Anda di halaman 1dari 5

Ilmu ushul fiqih yang bermuatan maqashid syariah akan memberikan pemikiran rasional

dan filosofis tentang ketentuan-ketentuan fiqih muamalah, qanun dan fatwa-fatwa,


misalnya mengapa gharar itu dilarang, dan apa illat dari setiap larangan gharar?,
Mengapa bay kali bi kali dilarang?, apa illat nya, alasannya dan rahasianya?,
Mengapa riba fadhal dilarang?, apa illatnya?, Kajian illat dan falsafah tasyri
tentang riba fadhal ini akan menghasilkan argumentasi rasional mengapa penangguhan
jual beli emas, perak, dollar, rupiah dilarang?, tetapi mengapa tahawwuth/hedging
untuk maslahah dibolehkan?.Mengapa pertukaran dinar dengan rupiah harus cash,
sedangkan jual beli emas batangan/perhiasan secara cicilan dibolehkan. Dalam kasus
yang lain; Mengapa talaqqi rukban dilarang ?, apa illatnya?.

Terus yang penting lagi adalah, apa illat larangan transaksi dua akad dalam satu
transaksi ?, Mengapa akad two in one itu dilarang dan mengapa hybrid kontrak
dibolehkan?, Bentuk akad two in one bagaimana yang dilarang dan bagaimana pula yang
dibolehkan?. Jawabannya harus dijelaskan secara rasional dan filosofis dalam
koridor ilmu ushul fiqih. Urgensi mengetahui illat ini menjadi keharusan,
mengingat telah terjadi kesalahan fatal dalam menyimpulkan dua akad dalam satu
transaksi (shafqatain fi shafqah), yaitu menggeneralisasi secara salah bahwa
setiap two in one (dua akad dalam 1 transaksi) dilarang, padahal hanya ada dua
macam saja dari akad two in one yang dilarang. Ratusan bentuk lainnya dihalalkan.
Kesalahan fatal ini karena kajian fikih muamalahnya tanpa didasari ilmu ushul
fiqih tentang illat dan maqashid syariah serta tanpa kajian ilmu hadits yang
mendalam.

Satu lagi yang cukup penting adalah tentang akad taalluq, Ada banyak pandangan
yang menggeneralisasi semua taalluq itu dilarang, semua jual beli bersyarat itu
dilarang, tanpa mengkaji dan memahami mengapa taalluq itu dilarang, apa illatnya,
bentuk taalluq yang bagaimana yang dilarang dan bentuk taalluq bagaimana yang
dibolehkan?. Mengapa jual beli bersyarat itu dilarang, apa illatnya?, Semua
pengetahuan ini sangat berguna menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru yaitu akan
memberikan pemahaman apa dan bagaimana bentuk akad taalluq yang dilarang dan mana
pula yang dibolehkan, begitu pula jual beli bersyarat, mana jual beli yang dilarang
dan mana pula yang dibolehkan. Semua analisisnya harus didasarkan pada kajian illat
dalam metodologi ushul fiqih.
Contoh lainnya yang juga menarik adalah akad sewa beli (lease and purchase),
apakah akad ini bisa disebut sebagai gharar,? Apa yang gharar dalam akad ini?.
Ketidak jelasan akadnya sewa atau beli, atau dianggap tidak jelas pemindahahan
kepemilikan?. Di sinilah diperlukan kajian illat dan maqashid syariah, sebuah
kajian falsafah syariah mengapa gharar itu dilarang, apakah illatnya terdapat pada
akad sewa beli itu?

Secara praktis,sebenarnya akad sewa beli tidak gharar, karena akadnya sudah jelas
sekali. Dr. Usman Tsabir sudah membahas kontrak ini dalam buku Fiqih Muamalah
Maliyah Muashirah, secara tuntas (Kuwait, 2006). Begitu sewa berakhir, maka secara
otomatis dan demi hukum aset menjadi milik nasabah, tanpa perlu akad baru lagi,
karena janji hibah yang diaktekan ada saat akad sudah terwujud secara otomatis
setelah berakhirnya periode sewa. Kejelasan akad sewa beli ini, tidak akan
memancing dispute atau rawan perselisihan, karena itu hukumnya boleh. Jual beli
gharar yang illatnya sudah hilang, hukumnya boleh, sesuai dengan kaedah al hukm
yaduru maal illat wujudan wa adaman (hukum itu berputar sesuai dengan illat, jika
ada illatnya, maka hukumnya berlaku, jika tidak ada illat, maka hukum tidak ada,
tidak berlaku).

Dalam kasus ini gharar itu dilarang karena akan sangat rawan menimbulkan
perselisihan para pihak, sedangkan dalam akad sewa beli semuanya sudah jelas, sama
jelasnya dengan kontrak jual beli. Karena akad yang jelas itu maka peluang
perselisihan akibat akad hybrid sebenarnya tidak ada. Kalaupun peluang dispute
ada, tapi porsinya sedikit sekali dan kecil sekali, bahkan disputenya bukan karena
ghararnya, melainkan karena moral hazard di antara kedua pihak, misalnya dengan
sengaja menunda pembayaran cicilan. Kecilnya peluang perselisihan sewa sama saja
dengan kecilnya peluang jual beli murabah cicilan, sebab setiap akad pasti selalu
ada kemungkinan terjadinya perselisihan, tapi sekali lagi bukan karena
ketidakjelasan akadnya, melainkan karena moral hazard terutama dari nasabah yang
mencicil.

Mari kita gunakan logika yang salim, kalau ada akad lease and purchase tanpa
bunga, dengan ketentuan akad yang jelas, maka hukumnya boleh, karena tidak gharar
dan tidak riba. Dengan demikian tidak semua gharar itu dilarang. Hanya gharar yang
besar saja yang dilarang, yaitu peluang yang mendatangkan perselisihan saja yg
dilarang syariah, sedangkan gharar yang sedikit tidak dilarang apalagi sudah
menjadi urf. Oleh karena itulah ulama membagi gharar kepada 3 macam, gharar
katsir, gharar mutawassith dan gharar qalil.

Kemahiran menemukan illat, maslalah dan maqashid dari suatu akad dan transaksi
sangat diperlukan, mengingat kasus-kasus baru terus bermunculan, seperti pembiayaan
KPR syariah secara indent, MDC (Margin During Construction), tawarruq munazzam,
dansebagainya.

Ilmu ushul fiqih akan merekonstruksi illat dari larangan jual beli indent (KPR
property syariah), bentuk pembiayaan KPR indent bagaimana yang dilarang? Mengapa
dalam jual beli salam, uangnya harus cash ? sehingga jual beli kali bikali (al-bay
bi ajli badalain) dilarang?, dan bentuk kali bi kali bagaimana yang dilarang,dan
mengapa dilarang ? Apa perbedaan illat antara KPRS Indent (yang menggunakan akad
musyarakah mutanaqishah) dengan jual beli kali bi kali yang dilarang Nabi Muhammad
Saw ?. Atau dengan perkataan lain, apakah boleh cicilan pada salam fil manafiuntuk
pembiayaan KPRS Indent dengan musyarakah mutanaqishah (MMq) ? Kalau dilarang apa
illatnya?, apakah illatnya sudah berubah dan berbeda dengan illat kali bi kali?.
Kalau illatnya sama maka KPRS indent dengan MMq tentu tidak dibolehkan, tetapi jika
illatnya berbeda, maka KPRS Indent dengan MMq dibolehkan. Disinilah diperlukan
kecerdasan dan kepiawaian dalam menemukan illat suatu kasus keuangan syariah.
Upaya menemukan illat sering kali membutuhkan pengetahuan disiplin ilmu lain yang
terkait, misalnya ilmu ekonomi makro. Mungkin secara fiqih muamalah literalis suatu
produk dibolehkan, tetapi setelah mengkaji maslahat dan mudharatnya dari perspektif
ilmu ekonomi makro, sesuatu produk itu bisa dilarang. Karena itu kita jangan
terjebak kepada kerangkeng fiqih muamalah, tapi temukanlah illat, temukan maslahah
dan mudharat dalam sinaran maqashid syariah.

Mungkin saja seseorang memiliki keahlian dalam ushul fiqih, tapi tidak menggunakan
pisau analisis ilmu ekonomi makro, sehingga tidak bisa menemukan illat dengan
tepat di bidang ekonomi. Misalnya ada seorang pakar di luar negeri yang membolehkan
transaksi bursa komoditi berjangka karena mengqiyaskannya dengan bay salam,
secara formal memang kelihatannya mirip. Namun secara illat dan maqashid, terdapat
unsur derivatif ribawi di dalamnya, sehingga transaksi itu menjadi terlarang.

Contoh lain yang cukup sederhana antara lain tentang illat larangan riba,
dikatakan (dianggap) illatnya zhulm, padahal illatnya bukan zhulm. Kesalahan
menemukan illat riba, akan menimbulkan kekeliruan berikutnya, misalnya
menganggap suku bunga bank di Jepang yang berkisar 2-3 persen setahun adalah
tidak riba, karena ringan dan tidak zhulm, dibanding margin murabahah di Indonesia
yang mencapai 10-12 persen setahun. Di sini dibutuhkan teori-teori ilmu ekonomi
makro Islami,seperti teori inflasi, teori bubble dan krisis, hubungan riba dengan
produksi, employment, dan sebagainya.

Pakar ekonomi Islam dan hukum ekonomi Islam harus bisa menemukan illatnya secara
tepat dan akurat. Pengetahuan tentang illat ini begitu urgen, karena dengan
mengetahui illat, maka ketentuan fikih muamalah akan selalu bermuatan maslahah dan
maqashid syariah sehingga syariah akan selalu aktual, responsif, segar dn relevan
dengan perubahan-perubahan bisnis dan tuntutan kemajuan zaman.
Dalam ilmu ushul fiqih kajian tentang illat dibahas dalam sub bahasan masalikul
illat, yang dimulai dari takhrijul manath, kemudian tanqihul manath dan terakhir
tahqiqul manath. Forum Training ushul fiqih akan melatih para ekonom muslim
(akademisi/praktisi), DPS, regulator dan bankir untuk menemukan illat dan
menetapkannya (tahqiqul manath).

Selanjutnya dalam kajian illat dan maslahah, seorang ahli ushul fiqih harus bisa
menentukan qiyas jaliy dan qiyas khafiy dalam banyak kasus ekonomi keuangan, Tanpa
pengetahuan tentang qiyas jaliy dan qiyas khafiy, maka akan mengakibatkan pandangan
yang keliru dalam memahami suatu konsep fiqih muamalah, seperti menggeneralisasi
semua tawarruq dilarang. Padahal harus dibedakan tawarruq munazzam pada umumnya
dengan tawarruq yang nyata-nyata sektor riil, untuk pembiayaan pertaniandan UMKM,
maka penyalurannya juga pasti menganalisa risiko dan kalkulasi bisnis pertanian
itu. Dengan demikian, pakar keuangan syariah, akademisi dan praktisi harus bisa
memahami konsep Istihsan dengan baik, agar pemahaman keuangan syariahnya utuh dan
komprehensif. Jika metode istihsan digunakan secara kreatif, maka bank-bank syariah
akan bisa melahirkan inovasi-inovasi produk yang canggih sehingga bisa tumbuh dan
berkembang dengan cepat bahkan bisa bersaing dengan produk-produk bank-bank
konvensional.
Pengetahuan tentang teori operasional qiyas jaliy ke qiyas khafiy, akan menolong
seorang pakar dalam membedakan musyarakah mutanaqishah untuk KPRS indent Ijarah
Maushufah fiz Zimmah (IMFZ) dengan bay kali bi kali (al-bay bi ajli badalain).
Kalau seorang ahli fiqih tidak bisa membedakannya, maka MMq indent dianggap tidak
sah, karena IMFZ sesungguhnya adalah bay salam, sedangkan bay salam harus duluan
semua uangnya. Disinilah perlu analisis dan kajian komprehensif tentang perbedaan
IMFZ dengan bay kali bi kali, Setidaknya terdapat 4 hal yg membedakan antara
keduanya dan para ulama dunia membolehkannya asalkan akadnya tidak menggunakan
redaksi salam. Jika terdapat perbedaan antara bay kali bi kali dengan IMFZ, maka
peranan qiyas jaliy harus ditinggalkan menuju qiyas khafiyy, sehingga penggunaan
akad Ijarah IMFZ pada MMq indent menjadi pratik yang dibolehkan secara syariah.
(Ket : qiyas jaliy dalam kasus ini adalah menyamakan IMFZ dengan salam, sedangkan
qiyas khafiyy membedakan IMFZ dengan bay kali bi kali.

Di sisi lain, pembiayaan KPRS indent dengan IMFZ harus dikaji dan dianalisis
dengan bantuan ilmu ekonomi makro, sebab mungkin saja secara teori hukum Islam
pembiayaan KPRS MMq Indent lolos, namun dari aspek kajian yang lebih luas, (ilmu
ekonomi makro), transaksi itu menimbulkan resiko kemudhratan, spekulasi properti,
gelembung-gelembung harga, dansebagainya. Nah, kalau ada problem seperti itu, maka
pembiayaan properti indent dengan IMFZ pada MMq, seharusnya dilarang, walaupun
hukum asalnya dibolehkan. (iaei/sbb/dakwatuna)
Penerapan Qiyas Dalam Ek.Islam
Memahami bunga bank dari aspek legal-formal dan secara induktif, berdasarkan
pelarangan terhadap larangan riba yang diambil dari teks (nas), dan tidak perlu
dikaitkan dengan aspek moral dalam pengharamannya. Paradigma ini berpegang pada
konsep bahwa setiap utang-piutang yang disyaratkan ada tambahan atau manfaat dari
modal adalah riba, walaupun tidak berlipat ganda. Oleh karena itu, betapapun
kecilnya, suku bunga bank tetap haram. Karena berdasarkan teori qiys, kasus yang
akan di-qiyas-
kan (fara) dan
kasus yang di-qiyas-kan (asal) keduanya harus disandarkan pada illat jl (illat
yang jelas). Dan kedua kasus tersebut (bunga bank dan riba) disatukan oleh illat
yang sama, yaitu adanya tambahan atau bunga tanpa disertai imbalan. Dengan
demikian, bunga bank sama hukumnya dengan riba.
Penerapan Qiyas dalam Ekonomi Islam
1. Jual beli sistem tengkulak
Sebagai contoh kongkrit, nabi Muhammad SAW pernah bersabda:

Artinya: Janganlah kalian menghalangi kafilah-kafilah dan janganlah orang-orang


kota menjualkan untuk orang-orang desa.
Jual beli tengkulak biasanya dilakukan dengan cara memborong seluruh barang dengan
maksud mengososngkan pasar dan menjualnya ketika permintaan semakin banyak sehingga
harga barang semakin tinggi, jual beli tersebut hukumnya haram, karena termasuk
melakukan upaya menimbun barang. Keharamannya didasarkan kepada illat hukum bahwa
jual beli yang demikian sama dengan penipuan. Yang tertipu bukan hanya pedagang,
tetapi masyarakatpun ikut tertipu, karena adanya upaya penimbunan barang yang
berakibat harga naik.[17]
2. Bunga bank
Memahami bunga bank dari aspek legal-formal dan secara induktif, berdasarkan
pelarangan terhadap larangan riba yang diambil dari teks (nas), dan tidak perlu
dikaitkan dengan aspek moral dalam pengharamannya. Paradigma ini berpegang pada
konsep bahwa setiap utang-piutang yang disyaratkan ada tambahan atau manfaat dari
modal adalah riba, walaupun tidak berlipat ganda. Oleh karena itu, betapapun
kecilnya, suku bunga bank tetap haram. Karena berdasarkan teori qiys, kasus yang
akan di-qiyas-kan (fara) dan kasus yang di-qiyas-kan (asal) keduanya harus
disandarkan pada illat jl (illat yang jelas). Dan kedua kasus tersebut (bunga
bank dan riba) disatukan oleh illat yang sama, yaitu adanya tambahan atau bunga
tanpa disertai imbalan. Dengan demikian, bunga bank sama hukumnya dengan riba.[18]
Sementara dari segi konteks atau illat, pengharaman riba dalam Alquran adalah
karena adanya faktor zulm, yaitu memungut tambahan utang dari pihak-pihak yang
seharusnya ditolong. Sementara konteks bank adalah niaga (tijrah) untuk mencari
keuntungan bersama antara pihak yang punya modal (investor), pihak yang membutuhkan
modal (debitur/pengusaha), dan pihak perbankan sebagai mediator dan penyedia jasa.
Sehingga sama sekali tidak ada kaitannya dengan tolong menolong antara si kaya dan
si miskin, melainkan upaya kerjasama dalam mengembangkan modal dengan menjadikan
bank sebagai mediator antara penabung, pengusaha dan bank. Karena itu, aspek aniaya
(ketidakadilan) di sini amat kecil kemungkinan terjadi sebab masing-masing pihak
telah saling rela dan mengetahui hak serta kewajibannya masing-masing.[19]
3. Berjual beli di waktu adzan pada hari jumat diharamkan bedasarkan firman
Allah:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman apabila diseur untuk menunaikan sholat pada
hari jumat, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkan jual beli.
Analisis rukun Qiyas pada ayat tersebut menunjukkan bahwa keempat rukun Qiyas telah
ada, yaitu :
jual-beli (al bai) pada saat adzan Jumat sebagai masalah pokok,
ijarah sebagai masalah cabang,
haramnya jual-beli saat adzan Jumat sebagai hukum masalah pokok, yang
dapat diterapkan juga pada masalah cabang (ijarah),
illat, yaitu melalaikan shalat Jumat.
Dengan adanya keempat rukun Qiyas tersebut, dihasilkan hukum masalah cabang, yaitu
haramnya ijarah pada saat adzan Jumat.[20]
4. Jual beli arayah ialah menjual buah kurma yang masih di pohonnya dengan
kurma yang sudah kering diperbolehkan sebagai pengecualian larangan menukar sesuatu
yang sama jenisnya kalau takarannya berbeda. Kebolehan jual beli arayah ini
diterangkan dalam hadist,

Artinya: Rasulullah SAW memberikan kemudahan jual beli arayah bahwa menjual kurma
yang dipohonnya dengan takaran. (HR Bukhari dan muslim dari said bin sabit).[21]
5. Dilarang menawar barang yang sedang ditawar oleh kawannya, berdasarkan
hadist,
Artinya: .dan janganlah menjual barang yang sedang ditawar saudaramu (HR bukhari
dan muslim dari abi hurairah).
Dengan dasar itulah mayoritas ulama memilih pendapat haramnya bentuk-bentuk jual
beli semacam itu, bahkan menganggapnya sebagai kemaksiatan. Karena transaksi
tersebut terjadi sebelum terlaksananya transaksi pertama. Kalau transaksi kedua
terjadi setelah terlaksananya transaksi pertama, sementara si pembeli tidak mungkin
membatalkan transaksi tersebut, tidak ada larangan dalam hal ini, karena masalah
tersebut tidak menimbulkan bahaya. Transaksi jual beli tersebut tanpa seizin
penjual pertama. Kalau penjual pertama mengizinkannya, tidak menjadi masalah,
karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, kecuali bila penjual pertama
atau peminang pertama mengizinkannya.[22]

Anda mungkin juga menyukai