Jbptitbpp GDL Alfurqonni 27740 3 2007ta 2 PDF
Jbptitbpp GDL Alfurqonni 27740 3 2007ta 2 PDF
DASAR TEORI
Koreksi geometrik dilakukan karena terjadi distorsi geometrik antara citra hasil
penginderaan dan objeknya. Distorsi geometrik adalah ketidaksempurnaan geometri
citra yang terekam pada saat pencitraan, hal ini menyebabkan ukuran, posisi, dan
bentuk citra menjadi tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Ditinjau dari sumber
kesalahannya, distorsi geometrik disebabkan kesalahan internal dan kesalahan
7
eksternal [JARS, 1992]. Kesalahan internal lebih banyak disebabkan oleh geometrik
sensor dan bersifat sistematik sedangkan kesalahan eksternal disebabkan oleh bentuk
dann karakter objek data tersebut. Secara tegas Jensen (1996) menggolongkan distorsi
geometrik menjadi dua, yaitu distorsi geometrik sistematik dan tidak sistematik.
Distorsi geometrik yang bersifat sistematik disebabkan oleh banyak faktor dan harus
dikoreksi terlebih dahulu sebelum citra digunakan. Menurut Pohl (1996), penyebab
distorsi geometrik yang penting antara lain: rotasi bumi selama perekaman data, efek
kelengkungan bumi, variasi tinggi dan gerak wahana satelit, variasi tinggi permukaan
tanah, dan sudut pandang perekaman. Pada umumnya distorsi geometrik yang
bersifak sitematik telah dikoreksi oleh pengelola satelit, karena parameter koreksinya
hanya diketahui pemilik satelit.
Untuk melakukan koreksi distorsi geometrik yang bersifat tidak sistematik dapat
dikoreksi dengan menggunakan posisi geografik (titik kontrol tanah) yang
terdistribusi merata diseluruh citra [ENVI, 1994; Jensen, 1996]. Posisi geografik ini
ditentukan dari beberapa obyek yang mudah diidentifikasi pada citra, sehingga
diperoleh koordinat dalam sistem geografik (X,Y) dan dalam sistem koordinat citra
(X,Y) (sebagai titik sekutu). Selanjutnya citra dikoreksi dengan sistem transformasi,
misalnya dengan transformasi Affine atau dengan Polinomial.
Pemilihan rumus transformasi atau orde Polinomial yang akan dipakai tergantung
pada distrosi geometrik yang terjadi. Penentuan jumlah dan distribusi titik kontrol
tanah akan mempengaruhi akurasi koreksi geometrik. Pada persamaan polinomial
dengan orde t, maka jumlah minimal titik kontrol tanah yang diperlukan, n, mengikuti
persamaan berikut :
Untuk koreksi yang meliputi daerah yang tidak terlalu luas dan distrosi tidak terlalu
besar digunakan polinomial derajat 1 atau Affine 2 D.
8
Root Mean Square error (RMSE)
Root Mean Square Error (RMSE) merupakan parameter yang digunakan untuk
mengevaluasi nilai hasil dari pengamatan/pengukuran terhadap nilai sebenarnya atau
nilai yang dianggap benar. RMSE ini dihitung pada saat transformasi koordinat
selesai dilakukan. Caranya dengan menguji beberapa titik pada citra hasil koreksi
geometrik terhadap titik kontrol tanah yang sudah tereferensi dengan sistem proyeksi
tertentu. Secara umum, persamaan untuk menghitung besarnya RMSE dalam bidang
dua dimensional adalah sebagai berikut :
Standar Deviasi
Untuk mengetahui tingkat akurasi geometrik citra hasil rektifikasi digunakan konsep
RMSE, sedangkan untuk mengetahui tingkat ketelitian titik pada citra hasil rektifikasi
digunakan konsep standar deviasi.
Standar deviasi merupakan konsep akurasi yang menunjukkan tingkat ketelitian atau
kedekatan setiap data dengan data lainnya dalam pengamatan terhadap suatu objek.
Nilai standar deviasi digunakan untuk mengetahui tingkat presisia dan akurasi dari
data citra hasil transformasi yang digunakan dalam merektifikasi citra.
n
x = {(Xi-Xi)2
i=1 . (2.3)
n-u
9
n
y = {(Yi-Yi)2
i=1 . (2.4)
n-u
Dimana :
x = Standar deviasi komponen x
y = Standar deviasi komponen y
x,y = Standar deviasi resultan
X,Y = Koordinat titik kontrol
X,Y = Koordinat citra hasil koreksi geometrik
n = Jumlah pengamatan
u = Jumlah parameter
10
Model Forest Canopy Density (FCD) atau Rikimaru merupakan model yang dipakai
untuk menghitung persentasi tutupan tajuk Atsusi Rikimaru merupakan orang yang
menemukan model ini, yang kemudian model ini dikembangkan untuk memantau
status kesehatan hutan. Tutupan tajuk merupakan salah satu parameter yang sangat
penting untuk menilai karakter suatu hutan yang dimanfaatkan oleh Model FCD ini.
FCD didasarkan pada fenomena pertumbuhan hutan dan menggambarkan tingkat
kerusakan hutan. Forest Canopy Density (FCD) mempunyai 4 komponen indeks
yang mempengaruhinya, yaitu VI (Vegetation index), BI (Bare Soil index), SI
(Shadow index) dan TI (Thermal index). Komponen indeks vegetasi memberikan
respon pada semua objek tumbuhan (vegetasi) seperti hutan dan padang rumput.
Indeks vegetasi lanjut (Advanced vegetation index = AVI) memberikan respon yang
lebih peka terhadap kuantitas vegetasi. Tabel berikut memperlihatkan hubungan tiap
komponen indeks.
Tabel 2.1. Karakteristik Kombinasi antara Empat Indeks
FCD FCD TANAH
INDEKS SEMAK
TINGGI RENDAH TERBUKA
AVI Tinggi Sedang Tinggi Rendah
BI Rendah Rendah Rendah Tinggi
SI Tinggi Sedang Rendah Rendah
TI Rendah Sedang Sedang Tinggi
(Sumber: Rikimaru, 1997)
Dari tabel karakteristik keempat indeks komponen Model FCD dengan kondisi hutan
dapat dilihat bahwa, keadaan hutan yang mempunyai vegetasi rapat menyebabkan
bayangan yang lebih banyak artinya SI mempunyai nilai yang besar, dan memiliki
nilai tanah terbuka atau BI yang sedikit, serta berkorelasi dengan keadaan temperatur
yang rendah (nilai TI rendah). Kondisi hutan yang sehat menunjukkan tutupan tajuk
yang padat, sedangkan tutupan tajuk yang terpencar pencar atau tidak adanya tutupan
menunjukkan kondisi hutan yang sebaliknya. Tetapi perlu diperhatikan bahwa nilai
maksimum VI (vegetation index) tidak tergantung pada kepadatan pohon atau hutan.
Semua komponen indeks ini didapat dari band 1 sampai 6 citra Landsat ETM.
Hubungan parameter dengan tiap band pada citra dapat dilihat pada gambar 2.1.
berikut.
11
Gambar 2.1. Hubungan Komponen Indeks FCD dengan Band di Citra Landsat
Pengolahan lanjut Indeks vegetasi ini merupakan perhitungan dari beberapa band
dengan maksud untuk lebih menonjolkan satu karakteristik objek. Dari pengolahan
AVI ini akan ditonjolkan karakteristik dari vegetasi.
12
lahan hutan pada rentang yang kontinyu mulai dari kondisi vegetasi tinggi hingga
tanah terbuka dapat diketahui. Rumus yang digunakan dalam penhitungan Bare Soil
Index adalah sebagai berikut :
BI = ((B5+B3)-(B4+B1))/ ((B5+B3)+(B4+B1))x100+100 (2.9)
0 < BI < 200
Keterangan :
B1 = Band 1 Citra Landsat
B3 = Band 3 Citra Landsat
B4 = Band 4 Citra Landsat
B5 = Band 5 Citra Landsat
13
L = "gain" * QCAL + "offset" ....................................................... (2.11)
14
Tabel 2.3 konstanta kalibrasi Band Termal
K1 K2
-2 -1 -1
( W.m .ster .mm ) Kelvin
Landsat 7 666.09 1282.71
Nilai indeks Forest Canopy Density (FCD) dihitung dengan menggunakan formula :
15
Gambar 2.2 Interpretasi gelombang radar
Parameter yang didapat dari citra SAR ialah koefesian Radar Backscattering (0-
sigma nol). Nilai 0 merupakan besarnya energi elektromagnetik yang dipantulkan
kembali oleh sebuah piksel menuju sensor radar [Leberl,1990]. Nilai 0 menyatakan
rasio antara energi sinyal pantulan dengan energi sinyal yang dipancarkan oleh sensor
dan mempunyai satuan desibel (dB).
Perhitungan koefesian Radar Backscattering dari citra JERS-1 SAR yang telah
terkoreksi geometrik dengan menggunakan formula sebagai berikut [Isoguchi ,1998]:
Suatu observasi dan pemodelan koefesian Radar Backscattering yang dilakukan pada
kawasan hutan di Perancis oleh ilmuwan Thuy Le Toan dan Nicolas Floury
menunjukkan nilai radar backscatter sebagai fungsi dari kerapatan vegetasi dengan
polarisasi HH band L dan sudut datang 54, yang cukup dekat dengan sudut datang
JERS-1 yaitu 35 (Gambar 2.3).
16
Dari pemodelan yang dilakukan oleh ilmuwan Thuy Le Toan dan Nicolas Floury kita
dapat memperhitungkan kerapatan vegetasi (pohon perhektar, t/ha) berdasarkan
koefesian Radar Backscattering yang didapatkan dari pengolahan citra radar JERS-1
SAR.
17