Anda di halaman 1dari 16

Vitiligo

Definisi

Kata vitiligo berasal dari bahasa latin, vitellus, yang memiliki arti 'veal'
(pucat, merah jambu). Penyakit ini adalah penyakit yang depigmentasi terbatas
yang didapat, dan ditemukan pada semua ras (Hunter et al., 2002). Kata vitiligo
mungkin berasal dari bahasa Yunani, vitelius, yang berarti bercak putih pada
lembu (Habif, 2003). Vitiligo adalah kehilangan pigmen yang didapatkan dan
ditegakkan dengan pemeriksaan histologi dimana didapati tidak adanya melanosit
epidermal (Habif, 2003). Vitiligo adalah penyakit hipomelanosis idiopatik yang
didapat dengan adanya gejala klinis berupa makula putih yang dapat meluas dan
dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel melanosit, misalnya
rambut dan mata (Soepardiman, 2011).

Etiologi dan Klasifikasi

Penyebab dari vitiligo belum diketahui dengan pasti dan terdapat berbagai
faktor pencetus yang sering dilaporkan sebagai penyebab vitiligo, misalnya krisis
ekonomi dan trauma fisis (Soepardiman, 2011). Selain dilihat dari etiologinya,
menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (2011),
vitiligo juga memiliki 2 bentuk yang memiliki ciri khas masing-masing, yaitu:

1. Lokalisata, yang dapat dibagi lagi menjadi: a. fokal: satu atau lebih
makula pada satu area, namun tidak segmental, b. segmental: satu atau lebih
makula pada satu area dengan distribusi sesuai dermatom, misalnya pada satu
tungkai, c. mukosal: hanya terdapat pada membran mukosa.

2. Generalisata Jarang penderita vitiligo lokalisata yang berubah menjadi


generalisata. Hampir 90% penderita secara generalisata dan biasanya simetris.
Vitiligo generalisata dapat dibagi lagi menjadi: a. akrofasial: depigmentasi hanya
terjadi di bagian distal ekstremitas dan muka, yang merupakan stadium mula
vitiligo generalisata, b. vulgaris: makula tanpa pola tertentu di banyak tempat, c.
campuran: depigmentasi yang terjadi menyeluruh atau yang hampir menyeluruh
dan disebut vitiligo total (Halder dan Taliaferro, 2008).

Vitiligo merupakan kelainan piogenik yang multifaktoral dengan


patogenesis yang rumit. Walaupun beberapa teori telah diusulkan untuk
menjelaskan hilangnya melanosit pada epidermal di vitiligo, penyebab utama
vitiligo masih belum diketahui. Perkembangan yang pesat telah terjadi pada 2
dekade yang lalu. Teori yang berkaitan dengan vitiligo adalah autoimun,
sitotoksik, oksidan-antioksidan biokimia, neural, dan mekanisme virus yang
merusak melanosit epidermal. Banyak studi juga menyatakan bahwa peran
genetik sangat signifikan pada kasus vitiligo (Halder dan Taliaferro, 2008).
Vitiligo dan beberapa penyakit autoimun lainnya dilaporkan berhubungan dengan
adanya infeksi dari Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Seyedalinahi et al.,
2009).

Ada juga pengaruh genetik pada kejadian munculnya vitiligo yakni


ditandai dengan penetrasi yang tidak sempurna, berbagai tempat yang rentan, dan
jenis genetik yang beragam. Vitiligo yang diturunkan bisa melibatkan gen yang
berhubungan dengan biosintesis melanin, pengaruh oksidatif stress, dan regulasi
dari autoimun (Halder dan Taliaferro, 2008). Hubungan yang paling sering antara
vitiligo dengan penyakit autoimun berdasarkan hasil pemeriksaan bahwa terdapat
hubungan HLA dengan vitiligo. Beberapa jenis HLA dengan vitiligo pada
berbagai studi termasuk A2, DR4, DR7, dan Cw6 (Halder dan Taliaferro, 2008).

Hubungan antara vitiligo dan penyakit autoimun dengan baik telah


diketahui. Tiroid disorder, Hashimoto tiroiditis dan penyakit Graves, sangat sering
berkaitan dengan vitiligo, bersamaan dengan penyakit endokrin lainnya seperti
penyakit Addison dan diabetes mellitus. Alopesia areata, anemia pernisiosa,
sistemik lupus eritematosus, inflammatory bowel disease, rematoid artritis,
psoariasis dan autoimmune polyglandular syndrome adalah kelainan lain yang
berkaitan dengan vitiligo, tetapi ada makna dari beberapa hubungan ini yang
masih diperdebatkan. Bukti yang paling meyakinkan pada patogenesis autoimun
adalah demonstrasi dari sirkulasi autoantibodi pada pasien vitiligo (Halder dan
Taliaferro, 2008).

Sebagai tambahan pada keterlibatan mekanisme imun humoral di


patogenesis vitiligo, terdapat bukti yang kuat dimana terdapat indikasi proses
imun selular. Kerusakan pada melanosit bisa secara langsung dimediasi oleh
autoreactive cytologic T cells. Peningkatan jumlah sirkulasi limfosit sitotoksik
CD8+ yang reaktif pada melanA/Mart-1 (melanoma antigen yang dikenali oleh sel
T ), glikoprotein 100, dan tirosinase telah dilaporkan pada pasien dengan vitiligo.
Aktivasi Sel T CD8+ telah didemonstrasikan didalam pinggiran luka pada kulit
yang terkena vitiligo. Reseptor Melanocyte-spesific T-cell ditemukan di lapisan
melanoma dan pada pasien vitiligo memiliki struktural yang sama (Halder dan
Taliaferro, 2008).

Epidemiologi

Vitiligo adalah penyakit depigmentasi paling sering dijumpai. Hampir


setengah dari kasus vitiligo muncul sebelum umur 20 tahun. Kedua jenis kelamin
sama-sama terkena vitiligo, dan tidak ada perbedaan yang nyata dalam angka
kejadian menurut jenis kulit dan ras. Nonsegmental (atau generalisasi) vitiligo dan
segmental vitiligo memiliki gejala klinis yang khusus dan riwayat alami.
Nonsegmental vitiligo adalah bentuk yang paling sering pada penyakit ini (tercatat
85-90% dari semua kasus vitiligo), tetapi pada segmental vitiligo, bisa memiliki
onset yang lebih cepat, tercatat 30% pada kasus anak-anak. Pada awal kejadian,
kedua jenis vitiligo baik nonsegmental vitiligo dan segmental vitiligo dapat
menunjukkan fokal vitiligo, yang mana ditunjukkan karakteristiknya oleh bagian
kecil area yang dipengaruhi (<15 cm 2 )

Vitiligo ditemukan pada 0,1-2,9% populasi penduduk dunia, di usia


berapapun, tersering pada usia 10-40 tahun, dengan dominasi pada perempuan. Di
Amerika, sekitar 2 juta orang menderita vitiligo. Di Eropa Utara dialami 1 dari
200 orang. Di Eropa, sekitar 0,5% populasi menderita vitiligo. Di India, angkanya
mencapai 4%. Prevalensi vitiligo di China sekitar 0,19%. Sebagian besar kasus
terjadi sporadis, sekitar 10-38% penderita memiliki riwayat keluarga dan pola
pewarisannya konsisten dengan trait poligenik (Anurogo dan Ikrar, 2014). Pada
vitiligo yang berkaitan dengan pekerjaan, penyakit ini dimulai setelah terpapar
bahan kimia yang toksik terhadap melanosit. Setelah itu, penyakit ini berkembang
menjadi generalisasi vitiligo.

Derivat fenolik/ katekol adalah bahan kimia mayor yang berhubungan


dengan vitiligo, dan dapat menimbulkan kejadian ini. Berbagai jenis alergen yang
menyebabkan allergic contact dermatitis (ACD) memiliki kemungkinan menjadi
faktor pemicu bagi vitiligo kontak atau vitiligo yang berkaitan dengan pekerjaan.
Bagaimanapun, kontak dengan bahan kimia dan allergen telah dilaporkan karena
telah memicu lesi vitiligo. Secara etiologi, telah dilaporkan 864 kasus pada bahan
kimia leukoderma di India. Pewarna rambut (27,4%) adalah kasus tersering yang
dilaporkan sebagai agen kausative, diikuti oleh deodorant atau parfum (21,6%)
dan deterjen atau pembersih (15,4%).

Telah dilaporkan bahwa diantara 29 pasien yang melaporkan faktor


provokasi dari bahan kimia, diduga terdapat vitiligo yang di induksi oleh bahan
kimia seperti captan, paratertiary butyl phenol (PTBP), dan diphencyprone telah
terdeteksi pada 4 pasien. Bahan kimia yang paling berkontribusi adalah PTBP
yang memberikan 50,7% dari agen kausatif. Bahan kimia yang paling sering
terpapar pada kehidupan sehari-hari pasien adalah produk pembersih (30,0%),
diikuti oleh produk kosmetik (17,0%), pewarna rambut (11,4%), dan nikel
(11,2%). Bagaimanapun, hanya 23 pasien (4,9%) mengatakan bahwa semua bahan
bahan kimia ini diduga menjadi pemicu kejadian vitiligo. Diantara 16 pasien yang
menjawab bahwa pewarna rambut memperburuk vitiligo yang telah dideritanya,
hanya 8 pasien yang melaporkan allergic contact dermatitis (ACD) pada pewarna
rambut. Oleh karena itu, allergic contact dermatitis (ACD) pada pewarna rambut
tidak dapat menjadi persyaratan untuk perkembangan vitiligo (Jeon et al., 2014).

Terdapat 30% penderita dari prevalensi di dunia mempunyai riwayat


keluarga. Perkembangan awal dari lesi, sekitar 25% penderita dijumpai pada usia
dibawah 10 tahun, 50% terjadi sebelum usia 23 tahun dan kurang dari 10% terjadi
pada usia lebih dari 42 tahun. Walaupun vitiligo relatif jarang dijumpai pada bayi
tetapi kongenital vitiligo pernah dilaporkan dan kadang kadang didiagnosa
sebagai piebaldism (Lubis, 2009). Pada banyak penelitian, vitiligo lebih banyak
dijumpai pada wanita (dewasa) dibandingkan pada laki-laki (dewasa) yaitu 2-3 :1.
Sedangkan penelitian vitiligo pada anak-anak, dijumpai perbandingan yang
hampir sama pada kedua jenis kelamin. Kemungkinan ini disebabkan wanita
(dewasa) lebih memberikan perhatian terhadap penyakit nya dibandingkan laki-
laki (dewasa), sehingga lebih banyak mendapat pengobatan (Lubis, 2009).

Patogenesis

Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


(2011), ada beberapa patogenesis terbentuknya vitiligo, yakni sebagai berikut:

1. Hipotesis autoimun Ditandai adanya hubungan antara vitiligo dengan


tiroiditis hashimoto, anemia pernisiosa, dan hipoparatiroid melanosit
dijumpai pada serum 80% penderita.
2. Hipotesis neurohumoral Karena melanosit terbentuk dari neuralcrest,
maka diduga faktor neural berpengaruh. Tirosin adalah substrat untuk
pembentukan melanin dan katekol. Kemungkinan adanya produk yang
terbentuk selama sintesis katekol yang mempunyai efek merusak
melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat dan pembuluh
darah terhadap respons transmitter saraf, misalnya asetilkolin.
3. Autotoksik Sel melanosit membentuk melanin melalui oksidasi tirosin
ke DOPA dan DOPA ke dopakinon. Dopakinon akan dioksidasi
menjadi berbagai indol dan radikal bebas. Melanosit pada lesi vitiligo
dirusak oleh penumpukan prekursor melanin. Secara in vitro
dibuktikan tirosin, DOPA, dan dopakrom merupakan sitotoksik
terhadap melanosit.
4. Pajananan terhadap bahan kimia Depigmentasi kulit dapat terjadi
terhadap pajanan mono benzil eter hidrokinon dalam sarung tangan
atau deterjen yang mengandung fenol. Mono benzil eter hidrokinon
mempunyai mekanisme yang sama dengan hidrokinon yakni sebagai
precursor dalam proses melanogenesis, namun penggunaan yang
berlebihan dari mono benzil eter hidrokinon ini dapat mengakibatkan
zat ini dimetabolisme menjadi radikal bebas yang aktif yang dapat
menghancurkan melanosit itu sendiri (Katsambas dan Stratigos, 2001).

Gejala Klinis

Pasien dengan vitiligo akan menunjukkan satu sampai beberapa makula


amelanotik yang berwarna seperti kapur atau putih susu. Lesi vitiligo biasanya
dapat ditentukan batasnya dengan baik, tetapi garis tepinya dapat dijumpai
scalloped. Makula vitiligo dapat dievaluasi dengan pemeriksaan lampu wood.
Perbesaran lesi secara sentrifugal pada kadar yang tidak dapat diprediksi dan
dapat timbul di semua sisi tubuh, termasuk mukosa membran. Walaupun
demikian, lesi inisial lebih sering timbul pada tangan, lengan bawah, kaki , dan
wajah. Ketika vitiligo timbul pada wajah, vitiligo sering melibatkan penyebaran di
daerah perioral dan periokular (Halder dan Taliaferro, 2008).
Diagnosis Banding

Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


(2011) sebagai diagnosis banding vitiligo ialah piebaldisme, sindrom wardenburg,
dan sindrom woolf. Vitiligo segmental harus dibedakan dengan nevus
depigmentosis. Lesi tunggal atau sedikit harus dibedakan dengan tinea versikolor,
pitiriasis alba, hipomelanosis gutata, dan hipopigmentasi pasca-inflamasi. Lepra,
tinea versikolor, tubero sklerosis, nevus anemikus, atau depigmentasi juga
menjadi pertimbangan untuk menegakkan penyakit vitiligo (Barankin dan
Freiman, 2006). Vitiligo sering berhubungan dengan penyakit autoimun.

Prevalensi yang paling berhubungan dengan endorinopati adalah disfungsi


tiroid, baik hipertiroid (Grave diseases) atau hipotiroid (Hashimoto tiroiditis) yang
biasanya didahului dengan onset disfungsi tiroid. Penyakit addison, anemia
pernisiosa, alopesia areata, dan diabetes melitus juga sering terjadi peningkatan
pada pasien dengan vitiligo. Pasien dengan autoimun poliendokrinopati
kandidiasis-ektodermal distropi telah meningkatkan prevalensi vitiligo. Mutasi
dari autoimmune regulator (AIRE) telah ditemukan pada sindrom ini. Pasien
harus dianamnesis tentang gejala gejala kelainan ini (Halder dan Taliaferro, 2008).
Vitiligo bisa mempengaruhi aktivitas melanosit di seluruh tubuh, termasuk sel
pigmen pada rambut, bagian dalam telinga, dan retina. Poliosis (leukotrichia)
terjadi pada banyak pasien. Gangguan pada auditori dan visual terjadi pada
beberapa pasien. Aseptik meningitis bisa menjadi hasil dari kerusakan
leptomeningeal melanosit (Halder dan Taliaferro, 2008).

Beragam diagnosis banding untuk vitiligo antara lain: depigmentasi


diinduksi obat atau topikal, depigmentasi pasca-inflamasi (misalnya: skleroderma,
psoriasis, atopic eczema), depigmentasi pasca-trauma, halo naevus, idiopathic
guttate hypomelanosis, progressive macular hypomelanosis, lepra, lichen
sclerosus (untuk vitiligo genital), melanoma-associated leucoderma, melasma,
mycosis fungoides-associated depigmentation, naevus anaemicus, naevus
hipopigmentasi, naevus of Ito, piebaldism, pityriasis alba, pityriasis versicolor,
tuberous sclerosis. Penyakit/gangguan tersering yang dikira/mirip vitiligo adalah:
tinea (pityriasis) versicolor, piebaldism, dan guttate hypomelanosis (Anurogo dan
Ikrar, 2014).

Penegakan Diagnosis

Lampu wood dapat menegaskan wilayah vitiligo dan membantu mencari


perluasannya. Biopsi kulit tidak biasa di lakukan. Dipertimbangkan pemeriksaan
TSH dan kadar glukosa darah puasa (Barankin dan Freiman, 2006). Menurut
Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (2011) terdapat
beberapa cara untuk mendiagnosis vitiligo, yaitu:

1. Evaluasi klinis Diagnosis vitiligo didasarkan atas anamnesis dan gambaran


klinis. Pada anamnesis ditanyakan: a. awitan penyakit b. riwayat keluarga tentang
timbulnya lesi dan uban yang timbul dini c. riwayat penyakit kelainan tiroid,
alopesia areata, diabetes melitus, dan anemia pernisiosa. d. kemungkinan faktor
pencetus, misalnya stres, emosi, terbakar surya, dan pajanan bahan kimiawi. e.
riwayat inflamasi, iritasi, atau ruam kulit sebelum bercak putih.

2. Pemeriksaan histopatologi Dengan pewarnaaan Hematoksilin Eosin (HE)


tampaknya normal kecuali tidak ditemukan melanosit, kadang-kadang ditemukan
limfosit pada tepi makula. Reaksi DOPA untuk melanosit negatif pada daerah
apigmentasi, tetapi meningkat pada tepi yang berpigmentasi.

3. Pemeriksaan biokimia Pemeriksaan histokimia pada kulit yang diinkubasi


dengan DOPA menunjukkan tidak adanya tirosinase. Kadar tirosin plasma dan
kulit normal. Diagnosis pada vitiligo ditegakkan dengan pemeriksaan fisik.
Bagaimanapun, adanya pertimbangan bahwa terdapat hubungan vitiligo dengan
penyakit autoimun lainnya, beberapa pemeriksaan laboratorium membantu
menegakkan diagnosis, termasuk kadar TSH (thyroid stimulating hormone),
antibodi antinuklear, dan pemeriksaan darah lengkap. Para klinisi juga harus
melakukan investigasi dari serum antitiroglobulin dan antitiroid peroksida
antibodi, khususnya ketika pasien mempunyai tanda dan gejala dari penyakit
tiroid. Antitiroid peroksida antibodi, menjadi tanda yang sensitif dan spesifik dari
kelainan autoimun tiroid. Berdasarkan definisi, penyakit vitiligo adalah penyakit
dimana kurangnya melanosit pada lesi kulit. Demikian juga dengan permukaan
dermal, perivaskular dan limfositik perifolikular infiltrat primer dapat juga
diamati pada batas lesi vitiligo dan lesi awal, yang terdiri dari mediasi sel imun
yang melakukan proses kerusakan melanosit pada vitiligo (Halder dan Taliaferro,
2008).

Penilaian Derajat Keparahan dan Aktivitas Penyakit Pada Vitiligo


Saat ini terdapat berbagai metode untuk penilaian klinis vitiligo. Penilaian
klinis vitiligo mencakup metode subjektif seperti penilaian langsung dengan
cahaya tampak dan digital fotografi hingga penilaian yang objektif seperti
colorimetry dan reflectance confocal microscopy. Beberapa peneliti mencoba
membuat suatu sistem penilaian secara semi-kualitatif yang dapat digunakan
dalam praktek klinis untuk membantu dalam menilai derajat keparahan serta
aktivitas penyakit dan respon terhadap terapi pada vitiligo. Beberapa sistem
penilaian tersebut antara lain Vitiligo European Task Force Assessment (VETFa),
Potential Repigmentation Index (PRI), dan Vitiligo Extent Tensity Index (VETI),
Vitiligo Area Severity Index (VASI), dan Vitiligo Disease Activity (VIDA).
Sayangnya hingga saat ini belum terdapat konsensus yang disepakati mengenai
sistem penilaian klinis vitiligo ini (Kawakami dan Hashimoto, 2011; Alghamdi
dkk., 2012; Benzekri, 2013; Feily, 2014).

Sistem penilaian dari Vitiligo European Task Force, VETFa, terdiri dari
luas lesi, stadium penyakit (staging), dan progresivitas penyakit (spreading). Luas
lesi dinilai menggunakan metode rule of nine, staging dinilai berdasarkan
pigmentasi pada kulit dan rambut dan dibagi menjadi stadium 0-3, sedangkan
spreading digunakan untuk menilai progresivitas penyakit dan dibagi menjadi +1
(progresif), 0 (stabil), -1 (regresif) (Taieb dan Picardo, 2007; Kawakami dan
Hashimoto, 2011). Skor VASI diperkenalkan oleh Hamzavi dkk dan merupakan
metode yang telah terstandarisasi serta sensitif untuk mengukur derajat dan
persentase dari depigmentasi dan repigmentasi.
Skor VASI ini secara konseptual analog dengan skor psoriasis area severity
index (PASI) yang digunakan pada psoriasis. Menurut Alghamdi dkk, skor VASI
bersama penggunaan lampu wood dan rule of nine merupakan metode yang paling
baik yang tersedia untuk menilai lesi pigmentasi dan mengukur luas serta derajat
vitiligo baik secara klinis maupun dalam penelitian dan uji klinis (Alghamdi dkk.,
2012). Dalam penghitungan skor VASI tubuh penderita dibagi menjadi 5 bagian
yaitu tangan, ekstrimitas atas (tidak termasuk tangan), badan, ekstrimitas bawah
(tidak termasuk kaki), dan kaki. Regio aksila dimasukkan dalam ekstrimitas atas
sedangkan regio inguinal dan bokong dimasukan dalam ekstrimitas bawah. Satu
hand unit, yang mencakup telapak tangan dan permukaan volar dari jari tangan
diperkirakan sebanyak 1% dan digunakan untuk menilai jumlah area yang terlibat
di setiap regio.

Derajat depigmentasi ditentukan berdasarkan gambaran lesi yang dinilai


dengan skor 0%, 10%, 25%, 50%, 75%, 90%, 100%. Derajat 100% depigmentasi
berarti tidak ada pigmen yang tampak, pada 90% terdapat bercak pigmen yang
tampak, pada 75% area depigmentasi melebihi area pigmentasi, pada 50% area
yang mengalami depigmentasi dan yang mengalami pigmentasi adalah sama
banyak, pada 25% area pigmentasi melebihi area depigmentasi, pada 10% hanya
terdapat bercak depigmentasi, dan 0% tidak terdapat bercak depigmentasi.
Panduan penilaian gambaran depigemntasi/repigmentasi dapat dilihat pada
gambar 2.1. Untuk setiap bagian tubuh skor VASI ditentukan dengan
menjumlahkan area vitiligo dalam hand units dan derajat depigmentasi dalam
setiap hand unit yang diperiksa dengan skor minimal 0 sampai dengan skor
maksimal 100 menggunakan rumus berikut (Hamzavi dkk., 2004; Kawakami dan
Hashimoto, 2011):
Skor VIDA menggunakan skala 6 poin untuk menilai stabilitas dan
progresivitas penyakit seiring berjalannya waktu. Sistem skoring ini dapat
digunakan untuk membantu menilai efektivitas pengobatan dalam menghentikan
dan mengembalikan area depigmentasi. Skor ini menggunakan penilaian pasien
sendiri mengenai bagaimana perjalanan penyakitnya melalui teknik wawancara.
Skor VIDA yang semakin rendah menunjukkan aktivitas penyakit yang semakin
menurun (Bhor dan Pande, 2006; Alghamdi dkk., 2012). Tabel 2.3. Tabel Sistem
Skor Vitiligo Disease Activity (VIDA) dalam skala 6 poin (Dikutip dari Njoo,
1999)

Aktivitas Penyakit Skor Vida


Aktif dalam 6 minggu terakhir +4
Aktif dalam 3 bulan terakhir +3
Aktif dalam 6 bulan terakhir +2
Aktif dalam 1 tahun terakhir +1
Stabil dalam minimal 1 tahun terakhir 0
Stabil dalam minimal 1 tahun terakhir, -1
dan terjadi repigmentasi spontan
Keterangan: Vitiligo aktif mencakup adanya perluasan lesi lama maupun
munculnya lesi baru

Penatalaksanaan

Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


(2011), pengobatan vitiligo kurang memuaskan. Dianjurkan pada penderita untuk
menggunakan penutup muka agar bagian yang terkena vitiligo tidak tampak.
Pengobatan sistemik adalah dengan trimetilpsoralen atau metoksi-psoralen dengan
gabungan sinar matahari atau sumber sinar yang mengandung ultraviolet
gelombang panjang (ultraviolet A). Dosis psoralen adalah 0.6 mg/kg berat badan
dan 2 jam sebelum penyinaran selama 6 bulan sampai setahun. Pengobatan
dengan psoralen secara topikal yang dioleskan lima menit sebelum penyinaran
sering menimbulkan dermatitis kontak iritan.

Pada beberapa penderita kortikosteroid potensi tinggi, misalnya


betametason valerat 0.1% atau klobetasol propionat 0.05% efektif menimbulkan
pigmen (Soepardiman, 2011). Pada usia dibawah 18 tahun hanya diobati secara
topikal saja dengan salep metoksalen 1% yang diencerkan 1:10 dengan spiritus
dilutus. Cairan tersebut dioleskan pada lesi. Setelah didiamkan 15 menit lalu
dijemur selama 10 menit. Pada usia di atas 18 tahun, jika kelainan kulitnya
generalisata, pengobatannya digabung dengan kapsul metoksalen (10 mg). Obat
tersebut dimakan 2 kapsul (20 mg) 2 jam sebelum dijemur, seminggu 3 kali.

Bila lesi lokalisata, hanya diberikan pengobatan topikal. Jika setelah 6


bulan tidak ada perbaikan pengobatan dihentikan dan dianggap gagal
(Soepardiman, 2011). MBEH (monobenzylether of hydroquinon) 20% dapat
dipakai untuk mengobati vitiligo yang lebih luas dari 50% permukaan kulit dan
tidak berhasil Universitas Sumatera Utara 14 dengan pengobatan psoralen. Bila
tidak ada dermatitis kontak pengobatan dilanjutkan sampai 4 minggu untuk daerah
yang normal (Soepardiman, 2011).
TIPE VITILIGO PENANGANAN
Segmental dan nonsegmental/ Lini pertama : hindari faktor pemicu atau pencetus,
terbatas (melibatkan <2-3% terapi lokal ( kortikosteroid topikal, inhibitor
permukaan tubuh) calcineurin).

Lini kedua : terapi localized narrow-band UVB,


terutama lampu monokromatis excimer atau laser.

Lini ketiga : pertimbangkan teknik pembedahan jika


repigmentasi secara kosmetik di daerah yang terlihat
kurang memuaskan
Nonsegmental (melibatkan >3% Lini pertama : stabilkan dengan terapi narrow-band
permukaan tubuh) UVB minimal 3 bulan, durasi optimal setidaknya 9
bulan jika ada respon ; kombinasikan dengan terapi
topikal, termasuk penguatan (reinforcement) dengan
terapi UVB pada target.

Lini kedua : pertimbangkan kortikosteroid sistemik


atau agen imunosupresif bila terdapat *extension
under narrowband UVB therapy*, namun data
pendukung pendekatan ini terbatas

Lini ketiga : pertimbangkan pembedahan di daerah


yang menunjukkan respons minimal 1 tahun, terutama
di daerah bernilai kosmetik tinggi (misalnya: wajah);
fenomena Koebners dapat merusak kelangsungan
hidup cangkok kulit (graft survival); kontraindikasi
relatif di daerah seperti punggung tangan

Lini keempat : pertimbangkan depigmentasi


(monobenzyl ether of hydroquinone atau hanya
mequinol atau berhubungan dengan Q-switched ruby
laser) jika lebih dari 50% area yang dirawat atau
diterapi tidak berespons atau jika area terlihat amat
jelas, seperti di wajah atau tangan
Sumber : Anurogo dan Ikrar, 2014

Depigmentasi dapat terjadi setelah 2-3 bulan dan sempurna setelah 1


tahun. Kemungkinan akan timbul kembali pigmentasi yang normal pada daerah
yang terpajan sinar matahari dan pada penderita berkulit gelap sehingga harus
dicegah dengan tabir surya (Soepardiman, 2011). Cara lain ialah tindakan
pembedahan dengan tandur kulit, baik pada seluruh epidermis dan dermis,
maupun hanya kultur sel melanosit. Daerah ujung jari, bibir, siku, dan lutut
umumnya memberikan hasil pengobatan yang buruk (Soepardiman, 2011).

Prognosis

Perjalanan penyakit vitiligo dapat bervariasi dan tidak dapat di prediksi.


Repigmentasi spontan yang secara kosmetik memuaskan pasien jarang terjadi.
Bintik repigmentasi pada bercak menandakan bahwa melanosit yang berasal dari
lapisan akar terluar pada folikel rambut memproduksi melanin. Penting untuk
menentukan apakah vitiligonya stabil atau progresif, yang kedepannya
menentukan pemilihan terapi (Sterry et al., 2006). Klinis dari sub-tipe vitiligo
belum dapat memprediksi bagian anatomi yang terkena di masa depan atau
aktivitas dari penyakit ini (Halder dan Taliaferro, 2008).
Referensi :

Erepo.unud.ac.id. (online). Vitiligo. Universitas Udayana.

Repository.usu.ac.id. (online). Vitiligo. Umiversitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai