1. Pendahuluan
Kriteria gangguan jiwa adalah suatu kelompok gejala atau perilaku yang secara klinis
bermakna dan disertai penderitaan (distress) pada kebanyakan kasus dan berkaitan dengan
terganggunya fungsi (disfungsi/hendaya) seseorang. Jika hanya terjadi penyimpangan atau
konflik sosial tanpa disfungsi, tidak dimasukan dalam kriteria gangguan jiwa. Perlu diperhatikan
bahwa sesuatu yang berbeda tidaklah berarti selalu lebih buruk atau lebih baik. Normal tidaknya
suatu keadaan juga ditentukan oleh budaya atau tradisi tertentu.
Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidak mampuan individu menilai
kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat halusinasi, waham atau perilaku kacau atau aneh.
Pemeriksaan status neurologik ( melihat dan meraba) adalah menilai kesadaran, tanda
rangsang meningeal (kaku kuduk, brudzinsky, lasegue's sign, kernign's sign), saraf kranialis
(fungsi dari masing-masing saraf), motorik (melihat apakah ada atrofi atau tidak, tonus dan
kekuatan otot, refleks patologis dan fisiologis, pemeriksaan gerakan pasif dan aktif untuk
melihata pakah adanya gerakan abnormal atau tidak), sensorik ( untuk menilai apakah
sensibilitas tubuh masuh baik atau tidak seperti nyeri superfisisl, suhu, tekan. getar, posisi, nyeri
profunda,dan diskriminatif. alat yang digunakan adalah jarum, kapas, botol air panas dan dingin,
garpu tala,jangka, dan pensil), koordinasi untuk mengetahui koordinasi gerak yang diatur oleh
serebelum dan mengetahui apakah adanya gangguan klinis atau tidak ( cara pemeriksaan adalah
percobaan telunjuk hidung, tumit-lutut, jari-jari, dan tes romberg dimana tes ini untuk melihat
stabilitas trunkus, jadi pasien diminta buka mata berdiri, tutup mata berdiri adalah negatif dan
positif jika buka mata berdiri tutup mata jatuh).4
2.3. Pemeriksaan Penunjang
Kelainan biologik beberapa depresi berat direfleksikan melalui beberapa uji biologik
untuk depresi, yaitu:6
Dexamethasone suppresion test (DST) ; hasil tes positif bila tidak terjadi
penekanan normal plasma kortisol 6-24 jam setelah menggunakan
deksametason oral.
Peningkatan kortisol serum (30% pasien depresi mengalami hipertrofi
adrenal).
Penurunan MHPG urin (3-methoxy-4-hydroxyphenylene-glycol, suatu hasil
katabolit metanorepinefrin) dan 5-HIAA cairan serebrospinal (CSS) (suatu
metabolit serotonin).
Uji stimulasi TRH (TSH rendah dan tidak ada respons TSH dan GH terhadap
TRH eksogen, menunjukkan depresi unipolar).
Gangguan tidur: Latensi REM pendekwaktu antara masuk tidur dengan
mulai tidur REM (suatu indikator paling baik); sering terbangun, terbangun
dini hari, penurunan tidur NREM; peningkatan densitas REM (frekuensi
gerakan bola mata cepat pada tidur REM). Semua ini menjadi indikator bagi
orang yang rentan terhadap depresi.
Uji tantangan stimulan (beberapa pasien depresi cepat membaik bila diberi 10
mg amfetamin).
Namun uji-uji ini pada penggunaan klinis rutin sangat sedikit; yang paling baik dilihat
adalah:
a. Penelitian mengenai tidur yang abnormal
b. Kadar TSH dan respons TRH abnormal
c. Hasil DST masih positif setelah pengobatan, menunjukkan hasil terapi yang buruk.
Semua uji-uji ini, tidak mempunya sensitivitas dan spesifikasi yang adekuat (terlalu
banyak positif palsu dan negatif palsu). Meskipun demikian, masing-masing lebih
lanjut menegaskan bahwa faktor biologi memegang peranan pada beberapa pasien
depresi (lingkungan juga berperan penting, karena 25% pasien dengan kondisi medis
serius dan yang lain menderita stress psikososial berat akan menderita depresi mayor).
Penelitian dengan PET dan fMRI untuk mengetahui lokasi gangguan ini di SSP,
memberi kesan depresi mayor berkaitan dengan penurunan aktivitas korteks prefrontal
lateralis (terutama sisi kiri), kaudatus, putamen, dan kemungkinan juga amigdala.psikiatri
Sementara untuk pemeriksaan klinis dalam hubungannya dengan diabetes melitus akan
dipikirkan dulu sebelumnya bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia,
polifagia, lemah dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur.
Pemeriksaan glukosa darah sewaktu (GDS) > 200 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl juga
digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk
menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan
sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl, kadar glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasi tes toleransi glukosa oral (TTGO)
yang abnormal.6
Hasil penelitian menurut Peyrot (1997) yang mendapatkan prevalensi depresi pada pasien
DM sebesar 41,3%. Didapatkan 37,6% depresi meliki HbA1c <9,5%, 40,6% pada nilai HbA1c
9,5-12% serta 43,6% pada nilai HbA1c >12%. Ini berarti kontrol glukosa darah yang buruk
berhubungan dengan tinggi kejadian depresi.3
3.2. Etiologi
Penyakit kronik seperti diabetes dipengaruhi oleh stressor psikososial. Faktor emosi dan
stress secara langsung dapat mencetuskan diabetes tetapi disamping itu harus ada faktor lain
(predisposisi) yang sudah ada dalam diri sendiri seperti keturunan (herediter), kegemukan dan
lain-lain. Secara tidak langsung faktor emosional/stress dapat mempengaruhi perjalanan penyakit
tergantung dari personalitas pasien diabetes sendiri. Beberapa penilitian terakhir melaporkan
adanya hubungan kejadian stress dan depresi terhadap kontrol glikemik.
Adanya komorbiditas mengakibatkan hubungan timbal balik yang saling memberatkan.
Pada pasien diabetes melitus adanya depresi dapat mempengaruhi kadar gula darah dan
memperburuk perjalanan penyakit diabetes serta meningkatkan komplikasi serius. Sedangkan
depresi sendiri menjadi faktor resiko yang independen terhadap kejadian diabtes melitus.
3.3. Hubungan stress dan regulasi glukosa
Stress adalah suatu keadaan yang tidak harmoni atau yang mengancam homeostasis. Menurut
Selye, tidak semua stress akan menggangu homeostasis sehingga dipakai istilah eustress dan
distress. Keadaan yang mengganggu homeostasis akan menyebabkan distress sedangkan ynag
tidak menimbulkan gangguan disebut eustress. 3
Efek stress pada regulasi glukosa telah banyak diteliti. Cannon menunjukkan bahwa
stress emosional dapat meningkatkan gula darah dan glukosuria melalui peningkatan stimulus
simpatoadrenal. Stress akut pada populasi umum akan meningkatkan denyut jantung, respon
kulit, dan vasokontriksi pembbuluh darah dan meningkatan aktivitas otot rangka. Stress juga
dapat meningkatkan produksi hormone hipofisis, katekolamin, kortikostreoid dan menekan
pelepasan insulin. Akibatnya terjadi peningktan glukosa darah. Pola yang dilukiskan Cannon ini
bersifat adaptif, karena seringkali timbul dalam keadaan darurat. Dasar pola ini adalah sekresi
kalenjar adrenal yang memperkuat dan mempertahankan reaksi darurat yang biasanya
digerakkan oleh sistem saraf simpatik. Pola tersebut adalah penglepasan adrenalin oleh kalenjar
adrenal ke dalam aliran darah yang juga menyebabkan dilepaskannya glikogen hati, kemudian
dipecah menjadi karbohidrat yang masuk dalam aliran darah hingga glukosa darah meningkat.
Selye meluaskan ide Cannon yaitu bermacam situasi darurat mengakibatkan terjadinya
perubahan hormon adrenokortikotropik yang bersifat adaptif. 3
Kesehatan Jiwa
Menurut WHO, definisi kesehatan jiwa adalah: 7
Manifestasi gangguan jiwa dapat berupa perilaku, pikiran dan perasaan yang berkaitan erat
dengan kondisi tubuh/jasmani dan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, dapat penanganan
kasus gangguan jiwa, faktor-faktor tersebut harus ditangani secara komprehensif.
Selain itu, terdapat pula pendekatan secara deskriptif yang merupakan dasar pendekatan untuk
memastikan diagnosis secara nasional dan internasional. Pendekatan ini bersifat netral, hanya
mencari dan memastikan gejala secara deskriptif-klinis tanpa secara apriori melihat makna atau
mengapa gejala itu terjadi dari suatu sudut pandang atau paradigma atau teori tertentu.
Gangguan jiwa sebagai suatu kategori keseluruhan dikelompokan oleh WHO dalam sebuah Bab,
yaitu Bab F, dalam buku International Classification of Diseases edisi 10 (ICD-10), yang oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia diterjemahkan dalam buku: Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III). 7,8
Syarat-syarat yang diperlukan untuk pemastian diagnosis secara deskriptif fenomenologis adalah
sebagai berikut.
Urutan hierarkis7,8
Bervariasinya manifestasi gangguan jiwa serta adanya gejala yang sama atau mirip pada
beberapa diagnosis menyebabkan upaya memastikan sebuah diagnosis sering sukar dilakukan
apabila hanya didasari dengan kumpulan gejala. Dengan itu, diperlukan cara sistematis untuk
memastikan diagnosis gangguan jiwa.
WHO mengelompokan gangguan jiwa dalam blok-blok tertentu berdasarkan adanya persamaan
deskriptif, baik etiologi atau gejala dasar. Gangguan-gangguan jiwa yang terletak dalam urutan
di atas mempunyai lebih banyak unsur (gejala) dari gangguan jiwa yang terletak dalam blok di
bawahnya. Contoh: Meskipun pada blok F0 dapat ditemukan gejala psikotik, mood, atau cemas,
namun blok tersebut memiliki kelebihan berupa etiologi organik/medis. Sedangkan blok F1
etiologinya hanya zat psikoaktif, walau gejalanya mirip dengan gejala pada blok F0.
Kemudian, pada blok F2, gangguan /gejala dasarnya hanya gejala psikotik tanpa etiologi
organik/medis. Dalam blok F3 gangguan dasarnya adalah gangguan perasaan/mood tanpa etilogi
organik/medis.
Etiologi medik merupakan kondisi patologis yang ditemukan dengan pemeriksaan fisik dan
laboratorium yang konvensional. Dengan begitu, makin ke atas hierarki, biasanya makin berat
tingkat keparahan atau kedaruratannya, khususnya yang bersangkutan dalam F0, F1, F2, F3.
Untuk memastikan diagnosis, harus dipastikan dulu gejala-gejala itu tidak merupakan gejala dari
gangguan jiwa yang terletak dalam hierarki di atasnya.
Penggolongan gangguan jiwa dalam PPDGJ III berdasarkan blok serta ciri khas pada masing-
masing blok gangguan jiwa adalah sebagai berikut.
Gangguan kejiwaannya disebabkan oleh penyakit atau gangguan fisik/kondisi medik yang secara
primer atau secara sekunder (sistemik) mempengaruhi otak secara fisiologis sehingga terjadi
disfungsi otak. Demensia merupakan salah satu kelainan yang paling mendapatkan perhatian.
Diperlukan bukti riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan laboratorium untuk menyokong hal
tersebut.
Blok F1: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif
Gejala gangguan jiwa dalam blok ini tidak disebabkan oleh F0. Terdapat riwayat penggunaan zat
psikoaktif yang secara fisiologis mempengaruhi otak dan menimbulkan gangguan mental dan
perilaku. Namun, tidak semua orang yang menggunakan zat psikoaktif menunjukan gejala
gangguan jiwa.
Demensia (F00-F03) merupakan sindrom yang disebabkan oleh penyakit pada otak yang bersifat
kronis dan progresif. Kelainan yang dapat muncul dapat berupa gangguan pada fungsi korteks,
termasuk memori, berpikir, orientasi, pemahaman, kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa dan
pengambilan keputusan. Kelainan tersebut biasanya disertai detoriasi dalam kontrol emosi,
kemampuan sosial atau motivasi.9
Blok F2: Skizofrenia, Gangguan skizotipal, Gangguan waham (dan gangguan psikotik
lainnya) [gangguan psikotik nonorganik]
Ciri khasnya adalah disingkirkannya kemungkinan blok F0 dan F1, terutama berdasarkan
etiologinya. Gejala yang muncul berupa gejala psikotik: halusinasi, waham, perilaku kataton,
perilaku kacau, pembicaraan kacau (tidak selalu), disertai tilikan yang buruk. Namun, ada pula
gangguan mental dalam blok ini yang tidak disertai gejala psikotik yaitu gangguan skizotipal.
Meskipun begitu, secara genetik, gangguan tersebut tergabung dalam keluarga skizofrenia.
Untuk memasukan ke dalam blok ini, blok F0, F1, dan F2 harus disingkirkan. Gejala dasarnya
berupa gangguan suasana perasaan/mood (depresi atau manik) yang umumnya bersifat episodik.
Kadang-kadang ditemukan juga gejala psikotik, tetapi jangka waktunya lebih pendek daripada
episode gangguan mood yang mendasarinya.
Blok F4: Gangguan neurotik, Gangguan Somatoform, dan Gangguan yang berkaitan
dengan stres
Blok F0, F1, F2, dan F3 harus terlebih dahulu disingkirkan. Gejala dasarnya bergantung kepada
kelompok dalam blok F4 tersebut.
Pada kelompok gangguan cemas dan fobik, gejala utamanya berupa kecemasan yang bersifat
kronis (misal gangguan cemas menyeluruh) atau episodik (mis. Gangguan panik), atau
kecemasan timbul bila dihadapkan dengan situasi/objek fobik atau bila melawan pikiran obsesif.
Terdapat dua macam stresor pada kelompok gangguan yang berkaitan dengan stres, yaitu
stresor yang sering timbul dalam kehidupan sehari-hari serta stresor yang bertaraf malapetaka
dan tidak lazim dialami orang dalam kehidupan sehari-hari. Penderita gangguan ini tidak bisa
atau sukar mengadakan adaptasi yang disebut sebagai gangguan penyesuaian (pada stres lazim)
dan gangguan stres pasca trauma (pada stres yang tidak lazim).
Kelompok gangguan disosiatif (konversi) memiliki gejala utama berupa hilangnya sebagian
atau menyeluruh integrasi normal antara ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan sensasi
langsung dan kendali terhadap gerakan tubuh.
Kelompok gangguan somatoform memiliki gejala utama berupa keluhan preokupasi dengan rasa
sakit atau menderita penyakit tertentu walaupun tidak ada dasar gangguan medis/fisik yang
mendasarinya. Keluhan muncul berulang walaupun terbukti tidak ada dasar medik.
Penatalaksanaan
Pendekatan psikosomatik yang dilakukan adalah pendekatan holistik, pendekatan ini perlu
dilakukan dalam penatalaksanaan depresi pada pasien diabetes melitus dengan memperhatikan
semua segi baik fisik, psikis dan lingkungan sosial pasien. Pendekatan terapi ini diharapkan
dapat memperbaiki gejala-gejala depresi, mencegah komplikasi lebih lanjutdan memperbaiki
kualitas hidup pasien.
Pengobatan depresi dan diabtes dilakukan bersamaan dengan memberikan psikoterapi,
psikoedukasi, dan psikofarma secara serentak. Pada keadaan tertentu apabila gejala diabetesnya
berat, terapi diabetes didahulukan sementara terapi depresinya dimulai dengan psikoterapi dan
psikoedukasi. 3
1. Pengobatan psikoterapi
Cognitive-behavioral therapy (CBT) sangat bermanfaat kepada pasien depresi dengan
diabetes melitus dan dikombinasikan dengan edukasi diabetes. dengan terapi didapatkan
perbaikan depresi sebanyak 85% dibandingkan hanya 27,3% pada kontrol. Teknik terapi perilaku
tersebut berupa: a) merubah perilaku dengan mengembalikan aktivitas fisik dan kehidupan sosial
yang menyenangkan pasien; b) upaya pemecahan stress atau masalah yang dihadapi; c) teknik
kognitif dengan meng-indetifikasi adanya maladaptasi dan menggantinya dengan pandangan
yang akurat, adaptif dan berguna.3
2. Pengobatan psikofarma
Pemilihan psikofarma untuk depresi dengan diabetes melitus harus memperhatikan
pertimbangan efektivitas obat, keamanan dan efek samping serta interaksi dengan efek obat lain.
Beberapa obat antidepresan mempunyai pengaruh terhadap kadar gula darah.
Obat antidepresi golongan trisiklik lebih banyak berefek pada norepinefrin dan serotonin
sehingga golongan ini akan meningkatkan resistensi insulin akibatnya dapat meningkatkan kadar
gula darah. Dalam jangka panjang dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah puasa
samapi dua kali lipat sehingga sulit dikontrol kadar gula darahnya. Selain itu golongan ini juga
menambah nafsu makan sehingga kepatuhan diet terganggu dan berta badan meningkat sehingga
obat ini tidak cocok untuk pasien depresi dengan diabetes yang memiliki badan gemuk. Selain
itu golongan trisiklik juga memiliki efek sedasi yang dapat mengganggu memori dan konsentrasi
sehingga mengurangi kepatuhan minum obat. Contoh preparat ini adalah golongan trisiklik
dengan tiga gugus amin (Amitriptilin, Imipramin, Trimipramin, Doxepine, Clomipramine),
trisiklik dengan dua gugus amin (Desipramine, Nortriptilin, Protriptilin, Amineptin, Opipramol).
3
Golongan MAOI (Monoamin Oxidase Inhibitor) selain memiliki efek anti depresan juga
dapat menurunkan kadar gula darah melalui mekanisme penghambatan oksidasi asam lemak
rantai panjang. Tetapi pemberian obat ini kurang disukai pada diabetes karena harus membatasi
tiramin sehingga pengaturan diet akan lebih sulit. Diketahui golongan MAOI yang klasik
(Isokarbozid, Fenelzin) mempunyai efek samping yang nyata yaitu hipotensi ortostatik dan krisis
hipertensi yang terjadi sekunder melalui interaksi dengan tiramin yang terdapat pada makanan
seperti keju yang dipadatkan serta daging yang disimpan lama. Oleh karena diabetes sering
dijumpai hipertensi, pemakaian obat ini tidak dianjurkan. 3
Ditinjau dari farmakokinetiknya, golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
lebih aman. Dapat mengurangi resistensi insulin sehingga gula darah lebih terkontrol. Beberapa
obat golongan SSRI seperti fluoksetin memiliki efek menurunkan berat badan sehingga baik
untuk pasien yang memiliki tubuh gemuk. Efek samping yang prelu diperhatikan adalah
kemungkinan terjadi hipoglikemia, disfungsi seksual dan pasien yang disertai gangguan fungsi
ginjal. Contoh preparat ini adalah Setralin, Paroxentine, Fluvoxamine, Trazodone.3
Selain pemeberian obat untuk menangani depresi pasien diabetes dimana obat depresi
yang diberikan juga sudah meliki efek untuk menurunkan kadar gula darah namun jika gejala
diabetesnya sangat buruk maka kita juga perlu memberikan terapi spesifik terhadap diabetes ini.
4.7. Penatalaksanaan
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencegah dan mengobati pasien yang bunuh diri
namun tidak meninggal:15
1 Nilai adanya kecenderungan bunuh diri dan jangan biarkan mereka sendiri, serta
singkirkan semua benda yang potensial berbahaya.
2 Pasien yang baru saja mencoba bunuh diri, nilailah apakah usaha itu telah direncanakan
atau hanya impulsif sesaat saja, sambil menentukan derajat letalitasnya, kemungkinan
pasien pulih kembali (contoh apakah pasien hidup sendiri dirumah, apakah pasien
memberitahu orang lain), reaksi pasien saat ditolong orang (apakah pasien kecewa atau
justru lega hatinya), apakah ada perubahan faktor yang mengarahkan bunuh diri itu
3 Penatalaksanaan sebagian besar tergantung pada diagnosanya. Pasien dengan depresi
berat dapat diobati sebagai pasien berobat jalan apabila keluarganya dapat mengawasi
mereka dengan seksama dan terapi dapat dimulai segera. Tapi bila tidak, rawat inap
diperlukan.
4 Gagasan bunuh diri pada pasien alkoholik biasanya akan membaik dalam beberapa hari
abstinensi. Kebanyakan tak ada terapi spesifik yang diperlukan. Bila tidak membaik
setelah abstinensi, kemungkinan adalah depresi berat Semua pasien dengan intoksikasi
alcohol harus dinilai ulang saat mereka lepas pengaruh alkoholnya.
5 Gagasan bunuh diri pada pasien skizofrenia harus diperhatikan secara serius, karena
mereka cenderung menggunakan cara yang keras dan aneh dengan derajat letalitas yang
tinggi
6 Pasien dengan gangguan kepribadian cenderung mengambil manfaat dari bantuan dan
konfrontasi empatik, dan perlu dilanjutkan pendekatan secara rasional, bertanggung
jawab pada masalah yang mencetuskan dan menyebabkan krisis tsb. Keikut sertaan
keluarga atau teman dan manipulasi lingkungan dapat membantu menyelesaikan krisis
yang membawa pasien pada perilaku bunuh diri.
7 Rawat inap jangka panjang dianjurkan bagi pasien dengan kecendrungan mutilasi diri,
karena rawat inap jangka pendek tidak akan mempengaruhi perilaku yang berulang ini.
8. Tingkat kesadaran pasien dengan percobaan bunuh diri yang dibawa ke UGD dapat
berupa :
a. Kesadaran berkabut sampai koma ( sudah melakukan upaya bunuh diri )
Lakukan pemeriksaan fisik diagnostik, khususnya terhadap tanda-tanda vital bila perlu
lakukan resusitasi jantung-paru ( Airway Breathing Circulation), bila perlu rawat di
ICU
Atasi kondisi fisik akibat tindakan bunuh dirinya, seperti pendarahan,keracunan,luka
terbuka, patah tulang, trauma capitis. Lakukan pemeriksaan penunjang yang perlu untuk
membantu penegakan diagnosis. Setelah kesadarannya compos mentis lakukan evaluasi
psikiatrik dengan sikap yang suportif, tidak menghakimi atau menyalahkan, atau rujuk ke
fasilitas psikiatrik.
5. Kesimpulan
Penyakit kronis seperti diabetes melitus dapat mempengaruhi kondisi psikologis. Gangguan
yang paling sering muncul akibat diagnose diabtes melitus adalah depresi. Depresi adalah
gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental
(berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang. Depresi ditandai dengan dengan perasaan
sedih yang psikopatologis, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang
menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata sesudah sedikit saja dan
berkurangnya aktivitas. Depresi pada pasien diabetes bisa memperburuk gejala-gejala diabetes
dan meningkatan terjadinya komplikasi serta meningkatkan angka kematian.
Daftar Pustaka
1. Safitri Diana. Naskah publikasi: hubungan antara tingkat depresi dengan komplikasi DM
pada RS Surakarta. Surakarta:2013.hal.2-3
2. Firdaus Amalia. Naskah publikasi: hubungan lamanya menderita diabetes melitus tipe 2
terhadap tingkat depresi pada pasien poli penyakit dalam rsd dr. Soebandi jember.
Jember;2013. diunduh dari http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/2343
3. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam. Ilmu penyakit dalam bab 39 tentang
psikosomatik: Aspek psikosomatik pada pasien diabetes melitus. edisi ke-6. Jakarta:
Interna Publishing;2014.hal.3639-46.
4. Douglas Graham, Nicol Fiona, Robertson Colin. Buku pemeriksaan klinis churchill
livingtone. Singapur: Elsevier;2013
5. Fakultas kedokteran universitas kristen krida wacana. Buku panduan ketrampilan klinik
(skills lab). Jakarta;2008.hal.45-83.
6. Tomb DA. Buku saku psikiatri: Krisis akut dan intervensi. edisi ke 6. Jakarta: Penerbit
EGC; 2003. hal.53-6.
7. Mangindaaan L. Buku Ajar Psikiatri: Diagnosis Psikiatrik. Jakarta: Penerbit FKUI; 2010.
P. 71-83.
8. WHO. ICD-10 Classification of Mental and Behavioural. Geneva: WHO; 2005. P. 8-21.
9. WHO. Multiaxial Presentation of The ICD-10 for use in Adult Psychiatry: Glossary of
Clinical Diagnoses.United States of America: Cambridge University Press; 2007. P. 37.
10. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam. Ilmu penyakit dalam bab 27 tentang
diabetes melitus: Terapi non farmakologi pada diabetes melitus. edisi ke-6. Jakarta:
Interna Publishing;2014.hal.2336-45.
11. Fakultas kedokteran universitas indonesia. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta:
FKUI;2012.hal.481-495
12. Kaplan HI, Sadock BJ. Suicide. Pocket handbook of emergency psychiatric. Baltimore:
EGC;1993.
13. Fakultas kedokteran universitas indonesia. Buku ajar psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta:
FKUI;2015.
14. Burt VL. Buku saku psikiatri: Krisis akut dan intervensi. edisi ke 2. Jakarta: Penerbit
EGC; 1997. hal.621-634.
15. Foundation for Suicide Prevention. Diunduh dari: http://www.globalcloud.net. 2007-02-
06.