Anda di halaman 1dari 19

KAJIAN SOSIO-YURIDIS TERHADAP MUNCULNYA OBRAL IZIN

PERTAMBANGAN PASCA PEMILUKADA DALAM ERA OTONOMI DAERAH


(Studi di Kawasan Pertambangan Batu Bara Kota Samarinda)
Syam Hadijanto
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang
valdimirsem@yahoo.co.id

ABSTRAK
Kota Samarinda merupakan satu-satunya kota yang memiliki aktifitas pertambangan di
tengah kota, hal ini diakibatkan munculnya fenomena obral izin pertambangan batu bara
pasca pemilukada di Kota Samarinda, sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap
masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi
munculnya obral izin pertambangan, serta penegakan hukum yang dilakukan oleh
pemerintah Kota Samarinda. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini ialah bahwa faktor yang
mendominasi munculnya obral izin pertambangan di kota berupa faktor internal dan
eksternal, yakni terdapatnya salah kelola pelaksanaan otonomi daerah, dan kurangnya
ketegasan dari pihak pemerintah dalam pengeluaran izin usaha pertambangan, serta telah
terbangunnya konsensus politik sebelum pelaksanaan pemilukada. dan terkait dengan
penegakan hukum yang dilakukan, masih bersifat reaksionir dan tidak berupaya untuk
mencegah munculnya obral izin pertambangan di Kota Samarinda.
Kata Kunci : Obral Izin, Pertambangan, Pemilukada, Otonomi Daerah

PENDAHULUAN
Pasca bergulirnya reformasi yang digelorakan pada tanggal 21 Mei 1998,1 yang
menitikberatkan kepada aspirasi daerah, yang selama ini terbendung oleh rezim pemerintahan
orde baru yang sentralistik, akhirnya mampu menciptakan sebuah format baru dalam sturktur
ketatanegaraan di Indonesia, yakni melalui lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Otonomi Daerah yang bertujuan untuk lebih meningkatkan pelayanan serta peran
serta masyarakat daerah dalam upaya pemerataan kesejahteraan masyarakat secara merata.2
Dalam pelaksanaan otonomi daerah yang pada esensinya ialah memberikan kesempatan
kepada daerah untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan melalui otonomi seluas-luasnya,
1
Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan: Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru
(Bandung, 2000), hlm. xxv
2
Lihat Konsideran Menimbang huruf (a) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi
Daerah

1
maka seyogyanya pasca pelaksanaan otonomi daerah ini akan mampu memberikan sebuah
peningkatan yang lebih baik bagi kesejahteraan masyarakat, namun fakta yang ada cenderung
bertentangan, di mana pasca pelaksanaan otonomi daerah yang terjadi ialah meningkatnya
tindakan kesewenang-wenangan pemerintah daerah untuk menarik dana sebesar-besarnya
tanpa memperhatikan kondisi daerahnya.3 Khusus dalam bidang pertambangan, yang di mana
merupakan salah satu bidang dalam investasi yang diatur dalam pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945 yang menyebutkan sebagai berikut :Bumi air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Melihat rumusan di atas maka bentuk penguasaan negara terhadap kekayaan sumber
daya alam ini merupakan sebuah wewenang yang berisi wewenang untuk mengatur,
mengurus, dan mengawasi pengelolaan atau pengusahaan, serta berisi kewajiban untuk
mempergunakaannya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,4 maka sudah seharusnya
pengelolaan sumber daya pertambangan ini dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Pasca penerapan otonomi daerah kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidaklah lagi
menjadi monopoli dari pemerintah pusat, karena melalui penerapan otonomi daerah ini
sebagian kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam telah dialihkan dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah, sehingga di dalam pengelolaan tersebut pemerintah daerah
dapat melakukannya sendiri dan/atau menunjuk kontraktor, yang di mana kedudukan
pemerintah adalah sebagai pemberi izin kepada kontraktor yang bersangkutan, dalam bentuk
kuasa pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara,
dan kontrak production sharing.5 Selain kewenangan pengelolaan sumber daya alam yang
telah menjadi kewenangan pemerintah daerah, terkait dengan pemberian izin pertambangan
pasca otonomi daerah juga tidak lagi menjadi kewenangan dari Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral semata-mata, tetapi kini telah menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota, yang dalam hal ini ialah gubernur dan bupati/walikota,6 maka dengan begitu
besarnya kewenangan yang dimiliki oleh daerah dalam mengurusi sendiri pemerintahannya,
seharusnya hal ini pun semakin mendekatkan tujuan utama yang dicanangkan di dalam
pembukaan Undang-Undang dasar 1945 yakni untuk memajukan kesejahteraan umum dan
bukan sebaliknya malah menciptakan kesengsaraan kepada masyarakat, salah satu

3
http://green.kompasiana.com/penghijauan,otonomi daerah menteri makin tak bertaji, diakses tanggal 2
Mei 2013
4
H. Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia (Jakarta, 2007), hlm. 1
5
Ibid, hlm. 1-2
6
Ibid., hlm. 3

2
permasalahan yang muncul terkait kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan
sumber daya alam ialah munculnya obral izin pertambangan yang mengabaikan
kepentingan rakyat dan cenderung menimbulkan bentuk penjajahan baru dalam pemanfaatan
sumber daya alam.
Fakta mengenai keberadaan obral izin pertambangan ini dapat dilihat dari fenomena
yang terjadi di Kota Samarinda yang memiliki potensi pertambangan dalam bahan galian
strategis (golongan A) dan golongan C, di mana saat ini Kota Samarinda telah dikepung oleh
68 izin kegiatan pertambangan batu bara,7 yang ternyata tidak memberikan sebuah
peningkatan terhadap kesejahteraan masyarakat. Dari fakta ini seolah memperlihatkan sisi
gelap dari pelaksanaan otonomi daerah terkait dengan penerbitan izin pertambangan yang
begitu mudahnya dikeluarkan oleh pemerintah daerah tanpa mempertimbangkan dampak
negatifnya terhadap masyarakat dan cenderung keluar dari tujuan esensial sistem perizinan
yang menitikberatkan kepada upaya pengendalian/pengarahan, pencegahan bahaya
lingkungan, serta melindungi objek-objek tertentu.8 Dengan munculnya fenomena obral
izin pertambangan ini, maka sangatlah diperlukan sebuah upaya perbaikan baik dari segi
formulasi regulasi dan kebijakan, serta perlunya sebuah perbaikan dalam konsepsi
pelaksanaan otonomi daerah, sehingga melalui pelaksanaan otonomi daerah dengan
demokrasi yang sesungguhnya mampu melahirkan pemimpin yang kaki dan tangannya tidak
terikat oleh kesepakatan-kesepakatan yang telah dibangun sebelumnya dan mampu
memperjuangkan kepentingan rakyat.
Beranjak dari pemaparan mengenai munculnya obral izin pertambangan ini, maka
penulis merasa perlu untuk melakukan sebuah kajian terhadap faktor pendorong terjadinya
obral izin pertambangan yang terjadi di Kota Samarinda, agar dapat menciptakan sebuah
mekanisme perizinan pertambangan yang berpihak kepada masyarakat, serta dapat
memberikan sebuah pemahaman yang sesungguhnya terkait pelaksanaan otonomi daerah. Hal
inilah yang kemudian mendasari penulis untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan
judul Kajian Sosio-Yuridis Terhadap Munculnya Obral Izin Pertambangan Pasca
Pemilukada Dalam Era Otonomi Daerah (Studi di Kawasan Pertambangan Batu Bara
Kota Samarinda).

7
http://news.detik.com/samarinda dikepung tambang batu bara wali kota akan digugat, diakses tanggal 3
Mei 2013
8
Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan: Problem dan Upaya Pembenahan (Jakarta, 2009), hlm. 11

3
RUMUSAN MASALAH
Bertolak pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini
terdapat beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti, yang kemudian dirumuskan
sebagai berikut :
a. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi munculnya obral izin pertambangan
pasca pemilukada dalam otonomi daerah di Kota Samarinda ?
b. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap munculnya obral izin pertambangan
pasca pemilukada dalam otonomi daerah di Kota Samarinda ?
TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas maka tujuan yang hendak dicapai di dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya
obral izin pertambangan pasca pemilukada dalam otonomi daerah di Kota
Samarinda.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis penegakan hukum terhadap munculnya obral
izin pertambangan pasca pemilukada dalam otonomi daerah di Kota Samarinda.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian yuridis
sosiologis yang merupakan penelitian untuk menemukan teori-teori mengenai proses
terjadinya dan proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat,9 karena itu metode ini
menekankan pada data-data primer yaitu persoalan-persoalan yang dianalisis dalam
hubungannya dengan realita empiris yang berupa hubungan timbal balik antara hukum
dengan realita yang ada.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer dan data sekunder,
yang di mana data primer ini merupakan data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti
dari obyek penelitian, yang dilakukan dengan cara observasi/pengamatan secara langsung
(field reaserch), dan interview atau diskusi secara mendalam dengan stake holder terkait.
Data sekunder dalam penelitian ini merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung oleh
peneliti, baik berupa peraturan perundang-undangan, internet maupun bentuk lain yang
berupa dokumen yang terkait guna melengkapi data primer yang sudah diperoleh, yang
dilakukan dengan studi kepustakaan (library reaserch), yaitu peneliti mengumpulkan bahan-
bahan hukum dari berbagai kepustakaan yang terkait dengan penelitian ini. Sedangkan

9
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta, 2012), hlm. 42

4
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif, yang
dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara
berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan secara
deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat
memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
A.1. Sejarah Kota Samarinda
Samarinda sebagai sebuah kota yang berdiri saat ini, memiliki altar sejarah yang di mana
kota samarinda merupakan bagian atau salah satu wilayah dari kesultanan kutai kartanegara
ing martadipura, di wilayah tersebut belum ada sebuah desa maupun kota, karena di wilayah
tersebut merupakan lahan persawahan dan perladangan beberapa penduduk. Semenjak tahun
1668, rombongan orang-orang bugis wajo yang dipimpin oleh La Mohang Daeng
Mangkona (bergelar pua ado) hijrah dari tanah kesultanan gowa ke kesultanan kutai,
mereka hijarah ke kesultanan kutai karena tidak mau tunduk terhadap perjanjian bongaya,
karena kesultanan gowa telah takluk akibat serangan pasukan belanda.10
Atas kesepakatan dan perjanjian bahwa orang-orang bugis wajo akan membantu
kepentingan raja kutai, terutama dari menghadapi musuh, maka diberikanlah lokasi
perkampungan di sekitar kampung melantai, yang merupakan sebuah daerah rendah yang
baik untuk usaha pertanian, perikanan dan perdagangan, namun karena daerah ini
menimbulkan kesulitan dalam pelayaran karena daerah yang harus berputar (berulak) dengan
banyak kotoran sungai, maka kemudian sultan yang dipertuan kerajaan kutai kartanegara
memerintahkan Pua Ado bersama pengikutnya yang berasal dari sulawesi untuk membuka
perkampungan di daerah tanah rendah. Maksud dan tujuan dari kesultanan kutai untuk
membuka perkampungan tersebut adalah untuk sebagai pertahanan dari serangan bajak laut
asal Filipina yang sering melakukan perampokan di wilayah pantai kerajaan kutai
kartanegara, selain itu tujuan kesultanan kutai kartanegara membuka lahan perkampungan
tersebut ialah untuk memberikan suaka kepada masyarakat bugis akibat peperangan di daerah
asal mereka, tempat inilah yang kemudian diberi nama oleh sultan kutai sama rendah,
yang bermakna bahwa antara penduduk asli dan pendatang berderajat sama dan tidak ada
pembedaan antara orang bugis, kutai, dan banjar serta suku-suku lainnya.11

10
http://www.diansapta.blogspot.com, Asal-Usul Kota Samarinda, diakses tanggal 22 Juni 2013
11
ibid

5
Dari istilah inilah kemudian melahirkan lokasi pemukiman baru yakni samarenda atau
lama-kelamaan menjadi ejaan samarinda, yang sesuai dengan keadaaan lahan atau lokasi
yang terdiri atas dataran rendah dan daerah persawahan yang subur.
A.2. Gambaran Umum Kota Samarinda
Kota Samarinda sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) memiliki luasan
wilayah sebesar 71.800 Ha (sama dengan 718 km2). Kota Samarinda merupakan salah satu
diantara 14 kabupaten/kota yang berada dalam wilayah Provinsi Kaltim, serta berbatasan
langsung dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Kota Samarinda dilalui oleh sungai
Mahakam yang merupakan sungai terpanjang di Kaltim dengan lebar antara 300-500 meter
dan panjang mencapai 920 km.12
Secara astronomis, Kota Samarinda terletak pada posisi antara 11700300 11701814
Bujur Timur dan 0001902 0004234 Lintang Selatan. Pada tahun 2011, suhu di Kota
Samarinda berkisar antara 22,20C sampai 34,80C dengan kelembaban udara berada pada
75% sampai 94%. Curah hujan pada tahun 2011 tergolong tinggi, curah hujan tertinggi
berada pada bulan Mei sebesar 388,6 mm dan terendah berada pada bulan Juni sebesar 95,2
mm. Kota Samarinda beriklim Tropica Humida, yaitu memiliki iklim musim penghujan dan
musim kemarau. Namun pada tahun-tahun terakhir ini, keadaan musim tidak menentu, pada
bulan-bulan yang seharusnya turun hujan dalam kenyataanya tidak ada hujan sama sekali
ataupun sebaliknya.13
Wilayah administratif kota samarinda berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 1996 telah mengalami pemekaran dari yang semula terdiri dari 4 (empat) kecamatan
menjadi 6 (enam) kecamatan, dan pada tahun 2010 dilakukan pemekaran kembali menjadi 10
kecamatan yakni, Kecamatan Samarinda Ilir, Kecamatan Ulu, Kecamatan Samarinda Utara,
Kecamatan Samarinda Seberang, Kecamatan Sungai Kunjang, Kecamatan Palaran,
Kecamatan Loa Janan Ilir, Kecamatan Samarinda Kota, Kecamatan Sambutan, Kecamatan
Sungai Pinang.14
Secara geografis Kota Samarinda memiliki wilayah yang berbatasan dengan wilayah
Kutai Kartanegara antara lain sebagai berikut :15
- Sebelah Utara : Kec. Muara Badak
- Sebelah Timur : Kec. Anggana

12
Bappeda Kota Samarinda, Profil Daerah Kota Samarinda, dalam http//www.
bappedasamarinda.co.id, diakses tanggal 22 Juni 2013
13
Ibid
14
http://www.samarindakota.go.id//lima-prinsip, diakses tanggal 22 Juni 2013
15
http://www.samarindakota.go.id//dinas-pertambangan samarinda, diakses tanggal 22 juni 2013

6
- Sebelah Selatan : Kec. Sanga-Sanga
- Sebelah Barat : Kec. Loa Janan dan Loa Kulu
Dari segi kependudukan yang di mana faktor laju pertumbuhan penduduk saat ini
menjadi prioritas pemerintah kota samarinda, karena laju pertumbuhan penduduk yang linier
dengan angka kemiskinan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan data BPS,16 tahun 2011 jumlah penduduk Kota Samarinda terjadi
peningkatan sebesar 28.130 jiwa dari tahun 2010 menjadi 755.630 jiwa dengan kepadatan
berkisar 1.052 jiwa/km2. Terhitung dalam kurun waktu 2000-2011 pertumbuhan penduduk
Kota Samarinda sebesar 3,43 %. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya daya
tarik lokal Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) yang memiliki sumber daya alam berlimpah,
sehingga mendorong penduduk luar daerah untuk migrasi ke Kalimantan Timur di mana
sebagian besar memilih untuk berdomisili di ibu kota provinsi yaitu Samarinda.
A.3. Potensi Sumber Daya Batu Bara Kota Samarinda
Usaha pertambangan di Kalimantan saat ini sedang mencapai puncak kejayaan, hal ini
dapat dilihat dari pesatnya perkembangan perusahaan yang melakukan eksplorasi di wilayah
Kalimantan Timur, khususnya Kota Samarinda sektoral pertambangan merupakan sektor
yang mendominasi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Kota Samarinda selain
perdagangan dan jasa. Perkembangan sektoral pertambangan di Kota Samarinda ini
mengakibatkan Samarinda menjadi satu-satunya ibukota Provinsi yang menjadi kota
tambang, di mana hampir tiga perempat wilayah Kota Samarinda sudah ditetapkan menjadi
wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), atau setidaknya terdapat 68 perusahaan tambang
yang beroperasi di wilayah kota samarinda, di mana 63 izin dikeluarkan oleh pemerintah
Kota Samarinda, dan 1 perusahaan dikeluarkan izinnya oleh pemerintah Provinsi, dan 4
lainnya oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).17
Perhitungan Sumber daya batu bara di daerah kota Samarinda didasarkan hasil korelasi
dan interpretasi data pemboran dan singkapan batu bara serta kondisi topografinya.
Penyebaran lapisan batu bara yang relatif stabil dan menerus, maka sumberdaya batu bara
dihitung dengan cara sederhana, yaitu luas penyebaran batu bara dikalikan dengan ketebalan
batu bara (rata-rata) serta berat jenisnya (rata-rata), dengan memperhitungkan kemiringan
lapisan batu bara. Perhitungan dilakukan berdasarkan kedalaman batu bara dari lapisan batu
bara rata-rata permukaan tanah ke arah kemiringan batu bara, yaitu untuk kedalaman vertikal

16
Bappeda Kota Samarinda, Ibid
17
Siti Kotijah, Pengaturan Hukum Lingkungan Dalam Pengelolaan Usaha Pertambangan Batu Bara
di Kota Samarinda, dalam http://www.kotijah.blogspot.com, diakses tanggal 18 Juni 2013

7
25 meter, 50 meter dan 75 meter. Berdasarkan perhitungan tersebut potensi batu bara yang
ada di Kota Samarinda dapat di tampilkan ke dalam grafik berikut :18

Grafik I : Potensi Batu Bara Kota Samarinda

Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa Kota Samarinda Memiliki potensi batu bara
yang cukup berlimpah, namun dalam perjalanan Kota Samarinda, potensi batu bara yang
melimpah ini belum mampu memberikan sebuah dampak positif bagi masyarakat Kota
Samarinda, hal ini dikarenakan pendapatan daerah dari sektoral pertambangan ini masih jauh
di bawah biaya yang dibutuhkan untuk menanggulangi efek yang ditimbulkan dari eksplorasi
batu bara di Kota Samarinda.19
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Obral Izin Pertambangan
Pasca Pemilukada dalam Era Otonomi Daerah di Kota Samarinda
Penerapan otonomi daerah dewasa ini telah membuka ruang bagi pemerintah daerah
untuk mengurusi sendiri rumah tangganya, termasuk dalam hal perizinan yang terkait dengan
izin pertambangan, dengan desain desentralisasi ini akhirnya telah berimplikasi pada,
terbukanya sebuah ruang yang spesifik kepada birokrasi pemerintah daerah untuk berkreasi
dan berinovasi dalam akselearasi pembangunan wilayahnya.
Salah satu fenomena yang kemudian muncul akibat adanya sebuah kewenangan yang
begitu besar dari daerah, ialah munculnya obral izin pertambangan, salah satu daerah yang
menjadi objek penelitian dalam tulisan ini ialah Kota Samarinda, yang sekarang telah
berubah wajah menjadi satu-satunya kota yang terdapat begitu banyak aktifitas tambang di
dalam kota, hal ini tentunya memberikan sebuah identitas baru bagi kota samarinda, selain
sebagai Kota Tepian (Teduh, Rapi, Aman, dan Nyaman), juga sebagai sebuah kota wisata
pertambangan, istilah ini tidaklah serta merta penulis munculkan begitu saja, tetapi hal ini
merupakan sebuah fakta di mana wilayah Kota Samarinda saat ini telah dikepung oleh 68 izin

18
http://www.samarindakota.go.id//Potensi Pertambangan Samarinda, diakses tanggal 22 Juni 2013
19
Abu Meridian, et.al., Mautnya Batu Bara: Pengerukan Batu Bara & Generasi Suram Kalimantan
(Jakarta, 2010), hlm. 24-25

8
kegiatan pertambangan batu bara, yang jelas sangat berdampak luar biasa bagi lingkungan,
dengan demikian telah terjadi sebuah peningkatan yang cukup drastis dalam hal penerbitan
izin pertambangan di Kota Samarinda yang pada tahun 2011 hanya berjumlah 21 izin dengan
rincian sebagai berikut :
Tabel I
Daftar Izin Usaha Pertambangan (IUP) Batu Bara Kota Samarinda
No Nama Perusahaan Luas (Ha) Lokasi
1 CV. Arjuna 691,80 Sambutan
2 CV. Atatp Tri Utama 414,30 Sanga-Sanga
3 CV. Al Arqom 1.022,90 Bentuas
4 PT. Busur Abadi 791,76 Air Putih
5 CV. Berkat Nanda 433,20 Sungai Mariam
6 CV. Buana Rizky 69,40 Sungai Lantung
7 CV. Utia Ilma 198,54 Gunung Pinang
8 CV. Cahaya Tiara 1.008, 47 Sambutan
9 PT. Internasioanal Prima Coal 2.828 Loa Janan dan Sanga-Sanga
10 PT. Lana Harita Indonesia 15.243,90 Sungai Siring
11 CV. Limbuh 1.200 Sambutan
12 CV. Mampala Jaya 184,60 Sungai Mariam
13 PT. Panca Prima Mining 428,80 Sambutan
14 CV. Prima Jaya 132,40 Samarinda Ulu
15 Koperasi Putra Mahakam 94,50 Sambutan
16 PT. Graha Benua Etam 490,00 Gunung Pinang
17 PT. Rinda Putra Sejahtera 644,10 Sungai Siring
18 CV. Sungai Berlian 270,00 Sanga-Sanga
19 CV. Shaka Jaya 94,92 Sungai Siring
20 CV. Tujuh-Tujuh 183,00 Sambutan
21 CV. Wahyu Mulia Jaya 496,30 Gunung Pinang
Sumber : Dinas Pertambangan Kota Samarinda 2011
Dengan adanya sebuah peningkatan yang cukup tajam terkait pengeluaran izin usaha
pertambangan (IUP) di Kota Samarinda dari tahun 2011-2013, maka dalam hal ini haruslah
disikapi dengan bijak oleh pemerintah Kota Samarinda, mengingat batu bara merupakan
salah satu dari bahan pertambangan yang termasuk dalam golongan sumber daya alam yang
tidak dapat diperbaharui atau sumber daya terhabiskan, yang di mana sumber daya alam ini
tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis dan terbentuk melalui proses geologi
yang memerlukan waktu sangat lama untuk dapat dijadikan sebagai sumber daya alam yang
siap diolah atau siap pakai dan apabila dieksploitasi sebagian, maka jumlah yang tinggal tidak
akan pulih kembali seperti semula,20 sehingga dalam pengelolaan sumber daya pertambangan
batu bara yang merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui ini, haruslah dilakukan

20
Marilang, Pengelolaan Sumber Daya Alam Tambang, Jurnal Al-Risalah, Vol.11/No.1, Mei 2011, hlm. 3

9
dengan penuh pertimbangan agar dalam pengelolaannya dapat benar-benar memberikan
kesejahteraan kepada masyarakat secara adil dan merata.
Salah satu dampak nyata yang terlihat dari adanya fenomena obral izin pertambangan
di Kota Samarinda ialah semakin sering terjadinya banjir di Kota Samarinda, ketika intensitas
curah hujan meningkat, titik-tik banjir pun semakin banyak seperti di wilayah bundaran Mall
Lembuswana, Jalan DI. Panjaitan, Jalan M. Yamin, dan termasuk di lingkungan kampus
Universitas Mulawarman Jalan Gunung Kelua.21 Dampak lain yang juga dirasakan dengan
begitu banyaknya aktifitas pertambangan di Kota Samarinda menurut salah satu simpatisan
JATAM (Jaringan Avokasi Tambang) Kota Samarinda, ialah mulai menurunya kualitas air
sungai, danau, dan rawa, serta juga berdampak langsung kepada pencemaran lahan pertanian
dan tambak warga,22 kemudian terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya
fenomena obral izin pertambangan di Kota Samarinda, menurutnya hal ini dipengaruhi oleh
lemahnya ketegasan dari pihak pemerintah Kota Samarinda untuk membentuk sebuah sistem
kelola perizinan pertambangan secara terpadu dan berpihak kepada penciptaan kesejahteraan
masyarakat, di mana sejatinya pertambangan merupakan salah satu aktifitas untuk
mensejahterakan masyarakat, namun dengan terjadinya sebuah salah kelola dalam
pertambangan, maka hal ini akan dapat berdampak negatif kepada masyarakat, dan akan
cenderung menimbulkan sebuah konflik horizintal.
Salah satu fakta unik yang dapat ditelusuri terkait dengan munculnya fenomena obral
izin pertambangan di Kota Samarinda, ialah dapat di lihat dalam visi dan misi Kota
Samarinda yaitu, terwujudnya Kota Samarinda sebagai Kota Metropolitan yang berbasis
industri, perdagangan dan jasa yang maju, berwawasan lingkungan dan hijau, serta
mempunyai keunggulan daya saing untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan
untuk mewujudkan visi tersebut salah satu misi yang dikedepankan ialah salah satunya
dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan income percapita.23
Dari visi dan misi di atas dapat terlihat bahwa maraknya obral izin pertambangan ini
seolah-olah dipengaruhi oleh adanya sebuah usaha pencapaian pendapatan asli daerah (PAD)
yang sebesar-besarnya, namun jika kita mampu melihat secara jeli persoalan ini, maka
tidaklah semata-mata hal ini didominasi oleh keinginan peningkatan PAD, tetapai ketika
dilihat dari besaran kontribusi sektor pertambangan batu bara terhadap perekonomian Kota
Samarinda yang ternyata justru relatif kecil yakni hanyalah 6,3% dari total pendapatan

21
Hasil pengamatan yang penulis lakukan di Kota Samarinda, dalam medio Juli-Agustus 2013
22
Diskusi yang dilakukan dengan Bayu Setyo Nugroho, salah satu simpatisan JATAM (Jaringan Advokasi
Tambang)
23
Termuat dalam visi dan misi Kota Samarinda, dalam penelusuran di Balai Kota Samarinda.

10
domestik regional bruto (PDRB), sektor yang paling besar memberikan kontribusi terhadap
PDRB Kota Samarinda ialah dari sektor perdagangan/hotel dan pariwisata sebesar 28%,
industri pengolahan sebesar 20%, jasa sebesar 12%,24 dengan adanya fakta ini maka
kemudian dapat disimpulkan bahwa munculnya fenomena obral izin pertambangan di Kota
Samarinda tidaklah didominasi oleh keinginan untuk meningkatkan PAD, tetapi lebih
didominasi oleh adanya sebuah konsensus politik yang dibangun sebelum pelaksanaan
pemilukada di Kota Samarinda khususnya, dan Provinsi Kalimantan Timur pada umumnya,
sehingga dengan demikian terjadilah sebuah kondisi di mana pemerintah kemudian didikte
oleh para investor dalam hal peneribitan izin pertambangan, yang ternyata hal ini juga tidak
dibarengi dengan adanya sebuah instrumen perizinan yang benar-benar mengedepankan
konsep berwawasan lingkungan sebagaimana yang tertuang dalam visi dan misi Kota
Samarinda.
Selain adanya konsensus politik yang dibangun sebelum pemilukada, fenomena obral
izin pertambangan ini juga muncul dari kurangnya kebijaksanaan dari pemerintah Kota
Samarinda dalam melakukan verifikasi kemampuan investor, kemampuan Sumber Daya
Manusia (SDM) dalam konteks pertambangan, data kekayaan Sumber Daya Alam (SDA),
serta kemampuan analisa perusahaan.25 Hal ini didukung dengan begitu banyaknya izin
pertambangan yang bermasalah di Kota Samarinda, dan berujung kepada sebuah pencabutan
Izin Usaha Pertambangan (IUP), berdasarkan data yang didapatkan dari Pemerintah Kota
Samarinda terkait dengan evaluasi Pengawasan Pertambangan Batu Bara, terdapat 10
perusahaan yang mendapatkan peringatan tertulis, dan 2 perusahaan dihentikan sementara
kegiatannya, serta 1 perusahaan direkomendasikan untuk dicabut izin lingkungannya, yang
setelah melewati proses administrasi selanjutnya dapat berkembang ke proses pencabutan
Izin Usaha Pertambangan (IUP).26 Dengan demikian terdapat sebuah kesalahan dari
pemerintah Kota Samarinda, dalam hal ini ialah Dinas Pertambangan dan Energi
(DISTAMBEN) yang tidak mengindahkan syarat-syarat atau kriteria di dalam penerbitan izin
pertambangan, sebagaimana yang dimaksud di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010
Tentang Wilayah Pertambangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, seperti persyaratan

24
Diambil dari data Pendapatan Domestik Regional Bruto Kota Samarinda Periode 2006-2010
25
Diolah dari hasil studi lapangan dengan metode diskusi dengan stake holder terkait dengan
permasalahan obral izin pertambangan di Kota Samarinda
26
Pemerintah Kota Samarinda, Hasil evaluasi bulanan pengawasan Pertambangan Batu Bara Kota
Samarinda Tahun 2013

11
AMDAL, lokasi kuasa pertambangan yang tidak boleh di daerah perkotaan, serta jaminan
reklamasi yang harus dipenuhi oleh perusahaan.
B.1. Analisis
Dari pemaparan terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya fenomena
obral izin pertambangan di Kota Samarinda, dapat dikerucutkan bahwa munculnya
fenomena obral izin pertambangan ini didominasi oleh faktor internal dan eksternal, di
mana faktor internal merupakan faktor yang berasal dari pemerintah dalam menjalankan
sebuah instrumen pemerintahan, yang pertama ialah adanya salah kelola dalam pelaksanaan
esensial Otonomi Daerah, terutama dalam hal pengelolaan instrumen perizinan terpadu dalam
bidang pertambangan, yang di mana sistem perizinan yang dijalankan cenderung
mengabaikan kepentingan masyarakat, dan dampak sosial ekonomi serta lingkungan dari
adanya aktifitas pertambangan yang begitu besar di Kota Samarinda, yang kedua ialah
kurangnya kebijaksanaan dari pemerintah Kota Samarinda untuk mempertegas pengeluaran
izin usaha pertambangan (IUP) bagi sebuah perusahaan, apakah telah memenuhi persyaratan
yang ditentukan di dalam regulasi yang mengatur, dan lebih bisa menilai apakah izin yang
akan dikeluarkan nantinya akan mampu mendorong laju tingkat perekonomian bagi Kota
Samarinda.
Selanjutnya faktor eksternal yang merupakan faktor yang berasal dari luar pemerintah
yang secara langsung turut serta mempengaruhi kinerja pemerintah, yakni terbangunnya
sebuah konsensus politik sebelum pelaksanaan pemilukada di Kota Samarinda pada
khususnya dan Provinsi Kalimantan Timur pada umumnya, sehingga hal ini menyebabkan
terdiktenya pemerintah oleh para pihak investor, yang mengakibatkan tangan dan kaki
pemerintah sangat terikat oleh konsensus politik yang ada, sehingga akhirnya berujung
kepada tidak efektifnya pelaksanaan otonomi daerah di Kota Samarinda, terutama dalam hal
perizinan pertambangan, yang berimplikasi secara langsung terhadap kurang maksimalnya
pencapaian perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Samarinda.
Yang menjadi sebuah fokus perhatian dari munculnya fenomena obral izin
pertambangan ini ialah dampak yang ditimbulkan dari adanya aktifitas pertambangan yang
berlebih, dan cenderung mengabaikan sisi-sisi keberlanjutan (suistainability), di mana dalam
pengelolaan sumber daya batu bara haruslah dapat memberikan sebuah efek positif bagi
masyarakat, namun dengan tidak diindahkannya prosedur dan tata cara pengeluaran izin
pertambangan, maka hal ini akan berdampak buruk terhadap tata kelola pertambangan batu
bara di Kota Samarinda, karena tentunya biaya yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki
dampak negatif dari adanya aktifitas tambang yang berlebih ini, akan lebih besar dari hasil

12
yang diperoleh oleh Pemerintah Kota Samarinda dari sektor pertambangan batu bara,
sehingga sengatlah diperlukan sebuah kebijakan dari pemerintah Kota Samarinda untuk
memmperketat prosedur penerbiatan Izin Usaha Pertambangan di Kota Samarinda, dan
segera melakukan penertiban terhadap izin-izin yang telah dikeluarkan yang ternyata tidak
memenuhi syarat dan kriteria yang diamanahkan di dalam regulasi, hal ini guna
mengefektifkan kembali pengelolaan pertambangan batu bara dalam era otonomi daerah, agar
tetap sesuai dengan esensi dalam pelaksanaan otonomi daerah yakni untuk menciptakan
kesejahteraan yang merata bagi masyarakat, sehingga secara umum munculnya obral izin
pertambangan di Kota Samarinda ini dikarenakan lemahnya struktur aparatur negara, hal ini
sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Soerjono Soekamto, bahwa penegakan hukum
sangatlah dipengaruhi oleh 3 sisi yakni, subtansi, aparatur negara (struktur), budaya hukum
masyarakat.27
C. Penegakan Hukum Terhadap Munculnya Fenomena obral izin Pertambangan
Pasca Pemilukada dalam Era Otonomi Daera di Kota Samarinda
Setelah melihat faktor-faktor yang mendominasi munculnya obral izin pertambangan
di Kota Samarinda, maka dalam pembahasan ini akan dikemukakan mengenai penegakan
hukum yang telah dilakukan oleh instansi-instansi terkait dalam hubungannya dengan
munculnya fenomena obral izin pertambangan di Kota Samarinda. Dengan melihat kepada
esensial dari pelaksanaan otonomi daerah ialah untuk mampu menciptakan kesejahteraan bagi
masyarakat daerah, sehingga dengan adanya hal ini, maka sistem perizinan dalam bidang
pertambangan seharusnya mampu memainkan sebuah peran penting dalam upaya menarik
investor untuk menanamkan modalnya, sehingga sangatlah perlu didukung dengan adanya
sebuah format regulasi yang benar-benar mampu menjaga kualitas izin yang dikeluarkan,
guna mencegah dampak negatif dari adanya aktifitas pertambangan di Kota Samarinda.
Terkait dengan adanya fenomena obral izin pertambangan di Kota Samarinda, bentuk
penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah Kota Samarinda ialah dengan melakukan
sebuah upaya pereventif dengan cara melakukan penyuluhan, pemantauan, dan penggunaan
wewenang yang sifatnya pengawasan secara aktif, yang diwujudkan melalui sosialisasi
penataan perundang-undangan berkaitan dengan baku mutu limbah, emisi udara, dan limbah
B3, serta pelaksanan penilaian Program Peringkat Kinerja Perusahaan Pertambangan Batu
Bara (PROPER Batu Bara) terhadap perusahaan yang telah melakukan eksploitasi, kemudian
bentuk penegakan hukum secara represif yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Samarinda

27
Soerjono Soekamto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta, 2002), hlm. 8

13
ialah berupa tindakan represif terhadap perusahaan pertambangan yakni berupa sanksi
administratif sebagaimana yang tertuang dalam pasal 76 UU No. 39 Tahun 2009 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), yang kemudian dapat berujung terhadap
pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Salah satu bentuk penegakan hukum secara represif oleh pemerintah Kota Samarinda
ialah dengan melakukan evaluasi bulanan terhadap kegiatan tambang batu bara di Kota
Samarinda, yang menghasilkan adanya rekomendasi untuk dicabutnya izin lingkungannya,
dan juga terdapat perusahaan yang diberhentikan sementara kegiatannya, hal ini telah
memperlihatkan sebuah keseriusan dari pemerintah untuk melakukan sebuah penertiban dari
adanya obral izin pertambangan di Kota Samarinda.28 Namun berdasarkan fakta yang
dihimpun, penegakan hukum yang dilakukan dalam upaya mencegah adanya fenomena
obral izin pertambangan di Kota Samarinda ternyata masih dilakukan setengah hati, di
mana belum nampak ketegasan dari pemerintah untuk menertibkan usaha pertambangan
tersebut, dan seolah-oalah hanya memberikan peringatan kepada para perusahaan tambang
tanpa adanya sebuah usaha untuk menertibkan penerbitan izin usaha pertambangan, hal ini
dibuktikan dengan semakin meningkatnya Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan
pasca pemilukada, yang di tengarai hal ini ialah sebuah bentuk upaya pengembalian cost
biaya politik yang telah dikeluarkan selama pemilukada. Dengan demikian maka sangatlah
diperlukan sebuah kebijaksanaan dari pihak pemerintah Kota Samarinda untuk mampu
bersikap tegas dalam melakukan penegakan hukum terhadap maraknya obral izin
pertambangan, melalui sebuah format tata kelola tepadu dalam hal penerbitan izin
pertambangan, serta menerpakan formulasi sanksi yang nyata dan tegas dalam menindak
perusahaan yang tidak mengindahkan prosedur dalam pelaksanaan aktifitas pertambangan di
Kota Samarinda. Hal ini dilakukan untuk dapat mengembalikan esensial dari pelaksanaan
otonomi daerah yakni penciptaan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat daerah,
sehingga dengan adanya pertambangan akan mampu memberikan sebuah angin positif bagi
perbaikan kesejahteraan masyarakat, dan bukan malah sebaliknya justru cenderung
menyengsarakan masyarakat.
C.1. Analisis
Berdasarkan pemaparan terkait dengan penegakan hukum terhadap munculnya fenomena
obral izin pertambangan di Kota Samarinda, belumlah dilakukan secara maksimal, hal ini
dikarenakan penegakan hukum yang dilakukan masih bersifat setengah hati, di mana masih

28
Kaltim Post, Satu Izin Lingkungan di Cabut, 29 Agustus 2013

14
berada dalam tataran upaya penertiban tanpa adanya sebuah upaya untuk mencegah
terjadinya obral izin, penegakan hukum yang dilakukan masih bersifat upaya reaksionir, di
mana persoalan pertambangan ini telah mendapat sorotan tajam dari masyarakat secara
umum, dan juga oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM), sehingga untuk menghindari
terjadinya sebuah konflik berkepanjangan, pemerintah akhirnya mengambil tindakan untuk
melakukan penertiban terhadap pertambangan yang tidak mengindahkan prosedur perizinan.
Jika dikaitkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, maka dalam
hal ini sangatlah dibutuhkan sebuah harmonisasi dari 3 aspek yakni, subtansi perturan
perundang-undangan, aparatur penegak hukum, serta budaya hukum masyarakat. Dalam
aspek perundang-undangan yang ada, belumlah memadai untuk mengakomodir persoalan
obral izin, sehingga sangatlah dibutuhkan sebuah peraturan perundang-undangan yang
secara spesifik mengatur mengenai pengelolaan pertambangan batu bara yang lebih
mengedepankan aspek sumber daya manusia, serta sarana dan prasarana penunjang, guna
mendukung sebuah efektifitas pengelolaan sumber daya batu bara di Kota Samarinda,
kemudian dari sisi aparatur penegak hukum, belumlah ada sebuah tindakan yang nyata untuk
menanggulangi persoalan obral izin pertambangan, karena hal ini didukung dengan adanya
sebuah pembangunan konsensus politik yang terjadi sebelum pelaksanaan pemilukada,
sehingga menyebabkan proses penegakan hukum menjadi sangat terhambat, dan hal ini juga
didukung dengan kondisi masyarakat yang pasif dan cenderung tidak mengetahui secara pasti
mengenai dampak negatif fari adanya aktifitas pertambangan secara berlebihan.
Dengan lemahnya bentuk penegakan hukum terhadap munculnya fenomena obral izin
pertambangan di Kota Samarinda, yang cenderung dilakukan setelah adanya obral izin,
maka kedepannya sangatlah diperlukan sebuah bentuk kebijaksanaan dari pihak pemerintah
untuk mencegah terjadinya persoalan ini melalui sebuah upaya pengetatan persyaratan proses
perizinan dan juga mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan, guna mencegah terjadinya
peluang obral izin pertambangan di Kota Samarinda, serta perlulah dibukakan sebuah
wacana penguatan kembali kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah,
dalam hal pengawasan terhadap pelaksanaan otonomi daerah, terkait perizinan di bidang
pertambangan, guna membentuk sebuah singkronasi kebijakan pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, agar mendukung efektiifitas pelaksanaan otonomi daerah yang mampu
menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.

15
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan sebelumnya terkait dengan munculnya fenomena obral izin
pertambangan di Kota Samarinda, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. Faktor yang mempengaruhi munculnya fenomena obral izin pertambangan di Kota
Samarinda ialah dipengaruhi oleh 2 faktor, yakni faktor internal dan ekstenal, di
mana faktor internal yang mempengaruhi ialah, yang pertama adanya salah kelola
dalam pelaksanaan esensial Otonomi Daerah, terutama dalam hal pengelolaan
instrumen perizinan terpadu dalam bidang pertambangan, kedua ialah kurangnya
kebijaksanaan dari pemerintah kota samarinda untuk mempertegas pengeluaran IUP
bagi sebuah perusahaan. Faktor eksternal yang mempengaruhi ialah terbangunnya
sebuah konsensus politik sebelum pelaksanaan pilkada di Kota Samarinda, sehingga
hal ini menyebabkan terdiktenya pemerintah oleh para pihak investor, yang akhirnya
berimplikasi langsung terhadap munculnya fenomena obral izin pertambangan di
Kota Samarinda.
b. Penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah Kota Samarinda terhadap
munculnya fenomena obral izin pertambangan ialah dengan melakukan sebuah
upaya preventif berupa melakukan penyuluhan, pemantauan, dan penggunaan
wewenang yang sifatnya pengawasan secara aktif, kemudian penegakan hukum yang
dilakukan secara represif ialah berupa tindakan represif terhadap perusahaan
pertambangan yakni berupa sanksi administratif, mulai dari pencabutan izin
lingkungan, hingga pencabutan IUP, namun penegakan hukum tersebut masih
dilakukan setengah hati, di mana belum nampaknya sebuah ketegasan dari
pemerintah Kota Samarinda dalam menertibkan fenomena tersebut, dengan
melakukan sebuah upaya pengetatan persyaratan penerbitan izin pertambangan di
Kota Samarinda.
B. Saran
Melihat pentingnya permasalahan obral izin pertambangan pasca pemilukada di Kota
Samarinda ini, maka penulis merasa penting untuk mengajukan rekomendasi, yang dapat
dijadikan pertimbangan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, yakni sebagai berikut:
a. Perlu adanya sebuah regulasi yang mengatur secara rinci tentang pelaksanaan
pertambangan di Kota Samarinda yang juga mengakomodir aspek-aspek sumber
daya manusi (SDM), serta sarana dan prasarana dalam aktifitas pertambangan di
Kota Samarinda.

16
b. Perlu dibuka kembali sebuah wacana penguatan kewenangan gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah, dalam hal pengawasan terhadap jalannya otonomi
daerah, guna mengontrol terjadinya sebuah fenomena obral izin di bidang
pertambangan, sehingga batu bara sebagai sebuah sumber daya alam dapat
membawa berkah positif bagi masyarakat dan bukan melahirkan penjajahan secara
terbuka pada masyarakat.

17
DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU :

Fatah, Eep Saefulloh. 2000. Zaman Kesempatan: Agenda-Agenda Besar Demokratisasi


Pasca Orde Baru, Bandung; Mizan.

Meridian, Abu. et.al.. 2010. Mautnya Batu Bara: Pengerukan Batu Bara & Generasi
Suram Kalimantan. Jakarta: Jaringan Advokasi Tambang.

Salim HS, H, 2007. Hukum Pertambangan di Indonesia, Jakarta; Rajawali Pers.

Soekanto, Soerjono, 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta; UI Press.

Sri Pudyatmoko, Y, 2009. Perizinan: Problem dan Upaya Pembenahan, Jakarta, Grasindo.

Sunggono, Bambang, 2012. Metode Penelitian Hukum, Jakarta; Rajawali Pers.

JURNAL ILMIAH & SURAT KABAR :

Marilang. 2011. Pengelolaan Sumber Daya Alam Tambang, Jurnal Al-Risalah, Vol.11
No.1, Mei 2011.

Kaltim Post, Satu Izin Lingkungan di Cabut, 29 Agustus 2013.

WEBSITE :

Bappeda Kota Samarinda, Profil Daerah Kota Samarinda, dalam http//www.


bappedasamarinda.co.id, diakses tanggal 22 Juni 2013

Siti Kotijah, Pengaturan Hukum Lingkungan Dalam Pengelolaan Usaha Pertambangan


Batu Bara di Kota Samarinda, dalam http://www.kotijah.blogspot.com, diakses
tanggal 18 Juni 2013

http://green.kompasiana.com/ penghijauan,otonomi daerah menteri makin tak bertaji, diakses


tanggal 2 Mei 2013.

http://news.detik.com/samarinda dikepung tambang batu bara wali kota akan digugat, diakses
tanggal 3 Mei 2013.

http://www.diansapta.blogspot.com, Asal-Usul Kota Samarinda, diakses tanggal 22 Juni 2013

http://www.samarindakota.go.id//Potensi Pertambangan Samarinda, diakses tanggal 22 juni


2013

http://www.samarindakota.go.id//lima-prinsip, diakses tanggal 22 Juni 2013

http://www.samarindakota.go.id//dinas-pertambangan samarinda, diakses tanggal 22 juni


2013

18
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara

Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 Tentang Wilayah Pertambangan

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha


Pertambangan Mineral dan Batu Bara

19

Anda mungkin juga menyukai