Anda di halaman 1dari 11

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Penginderaan Jauh


Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang suatu objek atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu
alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji [Lillesand
dan Kiefer, 1990]. Sistem penginderaan jauh terdiri dari lima komponen dasar, yaitu
sumber tenaga, atmosfer, interaksi antara tenaga dengan benda di muka bumi, sensor,
dan sistem pengolahan data dan berbagai penggunaannya.

Kenampakan objek diakibatkan oleh pantulan gelombang elektromagnetik yang


berasal dari sinar matahari yang dipantulkan objek sesuai dengan sifat fisik yang
dimilikinya [Suwijanto, 1997].

Berdasarkan jenis sensor yang dibawa, satelit penginderaan jauh digolongkan


menjadi dua, yaitu:
1. Satelit pasif, yaitu satelit yang membawa sensor pasif. Satelit ini hanya
menangkap gelombang yang dipancarkan oleh suatu objek dari permukaan bumi.
Contoh satelit pasif antara lain: Landsat, NOAA, Ikonos, SPOT, dan lain-lain.
2. Satelit aktif, yaitu satelit yang membawa sensor aktif. Sensor yang ada pada satelit
memancarkan gelombang mikro, gelombang mikro tersebut diterima sekaligus
dipantulkan kembali oleh objek di permukaan bumi. Gelombang pantul ini yang
kemudian diterima oleh sensor satelit. Contoh satelit aktif antara lain: JERS, ERS,
Radarsat, dan lain-lain.

2.1.1 Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik dilakukan karena terjadi distorsi geometrik antara citra hasil
penginderaan dan objeknya. Distorsi geometrik adalah ketidaksempurnaan geometri
citra yang terekam pada saat pencitraan, hal ini menyebabkan ukuran, posisi, dan
bentuk citra menjadi tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Ditinjau dari sumber
kesalahannya, distorsi geometrik disebabkan kesalahan internal dan kesalahan

7
eksternal [JARS, 1992]. Kesalahan internal lebih banyak disebabkan oleh geometrik
sensor dan bersifat sistematik sedangkan kesalahan eksternal disebabkan oleh bentuk
dann karakter objek data tersebut. Secara tegas Jensen (1996) menggolongkan distorsi
geometrik menjadi dua, yaitu distorsi geometrik sistematik dan tidak sistematik.

Distorsi geometrik yang bersifat sistematik disebabkan oleh banyak faktor dan harus
dikoreksi terlebih dahulu sebelum citra digunakan. Menurut Pohl (1996), penyebab
distorsi geometrik yang penting antara lain: rotasi bumi selama perekaman data, efek
kelengkungan bumi, variasi tinggi dan gerak wahana satelit, variasi tinggi permukaan
tanah, dan sudut pandang perekaman. Pada umumnya distorsi geometrik yang
bersifak sitematik telah dikoreksi oleh pengelola satelit, karena parameter koreksinya
hanya diketahui pemilik satelit.

Untuk melakukan koreksi distorsi geometrik yang bersifat tidak sistematik dapat
dikoreksi dengan menggunakan posisi geografik (titik kontrol tanah) yang
terdistribusi merata diseluruh citra [ENVI, 1994; Jensen, 1996]. Posisi geografik ini
ditentukan dari beberapa obyek yang mudah diidentifikasi pada citra, sehingga
diperoleh koordinat dalam sistem geografik (X,Y) dan dalam sistem koordinat citra
(X,Y) (sebagai titik sekutu). Selanjutnya citra dikoreksi dengan sistem transformasi,
misalnya dengan transformasi Affine atau dengan Polinomial.

Pemilihan rumus transformasi atau orde Polinomial yang akan dipakai tergantung
pada distrosi geometrik yang terjadi. Penentuan jumlah dan distribusi titik kontrol
tanah akan mempengaruhi akurasi koreksi geometrik. Pada persamaan polinomial
dengan orde t, maka jumlah minimal titik kontrol tanah yang diperlukan, n, mengikuti
persamaan berikut :

n = (t+1) (t+2) .................................................................... (2.1)


2
dimana :

n : jumlah titik kontrol yang dibutuhkan


t : orde persamaan yang diterapkan

Untuk koreksi yang meliputi daerah yang tidak terlalu luas dan distrosi tidak terlalu
besar digunakan polinomial derajat 1 atau Affine 2 D.

8
Root Mean Square error (RMSE)
Root Mean Square Error (RMSE) merupakan parameter yang digunakan untuk
mengevaluasi nilai hasil dari pengamatan/pengukuran terhadap nilai sebenarnya atau
nilai yang dianggap benar. RMSE ini dihitung pada saat transformasi koordinat
selesai dilakukan. Caranya dengan menguji beberapa titik pada citra hasil koreksi
geometrik terhadap titik kontrol tanah yang sudah tereferensi dengan sistem proyeksi
tertentu. Secara umum, persamaan untuk menghitung besarnya RMSE dalam bidang
dua dimensional adalah sebagai berikut :

( x ' xorig ) 2 + ( y ' yorig )2


RMSerror = .......................(2.2)
n
dimana :
(x',y') merupakan koordinat citra hasil koreksi geometrik
(x,y)orig merupakan koordinat titik kontrol tanah pada bidang referensi
n : jumlah GCP
Besarnya nilai RMS yang dapat diterima adalah sebesar 0,5 piksel. Biasanya nilai
ketelitian itu adalah 0,5 satuan terkecil dan satuan terkecil pada citra itu adalah piksel,
dengan demikian dapat ditentukan nilai ketelitian yang dapat diterima pada citra ini
berkisar sekitar 0,5 piksel.

Standar Deviasi
Untuk mengetahui tingkat akurasi geometrik citra hasil rektifikasi digunakan konsep
RMSE, sedangkan untuk mengetahui tingkat ketelitian titik pada citra hasil rektifikasi
digunakan konsep standar deviasi.
Standar deviasi merupakan konsep akurasi yang menunjukkan tingkat ketelitian atau
kedekatan setiap data dengan data lainnya dalam pengamatan terhadap suatu objek.
Nilai standar deviasi digunakan untuk mengetahui tingkat presisia dan akurasi dari
data citra hasil transformasi yang digunakan dalam merektifikasi citra.

n
x = {(Xi-Xi)2
i=1 . (2.3)
n-u

9
n
y = {(Yi-Yi)2
i=1 . (2.4)
n-u

x,y = x 2 + y 2 ........................................................................ (2.5)

Dimana :
x = Standar deviasi komponen x
y = Standar deviasi komponen y
x,y = Standar deviasi resultan
X,Y = Koordinat titik kontrol
X,Y = Koordinat citra hasil koreksi geometrik
n = Jumlah pengamatan
u = Jumlah parameter

2.1.2 Speckle pada Citra Radar


Sensor radar merekam berbagai macam gelombang pantul dari beragam objek
permukaan bumi.Hal ini akan mengakibatkan terjadinya interferensi yang bersifat
konstruktif atau dekstruktif diantara gelombang tersebut. Interferensi dekstruktif akan
menimbulkan bintik-bintik hitam atau kelabu (speckle) pada citra radar. Speckle
dalam jumlah besar dapat menyebabkan citra radar menjadi tidak jelas. Untuk
mereduksi speckle pada citra radar dapat dilakukan proses filtering.

2.2 Konsep Forest Canopy Density


Canopy dalam cakupan Kehutanan merupakan bagian teratas dari suatu vegetasi yang
menutupi dasar pohon dan melindunginya dari angin dan badai
[http://en.wikipedia.org/wiki/Canopy]. Walaupun canopy melindungi daerah
dibawahnya dari angin dan badai akan tetapi daerah dibawahnya akan lebih sedikit
mendapatkan sinar matahari dan air hujanbiasa disebut mahkota pohon. Dengan
demikian, Canopy juga menyebabkan tanah yang tertutupinya akan memiliki vegetasi
yang lebih sedikit. Canopy biasa disebut juga dengan mahkota pohon atau tutupan
tajuk.

10
Model Forest Canopy Density (FCD) atau Rikimaru merupakan model yang dipakai
untuk menghitung persentasi tutupan tajuk Atsusi Rikimaru merupakan orang yang
menemukan model ini, yang kemudian model ini dikembangkan untuk memantau
status kesehatan hutan. Tutupan tajuk merupakan salah satu parameter yang sangat
penting untuk menilai karakter suatu hutan yang dimanfaatkan oleh Model FCD ini.
FCD didasarkan pada fenomena pertumbuhan hutan dan menggambarkan tingkat
kerusakan hutan. Forest Canopy Density (FCD) mempunyai 4 komponen indeks
yang mempengaruhinya, yaitu VI (Vegetation index), BI (Bare Soil index), SI
(Shadow index) dan TI (Thermal index). Komponen indeks vegetasi memberikan
respon pada semua objek tumbuhan (vegetasi) seperti hutan dan padang rumput.
Indeks vegetasi lanjut (Advanced vegetation index = AVI) memberikan respon yang
lebih peka terhadap kuantitas vegetasi. Tabel berikut memperlihatkan hubungan tiap
komponen indeks.
Tabel 2.1. Karakteristik Kombinasi antara Empat Indeks
FCD FCD TANAH
INDEKS SEMAK
TINGGI RENDAH TERBUKA
AVI Tinggi Sedang Tinggi Rendah
BI Rendah Rendah Rendah Tinggi
SI Tinggi Sedang Rendah Rendah
TI Rendah Sedang Sedang Tinggi
(Sumber: Rikimaru, 1997)

Dari tabel karakteristik keempat indeks komponen Model FCD dengan kondisi hutan
dapat dilihat bahwa, keadaan hutan yang mempunyai vegetasi rapat menyebabkan
bayangan yang lebih banyak artinya SI mempunyai nilai yang besar, dan memiliki
nilai tanah terbuka atau BI yang sedikit, serta berkorelasi dengan keadaan temperatur
yang rendah (nilai TI rendah). Kondisi hutan yang sehat menunjukkan tutupan tajuk
yang padat, sedangkan tutupan tajuk yang terpencar pencar atau tidak adanya tutupan
menunjukkan kondisi hutan yang sebaliknya. Tetapi perlu diperhatikan bahwa nilai
maksimum VI (vegetation index) tidak tergantung pada kepadatan pohon atau hutan.
Semua komponen indeks ini didapat dari band 1 sampai 6 citra Landsat ETM.
Hubungan parameter dengan tiap band pada citra dapat dilihat pada gambar 2.1.
berikut.

11
Gambar 2.1. Hubungan Komponen Indeks FCD dengan Band di Citra Landsat

2.2.1 Advanced Vegetation Index (AVI)


Menghitung Nilai Advanced Vegetation Index(AVI) dengan menggunakan
formula :
B43 = B4 - B3.................................................................................................. (2.6)
Kasus a : B43 < 0 AVI = 0 ............................................................................ (2.7)
Kasus b: B43 > 0 AVI = (( B4+1) x ( 255-B3) x B43) 1/3............................... (2.8)
Keterangan :
B3 = Band 3 Citra Landsat
B4 = Band 4 Citra Landsat

Pengolahan lanjut Indeks vegetasi ini merupakan perhitungan dari beberapa band
dengan maksud untuk lebih menonjolkan satu karakteristik objek. Dari pengolahan
AVI ini akan ditonjolkan karakteristik dari vegetasi.

2.2.2 Bare Soil Index (BI)


Nilai indeks vegetasi tidak dapat diandalkan apabila wilayah penelitian tertutupi oleh
adanya vegetasi yang kurang dari setengah cakupan citranya. Untuk perkiraan status
vegetasi yang lebih handal maka digunakan metode indeks tanah terbuka atau yang
dikenal dengan Bare Soil Index (BI) yang memformulasikan informasi yang berasal
dari sinar inframerah. Landasan logis dari pendekatan ini merupakan sebuah
hubungan resiprokal yang tinggi antara status tanah terbuka dengan vegetasi. Dengan
mengkombinasikan indeks vegetasi dengan tanah terbuka dalam analisis maka status

12
lahan hutan pada rentang yang kontinyu mulai dari kondisi vegetasi tinggi hingga
tanah terbuka dapat diketahui. Rumus yang digunakan dalam penhitungan Bare Soil
Index adalah sebagai berikut :
BI = ((B5+B3)-(B4+B1))/ ((B5+B3)+(B4+B1))x100+100 (2.9)
0 < BI < 200
Keterangan :
B1 = Band 1 Citra Landsat
B3 = Band 3 Citra Landsat
B4 = Band 4 Citra Landsat
B5 = Band 5 Citra Landsat

2.2.3 Shadow Index (SI)


Salah satu karekteristik yang unik dari sebuah hutan merupakan struktur tiga dimensi
yang dimiliki oleh masing-masing hutan. Dengan menggunakan data inderaja kita
dapat mengekstraksi informasi struktur sebuah hutan. Informasi struktur hutan dapat
diperoleh dengan menggunakan metode yang menguji karakteristik bayangan dengan
memanfaatkan informasi spektral dari bayangan hutan dan informasi suhu hutan yang
dipengaruhi oleh bayangan. Indeks bayangan (Shadow Index) diformulasikan dengan
ekstraksi band visual seperti berikut :

SI = ((255-B1) x (255-B2) x (255-B3)) 1/3 ................................................ (2.10)


Keterangan :
B1 = Band 1 Citra Landsat
B2 = Band 2 Citra Landsat
B3 = Band 3 Citra Landsat

2.2.4 Thermal Index (TI)


Terdapat dua faktor yang menyebabkan rendahnya suhu relatif hutan, yang pertama
disebabkan adanya efek bayangan dari tajuk yang menahan dan menyerap panas dari
matahari, faktor yang kedua ditimbulkan karena adanya proses evaporasi dari
permukaan daun yang dapat mengurangi proses perambatan panas. Formulasi indeks
termal (suhu) yang dibuat didasari oleh adanya fenomena tersebut. Sumber informasi
termal berasal dari band inframerah ( Band 6) dari Landsat 7 ETM+ yang dirubah
nilainya menjadi radiansi dengan menggunakan persamaan :

13
L = "gain" * QCAL + "offset" ....................................................... (2.11)

L = ((LMAX - LMIN)/(QCALMAX-QCALMIN)) * (QCAL-QCALMIN) +


LMIN
Dimana :
L = radiansi spektral pada sensor dalam watts/(meter squared * ster * m)
"gain" = Rescaled gain dalam watts/(meter squared * ster * m)
"offset" = Rescaled bias dalam watts/(meter squared * ster * m)
QCA L = nilai piksel terkalibrasi yang telah dikuantisasi ke dalam DN
LMIN = radiaansi spektral yang diskalakan ke QCALMIN dalam
watts/(meter squared * ster * m)
LMAX = radiansi spektral yang diskalakan ke QCALMAX dalam
watts/(meter squared * ster * m)
QCALMIN = kuantisasi minimum dari nilai piksel terkalibrasi dalam DN
= 1 (LPGS Products)
= 0 (NLAPS Products)
QCALMAX = kuantisasi maksium dari nilai piksel terkalibrasi (berkaitan dengan
LMAX) dalam DN (255)

Tabel 2.2. Nilai Rentang Radiansi Spektral TM+


Sebelum 1 Juli 2000 Setelah 1 Juli 2000
Low Gain High Gain Low Gain High Gain
Band LMIN LMAX LMIN LMAX LMIN LMAX LMIN LMAX
6 0 17.04 3.2 12.65 0 17.04 3.2 12.65
Sumber (ltpwww.gsfc.nasa.gov)
Selanjutnya setelah nilai kecerahan band 6 dirubah menjadi bentuk radians maka
untuk menghitung indeks termal digunakan formula di berikut ini :

T = K2 / (ln (K1/L + 1)) ............................................................................... (2.12)


Dimana : T = Temperatur yang terekam oleh satelit (Kelvin)
K2 = Konstanta kalibrasi 2 (Tabel 2)
K1 = Konstanta kalibrasi 1 (Tabel 2)
L = Radiansi spektral (W.m-2.ster-1.mm -1)

14
Tabel 2.3 konstanta kalibrasi Band Termal
K1 K2
-2 -1 -1
( W.m .ster .mm ) Kelvin
Landsat 7 666.09 1282.71

2.2.5 Indeks Forest Canopy Density (FCD)

Nilai indeks Forest Canopy Density (FCD) dihitung dengan menggunakan formula :

FCD = ( VD+SSI +1 ) x 0,5 - 1 ................................................................ (2.13)

VD = Vegetation density, diperoleh dari cross indeks AVI dan BI yang


rentang nilainya dari 1 hingga 100
SSI = Scaled Shadow Index, diperoleh dari cross indeks SI dan TI yang
rentang nilainya dari 1 hingga 100
FCD = Memiliki rentang nilai 1 sampai 100 yang menyatakan prosentase
tutupan tajuk.

2.3 JERS-1 SAR (Synthetic Aperture Radar )


JERS-1 SAR (Synthetic Aperture Radar) merupakan salah satu teknologi
penginderaan jauh yang bersifat aktif. Sistem ini menghasilkan citra dengan cara
memancarkan dan kemudian menangkap kembali gelombang elektromagnetik yang
dipantulkan oleh objek yang diamati. SAR bekerja pada band L (1.275 GHz) dengan
polarisasi HH (horizontal-horizontal). Saluran (band) L yang mampu menembus
sebagian besar tutupan vegetasi tergantung dari kadar kelembabannya sehingga yang
perlu diperhatikan disini adalah faktor kelembaban dari vegetasi yang sangat berperan
dalam menghamburkan kembali sinyal dari citra radar. Selain kelembaban, kerapatan
juga sangat penting hubungannya dalam hal tinggi rendahnya hamburan yang akan
kembali ke sensor. Hamburan sinyal balik yang dipantulkan oleh objek bumi akan
menghasilkan bentuk dan warna yang berbeda-beda yang dapat digunakan untuk
mengintrepetasikan objek-objek bumi (Gambar 2.2).
(Sumber:http://directory.eoportal.org/pres_JERS1JapanEarthResourcesSatellite.html)

15
Gambar 2.2 Interpretasi gelombang radar

2.4 Konsep Nilai Radar Backscattering (0)

Parameter yang didapat dari citra SAR ialah koefesian Radar Backscattering (0-
sigma nol). Nilai 0 merupakan besarnya energi elektromagnetik yang dipantulkan
kembali oleh sebuah piksel menuju sensor radar [Leberl,1990]. Nilai 0 menyatakan
rasio antara energi sinyal pantulan dengan energi sinyal yang dipancarkan oleh sensor
dan mempunyai satuan desibel (dB).

Perhitungan koefesian Radar Backscattering dari citra JERS-1 SAR yang telah
terkoreksi geometrik dengan menggunakan formula sebagai berikut [Isoguchi ,1998]:

0 = 20log(DN) 48.5 ....................................................................................... (2.14)

atau formula NASDA,1993:

0 = 20log(i) 68.5 ............................................................................................(2.15)


0 = koefisien Radar Backscattering (dB)
DN = nilai kecerahan piksel (8bit =1-255)
i = Nilai kecerahan rata-rata (Brightness Value Mean)

Suatu observasi dan pemodelan koefesian Radar Backscattering yang dilakukan pada
kawasan hutan di Perancis oleh ilmuwan Thuy Le Toan dan Nicolas Floury
menunjukkan nilai radar backscatter sebagai fungsi dari kerapatan vegetasi dengan
polarisasi HH band L dan sudut datang 54, yang cukup dekat dengan sudut datang
JERS-1 yaitu 35 (Gambar 2.3).

16
Dari pemodelan yang dilakukan oleh ilmuwan Thuy Le Toan dan Nicolas Floury kita
dapat memperhitungkan kerapatan vegetasi (pohon perhektar, t/ha) berdasarkan
koefesian Radar Backscattering yang didapatkan dari pengolahan citra radar JERS-1
SAR.

Gambar2.3 Hubungan Nilai radar backscatter SAR band L


dengan kerapatan vegetasi
(sumber: Thuy Le Toan dan Nicolas Floury)
Gambar 2.3 menunjukkan untuk sudut datang 54 maka kerapatan vegetasi (130-150)
t/ha memiliki rentang koefesian Radar Backscattering sekitar -9.5 dB.

17

Anda mungkin juga menyukai