Anda di halaman 1dari 7

Penulis: Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.

Tax

Dua istilah yaitu Sunset Policy dan Tax Amnesty akhir-akhir ini makin sering
muncul dalam pemberitaan di berbagai media baik cetak maupun elektronika
sehubungan dengan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah dalam hal ini
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan RI dalam upaya
mengejar target penerimaan pajak yang semakin meningkat setiap tahunnya.

Untuk tahun ini saja, target penerimaan pajak mencapai Rp 1.294,3 triliun, atau
sekitar 72 persen dari target penerimaan negara sebesar Rp 1.793,6 triliun yang
dipatok dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2015. Dari total
target sebesar Rp 1.294,3 triliun tersebut, sejumlah Rp 904,1 triliun rencananya
akan diperoleh dari penerimaan rutin sedangkan sisanya sebesar Rp 390,2 triliun
harus dikejar dengan upaya ekstra (extra effort).

Selanjutnya lebih dari 50 persen atau separuh target penerimaan pajak dari extra-
effort tersebut atau sekitar Rp 200 triliun diharapkan dapat dicapai melalui Sunset
Policy Jilid II yang ketentuannya dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan
(Permenkeu) akan segera diterbitkan dan berlaku dalam tahun ini juga.

Selain itu, untuk langkah berikutnya sebagai bagian dari program kerja lima
tahunan Ditjen Pajak, sedang diwacanakan kebijakan Tax Amnesty. Rancangan
Undang-Undang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang
telah disertakan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan akan dibahas
DPR tahun ini telah memasukkan rencana Tax Amnesty yang diharapkan dapat
diberlakukan paling lambat awal 2017.
Sunset Policy

Pengertian sunset secara umum adalah sebagai suatu situasi atau keadaan saat-saat
menjelang di mana matahari akan tenggelam. Sunset Policy tidak lazim digunakan
dalam terminologi perpajakan internasional.

Dalam kamus hukum (Blacks Law Dictionary) terdapat istilah Sunset Law yang
artinya berupa ketentuan perundang-undangan, di mana program suatu lembaga
pemerintah dengan sendirinya berakhir pada akhir suatu periode tertentu kecuali
secara formal masa berlakunya diperpanjang.

Sunset Policy tampaknya menjadi sebuah istilah yang khas atas kebijakan
perpajakan yang pernah diberlakukan di Indonesia meskipun istilah ini sendiri
tidak ditemukan dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan yang
mengaturnya.

Namun demikian, istilah Sunset Policy ini banyak tercantum di berbagai brosur
dan bahan presentasi ketika Ditjen Pajak melakukan sosialisasi kebijakan ini
pertama kalinya kepada masyarakat luas.

Istilah Sunset Policy digunakan untuk menggambarkan kebijakan pemerintah


yang pernah diterapkan di Indonesia yaitu pemberian penghapusan sanksi
administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran
pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 28 Tahun
2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Pemberian penghapusan sanksi bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar
berlaku bagi:

1. Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang telah mempunyai Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) dan melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) sebelum tahun pajak 2007 yang
mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih lebih besar.

2. Wajib Pajak orang pribadi yang belum mempunyai NPWP tetapi secara
sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

Ketentuan pelaksanaan pasal 37A UU KUP tersebut kemudian dituangkan dalam


Peraturan Pemerintah, Permenkeu serta Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Masa
berlaku kebijakan pemberian penghapusan sanksi bunga tersebut dibatasi yaitu
paling lambat 29 Februari 2009 bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang
telah mempunyai NPWP dan 31 Maret 2009 bagi Wajib Pajak orang pribadi yang
belum mempunyai NPWP.

Pemberlakuan kebijakan yang dibatasi masa berlakunya inilah tampaknya


merupakan asal muasal munculnya istilah Sunset Policy, karena bagi Wajib Pajak
yang tidak memanfaatkannya dalam kurun waktu yang sebentar tersebut, maka
ketentuan pengenaan sanksi administrasi berupa bunga akan berlaku sepenuhnya.

Pasal 8 ayat (2) UU KU mengatur bahwa dalam hal Wajib Pajak membetulkan
sendiri Surat Pemberitahuan tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi
lebih besar dikenakan sanksi berupa bunga sebesar 2 persen per bulan atas jumlah
pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan
berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung
penuh satu bulan.

Selain itu, Pasal 9 ayat (2b) UU KUP juga mengatur pengenaan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2 persen per bulan atas kekurangan pajak yang
terutang berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) yang dihitung dari
berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai
dengan tanggal pembayaran.

Sanksi bunga tersebut akan ditagih ke Wajib Pajak oleh Kantor Pelayanan Pajak
(KPP), di mana Wajib Pajak terdaftar melalui penerbitan Surat Tagihan Pajak
(STP). Bagi Wajib Pajak yang memanfaatkan Sunset Policy, STP tidak akan
diterbitkan.

Sunset Policy yang diterapkan pertama kali ini dinilai sukses karena berhasil
memperoleh tambahan penerimaan pajak dalam tahun 2008 sebesar Rp 7,46
triliun. Tercatat bahwa hanya dalam tahun 2008 inilah Ditjen Pajak melampaui
target penerimaan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.

Selain itu, melalui Sunset Policy diperoleh tambahan sejumlah 5,5 juta Wajib
Pajak baru. Kendati demikian dari sumber data Ditjen Pajak, tingkat kepatuhan
Wajib Pajak ternyata tidak menunjukkan peningkatan secara signifikan pasca
Sunset Policy.

Sunset Policy Jilid II

Dalam pemberitaan di berbagai media, Menteri Keuangan maupun Dirjen Pajak


menyatakan sedang menyiapkan ketentuan perpajakan dalam bentuk Peraturan
Menteri Keuangan terkait dengan kebijakan pengurangan dan penghapusan sanksi
administrasi yang rencananya akan diberlakukan mulai 1 Mei 2015 hingga akhir
31 Desember 2015 nanti.

Kebijakan ini dinamakan Sunset Policy Jilid II yang juga disebut-sebut sebagai
Reinventing Policy. Bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan, baik yang telah
maupun yang belum menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan, SPT Tahunan PPh
Orang Pribadi, SPT Masa PPh maupun SPT Masa PPN, akan diberikan
penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan penyampaian SPT,
pembetulan SPT dan keterlambatan penyetoran atau pembayaran pajak apabila
dalam tahun 2015 Wajib Pajak menyampaikan atau melakukan pembetulan SPT
untuk lima tahun ke belakang.
Meski dinamakan sebagai Sunset Policy Jilid II, setidaknya terdapat tiga
perbedaannya dengan Sunset Policy yang pertama dilakukan dalam tahun 2008
yang dalam tulisan ini disebut saja sebagai Sunset Policy Jilid I. Perbedaan
pertama adalah mengenai landasan hukum penghapusan sanksi.

Landasan hukum kewenangan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga


pada Sunset Policy Jilid I adalah Pasal 37A UU KUP, sedangkan pada rencana
Sunset Policy Jilid II penghapusan sanksi administrasi menggunakan kewenangan
Direktur Jenderal Pajak yang terdapat dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP
yang mengatur bahwa:

Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda dan
kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan
perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak
atau bukan karena kesalahannya.

Jadi jelas bahwa justifikasi untuk menghapus sanksi administrasi dalam hal ini
adalah bahwa Dirjen Pajak menganggap semua Wajib Pajak yang memanfaatkan
Sunset Policy Jilid II ini sebagai khilaf. Mengacu pada Pasal 36 ayat (1) huruf a
UU KUP, sanksi administrasi yang dapat dihapus dapat berupa bunga denda dan
kenaikan. Kemudian perbedaan kedua adalah dari sisi penerbitan STP.

Pemberian penghapusan sanksi administrasi pada Sunset Policy Jilid I dilakukan


dengan KPP tidak menerbitkan STP, sedangkan pada Sunset Policy Jilid II ini
nantinya STP atas sanksi administrasi akan tetap diterbitkan lalu akan dihapuskan
setelah KPP menerima permohonan penghapusan dari Wajib Pajak.

Seyogianya jika landasan hukumnya adalah Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP,
maka Sunset Policy Jilid II cukup diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
saja, tidak perlu dengan Peraturan Menteri Keuangan karena UU KUP
memberikan kewenangan penghapusan sanksi demikian kepada Direktur Jenderal
Pajak.

Selanjutnya perbedaan ketiga adalah bahwa pada Sunset Policy Jilid I


penyampaian atau pembetulan SPT mengandalkan pada kesukarelaan (voluntary)
Wajib Pajak, sedangkan dalam Sunset Policy Jilid II.

Selain bersifat voluntary, ada juga yang bersifat suatu keharusan (mandatory)
ketika kepada Wajib Pajak disampaikan himbauan untuk menyampaikan atau
membetulkan SPT berdasarkan data transaksi keuangan/harta Wajib Pajak yang
dimiliki oleh Ditjen Pajak yang diperoleh dari pengumpulan data yang berbeda
dengan data/informasi yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam SPT.
Selanjutnya: apa itu Tax Amnesty?
Secara umum Tax Amnesty diterjemahkan sebagai pengampunan pajak.
Pengampunan yang diberikan mencakup du aspek yaitu pengampunan terhadap
pokok pajak yaitu berupa pemberian keringanan tarif pajak yang jauh lebih rendah
dari tarif umum atas pajak yang tidak/kurang dibayar sebelumnya dan
pembebasan Wajib Pajak dari tuntutan pidana pajak.

Dari berbagai literatur, Tax Amnesty merupakan strategi jangka pendek yang
efektif untuk mengejar penerimaan pajak dalam rangka menutup defisit anggaran
(shortfall). Dengan Tax Amnesty transaksi ekonomi bawah tanah (underground
economy) yang selama ini tidak terjangkau aparat pajak akan masuk dalam sistim
perpajakan sehingga menambah basis pemajakan yang pada akhirnya
meningkatkan penerimaan pajak pasca Tax Amnesty.

Beberapa negara tercatat berhasil dalam menghimpun penerimaan pajak melalui


Tax Amnesty seperti India, Italia dan Afrika Selatan. Keberhasilan negara-negara
tersebut utamanya dengan masuknya dana-dana masyarakat Wajib Pajak dalam
jumlah sangat besar yang selama ini diparkir di luar negeri dan selama ini tidak
pernah dapat dipajaki.

Pemerintah Indonesia sendiri sudah pernah 2 (dua) kali melaksanakan program


Tax Amnesty yaitu melalui Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1964 serta
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984. Kedua program Tax Amenesty
tersebut dinilai gagal karena tidak didukung dengan sistim administrasi dan basis
data perpajakan yang baik serta penegakan hukum (law-enforcement) yang tegas
pasca Tax Amnesty.

Wacana untuk menjalankan program Tax Amnesty kembali muncul seiring dengan
peningkatan target penerimaan pajak dari tahun ke tahun yang diyakini tidak akan
dapat dicapai dalam jangka pendek kecuali melakukan extra-effort karena basis
data perpajakan yang belum kuat serta jumlah aparat pajak yang kurang dari
jumlah ideal.

Disinyalir terdapat dana masyarakat Indonesia sejumlah Rp 3.000 triliun yang


diparkir di luar negeri khususnya negara Singapore yang selama ini tidak
terjangkau oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Jika data ini benar adanya dan paket Tax Amnesty yang ditawarkan cukup
menarik, tentu jumlah tersebut sangat potensial dijadikan target. Seperti apa
program Tax Amnesty nantinya belum jelas tetapi yang pasti akan ditunggu oleh
masyarakat Wajib Pajak khususnya bagi mereka yang ingin memanfaatkan
program tersebut.
Apa bedanya Sunset Policy dan Tax Amnesty?
Program Tax Amnesty berbeda dengan Sunset Policy yang peraturannya akan
diterbitkan dalam waktu dekat. Dalam Sunset Policy, yang dihapuskan adalah
sanksi denda administrasi sedangkan pokok pajaknya wajib dibayar penuh sesuai
tarif umum yang berlaku bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan. Tidak
terdapat ketentuan mengenai pembebasan atas tuntutan pidana pajak dalam hal ini.

Sedangkan dalam Tax Amnesty umumnya diberikan adalah pengampunan atas


pokok pajak yaitu keringanan dengan penerapan tarif yang jauh lebih rendah dari
tarif pajak yang berlaku umum atas hutang pajak atau pokok pajak yang kurang
atau belum dibayar.

Selain itu, dalam Tax Amnesty diberikan pembebasan dari tuntutan pidana pajak.
Kalangan Ditjen Pajak sendiri mengatakan bahwa Sunset Policy juga merupakan
bentuk pengampunan pajak tetapi dalam versi yang ringan (Soft Tax
Amnesty). Baik Sunset Policy maupun Tax Amnesty telah menjadi pembicaraan
yang marak di masyarakat.

Berhubung wacana kedua program ini terungkap ke publik secara bersamaan,


sebagian Wajib Pajak mungkin sudah mulai menimbang-nimbang apakah akan
ikut Sunset Policy dalam tahun 2015 ini saja atau nanti juga ikut program Tax
Amnesty yang diwacanakan berlaku 2017.

Bisa juga sebagian Wajib Pajak lainnya hanya akan menunggu Tax Amnesty yang
jelas lebih menarik dari Sunset Policy. Yang lebih ekstrim lagi, mungkin saja ada
Wajib Pajak yang tidak ikut kedua program tersebut karena yakin bahwa program
serupa akan ada lagi nanti di masa mendatang. Oleh karena itu pemerintah
sebaiknya memberikan Tax Amnesty tidak lebih dari satu kali.

Wajib Pajak harus diyakinkan bahwa bagi mereka yang tidak ikut maka setelah
program Tax Amnesty selesai kepada Wajib Pajak akan dikenakan sanksi yang
tegas sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku jika ditemukan Wajib
Pajak tidak melaporkan penhasilan sesuai keadaan yang sebenarnya.

Penulis:

Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax


Managing Partner CITASCO Registered Tax Consultants

Anda mungkin juga menyukai