Anda di halaman 1dari 7

1.

Latar belakang masalah

Daging sapi merupakan sumber vitamin B dan mineral seperti zinc, fosfor,

dan zat besi yang baik dan penting untuk tubuh. Selain itu, dalam 100 gram

daging sapi terkandung sekitar 15 gram lemak (jenuh, tak jenuh tunggal, dan

tak jenuh rantai ganda) dan 26 gram protein. Protein dari daging sapi

dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan, dan pembentukan tubuh.

(http://www.alodokter.com/mengolah-daging-sapi-dengan-benar)

Peningkatan pendapatan masyarakat akan membuka peluang bisnis

yang lebih besar khususnya bagi bisnis komoditi yang bersifat elastis

terhadap perubahan pendapatan. Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu

sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya

kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi yang seimbang,

pertambahan penduduk dan meningkatnya daya beli masyarakat.

Indonesia sebagai daerah tropis dengan potensi sumberdaya alam yang

melimpah sangat mendukung untuk pengembangan peternakan sapi potong,

hanya saja pemeliharaan sapi umumnya diusahakan secara tradisional atau

sambilan sehingga produktivitasnya rendah. Oleh karena itu, upaya untuk

memberdayakan petani-peternak sapi penting dilakukan karena memelihara

sapi didominasi oleh petani-peternak . Pengembangan usaha ternak perlu

ditunjang dengan kebijakan pemerintah yang relevan sehingga memberikan

dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan petani-peternak.

Kebijakan pemerintah melalui pengembangan agribisnis sapi potong

pada masyarakat diarahkan untuk mencapai swasembada daging dan

mengurangi ketergantungan terhadap import sapi potong.


Perkembangan produksi daging sapi di Indonesia pada periode tahun

1984 2015 secara umum cenderung meningkat rata-rata sebesar 2,68% per

tahun. Produksi daging sapi tahun 2012 hingga 2014 mengalami penurunan

dari Rp.508,91 ribu ton turun menjadi Rp.497,67 ribu ton, hal ini karena daya

beli masyarakat menurut yang di sebabkan tingginya harga daging sapi per

kilonya yang mencapai Rp 99.332. Tahun 2015 (angka sementara) produksi

daging sapi naik sebesar 523,93 ribu ton dan populasi naik 5,21% dari tahun

2014 atau sebesar 15,49 juta ton, namun harga daging sapi tetap saja

merambah naik hingga mencapai Rp.104.328. Kenaikan harga daging sapi

yang terjadi saat ini sebagai dampak dari ketidak seimbangan antara kuota

produksi dan tingginya permintaan masyarakat terhadap daging sapi.

Terdapat sejumlah hambatan distribusi/transportasi sapi dari sentra produksi

ke konsumen, baik menyangkut persoalan transportasi kapal antar pulau

maupun transportasi darat ikut memicu kenaikan harga daging sapi.

Konsekuensinya Indonesia harus melakukan impor daging sapi. Impor daging

sapi awalnya hanya untuk memenuhi segmen pasar tertentu, namun kini telah

memasuki segmen supermarket dan pasar tradisional. Prediksi produksi

daging sapi hingga tahun 2018 dengan pertumbuhan lebih besar dari

pertumbuhan konsumsi daging sapi, namun belum dapat memenuhi

kebutuhan konsumsi daging sapi nasional, sehinga diperkirakan terjadi defisit

daging sapi hingga tahun 2018. Defisit daging sapi yang paling tinggi di

prediksi terjadi pada tahun 2015 yaitu sebesar 89,18 ribu ton. Prediksi

produksi pada tahun 2019 sebesar 666,69 ribu ton di harapkan akan terjadi

surplus pengadaan daging sapi sebesar 23,93 ribu ton.


2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini meliputi:

a) Bagaimana tingkat permintaan daging sapi di Indonesia

b) Meninjau harga sapi dari aspek etika bisnis

3. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk

a) Mengetahui tingkat permintaan daging sapi di Indonesia

b) Mengetahui harga sapi dari etika bisnis

2.1 Tingkat Permintaan daging di Indonesia

Indonesia dengan jumlah penduduk diatas 220 jiwa, membutuhkan pasokan

daging sapi dalam jumlah cukup besar. Sejauh ini peternakan domestik belum

mampu memenuhi permintaan daging dalam negeri.Timpangnya antara

pasokan dan permintaan ternyata masih tinggi. Pemerintah (Kementrian

Pertanian) mengakui masalah utama usaha sapi potong di Indonesia terletak

pada suplai yang selalu mengalami kekurangan setiap tahunnya. Sementara laju

pertumbuhan konsumsi dan pertambahan penduduk tidak mampu diimbangi

oleh laju pertumbuhan konsumsi dan pertambahan penduduk tidak mampu

diimbangi oleh laju peningkatan populasi sapi potong. Pada gilirannya, pada

kondisi seperti ini memaksa indonesia untuk selalu melakukan impor, baik dalam

bentuk sapi hidup maupun daging.

Secara umum, perkembangan populasi sapi potong di Indonesia

baik di Jawa maupun luar Jawa selama periode tahun 1984 2015

meningkat 1,89% (Lampiran 3.1. dan Gambar 3.1.). Pada periode lima tahun
terakhir (2011-2015)perkembangan populasi sapi potong meningkat hampir dua

kali dari pertumbuhan populasi tahun sebelumnya yaitu rata-rata sebesar

3,53%. Hal ini karena pada adanya pembinaan dan program

pembangunan peternakan tahun 2009-2014 sehingga berdampak pada

peningkatanpopulasi sapi potong. Pada tahun 1984 jumlah populasi sapi

potong di Indonesia tercatat sebanyak 9,24juta ekor, meningkat menjadi

11,94juta ekor pada tahun 1997. Namun populasi tersebut dari tahun ke

tahun terus menurun sampai dengan tahun 2001. Pada tahun 2002 dan

tahun 2003 terjadi peningkatan populasi sapi dan penurunan yang cukup

signifikan yaitu naik 10,60% dan turun 7,02%. Sejak tahun 2004 hingga tahun

2015 perkembangan populasi sapi potong mengalami kenaikan secara

bertahap dari 10,53 juta ekor menjadi 15,49 juta ekor, walaupun sempat

turun sebesar 3,29 juta ekor di tahun 2013.

Jumlah daging sapi yang harus tersedia ditentukan oleh kebutuhan

konsumsi daging sapi secara nasional, disisi lain kebutuhan konsumsi daging

sapi ditentukan oleh jumlah penduduk dan konsumsi daging sapi per kapita.

Disamping itu kesadaran masyarakat Indonesia terhadap pentingnya protein

hewani makin meningkat, sehingga kebutuhan daging sapi nasional akan

semakin meningkat. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional

(SUSENAS) tahun 2014(Tabel 3.1.), konsumsi daging sapi Indonesia sebesar

2.08 kg/kapita/tahun, angka ini tergolong kecil dibandingkan dengan konsumsi

negara maju. Masyarakat Indonesia umumnya hanya makan daging sapi bila

ada perayaan atau hari-hari besar keagamaan. Walaupun demikian Indonesia

belum bisa menjadi negara swasembada daging sapi, untuk mencukupi


permintaan daging sapi terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, masih

banyak diperoleh dari impor.

2.2 Harga daging sapi

Harga daging sangat bergantung pada jenis dan kualitasnya, meskipun di

tingkat pasar tradisional konsumen belum memperhatikan jenis daging yang

akandibeli. Namun demikian secara umum terdapat sedikit perbedaan harga

diantara jenis atau kualitas daging yang dipasarkan. Secara umum

perkembangan harga daging sapi di tingkat konsumen sejak tahun 1983

hingga tahun 2015 berfluktuasi dan cenderung meningkat (Gambar3.6.).

Selama periode tersebut, harga daging sapi di tingkat konsumen naik sebesar

13,21% per tahun. Harga daging sapi periode lima tahun terakhir (2011-2015)

cenderung naik dari harga Rp.69.641 hingga Rp.104.326 dengan pertumbuhan

selama 5 tahun sebesar 9,58%. Kenaikan harga daging sapi tertinggi di tahun

2013 yaitu sebesar 17,52%. Fenomena terjadinya kenaikan harga biasanya di

karenakan konsumsi daging yang tinggi di hari-hari besar keagamaan dan hari

raya nasional. Sementara perkembangan harga daging sapi di tahun 2015

sebesar Rp.104.328, (Lampiran 3.6.)

Trend harga daging sapi hampir selalu naik dan tidak pernah kembali ke

posisi awal. Perilaku ini disebabkan peternak tidak mampu merespon

perubahan harga yang terjadi karena siklus produksi yang lama, teknologi

budidaya yang rendah dan usaha yang sambilan. Perlu ada pengendalian agar

kenaikan harga daging sapi tidak melonjak tajam seperti tahun 2014, sehingga

tidakmempercepat pengurasan populasi yang menyebabkan makin langkanya

sumber daya sapi lokal.


Harga sapi menurut etika bisnis

Menurut Ayudha D. Prayoga, Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) kartel

merupakan bentuk dari konspirasi. Konspirasi dilakukan melalui harga, output,

pembagian wilayah, pembatasan produksi, dan pembatasan input. Jadi,

menurutnya, konspirasi sendiri merupakan ide dasar dari pembentukan kartel.

Konspirasi adalah kegiatannya, sedangkan kartel adalah lembaganya.Kartel, lanjut

Ayudha, sudah ada sejak dulu dan dilakukan secara terang-terangan. Mereka

menamakan diri dengan berbagai macam nama dan saat itu menjadi lazim. Namun

setelah Sherman Antitrust Act muncul, perilaku kartel ini sudah tidak lagi dianggap

legal.Perilaku kartel melibatkan beberapa pelaku usaha. Biasanya para pemain

besar dalam suatu industri yang struktur pasarnya oligopoli cenderung tergoda

untuk berperilaku demikian. Kartel, jelas Ayudha, dibentuk dengan motif yaitu di

antaraya dalam rangka mendapatkan keuntungan maksimal (maximum profit).

Tidak menutup kemungkinan kartel dibentuk untuk mematikan entrance(pemain

baru) dengan menciptakan barriers to entry (hambatan masuk).Keuntungan yang

diraup oleh para kartelis juga tidak sedikit. Para kartelis bisa meraih keuntungan

yang berjumlah triliunan dalam satu komoditas. Salah satu contoh adalah nilai

kerugian yang diderita konsumen akibat kartel dalam SMS yang pernah diputus

KPPU. Konsumen, menurut perhitungan diperkirakan merugi sekitar Rp 1,6-1,9

triliun dalam rentang tiga tahun. Besarnya kerugian konsumen akibat ulah para

kartelis memang membuat banyak pihak geram. Munrokhim Misanam, komisoner

KPPU menyebut ancaman kartel lebih bahaya dari korupsi. Sebab selain nilai yang

dikeruk dari masyarakat sangat besar, masyarakat juga tidak sadar. Menurut

Munrokhim, praktek kartel tidak ubahnya dengan praktek rentenir di masyarakat.

Polanya sama-sama merugikan. Karena itu ia meminta agar KPPU


mengkampanyekan bahwa kartel sama dengan rentenir. Keduanya merupakan

kejahatan pencarian keuntungan eksesif dengan cara yang tidak sehat. kartel

merupakan bentuk penyimpangan dari etika bisnis.(http://www.kppu.go.id/id/wp-

content/uploads/2014/01/Kompetisi_39.pdf)

Anda mungkin juga menyukai