Anda di halaman 1dari 23

Depresi pada Diabetes Melituus

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-5694206

1. Pendahuluan

Kriteria gangguan jiwa adalah suatu kelompok gejala atau perilaku yang secara klinis
bermakna dan disertai penderitaan (distress) pada kebanyakan kasus dan berkaitan dengan
terganggunya fungsi (disfungsi/hendaya) seseorang. Jika hanya terjadi penyimpangan atau
konflik sosial tanpa disfungsi, tidak dimasukan dalam kriteria gangguan jiwa. Perlu diperhatikan
bahwa sesuatu yang berbeda tidaklah berarti selalu lebih buruk atau lebih baik. Normal tidaknya
suatu keadaan juga ditentukan oleh budaya atau tradisi tertentu.

Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidak mampuan individu menilai
kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat halusinasi, waham atau perilaku kacau atau aneh.

Pemeriksaan pasien psikotik harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa gejala psikotik


adalah disebabkana oleh kondisi medis umum (sebagai contohnya, suatu tumor otak) atau ingesti
zat (sebagai contohnya, phencyclidine).
2. Pembahasan
2.1. Anamnesis
Untuk penanganan pasien depresi dengan DM diperlukan kerja sama antara pengertian
yang baik dari ilmu penyakit dalam dan ilmu kesehatan jiwa. Ilmu yang terpadu dengan
pendekatan yang holistik dapat membantu menyembuhkan pasien. Hal yang perlu dilakukan
pertama adalah melakukan anamnesis dimana dengan adanya anamnesis dokter dapat
mendapatkan data yang penting untuk bisa menegakkan diagnosis dengan baik dan benar.
Anamnesis yang diperlukan adalah anamnesis yang menyangkut status depresi dan status
DM dari pasien serta hasilnya data yangdiperoleh nantinya harus dikorelasikan dengan baik
antara kedua bidang.
Untuk kasus ini pasien mengalami DM terlebihi dahulu baru diikuti dengan depresi, jadi
wawancara yang pertama dilakukan adalah menanyakan tentang status DM pasien. Hal yang
perlu dilakukan adalah menanyakan hal yang sama seperti yang biasa dilakukan seperti identitas,
keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat kesehatan keluarga
dan riwayat pribadi sosial.
Sedangkan untuk kasus depresi pasien kita memerlukan wawancara psikiatri, hal yang
ditanyakan selain yang biasa ditanyakan kita juga perlu menanyakan kepada pasien tentang
riwayat gangguan psikiatri sebelumnya. Gangguan psikiatri sebelumnya adalah dimana kita
menanyakan kepada pasien tentang gangguan psikiatrik (uraikan secara kronologis sejak kapan,
awitan gejala, faktor yang mempengaruhi baik "organobiopsikososial", dampak gangguan pada
fungsi pekerjaan, fungsi sosial, dan kegiatan sehari-hari, riwayat pengobatan (terapi yang
diberikan; terapi perilaku, kognitif, farmakoterapi dan efek samping dari obat yang diberikan).
Selain itu juga menanyakan gangguan medik sebelumnya (penyakit/gangguan fisik yang pernah
dialami, diagnosis terapi, kondisi setelah terapi), penggunaan zat psikoaktif. Sesuai dengan
kasus ini, pasien mengalami depresi maka pertanyaan juga harus mengarah ke arah depresi
misalnya penurunan nafsu makan, tidak semangat, rasa ingin mati, dan sebagainya.4
2.2. Pemeriksaan Fisik
Seperti anamnesis, pemeriksaan fisik yang dilakukan pun harus dilakukan untuk menilai
status ulkus diabetik pasien dan juga status mental dari pasien serta untuk mengawalinya penting
dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital dan status kesadran pasien serta pemeriksaan sistematis
dari kepala sampai kaki.
Pertama, melakukan pemeriksaam fisik terhadap kaki diabetik adalah inspeksi
(mengamati apakah adanya atrofi otot/kulit, warna kulit, deformitas untuk lesi kulit harus
melaporkan ukuran dan lokasi), palpasi (melakukan perabaan untuk mengetahui suhu, pulsasi
arteri tibialis posterior dan dorsalis pedis, pemeriksaan sensorik kaki (menggunakan
monofilament dan meminta pasien rileks serta menutup mata kemudian melakukan penekanan
pada 12 titik yang ditentukan dan setelah menggunakan palu refleks untuk mengetahui ada atau
tidak adanya refleks patologis babinski dengan menekan dan menarik palu refleks dari sisi lateral
ke medial bagian dalam kaki jika positif apabila jari-jari kaki akan terbuka).5
Kedua, melakukan pemeriksaan psikiatri untuk mengetahui status mental pasien.
Pemeriksaan ini diawali dengan deskripsi umum pasien berupa penampilan pasien (uraikan dan
pahami dengan jelas), kesadaran pasien (neurologik dan psikiatrik; apakah tampak terganggu
atau tidak) misalnya melihat sikap perilaku (apakah kooperatif, apatis, curiga, antisosial,tegang,
ambivalen dan sebagainya, gerak-gerik dan ekspresi wajah yang terganggu atau tidak, kualitas
bicara dari pasien; apakah adanya ganggun bicara seperti afasia, disatria/pelo, latah/ekolalia dan
sebagainya, cara bicaranya bagaimana (spontan/tidak, cepat/lambat, gagap/tidak, monoton/tidak
dan sebagainya). Setelah itu adalah pemeriksaan alam perasaan (emosi pasien) adalah kita
menilai suasana perasaan, dimana emosi itu bersifat menetap, berlangsung lama, yang dapat
dikemukakan pasien dan umunya dapat mempengaruhi perilaku dan sikap dari pasien. Ada
beberapa suasana perasaan pasien yakni; eutim (suasana perasaan yang biasa, wajar dan normal),
hipertim (suasana persaan yang meningkat misalnya bahagia, senang, gembira, puas dan
sebagainya), distim (suasana perasaan yang iritabel seperti menangis, benci, jengkel,
tersinggung, bermusuhan sampai bisa melakukan tindakan yang agresif), ketakutan, kosong,
siklotim (suasana perasaan yang bergelombang). Selain menilai suasana perasaan, kita juga harus
menilai afek atau ekspresi afektif dimana merupakan respon emosional yang tampak pada saat
wawancara (melihat arus emosi alambat atau cepat, kestabilitas emosi pasien, kedalaman,
ekspresi, dramatisasi, empatisasi dan sebagainya. Kemudian juga harus menilai apakah adanya
gangguan persepsi atau tidak (halusinasi, ilusi, derealisasi, depersonalisasi), fungsi intelektual,
daya nilai (misalnya menanyakan yang nilai norma masyarakat atau keluarga ke pasien), tilikan (
menyangkal bahwa dirinya sakit, mengakui dan menyangkal bahwa dirinya sakit bersamaan,
menyalah orang lain atas penyakitnya, sadar bahwa penyakitnya disebabkan oleh sesuatu yang
tak diketahui olehnya) dan taraf dapat dipercaya atau tidak.4

Pemeriksaan status neurologik ( melihat dan meraba) adalah menilai kesadaran, tanda
rangsang meningeal (kaku kuduk, brudzinsky, lasegue's sign, kernign's sign), saraf kranialis
(fungsi dari masing-masing saraf), motorik (melihat apakah ada atrofi atau tidak, tonus dan
kekuatan otot, refleks patologis dan fisiologis, pemeriksaan gerakan pasif dan aktif untuk
melihata pakah adanya gerakan abnormal atau tidak), sensorik ( untuk menilai apakah
sensibilitas tubuh masuh baik atau tidak seperti nyeri superfisisl, suhu, tekan. getar, posisi, nyeri
profunda,dan diskriminatif. alat yang digunakan adalah jarum, kapas, botol air panas dan dingin,
garpu tala,jangka, dan pensil), koordinasi untuk mengetahui koordinasi gerak yang diatur oleh
serebelum dan mengetahui apakah adanya gangguan klinis atau tidak ( cara pemeriksaan adalah
percobaan telunjuk hidung, tumit-lutut, jari-jari, dan tes romberg dimana tes ini untuk melihat
stabilitas trunkus, jadi pasien diminta buka mata berdiri, tutup mata berdiri adalah negatif dan
positif jika buka mata berdiri tutup mata jatuh).4
2.3. Pemeriksaan Penunjang
Kelainan biologik beberapa depresi berat direfleksikan melalui beberapa uji biologik
untuk depresi, yaitu:6
Dexamethasone suppresion test (DST) ; hasil tes positif bila tidak terjadi
penekanan normal plasma kortisol 6-24 jam setelah menggunakan
deksametason oral.
Peningkatan kortisol serum (30% pasien depresi mengalami hipertrofi
adrenal).
Penurunan MHPG urin (3-methoxy-4-hydroxyphenylene-glycol, suatu hasil
katabolit metanorepinefrin) dan 5-HIAA cairan serebrospinal (CSS) (suatu
metabolit serotonin).
Uji stimulasi TRH (TSH rendah dan tidak ada respons TSH dan GH terhadap
TRH eksogen, menunjukkan depresi unipolar).
Gangguan tidur: Latensi REM pendekwaktu antara masuk tidur dengan
mulai tidur REM (suatu indikator paling baik); sering terbangun, terbangun
dini hari, penurunan tidur NREM; peningkatan densitas REM (frekuensi
gerakan bola mata cepat pada tidur REM). Semua ini menjadi indikator bagi
orang yang rentan terhadap depresi.
Uji tantangan stimulan (beberapa pasien depresi cepat membaik bila diberi 10
mg amfetamin).

Namun uji-uji ini pada penggunaan klinis rutin sangat sedikit; yang paling baik dilihat
adalah:
a. Penelitian mengenai tidur yang abnormal
b. Kadar TSH dan respons TRH abnormal
c. Hasil DST masih positif setelah pengobatan, menunjukkan hasil terapi yang buruk.

Semua uji-uji ini, tidak mempunya sensitivitas dan spesifikasi yang adekuat (terlalu
banyak positif palsu dan negatif palsu). Meskipun demikian, masing-masing lebih
lanjut menegaskan bahwa faktor biologi memegang peranan pada beberapa pasien
depresi (lingkungan juga berperan penting, karena 25% pasien dengan kondisi medis
serius dan yang lain menderita stress psikososial berat akan menderita depresi mayor).
Penelitian dengan PET dan fMRI untuk mengetahui lokasi gangguan ini di SSP,
memberi kesan depresi mayor berkaitan dengan penurunan aktivitas korteks prefrontal
lateralis (terutama sisi kiri), kaudatus, putamen, dan kemungkinan juga amigdala.psikiatri
Sementara untuk pemeriksaan klinis dalam hubungannya dengan diabetes melitus akan
dipikirkan dulu sebelumnya bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia,
polifagia, lemah dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur.
Pemeriksaan glukosa darah sewaktu (GDS) > 200 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl juga
digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk
menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan
sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl, kadar glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasi tes toleransi glukosa oral (TTGO)
yang abnormal.6

3. Pembahasan diagnosis kerja


3.1. Epidemiologi
Gangguan psikosomatik yang sering dijumpai pada pasien diabetes melitus adalah
depresi dan ansietas. Prevalensi depresi di kepustakaaan luar sebesar 20-60% dan ansietas
sebesar 14-40%. Pada penelitian Putranto R (2004) di RSCM, didapatkan depresi pada pasien
DM tipe 2 sebesar 41% perempuan dijumpai lebih banyak pada pasien. selain itu, depresi akan
meningkat pada pasien diabetes yang memiliki komplikasi. 3

Hasil penelitian menurut Peyrot (1997) yang mendapatkan prevalensi depresi pada pasien
DM sebesar 41,3%. Didapatkan 37,6% depresi meliki HbA1c <9,5%, 40,6% pada nilai HbA1c
9,5-12% serta 43,6% pada nilai HbA1c >12%. Ini berarti kontrol glukosa darah yang buruk
berhubungan dengan tinggi kejadian depresi.3
3.2. Etiologi
Penyakit kronik seperti diabetes dipengaruhi oleh stressor psikososial. Faktor emosi dan
stress secara langsung dapat mencetuskan diabetes tetapi disamping itu harus ada faktor lain
(predisposisi) yang sudah ada dalam diri sendiri seperti keturunan (herediter), kegemukan dan
lain-lain. Secara tidak langsung faktor emosional/stress dapat mempengaruhi perjalanan penyakit
tergantung dari personalitas pasien diabetes sendiri. Beberapa penilitian terakhir melaporkan
adanya hubungan kejadian stress dan depresi terhadap kontrol glikemik.
Adanya komorbiditas mengakibatkan hubungan timbal balik yang saling memberatkan.
Pada pasien diabetes melitus adanya depresi dapat mempengaruhi kadar gula darah dan
memperburuk perjalanan penyakit diabetes serta meningkatkan komplikasi serius. Sedangkan
depresi sendiri menjadi faktor resiko yang independen terhadap kejadian diabtes melitus.
3.3. Hubungan stress dan regulasi glukosa
Stress adalah suatu keadaan yang tidak harmoni atau yang mengancam homeostasis. Menurut
Selye, tidak semua stress akan menggangu homeostasis sehingga dipakai istilah eustress dan
distress. Keadaan yang mengganggu homeostasis akan menyebabkan distress sedangkan ynag
tidak menimbulkan gangguan disebut eustress. 3
Efek stress pada regulasi glukosa telah banyak diteliti. Cannon menunjukkan bahwa
stress emosional dapat meningkatkan gula darah dan glukosuria melalui peningkatan stimulus
simpatoadrenal. Stress akut pada populasi umum akan meningkatkan denyut jantung, respon
kulit, dan vasokontriksi pembbuluh darah dan meningkatan aktivitas otot rangka. Stress juga
dapat meningkatkan produksi hormone hipofisis, katekolamin, kortikostreoid dan menekan
pelepasan insulin. Akibatnya terjadi peningktan glukosa darah. Pola yang dilukiskan Cannon ini
bersifat adaptif, karena seringkali timbul dalam keadaan darurat. Dasar pola ini adalah sekresi
kalenjar adrenal yang memperkuat dan mempertahankan reaksi darurat yang biasanya
digerakkan oleh sistem saraf simpatik. Pola tersebut adalah penglepasan adrenalin oleh kalenjar
adrenal ke dalam aliran darah yang juga menyebabkan dilepaskannya glikogen hati, kemudian
dipecah menjadi karbohidrat yang masuk dalam aliran darah hingga glukosa darah meningkat.
Selye meluaskan ide Cannon yaitu bermacam situasi darurat mengakibatkan terjadinya
perubahan hormon adrenokortikotropik yang bersifat adaptif. 3

3.4 . Hubungan depresi dan diabetes melitus


Penelitian saat ini menunjukan adanya prevalensi depresi yang tinggi pada populasi
diabetes. Untuk alasan penyebabnya belum dapat dipastikan. Tapi, terdapat dua kesimpulan
sementara yang menjelaskan terjadinya dan berulangnya depresi pada pasien diabetes.
Pertama, depresi terjadi sebagai hasil perubahan biokimia akibat langsung dari diabetes
atau terapinya. Hipotesis ini didasari dengan beberapa penemuan sebagai berikut: a). pada DM
tipe 1 deperesi mengikuti terjadinya DM tipe 1, sedangkan pada DM tipe 2 depresi mendahului
diagnosis DM tipe 2 (menjadi resiko terjadinya DM tipe 2) walaupun pada perjalanan DM yang
lanjut dapat menimbulkan depresi; b). depresi terjadi lebih tinggi pada tahun pertama
diketahuinya diabetes. Rata-rata onset depresi pada DM tipe 1 terjadi pada umur 22-23 tahun,
sedangkan onset DM terjadi pada pasien usia lebih muda; c). pada sebagaian besar pasien DM,
ditemukan adanya gangguan perasaan atipik (79% pasien diabetes mengalami gangguan
perasaan; d). adanya bahan biologi yang sama-sama didapat pada pasien diabetes maupun
depresi yaitu peningkatan produksi kortisol, gangguan metabolisme neurotransmiter norepinefrin
dan serotonin, berkurangnya pemakaian glukosadan meningkatnya resistensi insulin; e).
Beberapa penelitian menjelaskan menjelaskan terjadi peningkatan pasien diabetes dengan
komplikasi.3
Kedua, depresi terjadi akibat faktor psikologis dan psikososial yang berhubungan dengan
penyakit atau terapinya. depresi pada diabetes terjadi akibat meningkatnya tekanan pasien yang
dialami dari penyakit kroniknya. Sejumlah penelitian mengatakan adanya kesulitan beradapatasi
dengan komplikasi diabetes. Tekanan psikologis meningkat pada dua tahun pertama sejak
diketahui retinopatik diabetikum. Hubungan ketidakmampuan adaptasi dengan gejala depresi
ditentukan oleh beberapa faktor misalnya; a). pandangan pasien terhadap penyakit yang diderita.
Sering ketidakmampuan dan perasaan negatif terjadi akibat pandangan yang keliru yang
mengenai penyakit yang dideritanya; b). dukungan sosial yang kurang baik dapat memperberat
depresi dan sementara kondisi penyakit pasien yang memburuk membatasi pasien untuk
berhubungan sosial secara baik; c) coping strategy. Dengan adanya "Coping strategy" yang
baik, pikiran untuk lari dari kenyataan dapat dihindari dan adaptasi psikologis menjadi lebih
baik, sehingga mengurangi kemungkinan gejala depresi. 3

Kesehatan Jiwa
Menurut WHO, definisi kesehatan jiwa adalah: 7

Merasa sehat dan bahagia,


Mampu menghadapi tantangan hidup
Dapat menerima orang lain sebagaimana adanya
Mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain

Manifestasi gangguan jiwa dapat berupa perilaku, pikiran dan perasaan yang berkaitan erat
dengan kondisi tubuh/jasmani dan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, dapat penanganan
kasus gangguan jiwa, faktor-faktor tersebut harus ditangani secara komprehensif.

Selain itu, terdapat pula pendekatan secara deskriptif yang merupakan dasar pendekatan untuk
memastikan diagnosis secara nasional dan internasional. Pendekatan ini bersifat netral, hanya
mencari dan memastikan gejala secara deskriptif-klinis tanpa secara apriori melihat makna atau
mengapa gejala itu terjadi dari suatu sudut pandang atau paradigma atau teori tertentu.

Gangguan jiwa sebagai suatu kategori keseluruhan dikelompokan oleh WHO dalam sebuah Bab,
yaitu Bab F, dalam buku International Classification of Diseases edisi 10 (ICD-10), yang oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia diterjemahkan dalam buku: Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III). 7,8

Syarat-syarat yang diperlukan untuk pemastian diagnosis secara deskriptif fenomenologis adalah
sebagai berikut.

1. Gejala-gejala dikumpulkan menjadi sindrom yang bermakna


2. Urutan hierarkis harus dipikirkan dari F0-F5
3. Jangka waktu/berapa lama gejala itu termasuk ada tidaknya sifat dari awitan gejala

Urutan hierarkis7,8

Bervariasinya manifestasi gangguan jiwa serta adanya gejala yang sama atau mirip pada
beberapa diagnosis menyebabkan upaya memastikan sebuah diagnosis sering sukar dilakukan
apabila hanya didasari dengan kumpulan gejala. Dengan itu, diperlukan cara sistematis untuk
memastikan diagnosis gangguan jiwa.
WHO mengelompokan gangguan jiwa dalam blok-blok tertentu berdasarkan adanya persamaan
deskriptif, baik etiologi atau gejala dasar. Gangguan-gangguan jiwa yang terletak dalam urutan
di atas mempunyai lebih banyak unsur (gejala) dari gangguan jiwa yang terletak dalam blok di
bawahnya. Contoh: Meskipun pada blok F0 dapat ditemukan gejala psikotik, mood, atau cemas,
namun blok tersebut memiliki kelebihan berupa etiologi organik/medis. Sedangkan blok F1
etiologinya hanya zat psikoaktif, walau gejalanya mirip dengan gejala pada blok F0.

Kemudian, pada blok F2, gangguan /gejala dasarnya hanya gejala psikotik tanpa etiologi
organik/medis. Dalam blok F3 gangguan dasarnya adalah gangguan perasaan/mood tanpa etilogi
organik/medis.

Etiologi medik merupakan kondisi patologis yang ditemukan dengan pemeriksaan fisik dan
laboratorium yang konvensional. Dengan begitu, makin ke atas hierarki, biasanya makin berat
tingkat keparahan atau kedaruratannya, khususnya yang bersangkutan dalam F0, F1, F2, F3.
Untuk memastikan diagnosis, harus dipastikan dulu gejala-gejala itu tidak merupakan gejala dari
gangguan jiwa yang terletak dalam hierarki di atasnya.

Penggolongan gangguan jiwa dalam PPDGJ III berdasarkan blok serta ciri khas pada masing-
masing blok gangguan jiwa adalah sebagai berikut.

Blok F0: Gangguan mental organik atau simpatomatik

Gangguan kejiwaannya disebabkan oleh penyakit atau gangguan fisik/kondisi medik yang secara
primer atau secara sekunder (sistemik) mempengaruhi otak secara fisiologis sehingga terjadi
disfungsi otak. Demensia merupakan salah satu kelainan yang paling mendapatkan perhatian.
Diperlukan bukti riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan laboratorium untuk menyokong hal
tersebut.

Blok F1: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif

Gejala gangguan jiwa dalam blok ini tidak disebabkan oleh F0. Terdapat riwayat penggunaan zat
psikoaktif yang secara fisiologis mempengaruhi otak dan menimbulkan gangguan mental dan
perilaku. Namun, tidak semua orang yang menggunakan zat psikoaktif menunjukan gejala
gangguan jiwa.

Demensia (F00-F03) merupakan sindrom yang disebabkan oleh penyakit pada otak yang bersifat
kronis dan progresif. Kelainan yang dapat muncul dapat berupa gangguan pada fungsi korteks,
termasuk memori, berpikir, orientasi, pemahaman, kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa dan
pengambilan keputusan. Kelainan tersebut biasanya disertai detoriasi dalam kontrol emosi,
kemampuan sosial atau motivasi.9

Blok F2: Skizofrenia, Gangguan skizotipal, Gangguan waham (dan gangguan psikotik
lainnya) [gangguan psikotik nonorganik]

Ciri khasnya adalah disingkirkannya kemungkinan blok F0 dan F1, terutama berdasarkan
etiologinya. Gejala yang muncul berupa gejala psikotik: halusinasi, waham, perilaku kataton,
perilaku kacau, pembicaraan kacau (tidak selalu), disertai tilikan yang buruk. Namun, ada pula
gangguan mental dalam blok ini yang tidak disertai gejala psikotik yaitu gangguan skizotipal.
Meskipun begitu, secara genetik, gangguan tersebut tergabung dalam keluarga skizofrenia.

Blok F3: Gangguan suasana perasaan (mood/afektif)

Untuk memasukan ke dalam blok ini, blok F0, F1, dan F2 harus disingkirkan. Gejala dasarnya
berupa gangguan suasana perasaan/mood (depresi atau manik) yang umumnya bersifat episodik.
Kadang-kadang ditemukan juga gejala psikotik, tetapi jangka waktunya lebih pendek daripada
episode gangguan mood yang mendasarinya.

Blok F4: Gangguan neurotik, Gangguan Somatoform, dan Gangguan yang berkaitan
dengan stres

Blok F0, F1, F2, dan F3 harus terlebih dahulu disingkirkan. Gejala dasarnya bergantung kepada
kelompok dalam blok F4 tersebut.

Pada kelompok gangguan cemas dan fobik, gejala utamanya berupa kecemasan yang bersifat
kronis (misal gangguan cemas menyeluruh) atau episodik (mis. Gangguan panik), atau
kecemasan timbul bila dihadapkan dengan situasi/objek fobik atau bila melawan pikiran obsesif.
Terdapat dua macam stresor pada kelompok gangguan yang berkaitan dengan stres, yaitu
stresor yang sering timbul dalam kehidupan sehari-hari serta stresor yang bertaraf malapetaka
dan tidak lazim dialami orang dalam kehidupan sehari-hari. Penderita gangguan ini tidak bisa
atau sukar mengadakan adaptasi yang disebut sebagai gangguan penyesuaian (pada stres lazim)
dan gangguan stres pasca trauma (pada stres yang tidak lazim).

Kelompok gangguan disosiatif (konversi) memiliki gejala utama berupa hilangnya sebagian
atau menyeluruh integrasi normal antara ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan sensasi
langsung dan kendali terhadap gerakan tubuh.

Kelompok gangguan somatoform memiliki gejala utama berupa keluhan preokupasi dengan rasa
sakit atau menderita penyakit tertentu walaupun tidak ada dasar gangguan medis/fisik yang
mendasarinya. Keluhan muncul berulang walaupun terbukti tidak ada dasar medik.

Penatalaksanaan
Pendekatan psikosomatik yang dilakukan adalah pendekatan holistik, pendekatan ini perlu
dilakukan dalam penatalaksanaan depresi pada pasien diabetes melitus dengan memperhatikan
semua segi baik fisik, psikis dan lingkungan sosial pasien. Pendekatan terapi ini diharapkan
dapat memperbaiki gejala-gejala depresi, mencegah komplikasi lebih lanjutdan memperbaiki
kualitas hidup pasien.
Pengobatan depresi dan diabtes dilakukan bersamaan dengan memberikan psikoterapi,
psikoedukasi, dan psikofarma secara serentak. Pada keadaan tertentu apabila gejala diabetesnya
berat, terapi diabetes didahulukan sementara terapi depresinya dimulai dengan psikoterapi dan
psikoedukasi. 3
1. Pengobatan psikoterapi
Cognitive-behavioral therapy (CBT) sangat bermanfaat kepada pasien depresi dengan
diabetes melitus dan dikombinasikan dengan edukasi diabetes. dengan terapi didapatkan
perbaikan depresi sebanyak 85% dibandingkan hanya 27,3% pada kontrol. Teknik terapi perilaku
tersebut berupa: a) merubah perilaku dengan mengembalikan aktivitas fisik dan kehidupan sosial
yang menyenangkan pasien; b) upaya pemecahan stress atau masalah yang dihadapi; c) teknik
kognitif dengan meng-indetifikasi adanya maladaptasi dan menggantinya dengan pandangan
yang akurat, adaptif dan berguna.3
2. Pengobatan psikofarma
Pemilihan psikofarma untuk depresi dengan diabetes melitus harus memperhatikan
pertimbangan efektivitas obat, keamanan dan efek samping serta interaksi dengan efek obat lain.
Beberapa obat antidepresan mempunyai pengaruh terhadap kadar gula darah.
Obat antidepresi golongan trisiklik lebih banyak berefek pada norepinefrin dan serotonin
sehingga golongan ini akan meningkatkan resistensi insulin akibatnya dapat meningkatkan kadar
gula darah. Dalam jangka panjang dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah puasa
samapi dua kali lipat sehingga sulit dikontrol kadar gula darahnya. Selain itu golongan ini juga
menambah nafsu makan sehingga kepatuhan diet terganggu dan berta badan meningkat sehingga
obat ini tidak cocok untuk pasien depresi dengan diabetes yang memiliki badan gemuk. Selain
itu golongan trisiklik juga memiliki efek sedasi yang dapat mengganggu memori dan konsentrasi
sehingga mengurangi kepatuhan minum obat. Contoh preparat ini adalah golongan trisiklik
dengan tiga gugus amin (Amitriptilin, Imipramin, Trimipramin, Doxepine, Clomipramine),
trisiklik dengan dua gugus amin (Desipramine, Nortriptilin, Protriptilin, Amineptin, Opipramol).
3

Golongan MAOI (Monoamin Oxidase Inhibitor) selain memiliki efek anti depresan juga
dapat menurunkan kadar gula darah melalui mekanisme penghambatan oksidasi asam lemak
rantai panjang. Tetapi pemberian obat ini kurang disukai pada diabetes karena harus membatasi
tiramin sehingga pengaturan diet akan lebih sulit. Diketahui golongan MAOI yang klasik
(Isokarbozid, Fenelzin) mempunyai efek samping yang nyata yaitu hipotensi ortostatik dan krisis
hipertensi yang terjadi sekunder melalui interaksi dengan tiramin yang terdapat pada makanan
seperti keju yang dipadatkan serta daging yang disimpan lama. Oleh karena diabetes sering
dijumpai hipertensi, pemakaian obat ini tidak dianjurkan. 3
Ditinjau dari farmakokinetiknya, golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
lebih aman. Dapat mengurangi resistensi insulin sehingga gula darah lebih terkontrol. Beberapa
obat golongan SSRI seperti fluoksetin memiliki efek menurunkan berat badan sehingga baik
untuk pasien yang memiliki tubuh gemuk. Efek samping yang prelu diperhatikan adalah
kemungkinan terjadi hipoglikemia, disfungsi seksual dan pasien yang disertai gangguan fungsi
ginjal. Contoh preparat ini adalah Setralin, Paroxentine, Fluvoxamine, Trazodone.3
Selain pemeberian obat untuk menangani depresi pasien diabetes dimana obat depresi
yang diberikan juga sudah meliki efek untuk menurunkan kadar gula darah namun jika gejala
diabetesnya sangat buruk maka kita juga perlu memberikan terapi spesifik terhadap diabetes ini.

Pedoman Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Pada DM tipe 2 umumnya pola perilaku dan gaya hidup telah terbentuk kokoh, sehingga
unutk bisa mencapai keberhasilan terapi mandiri diperlukan kerja sama yang aktif dari pasien,
keluarga, pertugas kesehatan, dan lingkungan masyarakat. Edukasi yang komprehensif, serta
pengembangan ketrampilan dan motivasi sangat di perlukan. Dalam hal ini yang harus dijelaskan
adalah penyakit DM, pentingnya pengendalian dan pencegahan DM, penyulit DM, intervensi
farmakologis dan nonfarmaklogis, masalah khusus yang dihadapi, perawatan kaki diabetes, dan
cara menggunakan fasilitas kesehatan. 10
Selain edukasi juga diperlukan perencanaan makan. Biasanya pada pasien DM terutama
DM tipe 2 sering datang dengan tubuh yang gemuk dan salah satu khas dari pasien DM adalah
polidipsi, dimana pasiennya akan merasa lapar terus sehingga diperlukan perencanaan jadwal
makan yang baik dan tepat. Perencanaan makanan harus diseusiakan dengan kebutuhan kalori
masing-masing individu berdasarkan derajat indeks massa tubuh dan aktivitas dari pasien. Pada
pasien DM perlu diberikan tiga kali makan besar dan 3 kali makan selingan atau cemilan. Bahan
makanan yang diberikan adalah 60% karbohidrat, lemak 20% dan protein 20%. Makanan yang
diberikan harus mencukupi kebutuhan kalori pasie sehingga pasien tidak mersaa kelaparan dan
untuk makanan selingan usahakan harus memeberi buah-biah kurangi makanan yang
mengandung kadar glukosa tinggi serta lemak yang jenuh. 6
Latihan jasmani juga diperlukan untuk tetap menjaga keseimbangan dan kesehatan tubuh
serta dapat menurunkan kadar glukosa darah dan menurunkan kadar glukosa darah dengan
meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin.. Latihan
jasmani yang dilakukan adalah melakukan gerakan aerobik sedang dengan ritmik, teratur dan
berkesinambungan seperti jalan pagi, jogging, berenang serta usahakan latihan yang dilakukan
tidak boleh olahraga yang berat. Latihan jasmani dilakukan 4-5 kali dalam seminggu selama 30-
35 menit per kali latihan. 10
Yang terakhir adalah terapai farmakologis bisa menggunakan terapi insulin dan terapi
obat hipoglikemik oral (OHO). Indikasi menggunakan terapi insulin adalah semua penderita DM
Tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi insulin endogen oleh sel-sel kelenjar
pankreas tidak ada atau hampir tidak ada, penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga
membutuhkan terapi insulin apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar
glukosa darah, keadaan stres berat (infeksi berat, tindakan pembedahan, infark miokard akut atau
stroke), DM Gestasional dan penderita DM yang hamil membutuhkan terapi insulin dimana jika
diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah, ketoasidosis diabetik, insulin seringkali
diperlukan pada pengobatan sindroma hiperglikemia hiperosmolar non-ketotik, penderita DM
yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan suplemen tinggi kalori untuk memenuhi
kebutuhan energi yang meningkat yang secara bertahap memerlukan insulin eksogen untuk
mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal selama periode resistensi insulin atau
ketika terjadi peningkatan kebutuhan insulin, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, dan
kontra indikasi atau alergi terhadap OHO. Sediaan insulin saat ini tersedia dalam bentuk obat
suntik yang umumnya dikemas dalam bentuk vial. Penyerapan insulin dipengaruhi oleh beberapa
hal. Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan, paha bagian
atas dan bokong. Bila disuntikkan secara intramuskular dalam, maka penyerapan akan terjadi
lebih cepat, dan masa kerjanya menjadi lebih singkat. Kegiatan fisik yang dilakukan segera
setelah penyuntikan akan mempercepat waktu mula kerja (onset) dan juga mempersingkat masa
kerja. Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan insulin yang tersedia, yang terutama berbeda
dalam hal mula kerja (onset) dan masa kerjanya (duration). Sediaan insulin untuk terapi dapat
digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu; Insulin masa kerja singkat (Short-acting/Insulin),
disebut juga insulin reguler, insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting), insulin masa kerja
sedang dengan mula kerja cepat dan insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin).11
Selain terapi insulin, juga dapat diberikan terapi OHO. pertama adalah golongan
sulfonilurea merupakan obat pilihan untuk penderita diabetes dewasa baru dengan berat badan
normal dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Senyawa-senyawa
sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid. Obat-obat
kelompok ini bekerja merangsang sekresi insulin di kalenjar pankreas, oleh sebab itu hanya
efektif apabila sel-sel Langerhans pankreas masih dapat berproduksi. Penurunan kadar glukosa
darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh
perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pancreas. Efek samping adalah obat hipoglikemik
oral golongan sulfonilurea umumnya ringan dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan
saluran cerna (mual, diare, sakit perut, hipersekresi asam lambung dan sakit kepala) dan
gangguan susunan syaraf pusat (vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya). Gejala
hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulosistosis dan anemia aplastik dapat
terjadi walau jarang sekali. Interaksi dengan obat dan senyawa yang dapat meningkatkan risiko
hipoglikemia sewaktu pemberian obat-obat halkohol, insulin, fenformin, sulfonamida, salisilat
dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon, probenezida, dikumarol, kloramfenikol, penghambat
MAO (Mono Amin Oksigenase), guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin. Hati-hati pada
pasien usia lanjut, wanita hamil, pasien dengan gangguan fungsi hati, dan atau gangguan fungsi
ginjal. Klorpropamida dan glibenklamida tidak disarankan untuk pasien usia lanjut dan pasien
insufisiensi ginjal. Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal masih dapat digunakan
glikuidon, gliklazida, atau tolbutamida yang kerjanya singkat. contoh preparatnya adalah.
Golongan kedua adalah golongan senyawa hipoglikemik oral ini bekerja meningkatkan sintesis
dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Umumnya senyawa obat hipoglikemik golongan
meglitinida dan turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat
antidiabetik oral lainnya. golongan ketiga adalah obat hipoglikemik oral golongan biguanida
bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa
golongan biguanida tidak merangsang sekresi insulin, dan hampir tidak pernah menyebabkan
hipoglikemia. Efek samping yang sering terjadi adalah nausea, muntah, kadang-kadang diare,
dan dapat menyebabkan asidosis laktat. Sediaan biguanida tidak boleh diberikan pada penderita
gangguan fungsi hepar, gangguan fungsi ginjal, penyakit jantung kongesif dan wanita hamil.
Pada keadaan gawat juga sebaiknya tidak diberikan biguanida. Golongan berikutnya adalah
Senyawa golongan tiazolidindion bekerja meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin dengan
jalan berikatan dengan PPAR (peroxisome proliferator activated receptor-gamma) di otot,
jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin. Senyawa-senyawa TZD juga
menurunkan kecepatan glikoneogenesis. Yang perlu diperhatikan dalam pemeberian terapi OHO
adalah pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa OHO atau OHO dengan
insulin. Kombinasi yang umum adalah antara golongan sulfonilurea dengan biguanida.
Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi pankreas yang memberikan
kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat hipoglikemik oral ini
memiliki efek terhadap sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi keduanya mempunyai
efek saling menunjang. Pengalaman menunjukkan bahwa kombinasi kedua golongan ini dapat
efektif pada banyak penderita diabetes yang sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sendiri-
sendiri.11

4. Diagnosa banding: Tentamen suicidum


4.1. Definisi
Tentamen suicidum (percobaan bunuh diri) adalah upaya yang dilakukan dengan tujuan
menghabisi nyawa sendiri. Gagasan Bunuh Diri adalah pikiran atau ide untuk menghabisi nyawa
sendiri, biasanya terdapat pada seseorang yang peka terhadap stresor, dapat terjadi pada segala
usia, dan dapat berlangsung untuk waktu yang lama tanpa suatu upaya bunuh diri.
4.2. Epidemiologi
Perilaku ini berkaitan dengan berbagai hal seperti jenis kelamin, umur, ras, situasi
kehidupan. Pria lebih banyak yang berhasil bunuh diri daripada wanita dengan ratio 3 :1,
meskipun usaha bunuh diri lebih banyak pada wanita dengan ratio 3 : 1. Keterkaitan bunuh diri
dengan usia. Resiko bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Resiko tertinggi
adalah pada usia pertengahan (biasanya berusia diatas 45 tahun) dan usia tua. Namun belakangan
ini dilaporkan banyak juga kasus bunuh diri pada pria, secara keseluruhan resiko bunuh diri lebih
tinggi pada kulit putih dari pada kulit berwarna, kecuali pada suku Indian dan Eskimo. Dikota-
kota besar angka bunuh diri pada kulit hitam mendekati angka kulit putih, resiko bunuh diri dua
kali lebih banyak pada mereka yang tidak menikah dibanding dengan yang menikah. Begitu pula
pada mereka yang bercerai, janda dan duda. Di Amerika angka bunuh diri per 100.000
penduduk, menikah : 11, janda : 24, bercerai (pria : 69 dan wanita : 18). Bunuh diri juga
berhubungan dengan situasi kehidupan. Resiko bunuh diri lebih pada mereka yang tidak
mempunyai pekerjaan termasuk pengangguran dan pensiunan.12
4.3. Etiologi
Kira-kira 90 % dari orang yang melakukan bunuh diri menderita gangguan jiwa.
Gangguan yang paling sering meliputi12:
1 Episode depresi beberapa dari pasien menggunakan obat antidepresi merka untuk
membunuh diri. Obat SSRI baru aman dalam hal ini
2 Gangguan Kepribadian kepribadian paranoid dan kepribadian ambang (emosi tak
stabil).
3 Insomnia berat walaupun tanpa disertai depresi dapat meningkatkan resiko bunuh diri.
4 Penggunaan alkohol dan obat-obatan sering juga merupakan perilaku bunuh diri dalam
jangka panjang maupun singkat bila digunakan secara berlebihan.
5 Skizofrenia disertai suasana perasaan yang depresif, gagasan bunuh diri, gangguan proses
pikir (waham), mutilasi diri.
6 Skizofrenia dengan halusinasi perintah yang memerintahkan untuk bunuh diri atau
panggilan untuk bergabung di dunia lain dapt meningkatkan resiko bunuh diri.
7 Individu dengan orientasi homoseksual mempunyai resiko bunuh diri terutama pada
remaja (dengan konflik identities), dan lanjut usia yang depresif dan/atau alkaholik.
8 Penyakit fisik yang mengancam kehidupan, seperti kanker, AIDS atau yang disertai rasa
nyeri yang berat dan kronis, atau yang menimbulkan kecacatan.
9 Gangguan Stres Pasca Trauma yang disertai rasa malu, putus asa, atau rasa
berdosa.(misalnya akibat perkosaan, penganiayaan, penjarahan, penculikan dll).
10 Ada riwayat anggota keluarga yang bunuh diri.
11 Hidup seorang diri disertai rasa kesepian
12 Kematian pasangan hidup.
13 Masalah ekonomi.
4.4. Faktor Resiko Bunuh Diri
Gangguan psikiatri
Sekurang-kurangnya 90 % dari orang yang melakukan bunuh diri diagnosa sebagai gangguan
psikiatri yang dapat diobati seperti depresi berat, depresi bipolar , atau penyakit depresi
lainnya, yang meliputi : Skizofrenia, penyalah gunaan Alkohol atau obat-obatan lainnya,
khususnya yang bersamaan dengan depresi, gangguan Stress Pascatrauma, atau gangguan cemas
lainnya, bulimia atau anorexia nervousa, gangguan kepribadian, khususnya kepribadian ambang
atau antisosial
Riwayat Percobaan Bunuh Diri pada Masa Lalu
Dua puluh sampai 50 persen orang yang\melakukan percobaan bunh diri mempunyai riwayat
percobaan bunuh diri sebelumnya. Mereka yang melakukan usaha bunuh diri secara serious
mempunyai resiko lebih timggi.
Predisposisi Genetik
Riwayat bunuh diri, percobaan bunuh, dan depresi serta gangguan depresi atau penyakit lain
nya.
4.5. Gambaran klinis
Penting untuk ditanyakan kepada pasien mengenai setiap gagasan bunuh diri mungkin mereka
tidak ada bukti bahwa mereka menyimpan gagasan itu dalam otak mereka. Sesungguhnya hanya
1 % dari individu yang melakukan tindakan yang membahayakan diri akan berhasil bunuh diri
dalam tahun-tahun berikutnya. Lebih baik dari mereka yang mengharapkan pertanyaan demikian
ditanyakan. Jika ada bukti adanya pikiran bunuh diri, alasan bagi mereka dan methode yang
dipertimbangkannya sebaiknya ditelusuri.14
Setiap pernyataan bahwa pasien merasa tidak ada masa depan, bahwa kehidupannya tidak berarti
dan bahwa bunuh diri dianggap baik untuk dipertimbangkan, sebaiknya dipertimbangkan sangat
serius. Hal ini dijumpai bahwa sebagian besar orang yang melakukan bunuh diri benar-benar
menceritakan pikiran mereka sebelum melakukannya. 2/3 dari mereka dilihat dokter mereka
sebulan sebelumnya. Seperempat dari mereka terlihat oleh seorang psikiatris dalam satu minggu
sebelumnya.
Perlu dilihat setiap bukti adanya penyakit psikiatri dan penyakit fisik yang disebut diatas yang
mempunyai hubungan dengan peningkatan resiko bunuh diri. Keluarga dan teman-temannya
sebaik juga diwawancarai, dan dapatkan informasi mengenai setiap kehilangan, seperti10 :
1 menghentikan atau memutuskan hubungan.
2 kematian kerabat atau teman dekat
3 kehilangan pekerjaan
4 kehilangan harta benda
5 kehilangan posisi atau status didalam masyarakat sebagai akibat penahanan karena
mencuri.
Bukti kesepian dan berkurangnya atau tidak adanya kontak sosial harus dicari.
Penilaian faktor resiko bunuh diri dikategorikan menurut data epidemiologik, data historik,
keadaan fisik, keadaan psikopatologik, dan perilaku bunuh diri.
Indikator klinis resiko bunuh diri menurut Hanke (Handbook of Emergency Psychiatry, 1984)
adalah sebagai berikut :
1 Faktor resiko epidemiologik.
1 Bercerai, janda > membujang > menikah
2 Umur lebih dari 45 tahun
3 Pria > wanita
4 Kulit putih > non kulit putih
5 Baru kehilangan (orang yang dicintai, kesehatan, uang, dan pekerjaan)
6 Protestan > Katolik atau Yahudi
7 Musim semi, musim gugur > musim panas, musim dingin.
2 Data historik.
1 Riwayat keluarga dengan perilaku bunuh diri
2 Usaha atau perilaku bunuh diri sebelumnya
3 Keadaan medis penyerta
1 Keadaan sakit kronis atau terminal
2 Nyeri kronis
3 Insomnia berat, persisten
4 Hipokondriasis
4 Keadaan psikopatologik terakhir
1 Kontrol impuls yang buruk
2 Pengujian realitas buruk
3 Psikosis
4 Depresi
5 Penyalahgunaan obat atau alkohol
6 Gangguan kepribadian (ambang dan paranoid)
5 Perilaku bunuh diri
1 Cara dan metode letal
2 Maksud yang serius persisten
3 Keinginan dan catatan bunuh diri tertulis
4 Konteks resiko tinggi (tinggal sendiri, tidak ada dukungan sosial)

4.6. Pencegahan bunuh diri


Bunuh diri dapat dicegah. Sementara beberapa kasus bunuh diri tanpa memberikan
peringatan, sebagian besar tidak ada. Pencegahan bunuh diri diantara seseorang yang mencintai
dengan belajar mengenali tanda-tanda seseorang beesiko, perhatikan tanda-tanda itu secara serius
dan ketahui bagaimana merespon mereka. Krisis-krisis emosional yang biasanya mendahului
bunuh diri kebanyakan dapat dikenali dan diobati. Pencegahan bunuh diri pengenalan dini dan
pengobatan depresi serta penyakit pikiatrik lainnya.15
Kebanyakan bunuh diri memberikan peringataan terhadap maksud mereka. Cara paling
efektif untuk mencegah seorang kawan atau seseorang yang dicintai dari bunuh diri adalah
dengan mengenali ketika seseorang beresiko bunuh diri, perhatikan tanda-tanda peringatan secaa
serius dan ketahui cara meresponnya. 15
Perhatikan Secara Serius
Tujuh puluh lima persen dari semua kasus bunuh diri memberikan peringatan terhadap
maksud mereka kepada teman atau anggota keluarganya.
Semua ancaman, percobaan bunuh diri harus diamati secara serius.
Keinginan Untuk Didengarkan
Ambil inisiatif untuk menanyakan apa masalah mereka dan tetap tangani setiap
keengganan untuk menceritakan hal itu.
Jika pertolongan professional diindikasikan, orang yang anda rawat lebih mudah
mengikuti rekomendasi jika anda telah mendengarkannya
Jika teman anda atau orang yang anda cintai depresi, jangan ditakut-takuti dengan
menanyakan apakah dia berpikir bunuh diri, ataupun mereka telah membuat rencana atau
cara melakukannya didalam pikirannya.
Jangan berusaha untuk menyatakan bahwa tidak baik bunuh diri. Lebih baik, biarkan
orang tersebut mengetahui anda menjaga dan mengerti bahwa dia tidak sendiri, bahwa
perasaan bunuh diri hanya bersifat sementara, bahwa depresi dapat diobati dan
masalahnya dapat diselesaikan. Hindarkan godaan dengan mengatakan anda terlalu
banyak mengharap atau bunuh diri anda akan melukai keluarga anda

4.7. Penatalaksanaan
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencegah dan mengobati pasien yang bunuh diri
namun tidak meninggal:15
1 Nilai adanya kecenderungan bunuh diri dan jangan biarkan mereka sendiri, serta
singkirkan semua benda yang potensial berbahaya.
2 Pasien yang baru saja mencoba bunuh diri, nilailah apakah usaha itu telah direncanakan
atau hanya impulsif sesaat saja, sambil menentukan derajat letalitasnya, kemungkinan
pasien pulih kembali (contoh apakah pasien hidup sendiri dirumah, apakah pasien
memberitahu orang lain), reaksi pasien saat ditolong orang (apakah pasien kecewa atau
justru lega hatinya), apakah ada perubahan faktor yang mengarahkan bunuh diri itu
3 Penatalaksanaan sebagian besar tergantung pada diagnosanya. Pasien dengan depresi
berat dapat diobati sebagai pasien berobat jalan apabila keluarganya dapat mengawasi
mereka dengan seksama dan terapi dapat dimulai segera. Tapi bila tidak, rawat inap
diperlukan.
4 Gagasan bunuh diri pada pasien alkoholik biasanya akan membaik dalam beberapa hari
abstinensi. Kebanyakan tak ada terapi spesifik yang diperlukan. Bila tidak membaik
setelah abstinensi, kemungkinan adalah depresi berat Semua pasien dengan intoksikasi
alcohol harus dinilai ulang saat mereka lepas pengaruh alkoholnya.
5 Gagasan bunuh diri pada pasien skizofrenia harus diperhatikan secara serius, karena
mereka cenderung menggunakan cara yang keras dan aneh dengan derajat letalitas yang
tinggi
6 Pasien dengan gangguan kepribadian cenderung mengambil manfaat dari bantuan dan
konfrontasi empatik, dan perlu dilanjutkan pendekatan secara rasional, bertanggung
jawab pada masalah yang mencetuskan dan menyebabkan krisis tsb. Keikut sertaan
keluarga atau teman dan manipulasi lingkungan dapat membantu menyelesaikan krisis
yang membawa pasien pada perilaku bunuh diri.
7 Rawat inap jangka panjang dianjurkan bagi pasien dengan kecendrungan mutilasi diri,
karena rawat inap jangka pendek tidak akan mempengaruhi perilaku yang berulang ini.

8. Tingkat kesadaran pasien dengan percobaan bunuh diri yang dibawa ke UGD dapat
berupa :
a. Kesadaran berkabut sampai koma ( sudah melakukan upaya bunuh diri )
Lakukan pemeriksaan fisik diagnostik, khususnya terhadap tanda-tanda vital bila perlu
lakukan resusitasi jantung-paru ( Airway Breathing Circulation), bila perlu rawat di
ICU
Atasi kondisi fisik akibat tindakan bunuh dirinya, seperti pendarahan,keracunan,luka
terbuka, patah tulang, trauma capitis. Lakukan pemeriksaan penunjang yang perlu untuk
membantu penegakan diagnosis. Setelah kesadarannya compos mentis lakukan evaluasi
psikiatrik dengan sikap yang suportif, tidak menghakimi atau menyalahkan, atau rujuk ke
fasilitas psikiatrik.

b. Kesadaran compos mentis :


Atasi gangguan fisik bila ada, lakukan penilaianperilaku bunuh diri pasien : bila serius
rawat dengan pengawasan yang ketat atau rujuk ke fasilitas psikiatrik, bila bersifat
dramatisisasi lakukan psikoterapi individual atau realitionship therapyatau rujuk bila
disertai depresi, beri terapi antidepresan dan atau rujukbila diduga berkaitan dengan
gangguan kepribadian, rujuk ke fasilitas psikiatrik untuk evaluasi kepribadian dan
psikoterapi, bila dilatarbelakangi oleh skizofrenia dengan bunuh diri atau depresi pasca
skizofrenia perlu dirujuk ke fasilitas psikiatrik karena tentamen suicidum dapat terjadi
secara tak terduga.

5. Kesimpulan
Penyakit kronis seperti diabetes melitus dapat mempengaruhi kondisi psikologis. Gangguan
yang paling sering muncul akibat diagnose diabtes melitus adalah depresi. Depresi adalah
gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental
(berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang. Depresi ditandai dengan dengan perasaan
sedih yang psikopatologis, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang
menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata sesudah sedikit saja dan
berkurangnya aktivitas. Depresi pada pasien diabetes bisa memperburuk gejala-gejala diabetes
dan meningkatan terjadinya komplikasi serta meningkatkan angka kematian.
Daftar Pustaka
1. Safitri Diana. Naskah publikasi: hubungan antara tingkat depresi dengan komplikasi DM
pada RS Surakarta. Surakarta:2013.hal.2-3
2. Firdaus Amalia. Naskah publikasi: hubungan lamanya menderita diabetes melitus tipe 2
terhadap tingkat depresi pada pasien poli penyakit dalam rsd dr. Soebandi jember.
Jember;2013. diunduh dari http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/2343
3. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam. Ilmu penyakit dalam bab 39 tentang
psikosomatik: Aspek psikosomatik pada pasien diabetes melitus. edisi ke-6. Jakarta:
Interna Publishing;2014.hal.3639-46.
4. Douglas Graham, Nicol Fiona, Robertson Colin. Buku pemeriksaan klinis churchill
livingtone. Singapur: Elsevier;2013
5. Fakultas kedokteran universitas kristen krida wacana. Buku panduan ketrampilan klinik
(skills lab). Jakarta;2008.hal.45-83.
6. Tomb DA. Buku saku psikiatri: Krisis akut dan intervensi. edisi ke 6. Jakarta: Penerbit
EGC; 2003. hal.53-6.
7. Mangindaaan L. Buku Ajar Psikiatri: Diagnosis Psikiatrik. Jakarta: Penerbit FKUI; 2010.
P. 71-83.
8. WHO. ICD-10 Classification of Mental and Behavioural. Geneva: WHO; 2005. P. 8-21.
9. WHO. Multiaxial Presentation of The ICD-10 for use in Adult Psychiatry: Glossary of
Clinical Diagnoses.United States of America: Cambridge University Press; 2007. P. 37.
10. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam. Ilmu penyakit dalam bab 27 tentang
diabetes melitus: Terapi non farmakologi pada diabetes melitus. edisi ke-6. Jakarta:
Interna Publishing;2014.hal.2336-45.
11. Fakultas kedokteran universitas indonesia. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta:
FKUI;2012.hal.481-495
12. Kaplan HI, Sadock BJ. Suicide. Pocket handbook of emergency psychiatric. Baltimore:
EGC;1993.
13. Fakultas kedokteran universitas indonesia. Buku ajar psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta:
FKUI;2015.
14. Burt VL. Buku saku psikiatri: Krisis akut dan intervensi. edisi ke 2. Jakarta: Penerbit
EGC; 1997. hal.621-634.
15. Foundation for Suicide Prevention. Diunduh dari: http://www.globalcloud.net. 2007-02-
06.

Anda mungkin juga menyukai