Anda di halaman 1dari 11

FILSAFAT DAN ILMU PENDIDIKAN

A. Pengertian Filsafat dan Ilmu Pendidikan


Filsafat sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu Philosophia yang
berasal dari dua unsur kata, yakni philo yang berarti cinta dan Sophia yang berarti
kearifan, hikmah, kebijaksanaan, keputusan ataupun pengetahuan yang benar. Dari
akar kata ini, maka dapat diketahui, bahwa secara harfiah filsafat dapat diartikan
sebagai cinta kepada ilmu pengetahuan, kearifan atau kebijaksanaan (Sauri, et.al.,
2010: 1).
Ilmu pendidikan terdiri dari dua kata yang diapdukan, yakni ilmu dan
pendidikan yang masing-masing memiliki arti dan makna tersendiri. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Suara, 2011) ilmu adalah pengetahuan tentang suatu
bidang yang disusun secara sistemik menurut metode tertentu, yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan itu.
Sedangkan pendidikan merupakan suatu rekayasa terencana, terarah, dan
terkendali oleh orang-orang berpengaruh (individu, kelompok atau lembaga) dalam
memengaruhi individu-individu agar memiliki kemampuan mengaktualkan segala
potensi kemanusiaannya sehingga menjadi manusia sejati yang mandiri,
bertanggungjawab dan berakhlak (Sauri, et.al., 2010: 90). Jadi, ilmu pendidikan
adalah sebuah sistem pengetahuan mengenai suatu rekayasa terarah oleh orang-
orang yang berpengaruh dalam memengaruhi individu-individu agar memiliki
kemampuan mengaktualkan segala potensi kemanusiaannya sehingga menjadi
manusia sejati yang mandiri, bertanggungjawab dan berakhlak.
Secara sederhana, Arifin (dalam Muhmidayeli, 2011: 35) mengungkapkan
bahwa filsafat pendidikan merupakan upaya memikirkan permasalahan pendidikan.
Filsafat dan pendidikan memang merupakan dua istilah yang berdiri pada makna
dan hakikat masing-masing, namun ketika keduanya digabungkan ke dalam satu
tema khusus, maka ia pun memiliki makan tersendiri yang menunjuk ke dalam
suatu kesatuan pengertian yang tidak terpisahkan. Kendatipun filsafat pendidikan
telah dipandang sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, namun bukanlah
berarti bahwa kajiannya hanya sekadar menelaah sendi-sendi pendidikan dan atau

1
filsafat semata. Filsafat pendidikan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
filsafat secara keseluruhan, baik dalam sistem maupun metode.
B. Kebutuhan Akan Filsafat Pendidikan
Cara kerja dan hasil filsafat dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah
hidup dan kehidupan manusia, dimana pendidikan merupakan salah satu dari aspek
kehidupan tersebut, karena hanya manusialah yang dapat melaksanakan dan
menerima pendidikan. Oleh karena itu pendidikan memerlukan filsafat. Karena
masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan,
yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah-
masalah yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih kompleks, yang tidak terbatasi oleh
pengalamaan maupun fakta faktual, dan tidak memungkinkan untuk dijangkau oleh
ilmu (Sadullah, 2007: 73).
Filsafat pendidikan sebagai suatu upaya berpikir logis, kritis, radikal,
sistematis, metodis, utuh, dan menyeluruh tentang persoalan-persoalan yang
berkenaan dengan permasalahan pendidikan dan aspek-aspek penting yang terkait
dengannya. Sedemikian rupa sehingga berbagai upaya edukasi yang dilakukan
dalam gerak langkah proses pendidikan benar-benar berdaya guna dan berhasil
guna dalam mencapai tujuan dan atau sasaran-sasaran yang telah dirumuskan.
Upaya filsafat pendidikan merupakan sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari
keseluruhan proses kependidikan, baik dalam pencarian orientasi, aplikasi maupun
evaluasi dan pengembangan. Pendidikan dan filsafat pedidikan merupakan dua
mata uang yang menyatu dala satu unit yang mengikat (Muhmidayeli, 2013: 40).
Hubungan filsafat dengan pendidikan adalah bahwa filsafat akan menelaah
suatu realitas dengan lebih luas, sesuai dengan ciri berpikir filsafat, yaitu radikal,
sistematis dan universal. Konsep tentang dunia dan pandangan tentang tujuan hidup
tersebut akan menjadi landasan dalam menyusun tujuan pendidikan (Sadullah,
2007: 74).
Brubacher (1950 dalam Sadullah, 2007: 74) mengemukakan tentang
hubungan antara filsafat dengan pendidikan dalam hal ini filsafat pendidikan:
bahwa filsafat tidak hanya melahirkan sains atau pengetahuan baru, melainkan juga
melahirkan filsafat pendidikan. Bahkan John Dewey berpandangan bahwa filsafat
merupakan teori umum bagi pendidikan.

2
C. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan
Menurut Jalaludin dan Idi (2007: 24) secara mikro yang menjadi ruang
lingkup filsafat pendidikan meliputi:
1. Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan (the nature of education).
2. Merumuskan sifat hakikat manusia sebagai subjek dan objek pendidikan (the
nature of man).
3. Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama
dan kebudayaan.
4. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori pendidikan.
5. Merumuskan hubungan antara filsafat negara (ideologi), filsafat pendidikan dan
politik pendidikan (sistem pendidikan).
6. Merumuskan sistem nilai, norma atau isi moral pendidikan yang merupakan
tujuan pendidikan.
D. Peranan Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman pada para perencana
pendidikan, dan orang-orang yang bekerja dalam bidang pendidikan. Hal tersebut
akan mewarnai perbuatan mereka secara arif dan bijak, menghubungkan usaha-
usaha pendidikannya dengan falsafah umum, falsafah bangsa dan negaranya.
Pemahaman akan filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan
meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah
pendidikan.
Mengkaji peranan filsafat pendidikan, dapat ditinjau dari tiga lapangan
filsafat, yaitu metafisika (ontologi), epistimologi, dan aksiologi.
1. Metafisika dan Pendidikan
Metafisika atau ontologi merupakan bagian filsafat yang mepelajari
masalah hakikat: hakikat dunia, hakikat manusia, termasuk di dalamnya hakikat
anak. Mempelajari metafisika bagi filsafat pendidikan diperlukan untuk
mengontrol secara implisit tujuan pendidikan, untuk mengetahui bagaimana
dunia anak, apakah ia merupakan makhluk rohani atau jasmani saja, atau
keduanya.
Metafisika memiliki implikasi-implikasi penting untuk pendidikan karena
kurikulum sekolah berdasarkan pada apa yang kita ketahui mengenai realitas,

3
dan apa yang kita ketahui mengenai realitas itu dikendalikan atau didorong oleh
jenis-jenis pertanyaan yang diajukan mengenai dunia. Pada kenyataanya, setiap
posisI yang berkenaan dengan apa yang harus diajakan sekolah di belakangnya
memiliki suatu pandangan realitas tertentu, sejumlah respons tertentu pada
pertanyaan-pertanyaan metafisika.
Bagian dari metafisika atau ontologi adalah sebagai berikut:
a. Teologi
Teologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang Tuhan.
Pembicaraan tentang Tuhan jelas merupakan hal yang mendasar dalam
pendidikan, karena manusia adalah ciptaan-Nya. Oleh karena itu, sebeum
manusia melaksanakan pendidikan perlu memahami terlebih dahulu
bagaimana konsep tentang Tuhan dan hubungannya dengan realitas yang
menjadi ciptaan-Nya.
Masyarakat Indonesia berkeyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam
semesta. Segala yang ada berasal atau diciptakan oleh Tuhan. Manusia dalam
hidupnya harus mengabdi kepada Tuhan. Pada suatu saat ia akan kembali dan
mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya selama hidup di dunia.
Pandangan seperti itu akan mewarnai sistem pendidikan yang dilakukan
masyarakat. Pendidikan akan selalu mempertimbangkan hubungan manusia
dengan Tuhan sebagai implikasinya bahwa pelajaran agama dijadikan
pelajaran pokok dalam kurikulum. Pendidikan agama mendapat perhatian
dalam semua jalur pendidikan.
b. Kosmologi
Kosmologi membicarakan realitas jagat raya, yakni keseluruhan sistem
alam semesta. Kosmologi terbatas pada realitas yang lebih nyata, yaitu alam
fisik yang sifatnya material. Walaupun kosmologi membicarakan alam fisik,
tidak mungkin pengamatan dan penghayatan indera mampu mencakupnya.
Oleh karena itu, kosmologi menghayati realitas kosmos secara intelektual.
Implikasi pembicaraan kosmologi bagi pendidikan bahwa kosmologi
akan mengisi kepribadian manusia denan realitas fisik. Peserta didik harus
mengenal alam yang menjadi tempat ia hidup, mengenal ligkungannya,
mengenal hukum-hukum alam, hukum kausal, sehingga ia akan mengerti dan

4
memahami keteraturan yang terjadi pada jagat raya. Bagi idealism absolute
dan filsafat yang bersumber pada religi, pendidikan akan memiliki tujuan
yang lebih jauh, tidak hanya demi kehidupan duniawi, kehidupan alam fisik.
Tetapi, akan memiliki tujuan yang lebih universal, yaitu ketertiban hidup
manusia dengan kosmos dan dengan Maha Pencipta. Kosmos diciptakan
Maha Pencipta dan secara mutlak dalam pengaturan , pemeliharaan dan
pengawasan-Nya.
c. Manusia
Manusia adalah subjek pendidikan, dan sekaligus pula sebagai objek
pendidikan. Sebagai subjek pendidikan, manusia (khususnya manusia
dewasa) bertanggungjawab dalam menyelenggarakan pendidikan. Sebagai
objek pendidikan , manusia (khususnya anak) merupakan sasaran, pembinaan
dalam melaksanakan proses pendidikan, yang ada pada hakikatnya ia memiiki
pribadi yang sama seperti manusia dewasa, namun karena kodratnya belum
berkembang.
Pendidikan dalam arti luas dan mendasar adalah usaha membantu
manusia untuk merealisasikan dirinya, memanusiakan manusia. Pendidikan
berusaha membantu manusia untuk menyingkapkan dan menemui rahasia
alam, mengembangkan fitrah manusia yang merupakan potensi untuk
berkembang, mengarahkan kecenderungannya dan membimbingnya demi
kebaikan dirinya dan masyarakat. Pada akhirnya dengan pertolongan dan
bimbingan tadi, manusia akan menjadi manusia yang sebebarnya, insane
kamil, manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Epsitimologi dan Pendidikan
Bagi guru, tidak hanya mengetahui bagaimana siswa memperoleh
pengetahuan, melainkan juga bagaimana siswa belajar. Berkaitan dengan
masalah belajar, ahli pendidikan harus mengetahuinya agar dapat menentukan
kurikulum dan metode mengajar yang sesuai dengan materi yang harus
diberikan di sekolah.
Cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu dan ilmu
sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk
menemukanprinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu.

5
Kegunaan memahami epistimologi bagi pendidikan dikemukakan oleh Imam
Barnadib (1976: 12 dalam Sadullah, 2007: 87) sebagai berikut:
Epistimologi diperlukan antara lain dalam hubungan dengan penyusunan
dasar kurikulm. Kurikulum yang lazimnya diartikan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan pendidikan, dapat diumpamakan sebagai jalan raya yang perlu
dilewati oleh siswa atau murid dalam usahanya untuk mengenal dan memahami
pengetahun. Agar mereka berhasil dalam mencapai tujuan perlu diperkenalkan
sedikit demi sedikit hakikat dari pengetahuan.
Demikianlah, bahwa epistimologi meberikan sumbangannya bagi teori
pendidikan (filsafat pendidikan) dalam menentukan kurikulum. Pengetahuan apa
yang harus diberikan kepada anak, diajarkan di sekolah, dan bagaimana cara
untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga bagaimana cara
menyampaikan pengetahuan tersebut.
3. Aksiologi dan Pendidikan
Aksiologi sebagai cabang filsafat yang membahas nilai bail dan nilai
buruk, indah dan tidak indah (jelek), erat berkaitan dengan pendidikan, karena
dunia nilai akan selalu dipertimbangkan, atau akan menjadi dasar pertimbangan
dalam menentukan tujuan pendidikan. Langsung atau tidak langsung nilai akan
menentukan perbuatan pendidikan.
Brubacher (1950: 92 dalam Sadullah, 2007: 87) mengemukakan tentang
hubungan antara aksiologi dengan pendidikan adalah pendidikan secara
langsung berkaitan dengan nilai. Berdasarkan nilai tersebut, pendidikan dapat
menentukan tujuan, motivasi, kurikulum, metode belajar, dan sebagainya.
Pendidikan terlebih dahulu harus menentukan nilai mana yang akan dianut
sebelum menetukan kegiatannya. Hal ini berarti bahwa nilai terletak dalam
tujuan. Intinya, aksiologi menyoroti fakta bahwa guru memiliki suatu minat
tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga
pada kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan itu.
E. Aliran-Aliran dalam Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan merupakan teraoan dari filsafat umu, maka dalam
membahas filsafat pendidikan akan berangkat dari filsafat. Dalam arti, filsafat
pendidikan pada dasarnya menggunakan cara lerja filsafat dan akan menggunakan

6
hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas,
pengetahuan dan nilai. Berikut merupakan aliran-aliran dalam filsafat pendidikan,
yaitu:
1. Filsafat Pendidikan Progresivisme
Progresivisme bukan merupakam suatu bangunan filsafat atau aliran
filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan
perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Selama dua puluh tahunan
merupakan suatu gerakan yang kuat di Amerika Serikat.
Peran guru dalam suatu kelas yang berorientasi secara progresif adalah
berfungsi sebagai seorang pembimbing atau orang yang menjadi sumber, yang
pada intinya memiliki tanggungjawab untuk memfasilitasi pembelajaran siswa.
Guru progresif berusaha untuk memberi siswa pengalaman-pengalaman yang
mereplikasi atau meniru kehidupan keseharian sebanyak mungkin. Para siswa
diberi banyak kesempatan untuk bekerja secara kooperatid di dalam kelompok,
seringkali pemecahan masalah yang dipandang penting oleh kelompok itu,
bukan oleh guru.
Progresivisme didasarkan pada keyakinan bahwa pendidikan harus
terpusat pada anak (child-centered) bukannya memfokuskan pada guru atau
bidang muatan, teori ini dikemukakan oleh John Dewey. Tulisan-tulisan John
Dewey pada tahun 1920-an dan 1950-an berkontribusi cukup besar pada
penyebaran gagasan-gagasan progresif.
Peranan guru adalah membimbing siswa-siswa dalam kegiatan pemecahan
masalah dan kegiatan proyek. Mungkin akan banyak guru yang kurang senang
terhadap peranan ini, karena didasarkan atas suatu anggapan bahwa siswa
mampu berpikir dan mengadakan penjelajahan terhadap kebutuhan dan minat
sendiri. Fungsi pokon sebagai guru adalah mempersiapkan siswanya untuk masa
depan yang tidak dikenal. Belajar memecahkan permasalahan pada usia dini
adalah persiapan yang terbaik untuk masa depan.
Guru harus menolong siswa dalam menentukan dan memilih masalah-
masalah yang bermakna, menemukan sumber-sumber data yang relevan,
menfsirkan data mengenai akurasi data, serta merumuskan kesimpulan. Guru
harus mampu mengenali siswa, terutama pada saat apakah ia memerlukan

7
bantuan khusus dalam suatu kegiatan, sehingga ia dapat meneruskan
penelitiannya. Guru dituntut untuk sabar, fleksibel, berpikir interdispliner,
kreatif dan cerdas.
2. Filsafat Pendidikan Perenialisme
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada
abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan
progresif. Perenialisme menentang pandangan pandangan progresivisme yang
menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi
dunia dewassa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan,
terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio-ku;tural.
Oleh karena itu, perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan
tersebut. jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur
ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip
umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno
dan abad pertengahan. Pandangan-pandangan yang telah menjadi dasar budaya
manusia tersebut, telah teruji kamampuan dan kekukuhannya oleh sejarah.
Pandangan Plato mewakili peradaban Yunani Kuno, serta ajaran Thomas Aquina
dari abad pertengahan. Kaum Perenialis percaya bahwa ajaran-ajaran dari tokoh-
tokoh tersebut memiliki kualitas yang dapat dijadikan tuntunan hidup dan
kehidupan manusia pada abad keduapuluh ini.
Dalam pendidikan, kaum perenialis brepandangan bahwa dalam dunia
yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta membahayakan, seperti kita
rasakan dewasa ini, tidak ada satupun yang lebih bermanfaat daripada kepastian
tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik.
Menurut Mohammad Noor Syam (1984 dalam Sadulloh, 2007: 151)
pandangan perenialisme, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan
pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.
Perenialisme tidak melihat jalan yang mayakinkan, selain kembali pada prinsip-
prinsip yang telah sedemikian rupa membentuk sikap kebiasaan, bahwa

8
kepribadian manusia yaitu kebudayaan dahulu (Yunani Kuno) dan kebudayaan
abad pertengahan.
Dua dari pendukung filsafat perenialis adalah Robert Maynard Hutchins,
dan Mortimer Adler. Sebagai rektor The University of Chicago, Hutchins
mengembangkan suatu kurikulum mahasiswa S1 berdasarkan penelitian
terhadap Buku Besar Bersejarah (Great Books) dan pembahasan buku-buku
klasik. Keuntungan dari mempelajari buku-buku klasik yang besar tersebut
adalah siswa belajar apa yang telah terjadi pada masa lampau, dan apa yang
telah dipikirkan oleh orang-orang besar atau pemikir-pemikir terdahulu.
Kurikulum menurut kaum perenialis harus menekankan pertumbuhan
intelektual siswa pada seni dan sains. Untuk menjadi terpelajar secara cultural,
para siswa harus berhadapan dengan bidang-bidang ini (seni dan sains) yang
merupakan karya terbaik dan paling signifikan yang diciptakan oleh manusia.
3. Filsafat Pendidikan Esensialisme
Gerakan esenisialisme muncul pada awa; tahun 1930, dengan beberapa
pelopornya, yaitu William C. Bagley, Thomas Briggs, Federick Breed dan Isac
L. Kendell. Esensialisme meruapakan suatu filsafat pendidikan konservatif yang
pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik terhadap trend-trend progresif di
sekolah-sekolah. Untuk mengangkat filsafat esensialis, Bagley dan rekan-
rekannya mendanai jurnal pendidikan, School and Society.
Esensialisme yang memiliki beberapa kesamaan dengan perenialisme
berpendapat bahwa kultur kita telah memiliki suatu inti pengetahuan umum yang
harus diberikan di sekolah-sekolah kepada para siswa dalam suatu cara yang
sistematik dan berdisiplin. Tidak seperti perenialisme, yang menekankan pada
sejumlah kebenaran-kebenaran eksternal, esensialisme menekankan pada apa
yang mendukung pengetauan dan keterampilan yang diyakini penting yang harus
diketahui oleh para anggota masyarakat yang produktif.
Kurikulum esensialisme seperti halnya perenialisme, yaitu kurikulum yang
berpusat pada mata pelajaran (subject matter centered). Di sekolah dasar
penekanannya pada kemampuan dasar membaca, menulis, dan matematika. Di
sekolah menengah diperluas perluasan pada matematika, sains, humaniora,
bahasa, dan sastra.

9
Penguasaan terhadap materi kurikulum tersebut merupakan dasar yang
esensial bagi general education (filsafat, matematika, IPA, sejarah, bahasa, seni
dan sastra) yang diperlukan dalam hidup. Belajar dengan tepat berkaitan dengan
disiplin tersebut akan mampu mengembangkan pikiran (kemampuan nalar)
siswa dan sekaligus membuatnya sadar akan dunia fisik sekitarnya. Menguasai
fakta dan konsep dasar disiplin yang esensial merupakan suatu keharusan.
Peranan sekolah adalah memelihara dan menyampaikan warisan budaya
dan sejarah pada generasi pelajar dewasa ini, melalui hikmat dan pengalaman
yang terakumulasi dari disiplin tradisional. Di sekolah tiap siswa belajar
pengetahuan, skill, dan sikap serta nilai yang diperlukan untuk menjadi manusia
sebagai anggota masyarakat.
Belajar efektif di sekolah adalah proses belajar yang keras dalam
penanaman fakta-fakta dengan penggunaan waktu secara relative singkat, tidak
ada tempat bagi pelajaran pilihan. Kurikulum dan lingkungan kelas disusun oleh
guru. Waktu, tenaga dan dana semuanya ditunjukkan untuk belajar yang
esensial.
4. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Caroline Pratt (1948) seorang
rekonstruksionis sosial yang berpengaruh pada periode itu, sekolah-sekolah tidak
hanya harus mentransmisikan pengetahuan mengenai tekanan sosial yang ada,
melainkan juga harus berusaha merekonstruksinya. Rekonstruksi sosial memiliki
ikatan-ikatan yang jelas pada filsafat pendidikan progresif. Keduanya
melekatkan kepentingan pokoknya pada pengalaman yang dimiliki para siswa.
Rekostruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme.
Gerakan ini lahir didasari atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya
memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada
pada saat sekarang ini. Rekosntruksionisme dipelopori oleh George count dan
Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat
yang pantas dan adil.
Aliran ini berpendapat bahwa sekolah harus mendominasi atau
mengarahkan perubahan atau rekonstruksi pada tatanan sosial saat ini.
Kurikulum merupakan subject matter yang berisikan masalah-masalah sosial,

10
ekonomi, politik yang beraneka ragam, yang dihadapi umat manusia, termasuk
masalah-masalah sosial dan pribadi terdidik itu sendiri. Isi kurikulum tersebut
berguna dala penyusunan disiplin sains sosial dan proses penemuan ilmiah
sebagai metode kerja untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
Mengenai peranan guru, paham rekostruksionisme sama dengan paham
progresivisme. Guru harus menyadarkan si terdidik terhadap masalah-masalah
yang dihadapi manusia, ambantu terdidik mengidentifikasi masalah-masalah
untuk dipecahkannya, sehingga terdidik memiliki kemampuan memecahkan
masalah tersebut. Guru harus mendorong terdidik untuk dapat berpikir alternatif
dalam memecahkan masalh tersebut. Lebih jauh guru harus mampu menciptakan
aktivitas belajar yang berbeda secara serempak. Guru harus menunjukkan rasa
hormat yang sejati terhadap semua budaya, baik dalam member pelajaran
maupun dalam hal lainnya. Pelajaran sekolah harus mewakili budaya
masyarakat.

11

Anda mungkin juga menyukai