Angka kematian bayi merupakan salah satu indikator mutu pelayanan kesehatan
disuatu negara, untuk indonesia diperhitungkan angka kematian bayi adalah sekitar
58 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan pada beberapa daerah diatas rata- rata
nasional antara 70 98 per 1000 kelahiran hidup, dimana 72 % terjadi pada masa
neonatal.1,2
Dari survey kesehatan rumah tangga ( 1986 ) di dapatkan angka kematian
perinatal sebesar 40 per 1000 kelahiran.3 sedangkan angka kematian perinatal di
Rumah Sakit Pendidikan ( 1980 ) antara 21,7 125,5 per 1000 kelahiran, dimana 70
80 % angka kematian terjadi pada berat badan lahir rendah. 3 Alisjahbana pada tahun
1985, mengemukakan bahwa di Indonesia dan negara berkembang lainnya ( Thailand,
Myanmar dan India ) kematian perinatal untuk bayi bayi berat lahir rendah adalah 5
6 kali lipat dibandingkan dengan bayi bayi yang dilahirkan dengan berat normal,
dan lebih dari 50 % bayi bayi berat lahir rendah ini meninggal pada bulan pertama.4
Angka kesakitan perinatal secara nasional sulit diproleh di beberapa rumah sakit
pendidikan, angka kesakitan perinatal utama yang dapat menyebabkan kematian
perinatal tidak jauh berbeda. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM / FK UI
Jakarta tahun 1987, morbiditas utama bayi baru lahir preterm ialah asfiksia, infeksi
dan hiperbilirubinemia.4
Di Indonesia kelahiran bayi berat badan lahir rendah relatif tinggi yaitu 10 20
%, dan kelahiran preterm menempati proporsi terbesar. Diperkirakan angka kelahiran
preterm 14,6 17,5 % angka kejadian ini kira kira 2 kali angka kejadian dinegara
maju yaitu 8,7 %.5 Wibowo pada penelitian di beberapa rumah sakit di jakarta ( 1991 )
menemukan angka kejadian persalinan preterm 20,4 %.6
Pada bayi preterm didefinisikan sebagai bayi yang lahir sebelum usia kehamilan
mencapai 37 minggu atau sebelum usia kehamilan 259 hari, dihitung dari hari
pertama haid terakhir, karena sulitnya mendapatkan usia kehamilan secara pasti maka
kebanyakan peneliti preterm menggunakan patokan berat bayi lahir sebagai kriteria,
yaitu yang setara dengan 2500 gram atau kurang.1-3,4
2
Sampai sekarang penyebab pasti dari persalinan preterm belum diketahui, namun
beberapa hypotesa telah berkembang yaitu adanya multi faktorial yang menyebabkan
terjadinya persalinan preterm, banyaknya faktor predisposisi yang memegang
peranan, namun terlihat bahwa terjadinya persalinan prematur bergantung pada besar
kecilnya kemampuan faktor predisposisi itu membuat uterus menjadi mudah
terangsang ( iritabel ). Diduga bahwa kondisi klinis adanya infeksi baik di genitalia
maupun adanya infeksi subklinis dicairan amnion dapat menyebabkan terjadinya
persalinan prematur.9,10
Ketuban pecah sebelum waktunya pada kehamilan preterm terjadi 1 % dari
keseluruhan kehamilan dan biasanya mengakibatkan persalinan prematur dalam 1
minggu setelah pecah ketuban. Penyebabnya adalah sebagian besar berasal dari
infeksi kuman kuman streptokokus grup B, chlamidia trachomatis, gonorrhoe, dan
ureaplasma. Pada penelitian invitro memperlihatkan bahwa bakteri mengurangi
ketegangan dan ke elastisan selaput ketuban. Terapi antibiotika dapat melindungi
terhadap pengaruh hal ini.16
Leitich dkk pada suatu penelitian metaanalisa menyatakan bahwa efek samping
yang menguntungkan dari pemberian antibiotika pada penderita preterm dengan
ketuban pecah sebelum waktunya akan berkurang jika pemberiannya bersamaan
dengan glukokortikoid. Sebaliknya apabila pemberian tidak bersamaan kejadian
khorioamnionitis , endometritis pospartum, sepsis neonatorum dan perdarahan
intraventrikular menurun masing masing sebesar 62 %, 50 %, 68 % dan 50%. Hal
ini dikarenakan glukokortikoid memiliki efek berupa penekanan pada sistim
kekebalan tubuh, dosis yang digunakan untuk mempercepat pematangan paru telah
diyakini mempunyai pengaruh yang kecil terhadap terjadinya infeksi pada ibu dan
janin , karena itu hal ini masih kontroversi.16
Penelitian Lewis dkk melakukan penelitian pada penderita preterm dengan
KPSW yang membandingan efek samping dari pemberian injeksi antibiotika
spektrum luas, 12 jam kemudian dilakukan pemberian injeksi kortikosteroid ternyata
kejadian terhadap sindroma gangguan nafas menurun hingga 18,4 % dibanding
terhadap penderita yang tidak dilakukan pemberian injeksi betametasone ( 43,6 % ).
Pemberian injeksi antibiotika bertujuan untuk mengendalikan infeksi subklinis yang
3
sebagian besar terdapat pada penderita preterm dengan KPSW , usaha pengendalian
infeksi yang lain adalah tidak melakukan pemeriksaan vagina toucher.19
Hal ini bertentangan terhadap penelitian Alexander, yang melakukan
penelitian pengobatan dengan antibiotika secara ekspektatif pada penderita KPSW
kehamilan 24 32 minggu, yang dibagi menjadi 2 kelompok masing masing
mendapatkan 1atau 2 kali pemeriksaan servik secara digital dan kelompok tanpa
pemeriksaan servik secara digital. Dari hasil penelitian ternyata pemeriksaan 1 atau 2
kali pada servik secara digital dalam rangkaian penanganan ekspektatif pecah
ketuban pada usia kehamilan 24 32 minggu berhubungan dengan pendeknya masa
laten tetapi tidak memperburuk keadaan baik bagi maternal maupun keluaran
neonatus.21
Liggins dan Howie pada penelitiannya dengan pemberian steroid untuk
memperbaiki fungsi kematangan paru-paru ternyata tidak memperbaiki luaran
kehamilan tetapi berhubungan dengan kejadian sepsis yang dini pada neonatus.20
Persalinan itu sendiri berhubungan dengan prostaglandin, melalui dua jalur yang
berasal dari asam arakhidonat, yaitu suatu asam lemak essensial yang dibebaskan
dari phospholipid melewati aksi dari phospholipase. Asam arakhidonat dapat
dimetabolisme melalui dua jalan, yaitu melalui jalan cyclooxgenase menjadi
leukotrine dan asam lemak gugus hidroksi. Prostaglandin yang berhubungan
langsung dengan mulainya persalinan adalah PGE2 dan PGF2 alfa.12,13
Ada dua tempat yang dikemukakan sebagai asal dari PG pencetus persalinan
yaitu di selaput ketuban ( amnion dan khorion ) dan decidua. Amnion dan khorion
terutama membentuk PGE2 serta PGF2alfa yang diduga terutama terlibat pada
persalinan. Platelet Activating Factor ( PAF) di duga memainkan peranan penting,
faktor ini di hasilkan oleh paru paru dan ginjal janin yang dapat menstimulasi
produksi prostaglandin oleh amnion yang dapat merangsang kontraksi miometrium.
Biosintesa prostaglandin dalam keadaan infeksi dapat dirangsang oleh bakterinya
sendiri atau oleh produk tubuh akibat respon terhadap infeksi itu sendiri.
Mikroorganisme yang diisolasi dari flora vagina adalah sumber phospholipase A2
yang dapat merangsang pengeluaran asam arakhidonat yang penting peranan dalam
produksi prostaglandin.11,13,23,24
4
Pengaruh buruk persalinan preterm dengan KPSW pada umumnya terhadap ibu
tidaklah seburuk terhadap janin atau bayi yang dilahirkan (perinatal ). Risiko
maternal seperti juga risiko perinatal berbanding terbalik dengan usia kehamilan saat
terjadinya kelahiran. Makin lama jarak antara persalinan preterm dan lamanya pecah
ketuban dengan tanggal taksiran kelahiran bayi maka diyakini makin meningkatkan
risiko kejadian infeksi baik pada ibu maupun neonatus.11
Banyak penelitian mengenai penggunaan steroid pada wanita hamil dengan
ketuban pecah sebelum waktunya yang meliputi pemberian antibiotika secara
bersamaan dan hal ini kesulitan membedakan efek samping yang seharusnya
bermanfaat pada terapi tersebut. Untuk menjawab hal ini , terdapat suatu penelitian
randomized trial dimana membandingkan pemberian injeksi antibiotika dan injeksi
betametasone dalam waktu yang sama dengan pemberian injeksi antibiotika tanpa
injeksi betametasone, ini merupakan meta analisa. Analisa ini menunjukkan bahwa
pemberian injeksi antibiotika tanpa injeksi betametasone dalam waktu yang sama
mengurangi resiko terjadinya khorioamninitis, sepsis pada neonatus, endometritis
postpartum dan perdarahan intraventrikular masing masing 72 %, 68 %, 50 %, dan
50 %. Pemberian injeksi betametasone mengurangi efek kerja dari antibiotika dalam
mencegah terjadinya khorioamnionitis dan sepsis pada neonatus. Hipotesa ini
menyokong penelitian acak yang menunjukkan terdapatnya pengurangan yang
bermakna terhadap insidens Sindrom gawat nafas ( 18 % VS 62 % ) tanpa
peningkatan angka kejadian kesakitan disebabkan oleh infeksi ibu dan neonatus
pada wanita hamil yang diinjeksi betametasone pada waktu 12 jam setelah injeksi
antibiotika jika dibandingkan dengan pemberian injeksi dalam waktu yang sama. Hal
ini terjadi karena tingginya kejadian wanita hamil dengan KPSW yang menderita
infeksi subklinis pada saat dirawat di rumah sakit, sehingga kemungkinan
pengobatan yang terbaik pada saat pertama kali masuk ke RS dengan pemberian
antibiotika sehingga dapat mengendalikan infeksi yang telah terjadi.14
Pengaruh yang menguntungkan terhadap pemberian antibiotika pada pasien
preterm dengan KPSW dapat berkurang bila pemberiannya bersama sama dengan
glukokortikoid , yang diketahui bekerja sebagai imunosupresi.17
5
Kejadian infeksi setelah prosedur diagnostik invasif relatif kecil, demikian juga
penyebaran melalui tuba. Secara teoritis penyebaran hematogen dapat terjadi
selama ada infeksi pada ibu yaitu, mikroorganisme melalui sirkulasi ibu mencapai
ruangan inrevillus, kemudian menyebar ke villi khoriales dan sirkulasi janin. Infeksi
yang terjadi lebih banyak secara menjalar keatas ( asenden ) dari serviks dan
vagina.
Ini dapat dibuktikan dari hasil penelitian sebagai berikut :
Khorioamninitis lebih sering dan banyak ditemukan pada tempat robeknya
selaput ketuban dari pada ditempat lain.
Semua kasus pneumonia kongenital pada bayi ditemukan khorioamnionitis
Bakteri yang ditemukan pada infeksi kongenital sama dengan bakteria pada
vagina dan serviks.
Pada kehamilan kembar, khorioamnionitis lebih sering terjadi pada selaput
ketuban anak pertama dari pada selaput ketuban anak kedua. Ini terjadi karena
selaput anak pertama menempati atau menutupi serviks.
Temuan ini semua membuktikan adanya mekanisme infeksi yang berasal dari
vagina dan serviks. Proses mekanisme infeksi yang terjadi dapat dibagi dalam
beberapa tahap penyebaran yaitu :
2. Tahap penyebaran infeksi :
A. Tahap I :
Proses infeksi asenden yang terjadi karena pertumbuhan bakteri /
mikroorganisme patogen yang berlebihan di vagina dan kanalis serviks, ini
terjadi karena perubahan asam di vagina.
B. Tahap II :
Selanjutnya mikroorganisme dapat mencapai kavum uteri dan berdiam di
desidua. Reaksi inflamsi ditempat ini menyebabkan radang ( desiduitis ) dan
dapat meluas menjadi khorionitis. Mikroorganisme ini dapat menyerang
pembuluh darah ibu dan janin ( khorio vaskulitis ) atau melintasi melalui
selaput amnion ( amnionitis ) mencapai rongga amnion yang menyebabkan
infeksi intra uterin.
C. Tahap III :
7
Antibiotika betalaktam adalah yang paling sering dan paling luas digunakan
karena memang efektivitasnya yang tinggi dan tosisitasnya rendah. Penicillin,
cephalosporin dan cephalomycin melakukan aktivitas bakterisidalnya dengan
mekanisme yang lebih kurang sama ; yakni dengan menghambat sintesis dinding sel
bakteri , selanjutnya akan terjadi lisis dan kematian sel bakteri. Telah diketahui bahwa
dinding sel sangat menentukan dalam pertumbuhan dan integritas bakteri tersebut.
Penicillin dan betalaktam lainnya menghambat sintesis dinding sel tersebut, sehingga
dinding sel menjadi lemah selanjutnya kombinasi ketidak seimbangan mekanik dan
osmotik akan menyebabkan kematian bakteri.27
Bakteri menjadi resisten terhadap antibiotika baik secara ekstrinsik yaitu pengaruh
dari luar sel bakteri, maupun secara intrinsik yaitu dari bakteri itu sendiri telah
menjadi resisten terhadap antibiotika namun secara keseluruhan mempunyai
mekanisme sebagai berikut :22,29
1. terjadi gangguan pada reseptor antibiotika didalam sel sel bakteri.
2. Penurunan jumlah antibiotika yang mencapai reseptor dengan cara mengganggu
pemasukan antibiotika pada tempat masuk dan mempercepat pengeluaran dari sel
bakteri.
3. Penghancuran atau menginaktifkan antibiotika oleh enzim yang dihasilkan oleh
bakteri.
4. Membentuk suatu sintesis metabolik yang resisten terhadap antibiotika.
5. Terjadi gangguan pada target molekuler didalam sel sel bakteri.
Setiap bakteri dapat mempunyai setiap mekanisme tesebut, namun dapat pula
mempunyai bebrapa mekanisme tesebut sekaligus yang bekerjanya secara simultan.
Dari semua mekanisme tadi, yang terpenting dapat menghancurkan atau
menginaktifkan antibiotika yang dikenal sebagai enzim beta laktamase. Kemampuan
bakteri untuk memproduksi enzim ini biasanya diproleh ketika bakteri tersebut
menangkap suatu material genetik baru yang dipindahkan oleh plasmid dari bakteri
lain yang telah memproduksi enzim tersebut. Kemampuan tersebut dapat juga diproleh
melalui suatu mekanisme mutasi kromosom pada bakteri dengan adanya pemberian
antibiotika.28,29
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Karijadi EK. Beberapa pengalaman dalam penanganan masalah perawatan bayi kurang bulan
di RSUD DR Sutoma. Kumpulan naskah lengkap Kongres Nasional Pernasia II, Surabaya
1986;277-285
2. Yahya S. Peningkatan pelayanan perinatal dalam pembangunan kesehatan untuk menunjang
penurunan tingkat kematian bayi. Kumpulan naskah lengkap Kongres Nasional Perinasia II
Surabaya 1986;11-22
3. Monintja HE. Perinatologi dan hubungan dengan kualitas manusia. Maj Obstet Ginekol
Indonesia 1989;15:90-101
4. Heubach EM. Preterm birth prevention: evaluation of a prospective controlledrandomized trial.
Am J Obstet 1989:;160:1172-8
5. Wibowo N. prevalensi bacterial vaginosis dan hubungannya dengan persalinan preterm dan
berat lahir rendah. Bagian Obstetri dan Gynekologi FKUI/RSCM. Jakarta 1991
6. Syamsuri AK. Kehamilan preterm, lewat waktu dan pertumbuhan janin terhambat.
Palembang :Bagian Obstetri dan Gynekologi FK UNSRI/RSMH Palembang,1995
7. Bragonier JR, Cushner IM, Hobel CJ. Social and personal factor in the etiology of preterm
birth In: Fuchs F, Stubblefield PG. Eds . Preterm birth : Causes, prevention and management.
NewYork. Macmilan Publishing Company, 1984 ; 66
8. Minkoff H. prematurity : infection as etiologic factor. Obstet Gynecol 1983;62:137-144
9. Lamont RF, Taylor-robinson D, Neyman M,et al. Spontaneous early preterm labour associated
with abnormal genital bacterial colonisation. Br J Obstet Gynaecol 1986;93:804-810
10. Ams JD, Talbert ML, Barrows H, Sachs L. management of preterm prematurely ruptured
membranes: a prospective randomized comparison of observation versus use of steroids and
time delivery. Am J Obstet Gynaecol 1985;151:32-38
11. Mc Gregor JA. Bacterial protese induced reduction of choriomniotic membrane strength and
elasticity. Obstet Gynecol 1987;69:167
12. Rajabi M. High level of serum collagenase in premature labor a potential biochemical marker.
Obstet Gynecol 1987;69:179
13. Romero R. Prostaglandin concentration in amniotic fluid of women with intra amniotic
infection and preterm labor. Am J Obstet Gynecol 1987;157:1461-7
14. Arias F. Pharmacologik treatmen. In: Carera JM, Cabero L, Baraibar R . The perinatal
medicine of the new milenium.5th ed. New york: Mosby Year Book , 2001;596-600 .
15. Lovett SM, Weiss JD, Diogo MJ, et al. A prospektive, double blind, randomized, controlled
clinical trial of ampicillin sulbactam for preterm premature rupture of membranes in women
receiving antenatal corticosteroid therapy. Am J Obstet Gynecol 1997;176:1030-38
16. Leitich H, Egarter C, Reisenberger K, et al. Concomitant use of glucocorticoids: A comparison
of two metaanalyses on antibiotic treatment in preterm premature rupture of membranes. Am J
Obstet Gynecol 1998;178:899-907
17. Vermillion ST, Soper DE, Roark JC. Neonatal sepsis after betametasone administration to
patients with preterm premature rupture of membranes. Am J Obstet Gynecol 1999;181:320-
327
18. Kipikasa J, Bolognese RJ. Obstetric management of prematurity. In: Fanaroff AA, Martin RJ.
Neonatal perinatal medicine:Diseases of the fetus and infant. Sixth Edition. New
york:Mosby-Year Book,1997;264-284
19. Lewis DF, Broady K, Edwards MS. Preterm premature rupture membranes: A randomized trial
of steroids after treatment with antibiotics. Am J Obstet Gynecol 1996;88:801-5
20. Egerman RS, Pierce WF, Andersen RN. Et al. A Comparoson of the bioavailability of oral and
intramuscular dexametasone in women in late pregnancy. Am J Obstet Gynecol 1997;89:276-
80
21. Alexander JM, Mercer BM, Miodunik M et al. The impact of digital cervical examination on
expectantly managed preterm rupture of membranes. Am J.Obstet Gynecol 2000;183:1003-7
22. Netty. Indikator klinis sepsis neonatorum yang berkembang dari bayi baru lahir tersangka
infeksi. Tesis dibagian Ilmu Kesehatan Anak FK. UNSRI:Palembang 1994
23. Badar J. khorioamnionitis pada paersalinan preterm. Tesis dibagian Obstetri dan Ginekologi
FKUI/RSCM. Jakarta 1992
13
24. Yoon BH, Romero R, Park JS et al. The relation ship among inflammatory lesions of the
umbilical cord (funisitis), umbilical cord plasma interleukin 6 concentration, amniotic fluid
infection and neonatal sepsis. Am J Obstet Gynecol 2000;183:1124-9
25. Suharti K. Adrenokortikosteroid, analog-sintetik dan antagonisnya. Dalam : Gan S, Setiabudy
R, Sjamsudin U, Bustami ZS. Editor. Farmakologi dan terapi. Edisi ke tiga. Jakarta : Fakultas
Kedokteran UI, 1987;433-623
26. Jobe AH. The respiratory system. In : Auroyxl, Fanaroff, Richard JM. Neonatal perinatal
medicine. 6 thed. New York : Mosby Year Books inc, 1997;991-6
27. Mercer BM, Carr TL, Beazly DD et al. Antibiotic use in pregnancy and drug resistant infant
sepsis. Am J Obstet Gynecol 1999;817-20
28. Gibbs RS. Microbiology of the female genital tract. Am J Obstet Gynecol 1987;156:491-5
29. Eschenbach DA. A review of the rule of beta laktamse producing bacteria in Obstetric
gynecologic infections. Am J Obstet Gynecol 1987;156:486-503
30. Vintzileos AM, Gaffney SE, Salinger LM et al. The relationship among the fetal biophysical
profile, umbilical cord pH and Apgar score. Am J Obstet Gynecol 1987;157:627-631
31. Hassan R, Alatas H, Latief A, dkk. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 3. Edisi IV. Jakarta:
Percetakan Info Medika, 1985:1147 1162
32. Raju TNK, Vidiasagar D. Neonatal rescuciation. In: Aladjemw, Brown AK, Sureau C. Clinical
perinatology.2nd ed. St. Louis Toronto London : The CV Mosby Company, 1980;460 470
33. Abadi A. Kadar C RP serum ibu sebagai petanda dini infeksi pada persalinan ketuban pecah
sebelum waktu dan hubungannya dengan infeksi pada bayi. Tesis dibagian Obstetri dan
Ginekologi FK.UNSRI:Palembang 1998
34. Marrin M, Paes BA. Birth asphyxia, does apgar score have diagnostiv value. Obstet Gynecol
1988;72:120 123
35. Campoli Richards DM, Brogden RN. Sulbactam / Ampicillin A review of its antibacterial
activity, pharmacokinetic properties and therapeutic use. Auckland:Adis Press Limited,
1987:578 609
14