Anda di halaman 1dari 12

STEP 4

Manajemen Praktek

Ergonomik Non Ergonomik

Musculoskeletal
Prinsip Tujuan Disosrder

Gejala Jenis
Four Handed Dentistry

Komponen Tata ruang Sistem

STEP 5
1. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan tentang prinsip dan tujuan
sistem kerja ergonomic.
2. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan tentang sistem kerja fourhanded.

1
3. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan tentang gejala dan jenis
Musculoskeletal Disorder.
4. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan tentang prinsip kesehatan san
keselamatan kerja di kedokteran gigi.

LO3

Etiologi MSDs.
Pada dasarnya etiologi dari musculoskeletal disorder sulit ditentukan, namun ada beberapa
faktor penyebab yang dapat menyebabkan terjadinya musculoskeletal disorder :
1. Pengulangan gerakan yang terus menerus
2. Kekuatan yang berlebihan sehingga menyebabkan kelelahan dan menimbulkan rasa nyeri
otot.
3. Sikap kerja selama melakukan pekerjaan
Adanya faktor-faktor tersebut tidak berdiri sendiri dan secara langsung menyebabkan
musuloskeletal disorder melainkan saling berkaitan, serta lamanya waktu dan besar kecilnya
derajat faktor resiko tersebut juga sangat mempengaruhi terjadinya musculoskeletal disorder.

Faktor risiko MSDs


MSDs dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan kejadian cedera yang
terdiri dari:
a) Faktor individu

1) Lama kerja
Umumnya dalam sehari seseorang bekerja selama 6-8 jam dan sisanya 14-18 jam
digunakan untuk beristirahat atau berkumpul dengan keluarga dan berkumpul dengan
masyarakat.Adanya penambahan jam kerja yang dapat menurunkan efisiensi pekerja,
menurunkan produktivitas, timbulnya kelelahan dan dapat mengakibatkan penyakit dan
kecelakaan. Seseorang biasanya bekerja selama 40-50 jam dalam seminggu. Menurut Disnaker
Lama kerja juga diatur dalam undang-undang no 13 tahun yang menyatakan bahwa jam kerja
2
yang berlaku 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu,
8 jam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja. menurut pasal 77 ayat 2 dalam
undang-undang no 13 tahun 2003 menyatakan bahwa jumlah jam kerja secara akumulatif
masing-masing shift tidak diperbolehkan bekerja lebih dari 40 jam dalam seminggu. Dapus
depnaker. Lama kerja mempunyai hubungan yang kuat dengan keluhan otot dan dapat
meningkatkan resiko gangguan musculoskeletal disorders terutama untuk jenis pekerjaan dengan
menggunakan kekuatan kerja yang cukup tinggi.

2) Masa kerja
Masa kerja adalah waktu yang dihitung dari pertama kali pekerja masuk kerja sampai
penelitian berlangsung.Penentuan waktu dapat diartikan sebagai pengukuran kerja untuk
mencatat tentang jangka waktu dan perbandingan kerja yaitu mengenai suatu unsur pekerjaan
tertentu yang dilaksanakan dalam suatu keadaan. Yang berguna untuk menganalisa keterangan
hingga ditemukan waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan pada tingkat prestasi
tertentu.38 secara umum pekerja dengan masa kerja > 4 tahun memiliki kerentanan untuk
munculnya gangguan kesehatan dibandingkan dengan masa kerja yang < 4 tahun.
Masa kerja merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi seseorang mempunyai
risiko terkena MSDs terutama pada pekerja yang menggunakan kekuatan kerja yang
tinggi.Dikarenakan masa kerja mempunyai hubungan dengan keluhan otot. Semakin lama waktu
seseorang untuk bekerja maka seseorang tersebut semakin besar resiko untuk mengalami MSDs.
Sebuah penelitian di kota Jakarta menyatakan bahwa kelompok pekerja yang memiliki keluhan
MSDs sebanyak 9,4% dengan rata-rata masa kerja 170,3 bulan (tahun), sedangkan kelompok
dengan masa kerja 82 bulan (7tahun) sebanyak 77,3%. Hal ini menunjukkan bahwa keluhan
MSDs berbanding lurus dengan bertambahnya masa kerja.

3) Umur
Pertambahan umur pada masing-masing orang menyebabkan adanya penurunan
kemampuan kerja pada jaringan tubuh (otot, tendon, sendi dan ligament). Penurunan elastisitas
tendon dan otot meningkatkan jumlah sel mati sehingga terjadi adanya penurunan fungsi dan
kapabilitas otot, tendon, ligament yang akan meningkatkan respon setres mekanik sehingga

3
tubuh menjadi rentan terhadap MSDs. Dengan demikian adanya kecenderungan bahwa risiko
MSDs meningkat seiring bertambahnya umur.
Keluhan otot skeletal biasanya dialami seseorang pada usia kerja yaitu 24-65 tahun.
Biasanya Keluhan pertama dialami pada usia 30 tahun dan tingkat keluhan akan meningkat
seiring dengan bertambahnya umur. Pada usia 30 thn terjadi degenerasi berupa kerusakan
jaringan, penggantian jaringan menjadi jaringan parut, pengurangan cairan. Hal ini menyebabkan
stabilitas pada tulang dan otot berkurang. Semakin tua seseorang, semakin tinggi resiko orang
mengalami penurunan elastisitas pada tulang yang menjadi pemicu timbulnya gejala keluhan
MSDs. Menurut penelitian di kota Bogor menyatakan bahwa keluhan MSDs tertinggi dialami
oleh kelompok dengan usia 35 tahun keatas sebanyak 41 orang dengan persentase sebesar 58,6%
dan usia kurang dari 35 tahun terdapat 29 orang mengalami keluhan MSDs dengan persentase
sebesar 41,4%.13

4). status gizi


Berat badan, tinggi badan dan massa tubuh erat kaitannya dengan status gizi pada
seseorang. Gizi kerja adalah gizi yang diterapkan pada karyawan untuk memenuhi kebutuhan
sesuai dengan jenis dan tempat kerja dengan adanya tujuan dapat meningkatkan efisiensi dan
produktivitas yang tinggi. Status gizi pada seorang pekerja umur 18 tahun keatas ditandai dengan
indeks massa tubuh . indeks massa tubuh dihitung berdasarkan pada berat badan dan tinggi
badan.
Keterikatan antara indeks masa tubuh dengan MSDs yaitu semakin gemuk seseorang
maka akan bertambah besar risiko orang tersebut untuk mengalami MSDs. Hal ini disebabkan
karena seseorang dengan kelebihan berat badan akan berusaha untuk menopang berat badan dari
dengan cara mengontraksikan otot punggung. Dan jika ini dilakukan terus menerus dapat
menyebabkan adanya penekanan pada bantalan saraf tulang belakang.45
Indeks masa tubuh dapat digunakan sebagai indikator kondisi status gizi pada pekerja. Dengan
menggunakan rumus BB2/TB (berat badan2/tinggi badan), sedangkan menurut WHO
dikategorikan menjadi tiga yaitu kurus ringan (<17,0), kurus berat (17,0-18,5), normal (>18,5-
25), gemuk (>25,0-27,0) dan obesitas (>27,0). Kaitan indeks masa tubuh dengan MSDs adalah
semakin gemuk seseorang maka bertambah besar risiko untuk mengalami MSDs.44

4
Hasil penelitian pada tenaga kerja bongkar muat di pelabuhan Manado menjelaskan bahwa tidak
ada hubungan antara status gizi dengan keluhan MSDs.

5). Kebiasaan Merokok


Semakin lama dan semakin tingginya frekuensi merokok seseorang maka semakin tinggi
pula tingkat keluhan yang dirasakan. Meningkatnya keluhan otot ada hubungannya dengan lama
dan tingkat kebiasaan merokok. kebiasaan merokok dibagi menjadi 4 kategori yaitu kebiasaan
merokok berat > 20 batang/hari, sedang 10-20 batang/hari, ringan < 10 batang/hari dan tidak
merokok.
Meningkatnya keluhan otot ada hubungan dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok
seseorang. Risiko meningkatnya kebiasaan merokok pada seseorang 20% untuk tiap 10 batang
rokok per hari. mereka yang berhenti merokok selama setahun memiliki risiko MSDs.48 Adanya
kebiasaan merokok akan menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuan untuk
mengkonsumsi oksigen akan menurun. Jika seseorang dituntut untuk melakukan tugas dengan
pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen didalam darah rendah dan
pembakaran karbohidrat terhambat, sehingga dalam hal ini terjadi tumpukan asam laktat dan
akhirnya menimbulkan rasa nyeri otot.
Hasil dari penelitian di kota klaten menunjukkan bahwa kebiasaan merokok ada
hubungannya dengan keluhan MSDs yaitu dengan persentase 19,04% beresiko tinggi dan
54,76% beresiko sedang.13 Pekerja yang memiliki kebiasaan merokok lebih berisiko mengalami
keluhan MSDs dibanding dengan pekerja yang tidak memiliki kebiasaan merokok

b). faktor pekerjaan.


1). Beban angkut
Beban angkut adalah ektifitas pekerjaan yang dibebankan kepada tenaga kerja meliputi
beban fisik maupun beban mental. Akibat beban angkut yang terlalu berat atau kemampuan fisik
yang terlalu lemah dapat mengakibatkan seseorang pekerja menderita gangguan atau penyakit
akibat kerja. Beban angkut fisiologis dapat didekati dari banyaknya O2 yang digunakan tubuh,
jumlah kalori yang dibutuhkan, nadi kerja/menit, kecepatan penguapan berkeringat. Beban yang
diperbolehkan diangkat pada seseorang menurut ILO yaitu 23-25 Kg. mengangkat suatu beban

5
yang terlalu berat dapat mengakibatkan Diskus pada tulang belakang serta dapat menyebabkan
kelelahan karena adanya peningkatan yang disebabkan oleh tekanan pada diskus intervertebralis.

Gejala MSDs
MSDs ditandai dengan adanya gejala sebagai berikut yaitu : nyeri, bengkak, kemerah-merahan,
panas, mati rasa retak atau patah pada tulang dan sendi dan kekakuan, rasa lemas atau kehilangan
daya koordinasi tangan, susah untuk digerakkan.21 MSDs diatas dapat menurunkan
produktivitas kerja, kehilangan waktu kerja, menimbulkan ketidakmampuan secara temporer
atau cacat tetap.22
Untuk memperoleh gambaran tentang gejala MSDs bisa menggunakan Nordic Body Map (NBM)
dengan cara melihat tingkat keluhan sakit dan tidak sakit. Dengan melihat dan menganalisa peta
tubuh (NBM) sehingga dapat diestimasi tingkat dan jenis keluhan otot skeletal yang dirasakan
oleh para pekerja

LO 4
Pengertian kesehatan dan keselamatan kerja.

Secara filosofi, K3 didefinisikan sebagai upaya dan pemikiran untuk menjamin keutuhan dan

kesempurnaan baik jasmani ataupun rohani diri manusia pada umumnya dan tenaga kerja pada

khususnya beserta hasil karyanya dalam rangka menuju masyarakat yang adil, makmur dan

sejahtera. Secara keilmuan K3 didefinisikan sebagai ilmu dan penerapannya secara teknis dan

teknologis untuk melakukan pencegahan terhadap munculnya kecelakaan dan penyakit akibat

kerja. Dari sudut pandang ilmu hukum, K3 adalah upaya perlindungan agar setiap tenaga kerja

yang dan orang lain yang memasuki area kerja dalam keadaan sehat dan selamat serta sumber

produksi dapat berjalan aman, efisien dan produktif.

Kesehatan dan Keselamatan Kerja menurut World Health Organization (WHO) /

International Labor Organization (ILO)3 adalah upaya untuk memberikan jaminan keselamatan

dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja dengan cara pencegahan kecelakaan dan
6
penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan

rehabilitasi. Secara garis besar K3 merupakan suatu upaya untuk menekan atau mengurangi

risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja dan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan antara

kesehatan dan keselamatan kerja.

Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada kedokteran gigi dapat diartikan sebagai

upaya seorang dokter gigi untuk mengurangi risiko penyakit (menular) dan cedera selama

pelayanan perawatan pada praktik dokter gigi.

Kesehatan kerja.

Kesehatan kerja adalah bagian dari ilmu kesehatan/kedokteran yang mempelajari

bagaimana melakukan usaha preventif, kuratif dan rehabilitatif terhadap penyakit serta

gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja

maupun penyakit umum dengan tujuan agar pekerja memperoleh derajat kesehatan yang

setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun sosial.5 Secara langsung maupun tidak langsung

dapat mempengaruhi efisiensi dan produktifitas kerja dikarenakan kesehatan kerja erat

kaitannnya dengan lingkungan kerja dan pekerjaan.


3
Menurut WHO/ILO Kesehatan Kerja bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan

derajat kesehatan fisik, mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jenis

pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja yang disebabkan oleh kondisi

pekerjaan; perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang

merugikan kesehatan; dan penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja

yang disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan psikologisnya.

Kesehatan kerja dalam praktik dokter gigi ditujukan agar semua faktor risiko pekerjaan

dan lingkungan kerja yang mempengaruhi kesehatan dokter gigi, serta semua penyakit dan
7
gangguan kesehatan dapat dihindari selama pelayanan perawatan guna tercapainya derajat

kesehatan bagi dokter gigi dan pasien pengunjungnya

Program kesehatan kerja merupakan kegiatan dan upaya kesehatan dalam masyarakat

pekerja guna mewujudkan kondisi pekerja uang sehat, efektif, efisien dan produktif sesuai

dengan jenis pekerjaannya.5 Upaya penyelarasan antara kapasitas kerja, beban kerja, dan

lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri

maupun orang di sekelilingya juga merupakan upaya kesehatan kerja.6

Keselamatan kerja.

Keselamatan kerja merupakan sarana utama untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja

yang dapat menimbulkan kerugian yang berupa luka/cedera, cacat, kematian, kerugian harta

benda dan kerusakan peralatan (instrumen) dan lingkungan secara luas.5 Keselamatan kerja

memberikan pekerja perlindungan menyangkut masalah keselamatan, kesehatan, pemeliharaan

moral kerja, perlakuan sesuai martabat manusia dan moral agama. Dengan demikian, para

pekerja dapat melakukan pekerjaannya dengan aman guna meningkatkan hasil kerja dan

produktifitas kerja.

Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berkaitan dengan alat kerja, bahan dan

proses pengolahannya, tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan.6

Dalam UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, pasal 3 (1) ditetapkan syarat-

syarat keselamatan kerja yang harus dipenuhi setiap orang atau badan yang menjalankan usaha,

baik formal maupun informal, di manapun berada dalam upaya memberikan perlindungan

keselamatan dan kesehatan semua orang yang ada di lingkungan kerja. Adapun syarat-syarat

keselamatan kerja yang di maksudkan5:

8
1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan.

2. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran.

3. Memberi kesempatan dan jalan penyelamatan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-

kejadian lain yang membahayakan.

4. Memberi pertolongan pada kecelakaan.

5. Memberi alat pelindung diri pada para pekerja.

6. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu,

kotoron, asap, uap, gas, aliran udara, cuaca, sinar radiasi, kebisingan dan getaran.

7. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik amupun psikis,

peracunan, infeksi dan penularan.

8. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai.

9. Menyelenggarakan suhu dan kelembaban udara yang baik.

10. Menyelanggarakan penyegaran udara yang cukup.

11. Memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban.

12. Menerapkan ergonomi ditempat kerja.

13. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang dan barang.

14. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat perlakuan dan penyimpanan

barang.

15. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya.

16. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya

kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

2.1.4 Keselamatan kerja praktik dokter gigi.

9
Berdasarkan syarat-syarat keselamatan kerja yang dipaparkan sebelumnya, maka dapat

digunakan dalam praktik kedokteran gigi seperti:

1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja, seperti tertusuknya tangan dengan jarum dan

instrumen kedokteran gigi lainnya yang tajam.

2. Memberi alat pelindung diri pada dokter gigi, seperti pemakaian sarung tangan, masker,

penutup kepala, atau celemek.

3. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu,

kotoron, asap, uap, gas, aliran udara, cuaca, sinar radiasi, kebisingan dan getaran.

4. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik maupun psikis,

peracunan, infeksi dan penularan.

5. Memperoleh penerangan ruangan maupun area kerja pada pasien yang cukup dan sesuai.

6. Menyelenggarakan suhu dan kelembaban udara yang baik serta menyelanggarakan

penyegaran udara yang cukup pada ruangan praktik.

7. Memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban ruang praktik.

8. Menerapkan ergonomi di tempat kerja seperti cara memposisikan tubuh dengan benar saat

bekerja, maupun tata letak penempatan alat kedokteran gigi.

Landasan hukum kesehatan dan keselamatan kerja (K3).3,5,6

1. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja terdiri dari 11 Bab 18 pasal.

Memuat aturan-aturan dasar dan ketentuan-ketentuan umum tentang keselamatan dan

kesehatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, dalam tanah, permukaan air, dalam

air maupun di udara yang berada di wilayah RI.

2. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Khususnya pada pasal 23

dinyatakan bahwa Kesehatan Kerja di selenggrakan untuk mewujudkan produktivitas kerja


10
yang optimal meliputi pelayan kesehatan kerja, penyakit akibat kerja, dan syarat kesehatan

kerja.

3. Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 86 dinyatakan bahwa: (1) Setiap pekerja atau buruh mempunyai untuk memperoleh

perlindungan atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Moral dan Kesusilaaan; dan perlakuan

yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. (2) untuk

melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktifitas kerja yang optimal

diselenggrakan upaya K3. Pasal 87 (1) dinyatakan bahwa: setiap perusahaan wajib

menerapkan system manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) yang terintegragsi

dengan sistem manajemen perusahaan.

4. Peraturan Pemerintah RI No. 11 Tahun 1975 tentang Keselamatan Kerja terhadap Radiasi.

Pasal 8 s/d 10 dinyatakan bahwa pemeriksaan pagi pekerja radiasi dilakukan 1 kali dalam

setahun atau dilakukan sewaktu-waktu bila perlu.

5. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat

Kesehatan.

6. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatn Terhadap

Pemanfaatan Radiasi Pengion.

7. Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan

Kerja.

8. Keputusan Menteri Kesehatan No. 7 Tahun 1999 tentang Wajib Laporan Penyakit Yang

Timbul Karena Hubungan Kerja.

11
SUMBER
Pargali, N. Jowkar, N. Prevalence of Musculoskeletal Pain Among Dentists in Shiraz, Southern
Iran. www.theijoem.com/ijoem/index.php/ijoem/article/download/26/59. International
Journal of Occupational and Environmental Medicine.Vol. 1 No. 2. 2010.

Andayasari, Lelly. 2012. Media Litbang Kesehatan Volume 22 Artikel: Gangguan


Muskuloskeletal Pada Praktik Dokter Gigi dan Upaya Pencegahannya.

Elyas, Yudi. 2012. Gambaran Tingkat Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada
Perawatan saat Melakukan Aktivitas Kerja di ruang ICU PJT RSCM Berdasarkan Metode
Rapid Entire Body Assesment (REBA). Jakarta : FIK UI.

Departemen Kesehatan RI, Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di
Rumah Sakit. Viewed 7 Desember 2017
http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes/KMK%20432-IV%20K3%20RS.pdf

12

Anda mungkin juga menyukai