LAPORAN PRAKTIKUM
ILMU KESEHATAN TERNAK
Disusun Oleh:
Kelompok VIID
LEMBAR PENGESAHAN
Menyetujui,
Mengetahui,
RINGKASAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT karena hanya dengan
ini kepada drh. Siti Susanti, Ph.D selaku koordinator praktikum Ilmu Kesehatan
Ternak dan kepada Vinda Armalani selaku asisten pembimbing yang telah banyak
ini selesai. Tidak lupa Penulis mengucapkan terima kasih terhadap teman-teman
dan semua pihak yang atas kerjasamanya dalam penyusunan sehingga laporan ini
Kami harap, dengan membaca laporan ini dapat memberi manfaat bagi
kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai mata kuliah
Ilmu kesehatan Ternak. Memang laporan ini masih jauh dari sempurna, maka
kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah
Penulis
5
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ............................................................................................................i
ACARA 1. ANAMNESA
ACARA 3. NEKROPSI
LAMPIRAN ...............................................................................................................57
8
DAFTAR ILUSTRASI
No. Halaman
16. Semua yang Nampak setelah Otot Dada dan Perut Dibuka .................................44
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
ACARA 1
ANAMNESA
12
BAB I
PENDAHULUAN
hewan, mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit yang diderita
oleh hewan yang diperiksa (sejarah hewan sebelum sakit, dan keadaan hewan
pada saat sakit). Kegiatan ini sangat efektif untuk memahami kondisi yang ada
kesehatan ternak yang ada. Adapun manfaat dari praktikum ini adalah untuk
BAB II
pukul 09.00 11.00 di peternakan milik Bapak Saryanto Desa Kalisidi, Gunung
Pati, Semarang.
2.1. Materi
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu termometer untuk mengukur
suhu rektal, stetoskop untuk mendengarkan frekuensi denyut nadi dan gerak
rumen, stopwatch untuk mengukur waktu, catatan dan alat tulis untuk mencatat
hasil wawancara. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu domba induk
dan anakan.
2.2. Metode
dengan tanya jawab dengan pemilik peternakan seperti pendidikan peternak, asal
mula beternak, pemilik, alamat, tahun berdiri, ilmu otodidak atau belajar, jumlah
ternak, penyakit yang pernah ada, gejala dan cara menangani, pencegahan
penyakit, jenis pakan dan pemberian pakan, dan cara membersihkan kotoran.
14
jarak kandang, sumber air, suhu udara, tiupan angin, tempat pakan dan minum,
pemeriksaan fisik (suhu rektal, gerakan pernafasan, kecepatan pulsus, gerak usus,
gerak rumen, kondisi feses dan urin), dan pengambilan sampel feses.
15
BAB III
Peternakan domba ini mulai berdiri pada tahun 2013. Jumlah ternak domba yang
penyakit dilakukan dengan cara melihat menurunnya nafsu makan ternak dan
yang dingin serta kandang yang kurang tertutup. Menurut Subronto (2003) bahwa
(Vermi parasol) , obat kutu ( Subkutan ), setiap sebulan sekali. Jenis pakan yang
diberikan pada ternak adalah hijauan berupa rumput lapang dan rumput gajah
serta diberi konsentrat. Bapak Suryanto member pakan dombanya dua kali sehari,
waktu pemberian pakan pada pukul 08.00 dan 22.00 malam. Pagi hari pukul 08.00
domba di beri konsentrat 400 gram/ekor setelah konsentrat habis diberi hijauan
berupa rumput lapang dan rumput gajah. Malam hari pukul 22.00 domba hanya
Jarak kandang dengan rumah sekitar 50 meter, jarak kandang tersebut sudah
cukup baik karena tidak terlalu dekat dengan rumah atau pemukiman. Selain
ternak domba terdapat ternak kambing dan ayam di area kandang tersebut.
Sumber air didapat dari jet pom, suhu lingkungan kandang 29C dan kecepatan
bahwa lokasi kandang sebaiknya agak jauh minimal 10 m dari rumah penduduk.
rempah, pohon durian dan rumput lapangan. Sehingga membuat sejuk dan
setengah terbuat dari bambu, alas dari bilah kayu. Kondisi kandang yang bersih,
tidak lembab dan tidak becek membuat ternak nyaman berada di dalam kandang.
Menurut pendapat Zaida et al (2008) menyatakan bahwa kandang domba ada dua
tipe yaitu tipe permanen dan semi permanen. Sebaiknya dalam pembuatan tempat
pakan dan tempat minum bagi ternak domba adalah permanen. Pada sekitar
menambahkan bahwa tidak ada masalah apabila di sekitar peternakan domba ada
3.1.2. Tatalaksana
berikut:
kebersihan ternak domba dan kandang selalu terjaga yaitu ditandai dengan bulu
pada domba bersih, tidak terdapat kutu (ektoparasit), kondisinya sehat, serta
kandang yang cukup bersih ditandai dengan tidak ada timbulnya bau yang tidak
sedap atau menyengat. Hal tersebut dikarenakan ternak domba selalu dimandikan
secara rutin yaitu 1 minggu sekali dan pembersihan kotoran atau feses domba
tersebut yaitu dengan cara disiram menggunakan air yang bertekanan tinggi agar
bahwa domba sebaiknya dimandikan secara rutin seminggu sekali agar tubuhnya
19
tidak kotor dan tidak menjadi sarang penyakit. Berdasarkan pendapat Nugroho
kandang dua kali sehari pada pagi dan sore hari, kegiatan kebersihan kandang ini
Pakan yang diberikan pada ternak domba yaitu konsentrat sebanyak 400
g/ekor/hari yang diberikan pada pukul 08.00 WIB, dan hijuan yaitu rumput
lapangan dan rumput gajah diberikan setelah konsentrat tersebut telah habis,
kemudian pada pukul 22.00 WIB ternak domba diberikan pakan tambahan yaitu
baik adalah sesuai dengan kebutuhan nutrisi ternak dan jumlahnya disesuaikan
dengan status fisiologis ternaknya, serta domba memerlukan bahan pakan berupa
ransum, selain itu pola pemberian pakan tersebut dapat merangsang aktivitas
mikroba rumen sehingga dapat meningkatkan daya cerna dan konsumsi hijauan.
Penyakit yang sering terjadi pada ternak domba yaitu influenza (flu)
ditandai dengan adanya lendir yang sering keluar pada hidung domba dan nafsu
makan juga menurun. Cara penanganan penyakit influenza (pilek) pada ternak
domba yang terkena penyakit tersebut yaitu ternak domba dijemur dengan cara
diumbarkan (exercise) agar ternak domba dapat memperoleh sinar matahari secara
langsung dan aktif untuk bergerak. Pencegahan penyakit pada ternak domba yaitu
20
setiap bulan domba diberikan vaksin, obat cacing (vermin prazoi), obat kutu
ternak domba, oleh karena itu ternak domba harus sehat, kandang harus bersih, air
minum diberikan teratur dan bersih, dan penyakit yang sering terjadi pada ternak
domba yaitu bloat (kembung), cacing, dan kudis (kurap, scabies). Darmono dan
penyakit pada ternak domba yaitu a). manajemen pemeliharaan meliputi sistem
meliputi kebersihan, dan c). wabah (outbreak), selain itu pencegahan yang dapat
selalu dibersihkan, cukup ventilasi, tidak lembab dan populasinya tidak terlalu
padat.
21
Pengamatan jarak jauh dapat dilihat bahwa ternak domba baik induk
maupun anakan memiliki kondisi tubuh yang sehat dan bobot badan yang
memenuhi, hal ini dapat diketahui dengan melihat bentuk kaki yang simetris
antara depan dan belakang, bulu yang halus dan bersih, nafsu makan yang tinggi,
punggung lurus dan memiliki proporsi tubuh yang baik. Menurut pendapat
Bambang (1990) yang menyatakan bahwa domba yang baik memiliki punggung
lurus, dada dalam dan lebar serta tidak cacat, kaki lurus dan alat kelamin normal.
Dijelaskan lebih lanjut oleh pendapat Mulyono (2011) yang menyatakan bahwa
domba yang baik memiliki ciri-ciri yaitu ukuran badan besar, perut normal, dada
kesehatan yang baik, hal ini ditunjukkan dari ternak yang memiliki sikap tanggap
yang cepat ketika peternak datang, ternak tidak memiliki kelainan tubuh, kondisi
lubang tubuh seperti mulut, telinga, mata, anus, alat kelamin, dan putting bersih.
Hal ini sesuai dengan pendapat Bambang (1998) yang menyatakan bahwa ternak
yang memiliki kesehatan yang baik ditandai dengan bagian mulutya tidak
mengeluarkan lendir, kaki simetris, dan mata besinar. Ditambahkan oleh Santosa
(2010) menyatakan bahwa struktur kaki yang lurus dan simetris akan lebih kuat
menopang berat badan ternak daripada kaki yang tidak lurus dan simetris, karena
beban berat tubuh akan ditahan dengan seimbang oleh kedua kaki.
umum dalam keadaan sehat. Untuk domba induk, frekuensi nafas 40/menit, suhu
rektal 38,10C, denyut nadi 72/menit, dan gerak rumen 1/menit. Sedangkan domba
anakan, frekuensi nafas 60/menit, suhu rektal 38,20C, denyut nadi 75/menit, dan
gerak rumen 2/menit. Kondisi ini menunjukkan domba dalam kondisi normal
dilakukan secara umum sudah baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Tajiddudin (2006) bahwa rata-rata frekuensi nafas domba antara 20,00 - 43,96,
Sedangkan untuk gerak rumen menurut (Widiyono et al., 2003) mulai dapat
terdeteksi pada umur 4 minggu (28-33) dengan frekuensi sebesar 0,63 kali/menit
(umur 84-90 hari). peningkatan aktivitas gerak rumen berkaitan dengan aktivitas
rumen yang telah dimulai dan semakin meningkat sejak umur 4 minggu.
24
BAB IV
4.1. Simpulan
Secara umum kondisi peternakan dan kesehatan ternak dalam kondisi yang
baik, hal ini karena memang peternak sangat memperhatikan kesehatan ternaknya.
Ini terlihat dari pemberian obat cacing dan kutu yang diberikan setiap sebulan
sekali.
4.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Darmono dan Hardiman. 2011. Penyakit Utama yang Sering Ditemukan pada
Ruminansia Kecil (Kambing dan Domba). Workshop Nasional, Bogor.
Jahi, A. (2005). Bagaimana Respon Petani Miskin di dua Desa Tepi Hutan, di
Kecamatan Ujung Jaya Kabupaten Sumedang, Sumedang.
Ludgate, P. J. 2006. Sukses Beternak Kambing dan Domba. Agro Inovasi, Jakarta.
Supriajatna, E., U. Atmarsono, dan Ruhyat K. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Zaida, Handarto dan Natari. 2008. Analisis Pengubahan Iklim Mikro didalam
Kandang Domba Garut dengan Metode Pengendalian Pasif. Garut.
27
ACARA 2
PEMERIKSAAN
PARASIT
28
BAB I
PENDAHULUAN
menyerang kulit manusia. Jenis parasit dibagi menjadi 2 yaitu ektoparasit dan
endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidup di permukaan tubuh dari suatu
organisme atau inang. Maka dari itu sangat penting untuk memahami tentang
mikroskopis pada feses dan lebih memahami karakteristik dari ektoparasit dan
endoparasit. Adapun manfaat yang diperoleh dari praktikum ini adalah untuk
laboratorium.
29
BAB II
2.1. Materi
Bahan yang digunakan adalah feses domba ekor gemuk induk dan anakan.
Alat-alat yang digunakan yaitu mortar untuk menghaluskan feses, pipet tetes
untuk mengambil bahan cair, mikroskop untuk mengamati objek, tabung sentifuse
untuk wadah feses, larutan gula jenuh untuk memisahkan pertikel padat dan cair,
preparat awetan parasit untuk pengamatan karakteristik fisik parasit, dan gelas
2.2. Metode
Mengambil feses induk sebanyak 1-2 gram, meletakkan kedalam mortal dan
larutan feses tersebut dengan pipet tetes dan meletakkan di gelas objek lalu
dengan perbesaran 10 x 10. Kemudian mencatat hasil dalam lembar yang tersedia.
tabung sentrifuse hingga tiga per empat bagian tabung. Putar tabung sentrifuse
selama 5 menit. Menuangkan air pada bagian atas, kemudian tambahkan air gula
menit. Setelah itu meletakkan tabung tegak lurus pada rak tabung reaksi. Menetesi
kembali dengan cairan gulan jenuh sampai penuh dan permukaan tabung menjadi
cembung karena zat dalam tabung reaksi penuh hampir luber. Menempelkan gelas
objek pada permukaan tabung tersebut secara rapat. Lalu membalik tabung
dengan cepat dan balik lagi ke posisi semula secara hati-hati. menutup bagian
gelas objek yang terkena zat dalam tabung dengan menggunakan kaca penutup.
Melakukan pengambilan data secara duplo. Setelah itu mengamati gelas objek
awetan tersebut, menggolongkan parasit awetan yang ada menjadi dua yaitu
BAB III
feses domba induk dan anakan dengan metode natif tidak ditemukan adanya telur
cacing. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ternak tersebut sehat dan tidak terserang
penyakit cacingan. Ternak yang sehat tidak terlepas dari manajemen kesehatan
ternak yang diterapkan oleh peternak, misalnya kebersihan kandang, pakan, dan
pemberian obat cacing setiap periode tertentu. Menurut pendapat Soejoto dan
Soebari (1996) menyatakan bahwa tidak ditemukannya telur cacing karena feses
diperoleh dari ternak sehat. Ternak yang sehat biasanya dipelihara dengan
manajemen yang baik seperti perkandangan yang selalu bersih dan kepadatan
dalam kandang yang ideal serta diberi pakan yang cukup dan berkualitas. Selain
itu juga dilakukan pencegahan penyaki cacing secara rutin sehingga ternak tidak
indukan dan anakan dengan metode sentrifus dapat diketahui bahwa kedua ternak
domba tersebut sehat. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya telur cacing
pada kedua sampel feses domba tersebut. Faktor utama tidak adanya telur cacing
pada feses yaitu lingkungan yang bersih, pakan, dan iklim. Lingkungan yang
bersih dapat dilakukan misalnya dengan sanitasi kandang dan lingkungan sekitar
kandang, dan memandikan ternak. Pakan juga harus dibebaskan dari parasit,
misalnya dengan melayukan dahulu pakan hijauan yang akan diberikan pada
ternak. Iklim juga sangat berpengaruh dalam fluktuasi suhu dan kelembapan yang
Akhira et al. (2013) yang menyatakan bahwa kesesuaian suhu dan kelembaban
feses menetas dan menjadi larva infektif yang akan menginfestasi inang, hal ini
kasus cacingan pada ternak. Ditambahkan oleh Reinecke (1983) yang menyatakan
bahwa sanitasi yang buruk, khususnya jika feses tidak dibersihkan secara teratur,
dapat menjadikan sumber infeksi ulang yang berkelanjutan dan cacingan pada
ternak. Penyakit cacingan dapat diobati atau dicegah dengan pemberian obat
cacing sesuai parasit atau cacing yang tumbuh. Menurut pendapat Tan dan
menujukkan gejala klinis terinfeksi parasit dan pengobatan diberikan dengan cara
33
3.2.1. Ektoparasit
bovis.
sebagai berikut.
yaitu memiliki bentuk yang sama seperti caplak karena bentuknya seperti
34
serangga kecil berwarna hitam dan bersifat parasit yang biasa hidup pada ternak
yaitu berkaki empat seperti kutu pada umumnya. Berdasarkan pendapat Ahmad
(2004) menyatakan bahwa boophilus microplus atau caplak memiliki kulit yang
keras dan berumah satu (hidup pada satu ekor hewan. Selain itu, daur hidupnya
Boophilus microplus terdiri dari telur, larva, nimfa, dan dewasa. Daur hidup
Boophilus microplus dari larva sampai dewasa dapat menempel pada satu individu
induk semang yang sepanjang waktu terus menghisap darah. Selain itu gejala
klinis yang nampak pada ternak yaitu kerusakan pada kulit, ternak menjadi tidak
tenang karena gatal, berat badan menurun, penurunan kondisi umum dan
ivermectin, dan yang masih dalam taraf penelitian ialah obat yang berasal dari
tanaman tradisional.
telah dilakukan yaitu, Cteno cephalides canis mempunyai ciri-ciri fisik berbentuk
seperti lebah, memiliki warna kuning kecoklatan, dan mempunyai sayap. Priyanto
bundar, gigi satu dan dua tidak mempunyai panjang yang sama. Menurut Dobler
stadium yaitu telur, larva, pupa, dewasa. Cteno cephalides canis betina bertelur
diantara rambut inang. Jumlah telur yang dikeluarkan pinjal betina berkisar antara
3-18 butir. Cteno cephalides canis betina dapat bertelur 2-6 kali sebanyak 400-
500 butir selama hidupnya Menurut Wall (1997) Cteno cephalides canis
menjadi larva dan tumbuh menjadi dewasa. Parasit ini ditualarkan melalui
sebagai berikut.
tubuh pipih. Bovicola bovis sering disebut juga kutu penggigit sapi yang
menyebabkan flek atau bercak pada kulit sapi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Ako (2011) selain Haematopinus eurysternus dan Lignognathus vituli, parasit luar
seperti Bovicola bovis termasuk caplak yang sering menyerang pada ternak perah
Bovicola bovis memiliki 4 tahapan siklus hidup mulai dari telur, larva, nimfa dan
dewasa dan salah satu spesies yang paling umum ditemukan pada sapi di
Montana. Bovicola bovis memiliki kepala kemerahan dan perut cokelat pucat
dengan garis-garis cokelat agak gelap. Betina dewasa panjangnya sekitar 1-16
inci. Spesies ini memperoleh makanan untuk energi dan produksi telur dengan
makan pada kulit, ketombe dan rambut hewan. Kutu menggigit sering ditemukan
37
di bagian atas belakang, terutama daerah layu dan akan menyebar ke tubuh bagian
3.2.2 Endoparasit
berikut.
yang pipih memanjang, strukturnya elastis, dan berwarna putih. Menurut Suwandi
(2001) Moniezia sp. termasuk dalam cacing kelas cestoda (cacing pita) yang
bentuk larva, infeksi umumnya oleh larva dalam kista yang hidup dalam usus
kecil pada sapi dan kerbau. Menurut Adiwinata dan Sukarsih (1992) siklus hidup
Moniezia sp. dimulai dari telur atau proglotid akan keluar bersama feses dan akan
mencemari rumput yang ada pada lapangan, telur yang berada pada feses akan
termakan oleh tungau dari jenis galumna, orbatid. Didalam tubuh tungau telur
yang ermakan akan berkembang menjadi L4 dan tungau akan termakan bersama
rumput pada saat sapi atau domba, kambing merumput dan pada usus halus ternak
cacing akan berkembang menjadi cacing dewasa yang akan menempel pada
mukosa usus ternak. Menurut Anyaegbunam et al. (2013) Moniezia sp. meskipun
sedikit, tetapi rentan ditemukan pada kambing. Tempat kegemaran yang lebih dari
daerah perut, dada, kaki dan punggung, yang mungkin yang memiliki lebih sedikit
sebagai berikut.
bentuk pipih menyerupai daun dan berwarna abu-abu serta di tengahnya terdapat
warna kekuningan atau lebih terang. Hal ini sesuai dengan pendapat Tabbu (2002)
daun, pipih dorsoventral, tidak memiliki bentuk bahu yang jelas, tidak bersegmen,
dan tidak memiliki rongga badan. Menurut Budianto et al., (2005) Siklus hidup
cacing Fasciola gigantica terdiri atas 2 fase, yaitu aseksual dan seksual. Daur
hidup aseksual berlangsung pada dua hospes, yaitu siput dan tanaman air,
sedangkan daur hidup seksual terjadi dalam hospes definitif. Hospes definitif
mengalami ekskistasi dan segera menembus mukosa usus untuk menuju ke hati.
Peristiwa ini akan menyebabkan haemorrhagi dan fibrosis pada jaringan hospes
pada jaringan terluka. Ditambahkan oleh Guntoro (2012) yang menyatakan bentuk
tubuh Fasciola gigantica adalah segi tiga, pipih dan terlihat seperti daun,
sebagai berikut.
menyerang ayam maupun unggas lainnya. Biasanya parasit ini menyebar melalui
kotoran ayam. Hal ini Sesuai dengan pendapat Levine dan Norman (2001) yang
penyebarannya melalui kotoran ayam yang sakit atau alat-alat yang digunakan.
Hadi (2004) menyatakan siklus hidup cacing pita umumnya melewati inang antara
seperti serangga (lalat dan kumbang), serta cacing tanah. Peran inang antara itu
pula yang menjadikan cacing pita mudah tersebar luas. Telur yang keluar bersama
feses akan bersifat aktif di lingkungan, sehingga kemudian dapat termakan dan
BAB IV
4.1. Simpulan
Pemeriksaan parasit pada sampel feses tidak ditemukan adanya cacing, hal
ini menunjukkan ternak dalam kondisi sehat. Pengamatan parasit pada preparat
4.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Akhira, D., Yudha, F., dan Hasan, M. 2013. Indentifikasi parasit nematoda saluran
pencernaan anjing pemburu (Canis familiaris) Di Kecamatan Lareh Sago
Halaban Provinsi Sumatra Barat. Jurnal Medika Veterinaria. Vol 7 No (1).
Ako Ambo. 2011. Buku Ajar Produksi Ternak Perah. Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Anyaegbunam, Lucy C., Obi, Zita. C., dan Ezeoke Chinasa M. 2013.
Ectoparasitosis and Endoparasites in Local Goats (Capra hircus) In
Onitsha, Anambra State, Nigeria. International Journal of Fauna and
Biological Studies; 1 (2): 1-3
Darmono Dan Hardiman. 2011. Penyakit Utama Yang Sering Ditemukan Pada
Ruminansia Kecil (Kambing Dan Domba). Workshop Nasional
Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil Balai. Besar Penelitian
Veteriner, Bogor.
Dobler, G., dan Peffer. 2011. Fleas as Parasites of The Family Canidae. Biomed
Central. 4 : 139
Guntoro, S. 2012. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisius, Yogyakarta.
Hadi, U. K dan Saviana, S. 2000. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosis, dan
Pengendaliannya. Institute Pertanian Bogor, Bogor.
Harjopranjoto, S., R.S. Sasmita, Partosoewignjo, M. Hariadi, R.B. Soejoko, dan
Sarmanu.1988. Prosiding Simposium Nasional Penyakit Satwa Liar.
Fakultas Kedokteran Hewan Airlangga dan Kabun Binatang Surabaya.
Johnson Gregor. 2010. Management of Lice on Livestock. Montana State
University. MSU Extention.
44
Tan, H.T. dan K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat Penggunaan dan
Efek Sampingnya. Edisi ke-6. PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Wall, R., Shaw S.E., Penaliggon J. 1997. The Prevalence Of Flea Species On Cats
And Dogs In Ireland. Medical And Veterinary Entomology 11: 404-406.
45
ACARA 3
NEKROPSI
46
BAB I
PENDAHULUAN
dilakukan dengan cara membedah atau membuka rongga tubuh sehingga fisik
digunakan dalam hal pemeriksaan unggas yang diduga telah terjangkit penyakit.
Hal ini dilakukan agar dapat diketahui penyakit yang diderita oleh unggas
tersebut agar peternakan terhindar dari kerugian finansial yang lebih besar. Maka
dari itu nekropsi sangat penting untuk dipelajari, mengingat pentingnya menjaga
Tujuan dari praktikum ini adalah agar praktikan lebih terlatih dalam
melakukan nekropsi pada unggas dan mampu menganalisa penyakit yang diderita
oleh unggas. Manfaat dari praktikum ini adalah agar praktikan lebih memahami
secara mendalam mengenai karakteristik penampilan luar dan organ dalam unggas
BAB II
Unggas yang dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 30 November 2014 pukul
Diponegoro, Semarang.
2.1. Materi
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau dan untuk
mematikan serta membedah ayam, gunting untuk membedah organ dalam ayam,
plastik untuk alas mengamati organ dalam ayam, spuit untuk mengambil darah
ayam, alat tulis untuk mencatat hasil pengamatan. Sedangkan bahan yang
digunakan adalah ternak ayam broiler (pedaging) serta darah sebanyak 3 cc.
2.2. Metode
unggas, jenis kelamin, umur, kepala, kaki, bulu, dan organ-organ dalam ayam
dimasukkan dalam tabung gelas secara hati-hati, darah dialirkan lambat melalui
2.2.3. Nekropsi
ayam tersebut terus direst-in hingga sampai benar-benar sudah mati. Meletakkan
ayam tersebut pada alas plastik dengan posisi punggung di atas. Memaksakan
tekan kedua paha kearah bawah (arah lateral) agar lebih leluasa dalam melakukan
nekropsi.
49
BAB III
ayam broiler dalam kondisi lemah, mata tidak cerah, warna jengger merah muda,
dubur bersih dan bulu ayam bersih. Menurut Fadilah dan Agustin (2004) ciri
ayam broiler yang sehat yaitu ayam aktif, lincah, mata dan muka cerah (tidak
mengantuk), bulu cerah berminyak, tidak kusam, kaki kokoh, berdiri tegak, dan
bentuk tubuh proporsional. Krista dan Bagus (2010) menambahkan bahwa ayam
yang sehat memiliki anus yang bulat, lebar dan basah, kulit terlihat tegar dan
berikut :
pengambilan darah pada resimen ayam pedaging sebagai objek pengamatan, yaitu
pengambilan darah dilakukan pada saluran darah vena brachialis yang terdapat
pada bagian bawah sayap menggunakan spuit (alat suntik). Pengambilan darah
tersebut dilakukan untuk menguji adanya antibodi yang terkandung dalam darah
hasil serum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa darah pada ayam
berwarna kekuningan yang dihasilkan pada bagian atas darah yang telah
mengendap pada bagian bawah. Hal ini sesuai dengan pendapat Sianita et al.
(2011) yang menyatakan bahwa cara pengambilan serum, yaitu dengan cara
yang ada di sayap (vena brachialis), lalu darah yang ada didalam spuit tersebut
didiamkan hingga terjadi pemisahan serum (diberikan sedikit ruangan udara pada
spuit). Ernawati et al. (2008) yang menyatakan bahwa pengambilan darah ayam
dilakukan untuk mengetahui titer antibodi yang ditimbulkan, selain itu semakin
tingginya titer antibodi yang dihasilkan maka menunjukan bahwa semakin tinggi
memiliki fungsi yang sangat banyak salah satunya yaitu untuk mendekteksi
adanya antibody yang terkandung didalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sianita et al. (2011) yang menyatakan bahwa gambaran darah merupakan salah
satu parameter dari status kesehatan hewan karena darah mempunyai fungsi
hormon, panas, dan imun tubuh maupun berkaitan dengan keseimbangan cairan
dan pH tubuh.
52
3.3. Nekropsi
kulit ayam, kemudian jaringan dibawah kulit dan dilanjutkan dengan pembedahan
berikut :
permukaan kulit ayam yaitu permukaan kulit normal ditandai dengan kulit
berwana putih atau kuning cerah, bersih, dan tidak terdapat perubahan atau gejala
penyakit yang timbul pada permukaan kulit ayam. Hal ini sesuai dengan pendapat
ayam segar (sehat) dan ayam bangkai yang disebabkan sakit yaitu memiliki
perbedaan warna, terutama pada ayam segar (sehat) memiliki warna kulit kuning
terang, sedangkan pada ayam bangkai (sakit) memiliki warna kulit yaitu kuning
pucat kemerahan. Huminto (2000) menambahkan bahwa pada ayam yang sakit
biasanya terdapat kerusakan pada kulit dengan ditandai timbulnya benjolan pada
kulit, seperti halnya penyakit marek dengan gejala klinisnya yaitu timbulnya
dalam keadaan bersih, basah mengkilat dan cerah. Sedangkan pada jaringan
daging terlihat bersih dan berwarna cerah. Hal ini menunjukkan jaringan dibawah
kulit dalam kondisi baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Afrianti et al (2013)
yang menyatakan bahwa daging ayam sehat berwarna cerah putih kekuningan.
54
bahwa salah satu ciri ayam terkena penyakit AI (Avian Influenza) yaitu terdapat
ptekhiae subkutan pada kaki dan paha. Menurut Fadilah dan Agustin (2011)
apabila terjadi peradangan bawah kulit (Cellulitis) maka akan terlihat tanda pada
jaringan kulit penutup tampak kering dan tidak berwarna. Menurut Tabbu (2000)
jaringan subkutan dari kulit akan mengalami kerusakan biasanya berwarna kelabu
atau kecokatan dan diantara bendel otot dapat ditemukan adanya gas.
3.3.3. Pemeriksaan Semua yang Nampak setelah Otot Dada dan Perut Dibuka
Kondisi yang teramati bahwa isi rongga dadadan rongga perut dalam
kondisi bersih, tidak ada banyak air yang menggenangi organ dalam dan tidak ada
timbunan lemak, kantong udara bersih dan tidak keruh. Kondisi ayam seperti ini
dpat dikatakan ayam dalam keadaan sehat. Hal ini sesuai dengan pendapat Salim
et al., (2010) bahwa ciri-ciri ayam sakit yaitu organ hati, ginjal, jantung, dan
Keadaan isi rongga dada dan perut tidak terdapat timbunan lemak, hal ini
dipengaruhi oleh pakan atau ransum yang diberikan oleh ayam. Hal ini sesuai
kelainan, pada dinding usus halus terdapat bercak merah atau peradangan.
Menurut Ardana (2011) hampir semua jenis penyakit pada ayam menunjukkan
adanya peradangan pada usus baik ringan maupun berat. Bahkan pada ayam yang
tidak mau makan atau ukuran pakan yang terlalu besar juga dapat menyebabkan
usus memang agak relatif sulit dibedakan antara ND, AI ataupun dengan penyakit
bakterial. Isi saluran pencernaan tidak terdapat cacing. Tidak adanya cacing
baik sehingga ayam sehat dan tidak cacingan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Ashenafi dan Eshetu (2004) bahwa penyebab ayam terserang cacingan yaitu
(2009) ciri ayam yang terkena cacing yaitu mendadak lesu, diare, radang usus
disertai diare jika terinfeksi berat. Pada pengamatan saluran percernaan bertujuan
untuk memeriksa keadaan organ pencernaan apakah ayam terserang penyakit atau
bahwa penyakit pada ternak dapat dilihat dari keadaan organ pencernaannya.
57
berwarna hijau tua. Kondisiini dapat dikatakan hati dalam keadaan baik. Hal ini
sesuai dengan pendapat Nickel et al., (1997) bahwa hati yang normal yaitu
memiliki warna merah cerah, konsistensi normal dan ukuran yang pas sesuai umur
dan jenis ayamnya. Menurut Mc Lelland (1990) bahwa hati yang normal berwarna
coklat kemerahan atau coklat terang dan bila pakan yang diberikan berlemak
sistem peredaran darah, karena jantung terdiri dari otot yang mampu memompa
darah untuk dialirkan ke seluruh tubuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso
(2000) yang menyatakan bahwa jantung terdiri atas sekumpulan otot berfungsi
memompa darah kesemua bagian tubuh dan merupakan pusat sistem peredaran
darah. Pada jantung ayam broiler yang diamati mempunyai ukuran 4 cm, warna
merah, selaput jantung berwarna putih dan tipis, dan jantung kenyal dan tidak
mudah hancur. Hal ini menandakan bahwa jantung paada unggas tersebut dalam
keadaan sehat, karena tidak ada kelainan yang nampak. Kelainan pada jantung
biasanya dapat dilihat dari warna, bentuk, serta ukuran. Hal ini sesuai dengan
organ vital yang berperan dalam sirkulasi darah, dan jantung yang terinfeksi
penyakit maupun racun bisanya akan menglami perubahan pada ukuran jantung.
59
organ yang mempunyai fungsi dalam pembentukan dan pengeluaran kencing. Hal
ini sesuai dengan pendapat Akoso (2000) yang menyatakan bahwa ginjal
bertanggung jawab terhadap produksi air seni yang dikeluarkan lewat salurannya
melalui uretra. Selain itu ginjal juga berfungsi pada proses penyerapan dalam
metabolisme dalam tubuh unggas. Ukuran ginjal unggas yang diamati yaitu 5,5
cm, dengan warna merah muda, pada ginjal tidak menampakkan kelainan. Hal ini
menandakan bahwa ginjal dalam keadaan sehat. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sugita et al. (2006) yang menyatakan bahwa adanya kerusakan pada ginjal ni
putih, ukuran 10 cm, ini menandakan bahwa pankreas pada unggas tersebut sehat.
Karena tidak ada kelainan yang nampak pada pankreas ayam broiler yang diamati.
Hal ini sesuai dengan Akoso (2000) yang menyatakan bahwa pankreas adalah
jaringan kelenjar yang teletak di belakang lambung dan bagian yang besar terletak
merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan pankreas pada ternak, karena
semakin tinggi bobot badan maka kerja pankreas untuk mengubah glikogen
menjadi energi dengan bantuan hormon insulin semakin besar, sehingga kerja
unggas pada pemeriksaan trachea diketahui bahwa ayam broiler sehat. Hal ini
ditandai dengan warna trachea putih bersih dan tidak memiliki isi pada
percabangan trachea. Hal ini sesuai dengan pendapat Damayanti et al., (2012)
yang menyatakan bahwa ternak unggas yang tidak sehat ditandai dengan selaput
lendir trakea dan laring mengalami nekrosa, pendarahan, dan terdapat lendir
serous sampai kaseus. Pendapat tersebut diperkuat oleh Rasyaf (2008) yang
menyatakan bahwa salah satu ciri - ciri kelainan atau penyakit pada ternak unggas
unggas pada pemeriksaan paru - paru ternak unggas ayam broiler diperoleh hasil
warna merah, konsistensi normal, kenyal, tidak mudah hancur. Pada uji apung,
paru - paru mengapung yang menunjukkan bahwa paru - paru tersebut masih
terdapat oksigen dan memiliki kesehatan yang cukup baik. Hal ini sesuai dengan
pendapat Damayanti et al., (2012) yang menyatakan bahwa paru paru yang
sehat tidak mengalami peradangan, kantung udara tidak menebal dan suram.
disease merupakan penyakit pada pada unggas yang di tandai dengan limpa
membesar dan kongesti, pendarahan pada proventiculus dan usus halus, dan paru
unggas pada pemeriksaan syaraf diperoleh hasil warna syaraf putih, ukuran 5 cm,
dan keadaan normal serta tidak terjadi pembengkakan. Hal ini menunjukkan
bahwa ternak unggas tersebut tidak sehat. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso
(2000) yang menyatakan bahwa dalam tubuh hewan terdapat tiga macam sistem
syaraf yaitu sistem syaraf pusat, sistem syaraf tepi, dan sistem syaraf simpatetik.
Salah satu penyakit yang disebabkan oleh kerusakan pada syaraf yaitu Marek.
Kelainan pada Marek merupakan kerusakan syaraf dan tumor limfoid. Kerusakan
syaraf pada Marek dapat terjadi pada susunan syaraf pusat maupun perifer (tepi).
(2003) menyatakan bahwa kerusakan pada otak, batang otak, dan syaraf perifer
BAB IV
4.1. Simpulan
dalam kondisi baik karena tidak ditemukanya parasit seperti cacing pada
pencernaan ayam. Namun ditemukan bintik-bintik merah pada usus ayam yang
pasti penyakit apa yang diderita ayam. Hal ini karena peradangan di usus agak
relatif sulit dibedakan antara ND, AI ataupun dengan penyakit bakterial lainya.
4.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA