Pendidikan Keagamaan Luar Sekolah
35. Makalah Pendidikan Multikulturalisme
36. Makalah Pengertian Paragraf dan Perkembangannya
37. Makalah Peran Pendidikan Anak Usia Dini | PAUD
38. Makalah Strategi Pembelajaran Efektif
39. Makalah Tujuan Pendidikan
40. Makalah Wajib Belajar
41. Makalah Wayang Sebagai Media Pendidikan dan Pengajaran
42. Makna Dan Sejarah Pancasila
43. Mengenal Tujuan Pendidikan
44. Menuju Kehidupan harmonis dalam masyarakat Majemuk
45. Pembangunan Pendidikan Indonesia
46. Pemberantasan Buta Aksara | Wajib Belajar Dan Lainnya
47. Pendidik Dalam Perspektif Filosofis
48. Pendidikan Agama sebagai Pembudayaan Dan Pemberdayaan
49. Pendidikan Anak Usia Dini
50. Pendidikan Dan Pelatihan Prajabatan
51. Pendidikan Di Indonesia
52. Pendidikan IPA Dan Perkembangannya
53. Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup
54. Pendidikan Luar Sekolah | Ilmu Pendidikan
55. Pendidikan Moral
56. Pendidikan Nasional
57. Pendidikan Non Formal
58. Pendidikan Pada Anak Usia Dini Di Indonesia
59. Pendidikan Profetik dalam membangun jati diri
60. Pendidikan Seumur Hidup
61. Pendidikan dalam Ganjaran dan Hukuman
62. Pengaruh Globalisasi Dan Pentingnya Pendidikan Agama Di Sekolah
63. Pengelolaan Kegiatan Di Lembaga Paud
64. Pengertian Ilmu Bahasa | Linguistik
65. Pengertian Pembelajaran Efektif
66. Pengertian Pendidik dan Peserta Didik
67. Pengertian Pendidikan
68. Peran Keluarga dalam Pendidikan Karakter Anak
69. Peran dan Peranan kepemimpinan dalam Pendidikan
70. Peranan Ayah Dalam Pendidikan Anak
71. Perbedaan Ilmu Dengan Pengetahuan
72. Problematika Pendidikan Indonesia Dan Ide Paradigma Baru
73. Problematika Sistem Pendidikan Indonesia
74. Psikologi Agama
75. Relasi Negara | Agama dan Pendidikan
76. Ruang Lingkup Pengelolaan Kegiatan Di Lembaga Paud
77. Sistem Kebijakan Pendidikan
78. Teknologi dalam Pendidikan
79. The Centre Of Excellence Pada Madrasah
80. Upaya Memelihara Kondisi dan Suasana Belajar yang Efektif
81. Visi Misi Sistem Pendidikan Nasional

Makalah Tentang Penelitian

1. Anatomi Katak
2. Cara Perawat Dalam Merawat Pasien HIV AIDS
3. Contoh Proposal PTK 2013
4. Investasi Pendidikan dengan Pertumbuhan Ekonomi
5. Makalah Tentang Penelitian Ilmiah
6. Metode Bermain Peran
7. Metode Dalam Penelitian Eksperimen
8. Metode Penelitian Eksperimen
9. Pedoman Penelitian Fakultas Kedokteran
10. Penelitian Tindakan Kelas
11. Penelitian Tindakan Kelas Dan Struktur Penulisannya
12. Penelitian dan Pengembangan Hukum Adat
13. Pengertian Perencanaan
14. Perekonomian Masyarakat melalui Kolam Pemancingan
15. Proposal PTK | Penelitian Tindakan Kelas Terbaru

Makalah Tentang Piqih

1. Fiqih Muammalat | Antara Talfiq dan Tasil


2. Hubungan Syariat Islam dengan Fiqih
3. Hukum Khitan dalam Islam
4. Jual Beli Dalam Islam
5. Makalah Fiqih Mawaris
6. Makalah Fiqih Siyasah
7. Makalah Hukum - Hukum Jenazah
8. Makalah Hukum Rokok Dan Merokok
9. Makalah Khulu | Gugatan Cerai
10. Makalah Pelaksanaan Azan Menurut Ulama
11. Makalah Pembunuhan Menurut Hukum Islam
12. Makalah Pemikiran Fikih
13. Makalah Pengertian Hukum Taklifi
14. Makalah Pengertian Niat | al-Umur Bimaqasidiha
15. Makalah Pernikahan Berbeda Agama
16. Makalah Shalat Dan Hukumnya
17. Makalah Talak dan Hukum Talak
18. Makalah Tata Cara Memandikan Jenazah
19. Makalah Tentang Asabah
20. Makalah Tentang Fidyah
21. Makalah Wali Nikah
22. Makalah Waris Pada Masa Awal Islam
23. Makna Wakaf Deposito dan Pengelolaannya
24. Mustahiq Dan Pola Distribusi Zakat
25. Panduan Ibadah Haji dan Umrah Lengkap | Buku
26. Puasa Dalam Fiqh kajian Segi Normatif
27. Zakat
28. Zakat Dan Sistem Pajak
29. Zakat Emas | Perak Dan Barang Tambang

KATEGORI
MAKALAH TERLARIS
Copyright 2012. Aneka Ragam Makalah - All Rights Reserved | Template Created by Kompi Ajaib |
Modified by Ibrahim Lubis

Anda mungkin juga menyukai