Anda di halaman 1dari 9

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadis Rasulullah saw. Selain sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah
alquran, juga berfungsi sebagai penjelas bagi alquran, menjelaskan yang global,
mengkhususkan yang umum, dan menafsirkan ayat-ayat alquran[1]. Hadis memiliki dua
peranan penting : (1) secara struktural sebagai sumber ajaran islam kedua setelah
alquran, (2) sebagai bayan (penjelas) terhadap alquran. Karenanya, hadis memiliki
kewenangan dalam menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam alquran.
Sungguhpun demikian, dibandingkan alquran, hadis harus melalui prosedur yang ketat
untuk sampai derajat hadis yang sahih.[2]

Penelitian hadis, terutama hadis ahad[3] (baik yang masyhur[4] maupun


yang aziz[5] perlu dilakukan, bukan berarti meragukan hadis Nabi Muhammad saw., tetapi
melihat keterbatasan perawi hadis sebagai manusia, yang adakalanya melakukan
kesalahan, baik karena lupa maupun karena didorong oleh kepentingan tertentu.
Keberadaan perawi hadis sangat menentukan kualitas hadis, baik kualitas sanad maupun
kualitas matan hadis.
Adapun objek terpenting dalam rangka penelitian hadis ada dua, yaitu: (1) materi
hadis itu sendiri (matn al-hadits) dan (2) rangkaian terhadap sejumlah periwayat yang
menyampaikan riwayat hadis (sanad al-hadits).[6]
Dalam pembahasan makalah ini penulis terkhusus akan mencoba membahas sanad
hadist dan permasalahan-permasalahan yang terjadi didalamnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat merumuskan masalah yang
akan diangkat yaitu :
1. Pengertian Metode kritik sanad hadis
2. Sejarah singkat munculnya kritik sanad hadis
3. Urgensi penelitian sanad hadis
4. Kriteria kesahihan dan ketersambungan sanad hadi

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Metode Kritik Sanad Hadis
Kata kritik merupakan alih bahasa dari kata Naqd[7] yang berarti berusaha
menemukan kebenaran.[8] Namun kritik yang dimaksud disini adalah upaya mengkaji
hadis rasulullah Saw. untuk menentukan hadis yang benar-benar datang dari Nabi
Muhammad Saw.[9]
Kata sanad dalam bahasa arab sinonim dengan kata daama yang mengandung arti
menopang atau menyangga,[10] jamaknya Asnad dan Sanadat Sedangkan menurut istilah
hadis, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jamaah dan Al-Thiby
mengatakan bahwa sanad adalah:
Berita tentang jalan matan. Yang lain
menyebutkan: Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadis), yang
menyampaikannya kepada matan hadis. Ada juga yang
menyebutkan: silsilah perawi yang menukilkan
hadis dari sumbernya yang pertama.[11] Sementara Drs. Fathur Rahman dalam bukunya
Ikhtisar Musthalahul Hadis mengatakan bahwa sanad ialah jalan yang dapat
menghubungkan matnul-Hadist kepada junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. misalnya
seperti kata Bukhary:
: :
)( ..... :

Maka matnul-Hadist Tsalatsun diterima oleh al-Bukhary melalui sanad


pertama Muhammad ibn al-Mutsanna, sanad kedua Abdul-Wahhab-Ats-Tsaqafy, sanad
ketiga Ayyub, sanad keempat Abi Qilab dan seterusnya sampai sanad terakhir, Anas r.a.,
seorang shahabat yang langsung menerima sendiri dari Nabi Muhammad
s.a.w. [12] Dengan demikian al-Bukhary itu menjadi sanad pertama dan rawy terakhir bagi
kita.
Sedangkan kata hadist diberi pengertian yang berbeda-beda oleh para ulama;
perbedaan-perbedaan pandangan itu, lebih disebabkan oleh terbatasnya dan luasnya objek
tinjauan masing-masing yang tentu saja mengandung kecendrungan pada aliran ilmu yang
dimiliki oleh ahlinya. Misalnya ulama hadist mendefinisikan hadist sebagai segala sesuatu
yang diberikan dari Rasulullah Saw. Baik berupa sabda, perbuatan, takrir, sifat-sifat
maupun hal ihwal Rasulullah Saw.[13]
Jadi, metode kritik sanad hadis ialah suatu cara yang sistematis dalam melakukan
penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu perawi dan proses
penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan berusaha menemukan
kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yaitu
kualitas hadis (Shahih, hasan, atau dlaif).
B. Sejarah Singkat Munculnya Kritik Sanad Hadis
Kritik sanad hadis pada masa hidup rasulullah s.a.w. dan masa khalifah yang empat
belum ditemukan. Hal itu dapat dipahami karena para periwayat hadis pada dua masa
tersebut disepakati para Muhaddisin sebagai masa berkumpulnya periwayat hadis yang
adil.[14] Perhatian ulama terhadap sanad hadis dipicu oleh ditemukannya hadis palsu
yang diciptakan oleh orang-orang zindiq dan orang-orang yang mempunyai kepentingan
tertentu.
Pemalsuan hadis pertama kali ditemukan pada masa Ali ibn Abi Thalib.[15] Hadis-
hadis palsu yang muncul pada masa itu diantaranya didorong karena faktor-faktor
membela kepentingan politik, membela aliran madzhab, membela madzhab fiqh, dan
merusak islam.[16] Diantara hadis palsu tersebut adalah hadis yang dibuat oleh orang
Syiah untuk memuliakan Ali ibn Abi Thalib, dan hadis palsu yang dibuat oleh orang-orang
Muawiyah.
Pembukuan hadis secara resmi dan massal dilakukan pada masa pemerintahan
khalifah Umar bin Abdul Aziz (memerintah 99-101 H).[17] Muhammad ibn Muslim ibn
Ubaidillah Ibn Syihab al-Zuhri al-Madani (50-124 H) adalah orang yang diberikan
kepercayaan untuk membukukan hadis, beliau dianggap telah berjasa menyebarkan hadis
kepada masyarakat Islam hingga menembus berbagai zaman. Hal ini diakui oleh Imam
Malik ibn Anas bahwa al-Zuhri adalah orang yang pertama kali membukukan hadis, bahkan
beliau banyak menampung hadis-hadis yang telah dikumpulkan oleh al-Zuhri.[18]
C. Urgensi Penelitian Sanad Hadis
Tujuan pokok penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun matn, adalah untuk
mengetahui kualitas hadis yang diteliti. Kualitas hadis sangat perlu diketahui dalam
hubungannya dengan kehujjahan hadis yang bersangkutan. Hadis yang kualitasnya tidak
memenuhi syarat tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Pemenuhan syarat itu karena
hadis merupakan sumber ajaran Islam. Penggunaan hadis yang tidak memenuhi syarat
akan dapat mengakibatkan ajaran Islam tidak sesuai dengan apa yang seharusnya.[19]
Sanad hadis dinyatakan mempunyai kedudukan yang sangat penting, sebab
utamanya dapat dilihat dari dua sisi, yakni:
1. Dilihat dari sisi kedudukan hadis dalam kesumberan ajaran Islam;
2. Dan dilihat dari sisi sejarah hadis.[20]
Dilihat dari sisi yang disebutkan pertama, sanad hadis sangat penting karena hadis
merupakan salah satu sumber ajaran islam. Sedang dilihat dari sisi yang disebutkan
kedua, sanad hadis sangat penting karena dalam sejarah:(a) pada zaman Nabi tidak seluruh
hadis tertulis; (b) sesudah zaman nabi telah berkembang pemalsuan-pemalsuan hadis; dan
(c) penghimpunan (tadwin) hadis secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya
pemalsuan-pemalsuan hadis.[21]
Dengan demikian maka dapat dinyatakan, ada empat faktor penting yang
mendorong ulama hadis mengadakan penelitian sanad hadis, yaitu:
1. Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam
2. Hadis tidak seluruhnya tertulis pada zaman Nabi
3. Munculnya pemalsuan hadis
4. Proses penghimpunan (tadwin) hadis.
Pada uraian latar belakang telah dikemukakan bahwa hadis yang diteliti adalah
hadis yang berstatusahad. Untuk hadis yang berstatus Mutawatir[22] ulama menganggap
tidak perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut sebab hadis mutawatir telah
menimbulkan keyakinan yang pasti bahwa hadis yang bersangkutan berasal dari Nabi.
Pernyataan tersebut tidaklah berarti bahwa terhadap hadis Mutawatir tidak dapat
dilakukan penelitian lagi. Hanya saja, yang menjadi tujuan penelitian bukanlah untuk
mengetahui bagaimana kualitas sanad danmatn hadis yang bersangkutan, melainkan untuk
mengatahui atau untuk membuktikan apakah benar hadis tersebut
berstatus mutawatir.[23]
Ulama hadis sesungguhnya telah melakukan penelitian terhadap seluruh hadis yang
ada, baik yang termuat dalam berbagai kitab hadis maupun yang termuat dalam berbagai
kitab non-hadis. Kalau begitu, apakah penelitian hadis masih diperlukan juga pada saat
sekarang ini? Menarik untuk menyimak paparan Dr. M. Syuhudi Ismail[24] sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ulama pada dasarnya tidak terlepas dari hasil ijtihad. Suatu hasil ijtihad
tidak terlepas dari dua kemungkinan, yakni benar atau salah. Jadi, hadis tertentu yang
dinyatrakan berkualitas sahih oleh seorang ulama hadis masih terbuka kemungkinan
diketemukan kesalahannya setelah dilakukan penelitian kembali secara lebih cermat.
2. Pada kenyataannya, tidak sedikit hadis yang dinilai shahih oleh ulama tertentu, tetapi dinilai
tidak sahih oleh ulama tertentu lainnya.
3. Pengetahuan manusia berkembang dari masa ke masa. Perkembangan pengetahuan itu
selayaknya dimanfaatkan untuk melihat kembali hasil-hasil penelitian yang telah lama ada
4. Ulama hadis adalah manusia biasa, yang tidak lepas dari berbuat salah. Karenanya tidak
mustahil bila hasil penelitian yang telah mereka kemukakan masih dapat diketemukan
letak kesalahannya setelah diteliti kembali.
5. Penelitian hadis mencakup penelitian sanad dan matn. Dalam penelitian sanad, pada
dasarnya yang diteliti adalah kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para periwayat
yang terlibat dalam sanad. Kesulitan menilai pribadi seseorang ialah karena pada diri
seseorang terdapat berbagai dimensi yang dapat mempengaruhi pribadinya. Karenanya
tidaklah mengherankan bila dalam menilai periwayat hadis, tidak jarang ulama berbeda
pendapat.
Dengan beberapa alasan di atas, maka dapatlah dinyatakan bahwa penelitian
terhadap hadis terutamasanad, tetap dinilai memiliki manfaat. Penelitian ulang merupakan
salah satu upaya untuk selain mengetahui seberapa jauh tingkat akurasi penelitian ulama
terhadap hadis yang mereka teliti, juga untuk menghindarkan diri dari penggunaan dalil
hadis yang tidak memenuhi syarat dilihat dari segi kehujjahan.
D. Kriteria Kesahihan dan Ketersambungan Sanad Hadis
1. Kriteria Kesahihan Sanad Hadis
Ulama hadis sampai abad ke-3 H belum memberikan definisi kesahihan secara jelas,
mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan tentang penerimaan berita yang
dapat diperpegangi. Di antara pernyataan-pernyataan mereka yaitu:[25]
- tidak boleh diterima suatu riwayat hadis, terkecuali yang berasal dari orang-orang
yang tsiqah.[26]
- Hendaklah orang yang akan memberikan riwayat hadis itu diperhatikan ibadah salatnya,
perilakunya dan keadaan dirinya.
- Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang tidak dikenal memiliki perngetahuan
hadis.
- Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang suka berdusta, mengikuti
hawa nafsunya dan tidak mengerti hadis yang diriwayatkannya.
- Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak kesaksiannya.
Berbagai pernyataan itu belum melingkupi seluruh syarat keshahihan suatu hadis.
Imam al-Syafiilah yang pertama mengemukakan penjelasan yang lebih konkret dan
terurai tentang riwayat hadis yang dapat dijadikan hujjah. Hadis ahad tidak dapat dijadikan
hujjah kecuali memenuhi dua syarat, pertama hadis tersebut diriwayatkan oleh
orang tsiqah (adil dan dhabith), kedua rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada
Nabi
Kriteria yang dikemukakan oleh Muhammad Saw. atau dapat juga tidak sampai
kepada Nabi.[27] al-Syafiiy tersebut sangat menekankan pada sanad dan cara periwayatan
hadis. Kriteria sanad hadis yang dapat dijadikan hujjah tidak hanya berkaitan dengan
kualitas dan kapasitas pribadi periwayat saja, melainkan juga berkaitan dengan
persambungan sanad.[28] Dan hal ini dipegangi oleh muhadditsin berikutnya, sehingga dia
dikenal sebagai bapak ilmu hadis. Namun, dibeberapa tempat termasuk di Indonesia, al-
Bukhary dan Muslim yang dikenal sebagai bapak ilmu hadis, padahal mereka tidak
mengemukakan kriteria definisi kesahihan hadis secara jelas. Al-Bukhari dan Muslim hanya
memberikan petunjuk atau penjelasan umum tentang kriteria hadis yang kualitas sahih.
Dan dari hasil penelitian oleh ulama, ditemukan perbedaan yang prinsip antara keduanya
tentang kriteria kesahihan hadis disamping persamaannya.[29]
Perbedaan antara al-Bukhary dan Muslim tentang kriteria hadis sahih terletak pada
masalah pertemuan antara periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad,
walaupun pertemuan itu terjadi hanya satu kali saja terjadi. Sedangkan Muslim, pertemuan
itu tidak harus dibuktikan; yang penting antara mereka telah terbukti
kesezamannya.[30] Adapun persyaratan-persyaratan lainnya dapat dinyatakan sama
antara yang dikemukakan oleh al-Bukhary dan Muslim. Persyaratan-persyaratan itu
menurut hasil penelitian ulama sebagaimana dikutip Syuhudi Ismail dalam kitab Had-y al-
Sariy Muqaddimah Fath al-Bary yang dikarang oleh Ahmad Aly bin Hajar al-Asqalany,
ialah: (a). Rangkaian periwayat dalam sanad itu harus bersambung mulai dari periwayat
pertama sampai periwayat terakhir; (2) Para periwayat dalam sanad hadis itu haruslah
orang-orang yang dikenal tsiqah; (3) Hadis itu terhindar dari cacat (illat)[31] dan
kejanggalan (Syadz)[32]; (4) Para periwayat yang terdekat dalam sanad harus
sezaman.[33]
Dari pengertian hadis sahih yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis diatas
dapat dinyatakan bahwa unsur-unsur kesahihan sanad hadis ialah :
1. Sanad bersambung
2. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
3. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith
4. sanad hadis itu terhindar dari Syadz
5. sanad hadis itu terhindar dari illat
dengan demikian, suatu sanad hadis yang tidak memenuhi kelima unsur tersebut
adalah hadis yang kualitas sanad-nya tidak sahih
2. Kriteria Ketersambungan Sanad Hadis
Hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis, misalnya dalam al-kutub al-sittah,
terdiri dari matan dan sanad. Dalam sanad hadis termuat nama-nama periwayat dan kata-
kata atau singkatan kata-kata yang menghubungkan antara masing-masing periwayat
dengan periwayat lainnya yang terdekat. Matan hadis yang sahih belum tentu sanadnya
sahih. Sebab, boleh jadi dalam sanad hadis tersebut terdapat masalah sanad, seperti
sanadnya tidak bersambung atau salah satu periwayatnya tidak tsiqat.[34]
Kriteria ketersambungan sanad: pertama, periwayat hadis yang terdapat dalam
sanad hadis yang diteliti semua berkualitas tsiqat; kedua, masing-masing periwayat
menggunakan kata-kata penghubung yang berkualitas tinggi yang sudah disepakati ulama
(al-sama), yang menunjukkan adanya pertemuan diantara guru dan murid. Istilah atau
kata yang dipakai untuk cara al-sama beragam, diantaranya:
, , , , , ,
Ketiga; adanya indikasi kuat perjumpaan antara mereka. Ada tiga indikator yang
menunjukkan pertemuan antara mereka: (1) Terjadi proses guru dan murid, yang
dijelaskan oleh para penulis rijal al-hadist dalam kitabnya, (2) tahun lahir dan wafat
mereka diperkirakan adanya pertemuan antara mereka atau dipastikan bersamaan, dan
(3) mereka tinggal belajar atau mengabdi (mengajar) ditempat yang sama.[35]
Jika kita ingin mengetahui langkah aplikasi yang kita maksudkan, kita harus
menyusun silsilah rawi sanad antara murid dan guru. Berikut ini adalah sampel silsilah
sanad dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhary di dalam kitab sahihnya[36]

Berikut adalah daftar tabelnya[37] :
Jika kita akan meneliti hasil tabel, kita harus menulis silsilah sanad berdasarkan
datangnya silsilah sanad itu dari kitab sumber pokok (kitab asal). Kemudian diadakan
perbandingan dengan cara menyusun rawi-rawi ke dalam tabel kajian sanad pada masing-
masing, dari arah murid dengan dimulai rawi akhir (sanad rawi) khususnya (Imam
Bukhari) dan diakhiri dengan rawi awal (sanad akhir), yakni sahabat Abu Syuraih al-
Adawi. Kemudian diulang dari arah guru dimulai dari ujung sanad, khususnya (Abdullah
ibn Yusuf) dan diakhiri pada nabi Muhammad Saw.[38]
Apabila hasil pembuatan tabel sudah benar, maka langkah selanjutnya merujuk
kepada biografi masing-masing rawi di dalam kitab-kitab himpunan rawi (kitab
rijal)[39] untuk mengetahui hal ihwal rawi dari segijarh[40] maupun tadil[41]-
nya.[42] Dengan demikian, sanad hadis yang diteliti bersambung dari periwayat pertama
sampai kepada Nabi Muhammad Saw.

BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa :
1) Metode kritik sanad hadis ialah suatu cara yang sistematis dalam melakukan penelitian,
penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu perawi dan proses penerimaan
hadis dari guru mereka masing-masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan
kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadis
(Shahih, hasan, atau dlaif).
2) Kritik sanad hadis muncul karena adanya kekhawatiran dari para ulama pada waktu
itu dipicu oleh ditemukannya hadis palsu yang diciptakan oleh orang-orang zindiq dan
orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu. Pemalsuan hadis pertama kali
ditemukan pada masa Ali ibn Abi Thalib. Hadis-hadis palsu yang muncul pada masa itu
diantaranya didorong karena faktor-faktor membela kepentingan politik, membela aliran
madzhab, membela madzhab fiqh, dan merusak islam. Dalam situasi tersebut muncullah
kelompok yang dikenal dengan sebutan Ahl Hadist, sebuah kelompok baru yang terang-
terangan membela eksistensi hadis sebagai sumber kedua Islam dan mendapat dukungan
penguasa (Umar ibn Abdul Aziz) atas upaya pengumpulan hadis ini.Muncullah kemudian
ilmu hadis dan kritik hadis, terutama setelah munculnya Muhammad ibn Sirin (w. 110 H).
3) Tujuan pokok penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun matn, adalah untuk mengetahui
kualitas hadis yang diteliti.
Ada empat faktor penting yang mendorong ulama hadis mengadakan
penelitian sanad hadis, yaitu:
a) Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam
b) Hadis tidak seluruhnya tertulis pada zaman Nabi
c) Munculnya pemalsuan hadis
d) Proses penghimpunan (tadwin) hadis.
4) - Dari pengertian hadis sahih yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis diatas dapat
dinyatakan bahwa unsur-unsur kesahihan sanad hadis ialah :
a) Sanad bersambung
b) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
c) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith
d) Sanad hadis itu terhindar dari Syadz
e) Sanad hadis itu terhindar dari illat
- Kriteria ketersambungan sanad: pertama, periwayat hadis yang terdapat dalam sanad hadis
yang diteliti semua berkualitas tsiqat; kedua, masing-masing periwayat menggunakan kata-
kata penghubung yang berkualitas tinggi yang sudah disepakati ulama (al-sama), yang
menunjukkan adanya pertemuan diantara guru dan murid. Istilah atau kata yang dipakai
untuk cara al-sama beragam; Ketiga, adanya indikasi kuat perjumpaan antara mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Alquran dan Terjemahannya

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Cet. V; Multi Karya
Grafika Pondok Pesantren Krapyak: Yogyakarta, tth.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-munawwir Kamus arab-Indonesia, Cet. XIV; Pustaka Progressif:
Surabaya, 1997

Al-Darimy, Abu Muhammad Abdullah ibn Abd Rahman, Sunan al-Darimy (ttp): Dar Ihya al-Sunnat
al-Nabawiyyah, tth

Abdullatif, Abdul Mawjud Muhammad, Ilmu Al-Jarh wa Al-Tadil, diterjemahkan Nugroho


Notosusanto dengan judul Ilmu Al-Jarh wa Al-Tadil : Penilaian Kredibilitas Para Perawi dan
Pengimplementasiannya, Cet. I; Gema Media Pustakama: Bandung, 1988
Ahmad, Kassim, Hadis ditelanjangi: Sebuah Re-evaluasi Mendasar Atas Hadis, Cet. I; Trotoar:
Jakarta., 2006

Bisri, Adib dan Munawwir AF, Al-Bisri Kamus Indonesia Arab, Cet. I; Pustaka Progressif:
Surabaya, 1999

Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Cet. I; Bulan Bintang: Jakarta, 1992

, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan


dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet.II; Bulan Bintang: Jakarta, 1995

Khaeruman, Badri, Otentisitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, Cet. I; PT. Remaja
Rosdakarya: Bandung, 2004

M. Isa, Bustamin, dan H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Edisi I, Cet. I; PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta, 2004

Rahman, Fathur, Ikhtisar Musthalahul Hadits Cet. IV; Bandung: PT. Al-Maarif, 1985

Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002

Soetari A, Endang., Ilmu Hadist, (Cet. II; Bandung: Amal Bakti Press, 1997

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. IV; Balai Pustaka: Jakarta, 1976

Oleh: Muhammad Gazali Hadis

Anda mungkin juga menyukai