Anda di halaman 1dari 40

DAFTAR ISI

Daftar Isi 1
Skenario 3
Kata Sulit 4
Pertanyaan 5
Jawaban 6
Hipotesis 7
Sasaran Belajar 8

1. Memahami dan Menjelaskan Eritropoesis 9

1.1 Definisi 9

1.2 Mekanisme 9

1.3 Morfologi 15

2. Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin 21

2.1 Definisi dan Fungsi 21

2.2 Biosintesis 21

3. Memahami dan Menjelaskan Anemia 22

3.1 Definisi 22

3.2 Klasifikasi (Morfologi dan Etiologi) 23

3.3 Manifestasi Klinis 25

3.4 Pemeriksaan Penyaring 28

4. Memahami dan Menjelaskan Anemia Defisiensi Zat Besi 32

4.1 Definisi 32

1
4.2 Etiologi 32

4.3 Patofisiologi 33

4.4 Manifestasi Klinis 33

4.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding 34

4.6 Pencegahan 36

4.7 Tatalaksana 38

4.8 Prognosis 39

Daftar Pustaka 40

2
SKENARIO 1

LEKAS LELAH DAN PUCAT

Seorang perempuan berusia 19 tahun dating ke praktek dokter umum dengan keluhan
lekas lelah sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan setelah melakukan aktivitas ringan
maupun berat. Keluhan disertai dengan wajah yang tampak pucat.
Pada anamnesis didapatkan keterangan bahwa sejak usia kanak-kanak pasien jarang makan ikan,
daging, maupun sayur. Untuk mengatasi keluhannya tersebut, pasien belum pernah berobat.
Tidak ada riwayat penyakit yang diderita sebelumnya.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:


Tekanan darah 110/60 mmHg, denyut nadi 88 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit,
temperatur 36,8 C, TB = 160 cm , BB = 60 kg, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik.
Pemeriksaan jantung, paru, dan abdomen dalam batas normal.

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil:


Pemeriksaan Kadar Nilai Normal
Hemoglobin (Hb) 10 g/dL 12 14 g/dL
Heatokrit (Ht) 38 % 37 42 %
Eritrosit 5 x 106/l 3,9 5,3 x 106/l
MCV 70 fL 82 92 fL
MCH 20 pg 27 31 pg
MCHC 22 % 32 36 %
Leukosit 6500/l 5000 10.000/l
Trombosit 300.000/l 150.000 400.000/l

3
Kata Sulit

1. MCV : Mean Corpuscular Volume (rata-rata volume eritrosit) dalam satuan femtoliter (fL)
()
= 10

2. MCH : Mean Corpuscular Hemoglobin (indikasi berat hemoglobin rata-rata dalam sel darah
merah) dalam satuan pictogram (pg)
()
= 10

3. MCHC : Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration dalam satuan g/dL


()
= 100
()

4. Konjungtiva anemis : Bagian konjungtiva mata terlihat lebih pucat


5. Hemoglobin : Komponen eritorsit berfungsi untuk mengikat oksigen
6. Sklera tidak ikterik : Bagian putih mata tidak menguning
7. Hematokrit : Kadar eritrosit dalam darah

4
Pertanyaan
1. Bagaimana ciri-ciri umum ketika kadar hemoglobin menurun?
2. Apa hubungan makan ikan, daging, dan sayuran dengan penyakit tersebut?
3. mengapa keluhan dirasakan setelah beraktivitas?
4. Mengapa MCV, MCH, dan MCHC menurun?
5. Mengapa pasien meraskan cepat lelah dan wajah pucat?
6. Apa diagnosis sementara pada kasus terebut?
7. Apakah faktor yang mempengaruhi diagnosis tersebut?
8. Mengapa dapat terjadi konjungtiva anemis?
9. Apakah penyakit ini dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin?
10. Apakah ada pemeriksaan lanjutan?
11. Bagaimana penanganan dari diagnosis tersebut?
12. Bagaimana tahap pembentukan eritosit?

5
Jawaban
1. Lemah, letih, lesu, konjungtiva terlihat pucat, dan wajah pucat.
2. - karena makanan tersebut mengandung zat besi. Jika kekurangan, zat besi, maka eritropoesis
terganggu.
- Zat besi diperlukan tubuh untuk sintesa hemoglobin dalam eritropoesis.
3. Karena hemoglobin yang berfungsi mengikat oksigen rendah, sehingga mudah lelah setelah
beraktivitas.
4. ketika zat besi menurun, hemoglobin mulai menurun sehingga berdampak pada penurunan
MCV, MCH dan MCHC.
5. Karena hemoglobin yang berfungsi mengikat oksigen rendah, sehingga mudah lelah setelah
beraktivitas.
6. Anemia mikrositik hipokrom.
7. Usia, jenis kelamin, aktivitas, pola makan, dan tempat tinggal.
8. Karena kekurangan hemoglobin sehingga oksigen rendah menyebabkan konjungtiva terlihat
pucat.
9. Usia dan jenis kelamin mempengaruhi jumlah hemoglobin, karena kadar normalnya berbeda,
tempat produksinya juga berbeda.
10. Pemeriksaan serum iron, TIBC (Total Iron Binding Capacity), serum ferinitin.
11. Mengobati penyakit yang mendasari, kemudian diberikan asupan zat besi untuk mengoreksi
anemia dan memulihkan cadangan zat besi dalam tubuh.
12. Pada usia minggu awal embrio di kantung kuning. Beberapa bulan setelahnya, pada janin
proses eritropoesis terjadi di hepar, limpa, dan sumsum tulang. Saat dewasa, terbentuk hanya di
sumsum tulang membranosa. Enzim yang membantu proses eritropoesis adalah eritropoetin.
Tahapannya dimulai dari hematoblast dibagi menjadi tiga, yaitu leukosit, megakariosit, eritrosit.
Proses pembentukan eritrosit disebut eritropoesis yang dimulai dari rubiblast, prorubiblast,
protisit, metautrisit, eritrostit polikromatik (retikulosit), eritrosit.

6
Hipotesis
Hemoglobin adalah komponen eritorsit berfungsi untuk mengikat oksigen. Kadar normal
hemoglobin dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Pada makanan yang mengandung zat besi
rendah menyebabkan hemoglobin menurun. Kadar hemoglobin yang menurun menyebabkan
nilai MCV, MCH, MCHC menurun dan terganggunya eritropoesis yang mengarah ke anemia
mikrositik hipokrom. Salah satu penyebab anemia mikrositik hipokrom adalah anemia defisiensi
zat besi dengan gejala lemah, letih, lesu, konjungtiva terlihat pucat, dan wajah pucat.

7
Sasaran Belajar
1. Memahami dan Menjelaskan Eritropoesis
1.1 Definisi
1.2 Mekanisme
1.3 Morfologi

2. Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin


2.1 Definisi dan Fungsi
2.2 Biosintesis

3. Memahami dan Menjelaskan Anemia


3.1 Definisi
3.2 Klasifikasi (Morfologi dan Etiologi)
3.3 Manifestasi Klinis
3.4 Pemeriksaan Penyaring

4. Memahami dan Menjelaskan Anemia Defisiensi Zat Besi


4.1 Definisi
4.2 Etiologi
4.3 Patofisiologi
4.4 Manifestasi Klinis
4.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding
4.6 Pencegahan
4.7 Tatalaksana
4.8 Prognosis

8
1. Memahami dan Menjelaskan Eritropoesis
1.1 Definisi
Eritropoesis adalah proses pembuatan eritrosit (sel darah merah), pada janin dan bayi
proses ini berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas hanya
pada sumsum tulang (Dorland edisi 31).
1.2 Mekanisme
Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada pada sumsum tulang.
Sel ini kemudian akan membentuk bermacam macam sel darah tepi. Asal sel yang akan
terbentuk selanjutnya adalah sel stem commited, Sel ini akan dapat meghasilkan Unit pembentuk
koloni eritrosit (CFU-E) dan Unit granulosit dan monosit (CFU-GM).

Pada eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel Proeritroblas sesuai dengan


rangsangan. Proeritroblas akan membelah berkali-kali menghasilkan banyak sel darah merah
matur yaitu Basofil Eritroblas. Sel ini sedikit sekali mengumpulkan hemoglobin. Selanjutnya sel
ini akan berdifferensiasi menjadi Retikulosit dengan sel yang sudah dipenuhi dengan
hemoglobin. Retikulosit masih mengandung sedikit bahan basofilik. Bahan basofilik ini akan
menghilang dalam waktu 1-2 hari dan menjadi eritrosit matur.

Rubriblast
Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritrosit, merupakan sel termuda dalam sel
eritrosit.Sel ini berinti bulat dengan beberapa anak inti dan kromatin yang halus.Dengan
pulasan Romanowsky inti berwarna biru kemerah-merahan sitoplasmanya berwarna
biru.Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-25 mikron. Dalam keadaan normal jumlah
rubriblast dalam sumsum tulang adalah kurang dari 1 % dari seluruh jumlah sel berinti

9
Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik. Pada pewarnaan
kromatin inti tampak kasar dan anak inti menghilang atau tidak tampak, sitoplasma
sedikit mengandung hemoglobin sehingga warna biru dari sitoplasma akan tampak
menjadi sedikit kemerah-merahan. Ukuran lebih kecil dari rubriblast.Jumlahnya dalam
keadaan normal 1-4 % dari seluruh sel berinti.

Rubrisit
Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast polikromatik.Inti sel ini
mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur, di beberapa tempat
tampak daerah-daerah piknotik.Pada sel ini sudah tidak terdapat lagi anak inti, inti sel
lebih kecil daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya lebih banyak, mengandung warna
biru karena kandungan asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA) dan merah karena
kandungan hemoglobin, tetapi warna merah biasanya lebih dominan.Jumlah sel ini dalam
sumsum tulang orang dewasa normal adalah 10-20 %.

Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik.Inti sel ini
kecil padat dengan struktur kromatin yang menggumpal.Sitoplasma telah mengandung
lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya merah walaupun masih ada sisa-sisa warna
biru dari RNA.Jumlahnya dalam keadaan normal adalah 5-10 %.

Retikulosit
Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan penglepasan inti sel,
masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian proses
ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dalam darah tepi. Pada saat
proses maturasi akhir, eritrosit selain mengandung sisa-sisa RNA juga mengandung
berbagai fragmen mitokondria dan organel lainnya. Pada stadium ini eritrosit disebut
retikulosit atau eritrosit polikrom.Retikulum yang terdapat di dalam sel ini hanya dapat
dilihat dengan pewarnaan supravital. Tetapi sebenarnya retikulum ini juga dapat terlihat

10
segai bintik-bintik abnormal dalam eritrosit pada sediaan apus biasa. Polikromatofilia
yang merupakan kelainan warna eritrosit yang kebiru-biruan dan bintik-bintik basofil
pada eritrosit sebenarnya disebabkan oleh bahan ribosom ini. Setelah dilepaskan dari
sumsum tulang sel normal akan beredar sebagai retikulosit selama 1-2 hari. Kemudian
sebagai eritrosit matang selama 120 hari. Dalam darah normal terdapat 0,5-2,5 %
retikulosit.

Eritrosit
Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkav dengan ukuran diameter 7-8
um dan tebal 1,5-2,5 um. Bagian tengah sel ini lebih tipis daripada bagian tepi. Dengan
pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna kemerah-merahan karena mengandung
hemoglobin. Eritrosit sangat lentur dan sangat berubah bentuk selama beredar dalam
sirkulasi. Umur eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan dihancurkan bila mencapai
umurnya oleh limpa. Banyak dinamika yang terjadi pada eritrosit selama beredar dalam
darah, baik mengalami trauma, gangguan metabolisme, infeksi Plasmodium hingga di
makan oleh Parasit.

Selama perkembangan intrauterus, eritrosit mula-mula dibentuk oleh yolk sac dan
kemudian oleh hati dan limpa sampai sumsum tulang terbentuk dan mengambil alih produksi
eritrosit secara ekslusif. (Sherwood, 2011)

Pada anak, sebagian tulang terisi oleh sumsum tulang merah yang mampu memproduksi sel
darah. Namun, seiring dengan pertambahan usia, sumsum tulang kuning yang tidak mampu
melakukan eritropoiesis secara perlahan menggantikan sumsum merah, yang tersisa hanya di
beberapa tempat, misalnya sternum, iga dan ujung-ujung atas tulang panjang ekstremitas.
(Sherwood, 2011)

11
Sumsum tulang tidak hanya memproduksi SDM tetapi juga merupakan sumber leukosit dan
trombosit. Di sumsum tulang terdapat sel punca pluripotent tak berdiferensiasi yang secara terus
menerus membelah diri dan berdiferensiasi untuk menghasilkan semua jenis sel darah.
(Sherwood, 2011)

Ginjal mendeteksi penurunan/ kapasitas daraah yang mengangkut oksigen. Jika O2 yang
disalurkan ke ginjal berkurang, maka ginjal mengeluarkan hormon eritropoietin dalam darah
yang berfungsi merangsang eritropoiesis (produksi eritrosit) dalam sumsum tulang. Tambahan
eritrosit di sirkulasi meningkatkan kemampuan darah mengangkut O2. Peningkatan kemampuan
darah mengangkut O2 menghilangkan rangsangan awal yang memicu sekresi eritropoietin.
(Sherwood, 2011)

Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada pada sumsum tulang.
Sel ini kemudian akan membentuk bermacam macam sel darah tepi. Asal sel yang akan

12
terbentuk selanjutnya adalah sel stem commited, Sel ini akan dapat meghasilkan Unit
pembentuk koloni eritrosit (CFU-E) dan Unit granulosit dan monosit (CFU-GM).

Pada eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel Proeritroblas sesuai dengan


rangsangan. Proeritroblas akan membelah berkali-kali menghasilkan banyak sel darah
merah matur ya itu Basofil Eritroblas. Sel ini sedikit sekali mengumpulkan hemoglobin.
Selanjutnya sel ini akan berdifferensiasi menjadi Retikulosit dengan sel yang sudah
dipenuhi dengan hemoglobin. Retikulosit masih mengandung sedikit bahan basofilik.
Bahan basofilik ini akan menghilang dalam waktu 1-2 hari dan menjadi eritrosit matur.

Eritropoeisis terjadi di sumsum tulang hingga terbentuk eritrosit matang dalam darah
tepi yang dipengaruhi dan dirangsang oleh hormon eritropoietin. Eritropoietin adalah
hormon glikoprotein yang terutama dihasilkan oleh sel-sel interstisium peritubulus
ginjal, dalam respon terhadap kekurangan oksigen atas bahan globulin plasma, untuk
digunakan oleh sel-sel induk sumsum tulang. Eritropoietin mempercepat produksi
eritrosit pada semua stadium terutama saat sel induk membelah diri dan proses
pematangan sel menjadi eritrosit. Di samping mempercepat pembelahan sel,
eritropoietin juga memudahkan pengambilan besi, mempercepat pematangan sel dan
memperpendek waktu yang dibutuhkan oleh sel untuk masuk dalam sirkulasi.

13
Selama perkembangan intrauterus, eritrosit mula-mula dibentuk oleh yolk sac dan
kemudian oleh hati dan limpa sampai sumsum tulang terbentuk dan mengambil alih
produksi eritrosit secara ekslusif.

Pada anak, sebagian tulang terisi oleh sumsum tulang merah yang mampu memproduksi
sel darah. Namun, seiring dengan pertambahan usia, sumsum tulanh kuning yang tidak
mampu melakukan eritropoiesis secara perlahan menggantikan sumsum merah, yang
tersisa hanya di beberapa tempat, misalnya sternum, iga dan ujung-ujung atas tulang
panjang ekstremitas.

Sumsum tulang tidak hanya memproduksi SDM tetapi juga merupakan sumber leukosit
dan trombosit. Di sumsum tulang terdapat sel punca pluripotent tak berdiferensiasi yang
secara terus menerus membelah diri dan berdiferensiasi untuk menghasilkan semua
jenis sel darah.

Ginjal mendeteksi penurunan/ kapasitas darah yang mengakngkut oksigen.Jika O2 yang


disalurkan ke ginjal berkurang, maka ginjal mengeluarkan hormone eritropoietin dalam
darah yang berfungsi merangsang eritropoiesis (produksi eritrosit) dalam sumsum
tulang.Tambahan eritrosit di sirkulasi meningkatkan kemampuan darah mrngangkut
O2.Peningkatan kemampuan darah mengangkut O2 menghilangkan rangsangan awal
yang memicu sekresi eritropoietin.

14
1.3 Morfologi
Eritrosit Normal
Eritrosit adalah sel datar berbentuk cakram yang mencekung di bagian tengah di kedua sisi,
seperti donat dengan bagian tengah menggepeng bukan lubang (yaitu, eritrosit berbentuk cakram
bikonkaf dengan garis tengah 8 m, ketebalan 2 m di tepi luar, dan ketebalan 1 m di bagian
tengah. Jumlah normal eritrosit yang dihasilkan adalah 1012/L pada pria, sedangkan pada wanita
3,9-5,6 x 1012/L.

15
Kelainan morfologi eritrosit berupa kelainan ukuran (size), kelainan bentuk (shape),
kelainan warna (staining characteristics), dan benda-benda inklusi. macam kelainannya :
1. Kelainan Ukuran

1) Mikrosit : Eritrosit yang lebih kecil daripada eritrosit normal, dengan ukuran <
6m.
2) Makrosit : Eritrosit yang lebih besar daripada eritrosit normal, dengan ukuran >
8m.
3) Sferosit : Eritrosit lebih kecil, lebih bulat, dan lebih padat warnanya daripada
eritrosit normal. Tidak didapat bagian yang pucat ditengah sel.
4) Anisositosis : Banyak diantara sel eritrosit lebih banyak bervariasi dalam
ukurannya daripada keadaan normal. Sering didapat pada anemia berat.

16
2. Kelainan Bentuk :

17
1) Acanthosytes : Ditandai dengan adanya proyeksi halus dipermukaan erotrosit,
menyerupai duri (kata Yunani : acantha : duri). Kelainan bawaan yang jarang :
acanthtocytosis, bisa mencapai lebih dari 50%.Burr cell : Menunjukkan proyeksi-
proyeksi atau tonjolan-tonjolan pendek misalnya pada uremia dan
carsinomatosis.Crenated : Merupakan kelainan bentuk dari eritrosit (poikilositosis) yang
berbentuk seperti artefak. Krenasi berawal dari sel eritrosit yang mengalami pengerutan
akibat cairan yang berada di dalam sel keluar melalui membran.

2) Eliptosit : Bentuk seperti elip atau oval. Juga disebut ovalosit. Bila ada dalam jumlah
yang besar mungkin disebabkan karena anomali bawaan, ovalositosis.

3) Stomatosit : Bentuk seperti topi Meksiko. Pusatnya tidak hipokrom tetapi berwarna
merah.

4) Leptosit : Disebut juga sel target karena dibagian tengah eritrosit yang pucat terdapat
lingkaran berwarna merah dipusat eritrosit.

5) Poikilositosis : Bentuk tidak rata. Tergolong disini adalah sel burr, sel buah jambu, dan
sebagainya.

18
6) Sabit / sickle : Bentuk sabit. Berwarna lebih padat daripada eritrosit biasa. Didapat pada
anemia hemolitik sel sabit.

7) Schistosit : Hasil fragmentasi eritrosit, bisa berbentuk segitiga, elips dengan indentasi
atau sebagai sel dengan permukaan tidak rata. Biasanya didapat pada anemia hemolitik.

3. Kelainan warna :

1) Hipokrom : warna pucat pada bagian tengah, erotrosit lebih besar dari biasanya.
2) Polikromasia : mengikat zat warna asam sehingga disamping warna merah ada
kebiru-biruan. Pematangan sitoplasma lebih lambat dibandingkan pematangan inti.
3) Anulosit : diameter cekungan ditengah eritrosit yang berwarna lebih pucat dari
darah tepi, berukuran besar (sel hipokrom ekstrem).
4) Benda Heinz : berasal dari polimerisasi dan presipitasi molekul (banyak)
hemoglobin yang telah mengalami denaturasi. Benda Heinz bisa multiple dan
biasanya terletak ditepi.

19
4. Kelainan Ada Benda Inklusi di dalam Eritrosit

20
2. Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin
2.1 Definisi dan Fungsi
Tiap eritrosit mengandung 640 juta molekul hemoglobin. HbA atau Hb dewasa
(dominan) terbentuk setelah usia 3-6 bulan. Hb A memiliki rantai polipeptida 22. Hb F
(hemoglobin fetus) dan HB A2 memiliki rantai serta rantai dan sebagai pengganti .
Fungsi utama hemoglobin adalah mengangkut dan melepas O2 ke jaringan yang
membutuhkan serta mengangkut CO2 sisa metabolisme untuk kembali ke paru-paru. Oksigen
diikat pada heme sementara CO2 berikatan pada protein globin.

2.2 Biosintesis
Hemoglobin disintesa semasa proses maturasi eritrositik. Proses sintesa heme berlaku
untuk semua sel tubuh manusia kecuali eritrosit yang matang.

a. Pembentukan heme
Pusat penghasilan utama heme (porfirin) adalah sumsum tulang merah dan hepar. Heme yang
terhasil dari prekursor eritroid identik dengan sitokrom dan mioglobin. Aktiviti preliminer yang
memulai pembentukan heme yaitu sintesa porfirin, terjadi apabila suksinil-koenzim A (CoA)
berkondensasi dengan glisin. Adapun asam adipat yaitu perantara yang tidak stabil yang terhasil
melalui proses kondensasi tersebut akan mengalami proses dekarboksilasi menjadi asam delta-
aminolevulinat (ALA). Reaksi kondensasi awalan ini berlaku di mitokondria dan memerlukan
vitamin B6.
Setelah pembentukan delta-ALA di mitokondria, reaksi sintesis terus dilanjutkan di
sitoplasma. Dua molekul ALA berkondensasi untuk membentuk monopirol porfobilinogen
(PBG). Enzim ALA dehidrase mengkatalisir enzim ini. Untuk membentuk uroporfirinogen I atau
III, empat molekul PBG dikondensasikan menjadi siklik tetrapirol. Isomer tipe III dikonversi
melalui jalur koproporfirinogen III dan protoporfirinogen menjadi protoporfirin. Langkah
terakhir yang berlangsung di mitokondria melibatkan pembentukan protoporfirin dan penglibatan
ferum untuk pembentukan heme.
Empat daripada enam posisi ordinal ferro menjadi chelating kepada protoporfirin oleh enzim
heme sintetase ferrocelatase. Langkah ini melengkapkan pembentukan heme, yaitu komponen
yang mengandung empat cincin pirol yang dihubungkan oleh jembatan methene supaya
membentuk struktur tetrapirol yang lebih besar.

b. Pembentukan globin
Struktur dan produksi globin tergantung kepada kontrol genetik. Sekuensi spesifik asam
amino dimulai oleh tiga kode dari basis DNA yang diwariskan secara genetik. Sekurang-
kurangnya terdapat lima loki yang mengarahkan sintesa globin. Kromosom 11 (rantai non-alfa)
dan kromosom 16 (rantai alfa) menempatkan loki untuk sintesa globin. Rantai polipeptida bagi
globin diproduksi di ribosom seperti yang terjadi pada protein tubuh yang lain. Rantai
polipeptida alfa bersatu dengan salah satu daripada tiga rantai lain untuk membentuk dimer dan
tetramer. Pada dewasa normal, rantai ini terdiri dari dua rantai alfa dan dua rantai beta. Sintesa

21
globin sangat berkoordinasi dengan sintesa porfirin. Apabila sintesa globulin terganggu, proses
sintesa porfirin akan menjadi berkurang dan sebaliknya. Walaupun begitu, tiada kaitan antara
jumlah pengambilan zat besi dengan gangguan pada protoporfirin atau sintesa globin. Sekiranya
penghasilan globin berkurang, ferum akan berakumulasi di dalam sitoplasma sel sebagai ferritin
yang beragregasi (Turgeon, 2005).

3. Memahami dan Menjelaskan Anemia

3.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah
yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity).

22
3.2 Klasifikasi (Morfologi dan Etiologi)

Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi.


Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi:
A. Anemia hipokromik mikrositer (MCV < 80 fl; MCH < 27 pg)
1) Anemia defisiensi besi
2) Thalassemia
3) Anemia akibat penyakit kronik
4) Anemia sideroblastik

B. Anemia Normokromik normositer (MCV 80-95 fl; MCH 27-34 pg)


1) Anamia pasca pendarahan akut
2) Anemia aplastik
3) Anemia hemolitik didapat
4) Anemia akibat penyakit kronik
5) Anemia pada gagal ginjal kronik
6) Anemia pada keganasan hematologik
7) Anemia pada sindrom mielodiplastik

C. Anemia Makrositer (MCV > 95 fl)


1) Bentuk Megaloblastik
a. Anemia defisiensi folat
b. Anemia defisiensi vitamin B12, termasuk anemia pernisiosa
2) Bentuk Non-megaloblastik
a. Anemia pada penyakit hati kronik
b. Anemia pada hipotiroidisme
c. Anemia pada sindroma mielodiplastik

23
Klasifikasi anemia berdasarkan etiopatogenesis:
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1) Kekurangan bahan esensial untuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2) Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3) Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodiplastik
f. Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal kronik
B. Anemia akibat hemoragi
1) Anemia pasca pendarahan akut
2) Anemia pasca pendarahan kronik

C. Anemia Hemolitik
1) Faktor ekstrakorpuskuler
Anemia hemolitik autoimun
Anemia hemolitik mikroaangiopatik
2) Faktor intrakorpuskuler
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan enzim (enzimopati) : Anemia akibat defisiensi G6PD
(Glocuse-6 phospate dehydrogenase)
c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
d. Thalassemia
e. Hemoglobinopati struktural: HbS, HbE, dll.

24
3.3 Manifestasi Klinis

Anemia Hipokromik Mikrositer


Anemia defisiensi besi
a. Gejala umum anemia
Disebut sebagai sindrom anemia
Kadar Hb dibawah 7-8 mg/dL
Terlihat badan lemah, lesuh, cepat lelah, mata berkunang-kunang, dan telinga
berdenging
Turunnya hemoglobin secara perlahan-lahan mengakibatkan anemia tidak
langsung muncul setelah penurunan kadar besi dalam tubuh
b. Gejala khas
Koilonchyia, kuku terlihat rapuh, bergaris-garis vertikal dan cekung seperti
sendok.
Atrofi papil lidah, lidah menjadi licin karena hilangnya papil lidah.
Stomatitis angularis, radang pada sudut mulut dan terlihat seperti bercak
berwarna keputihan.
Disfagia, nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
Atrofi mukosa garter, menyebabkan akhloridia.
Sindrom plummer atau sindrom paterson kelly, merupakan kumpulan gejala dari
anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.
c. Gejala penyakit dasar
Tergantung dari penyebab penyakit dasarnya. Misalnya jika penyebab
perdarahan karena adanya infeksi cacing tambang maka harus di obati infeksi
cacing agar anemia tidak timbul kembali. Gejala klinis cacing tambang adalah
dispepsia, parotis membengkak, kulit pada telapan tangan dan kaki menguning
seperti jerami.

25
Anemia penyakit kronik
Gejala klinis pada anemia ini tidak khas karena gejala klinis penyakit dasar lebih dominan dan
penurunan hemoglobin tidak terlalu mencolok. Gambaran laboratorium menunjukan:
Anemia ringan-sedang (Hb jarang dibawah 8 mg/dL)
Anemia normisiter atau mikrositer ringan (MCV 75-90fl)
Besi transferin sedikit menurun
Protoporfirin eritrosit menurun
Feritin serum normal atau naik
Reseptor tranferin normal
Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia menunjukan besi normal atau
naik dengan butir-butir hemosiderin yang kasar

Anemia Sideroblastik
Adanya cincin sideroblas patologik pada sumsung tulang
Gejala klinis bervariasi, dijumpai pada anemia refrakter terhadap pengobatan
Gambaran laboratorium menunjukan:
Anemia bervariasi dari ringan sampai berat
Bersifat hipokromik mikrositer
Populasi ganda dalam satu apusan darah yaitu ditemukan eritrosit hipokromik
mikrositer dan eritrosit normokromik normositer
Bentuk didapat (RARS) menunjukan gambaran displastik eritrosit, bisa juga
ditemukan pada leukosit dan trombosit
Besi serum dan feritin serum normal atau meningkat
Pengecatan besi pada sumsum tulang dengan cara perl menunjukan sideroblas
cincin lebih dari 15% dari sel eritrosit

Anemia normokromik normositer


Anemia normokromik normositer memiliki MCV 80-95 fl sementara MCH 27-34 pg. Anemia
yang mempunyai sel berbentuk normokromik normositer ada beberapa macam seperti anemia
hemolitik, anemia aplastik-hipoplastik, anemia mieloplastik, anemia pada penyakit ginjal kronik,

26
anemia pasca perdarahan, anemia pada melofibrosis, anemia pada sindrom melodisplastik, dan
anemia pada leukimia akut. Berikut manifestasi klinis dari beberapa anemia yang memiliki
gambaran normokromik normositer:
a. Anemia hemolitik
Anemia herediter, terjadi hemolisis ekstravaskular perlahan-lahan
Anemia didapat, hemolisis terjadi di ekstravaskular masih dan hemolisis
intravaskular
Gejala umum adalah turunnya hemoglobin dibawah 7-8 mg/dL
Hemolitik kronik herediter terjadi ikterus (tidak semua dijumpai bilirubin pada
urin), splenomegali atau hepatomegali, kholelithiasis, kelainan tulang, ulkus pada
kaki, timbulnya krisis
Pada bayi baru lahir terdapat kern icterus tidak disertai gatal
Anemia hemolitik yang memiliki gambaran normokromik normositer terutama
adalah yang didapat
Anemia hemolitik didapat:
Syok dan gagal ginjal akut, nyeri pinggang dan perut, sakit kepala,
malaise, kramp perut
Menyerupai gejala abdomen akut
Syok disertai prostration, oliguria, dan anuria
Fisik pucat, ikterus, takikardia, anemia berat
b. Anemia aplastik-hipoplastik
Sindrom anemia berat sampai ringan
Terjadi perdarahan pada kulit (petechie dan echimosin), subkonjungtiva, gusi,
dan pada wanita menorrhagea

c. Anemia meloplastik
Sindrom anemia ringan sampai berat
Pada apusan darah tepi terlihat normoblas, sel mielosit, metamielosit stab,
kadang-kadang sel-sel blast, normokromik normositer

27
Anemia makrositer
Anemia yang memiliki gambaran makrositer adalah anemia megaloblastik, anemia non-
megaloblastik, anemia pada hipotiroid, dan anemia pada sindroma mieloblastik. Berikut
manifestasi klinis dari beberapa anemia makrositer:
a. Anemia megaloblastik
Anemia timbul perlahan-lahan dan progresif
Kadang disertai ikterus ringan
Glositis (lidah merah seperti daging/buffy tongue)
Defisiensi vitamin B12 menyebabkan neuropati
Defisiensi folat tidak menyebabkan neuropati
b. Anemia non-megaloblastik
Anemia sedang kecuali pada perdarahan gastrointestinal akut
Makrositer nonmegaloblastik (MCV 100-115 fl)
Pada apus darah tepi terdapat thin macrocyte, polikromasia, sel target
Leukopenia dan trombositopenia
Jika menahun dapat terjadi splenomegali
Sumsum tulang terjadi hiperplasia eritroid dengan makronornoblast tanpa tanda
megaloblastik

3.4 Pemeriksaan Penyaring

a) Hematokrit (Ht)
Nilai normal: Pria : 40% - 50 % SI unit : 0,4 - 0,5
Wanita : 35% - 45% SI unit : 0.35 - 0,45
Deskripsi: Hematokrit menunjukan persentase sel darah merah tehadap volume darah total.
Implikasi klinik:
Penurunan nilai Hct merupakan indikator anemia (karena berbagai sebab), reaksi hemolitik,
leukemia, sirosis, kehilangan banyak darah dan hipertiroid. Penurunan Hct sebesar 30%
menunjukkan pasien mengalami anemia sedang hingga parah.

28
Peningkatan nilai Hct dapat terjadi pada eritrositosis, dehidrasi, kerusakan paru-paru kronik,
polisitemia dan syok.
Nilai Hct biasanya sebanding dengan jumlah sel darah merah pada ukuran eritrosit normal,
kecuali pada kasus anemia makrositik atau mikrositik.
Pada pasien anemia karena kekurangan besi (ukuran sel darah merah lebih kecil), nilai Hct
akan terukur lebih rendah karena sel mikrositik terkumpul pada volume yang lebih kecil,
walaupun jumlah sel darah merah terlihat normal.
Nilai normal Hct adalah sekitar 3 kali nilai hemoglobin.
Satu unit darah akan meningkatkan Hct 2% - 4%.

b) Hemoglobin (Hb)
Nilai normal : Pria : 13 - 18 g/dL SI unit : 8,1 - 11,2 mmol/L
Wanita: 12 - 16 g/dL SI unit : 7,4 9,9 mmol/L
Implikasi klinik :
Penurunan nilai Hb dapat terjadi pada anemia (terutama anemia karena kekurangan zat besi),
sirosis, hipertiroidisme, perdarahan, peningkatan asupan cairan dan kehamilan.
Peningkatan nilai Hb dapat terjadi pada hemokonsentrasi (polisitemia, luka bakar), penyakit
paru-paru kronik, gagal jantung kongestif dan pada orang yang hidup di daerah dataran tinggi.
Konsentrasi Hb berfl uktuasi pada pasien yang mengalami perdarahan dan luka bakar.
Konsentrasi Hb dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan anemia, respons terhadap
terapi anemia, atau perkembangan penyakit yang berhubungan dengan anemia.

Susunan Sel Darah Merah:


1). Mean Corpuscular Volume (MCV) (Volume korpuskuler rata rata)
Perhitungan : MCV (femtoliter) = 10 x Hct (%) : Eritrosit (106 sel/L)
Nilai normal : 80 100 (fL)
Deskripsi : MCV adalah indeks untuk menentukan ukuran sel darah merah. MCV menunjukkan
ukuran sel darah merah tunggal apakah sebagai Normositik (ukuran normal), Mikrositik (ukuran
kecil < 80 fL), atau Makrositik (ukuran kecil >100 fL).
Implikasi klinik :

29
Penurunan nilai MCV terlihat pada pasien anemia kekurangan besi, anemia pernisiosa dan
talasemia, disebut juga anemia mikrositik.
Peningkatan nilai MCV terlihat pada penyakit hati, alcoholism, terapi antimetabolik,
kekurangan folat/vitamin B12, dan terapi valproat, disebut juga anemia makrositik.
Pada anemia sel sabit, nilai MCV diragukan karena bentuk eritrosit yang abnormal.
MCV adalah nilai yang terukur karenanya memungkinkan adanya variasi berupa mikrositik
dan makrositik walaupun nilai MCV tetap normal.
MCV pada umumnya meningkat pada pengobatan Zidovudin (AZT) dan sering digunakan
sebagi pengukur kepatuhan secara tidak langsung.

2). Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) (Hemoglobin Korpuskuler rata rata)


Perhitungan : MCH (picogram/sel) = hemoglobin/sel darah merah
Nilai normal : 28 34 pg/ sel
Deskripsi: Indeks MCH adalah nilai yang mengindikasikan berat Hb rata-rata di dalam sel darah
merah, dan oleh karenanya menentukan kuantitas warna (normokromik, hipokromik,
hiperkromik) sel darah merah. MCH dapat digunakan untuk mendiagnosa anemia.
Implikasi Klinik:
Peningkatan MCH mengindikasikan anemia makrositik
Penurunan MCH mengindikasikan anemia mikrositik.

3). Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) (Konsentrasi Hemoglobin Korpuskuler


rata rata)
Perhitungan : MCHC = hemoglobin/hematokrit Nilai normal : 32 36 g/dL
Deskripsi: Indeks MCHC mengukur konsentrasi Hb rata-rata dalam sel darah merah; semakin
kecil sel, semakin tinggi konsentrasinya. Perhitungan MCHC tergantung pada Hb dan Hct. Indeks
ini adalah indeks Hb darah yang lebih baik, karena ukuran sel akan mempengaruhi nilai MCHC,
hal ini tidak berlaku pada MCH.
Implikasi Klinik:

30
MCHC menurun pada pasien kekurangan besi, anemia mikrositik, anemia karena piridoksin,
talasemia dan anemia hipokromik.
MCHC meningkat pada sferositosis, bukan anemia pernisiosa.

4). Retikulosit Perhitungan : Retikulosit (%) = [Jumlah retikulosit / Jumlah eritrosit] X 100 Nilai
normal : 0,5-2%
Deskripsi: Retikulosit adalah sel darah yang muda, tidak berinti merupakan bagian dari
rangkaian pembentukan eritrosit di sumsum tulang. Peningkatan jumlah retikulosit
mengindikasikan bahwa produksi sel darah merah dipercepat; penurunan jumlah retikulosit
mengindikasikan produksi sel darah merah oleh sumsum tulang berkurang.

Implikasi Klinik:
Jumlah retikulosit dapat membedakan antara anemia karena kerusakan sumsum tulang
dengan anemia karena pendarahan atau hemolisis (kerusakan sel darah) karena pendarahan
atau hemolisis akan menstimulasi pembentukan retikulosit pada pasien dengan sumsum tulang
yang normal.
Jumlah retikulosit akan meningkat pada pasien anemia hemolitik, penyakit sel sabit dan
metastase karsinoma.
Jika jumlah retikulosit tidak meningkat pada pasien anemia, hal ini menandakan sumsum
tulang tidak memproduksi eritrosit yang cukup (misal anemia kekurangan besi, anemia aplastik,
anemia pernisiosa, infeksi kronik dan terapi radiasi).
Setelah pengobatan anemia, peningkatan retikulosit menandakan efektifi tas pengobatan.
Setelah pemberian dosis besi yang cukup pada anemia kekurangan besi, jumlah retikulosit akan
meningkat 20%; peningkatan secara proporsional terjadi ketika dilakukan transfusi pada anemia
pernisiosa. Peningkatan maksimum diharapkan terjadi 7-14 hari setelah pengobatan (suplemen
besi) (Pedoman Interpretasi Data Klinik, KEMENKES 2011)

31
(McKenzie Clinical Laboratory Hematology, Global Edition 3rd Ed)

4. Memahami dan Menjelaskan Anemia Defisiensi Zat Besi

4.1 Definisi
Jenis anemia mikrositik hipokrom, yang di sebabkan oleh rendahnya atau tidak adanya
simpanan besi dan konsentrasi besi serum, terdapat peningkatan porfirin eritrosit bebas, saturasi
transferrin rendah, transferrin meninggi, feritinin serum rendah dan kondisi hemoglobin rendah.
4.2 Etiologi
Kehilangan besi sebagai akibat pendarahan menahun:
1. Saluran cerna: Tukak peptik, pemakaian salisilat (OAINS), kanker lambung, kanker kolon,
divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
2. Saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau metrorhagia.
3. Saluran kemih: hematuria.
4. Saluran napas: Hemoptoe.
Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah zat besi total dalam makanan, atau kualitas besi
(bioavailabilitas) besi yang tidak baik (banyak makan serat, rendah vitamin C, dan rendah
daging).

32
Kebutuhan besi meningkat: Seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan,
dan kehamilan.
Gangguan absorpsi besi: Pada pasien dengan gastrektomi, topikal sprue atau colitis
kronik.

4.3 Patofisiologi
Pendarahan menahun menyebabkan kehilangan zat besi sehingga cadangan zat besi
makin menurun. Jika cadangan zat besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atau
negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar ferritin serum, peningkatan
absorbsi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif.
Apabila kekurangan zat besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama
sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada
bentuk eritrosit tetapi anemia klinis belum terjadi, keadaan ini disebut iron deficient
erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free
protophorphyrin dan zinc protophosphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferrin menurun, dan
Total Iron Binding Capacity (TIBC) meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik
ialah peningkatan reseptor transferin dan serum.
Apabila jumlah zat besi menurun terus maka eritropoesis semakin terganggu sehingga
kadar hemoglobin mulai menurun, akhirnya timbul anemia hipokromatik mikrositer, disebut
dengan iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada
beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut, dan faring serta
berbagai gejala lainnya.
4.4 Manifestasi Klinis
Pada anemia defisiensi besi biasanya penurunan hemoglobinnya terjadi perlahan-
lahan dengan demikian memungkinkan terjadinya kompensasi dari tubuh, sehingga gejala
anemianya tidak terlalu tampak atau dirasa oleh penderita.

Gejala klinis dari anemia defisiensi besi dapat dibagi menjadi tiga bagian:

1. Gejala umum dari anemia, yang sering disebut sebagai sindroma anemia yaitu
merupakan kumpulan dari gejala anemia, dimana hal ini akan tampak jelas jika Hb di
bawah 7-8 gr/dl dengan tanda-tanda kelemahan tubuh, lesu, mudah lelah, pucat,

33
pusing, palpitasi, penurunan daya konsentrasi, sulit nafas saat latihan fisik, mata
berkunang-kunang, telinga mendenging, letargi, menurun daya tahan tubuh, dan
keringat dingin.
2. Gejala anemia defisiensi besi:
a. Kolonychia/ kuku sendok: kuku berubah jadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan
jadi cekung sehingga mirip sendok.
b. Angular cheilosis: permukaan lidah tampak licin dan mengkilap disebabkan
karena hilangnya papil lidah
c. Stomatitis angularis: inflamasi sekitar sudut mulut
d. Glositis
e. Pica: keinginan makan yang tidak biasa
f. Disfagia: nyeri telan yang disebabkan pharyngeal web
g. Atrofi mukosa gaster
h. Sindroma plummer vinson/paterson kelly: kumpulan gejala atrofi papil lidah dan
disfagia

3. Gejala yang ditimbulkan dari penyakit yang mendasari terjadinya anemia defisiensi
besi, misalnya infeksi cacing tambang maka akan dijumpai dispepsia, tangan warna
kuning. Jika karena pendarahan kronis karena metastase karsinoma tergantung lokasi
metastasenya.

4.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Untuk menegakan diagnosis suatu penyakit harus dilakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Terdapat tiga tahap diagnosis anemia defisiensi: Pertama,
menetapkan anemia dengan mengukur kadar hemoglobin dan hematocrit. Kedua, memastikan
adanya defisiensi zat besi. Ketiga, menentukan penyebab defisiensi zat besi.
Secara laboratoris, diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et al)
sebagai berikut:
MCV < 80 fL dan MCH < 31%, dengan salah satu dari poin dibawah ini:
Dua dari tiga parameter dibawah ini:
Serum iron <50 mg/dL

34
TIBC >350 mg/dL
Saturasi transferin <15%, atau
Serum feritin < 20 mg/dL
Pengecetan tulang dengan biru prusia (Perls stain) menunjukan cadangan besi (butir-
butir hemosiderin) negatif atau,
Pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lainnya yang setara) selama
empat minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dL.
Pada tahap ketiga, ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisiensi besi.
Untuk pasien dewasa focus utama adalah mencari sumber pendarahan. Dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pada perempuan masa reproduksi, anamnesis tentang
menstruasi sangat penting, kalua perlu dilakukan pemeriksaan ginekologi, untuk laki-laki
dewasa di Indonesia dilakukan pemeriksaan feses untuk mencari telur cacing tambang.
Anemia akibat cacing tambang (hookworm anemia) adalah anemia difesiensi besi yang
disebabkan infeksi cacing tambang berat (TPG > 2000). Anemia akibat cacing tambang
sering terjadi pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Selain tanda-
tanda defisiensi zat besi, juga dijumpai pula adanya eosinofilia. Jika tidak ditemukan
pendarahan yang nyata, dapat dilakukan tes darah samar (occult blood test) pada feses, dan
jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau bawah.

Diagnosis Banding:
Anemia Anemia Akibat Trait Anemia
Defisiensi Besi Penyakit Thalasssemia Sideroblastik
Kronik
Derajat anemia Ringan Berat Ringan Ringan Ringan Berat
MCV Menurun Menurun/N Menurun Menurun/N
MCH Menurun Menurun/N Menurun Menurun/N
Besi serum Menurun < 30 Menurun < 50 Normal/meningkat Normal/meningkat
TIBC Meningkat > Menurun < 300 Normal/menurun Normal/menurun
360

35
Saturasi Menurun < Menurun/N 10- Meningkat>20% Meningkat>20%
transferin 20%
15%
Besi sumsum Negatif Positif Positif kuat Positif dengan
tulang ring sideroblast
Protoporpirin Meningkat Meningkat Normal Normal
eritrosit
Feritin serum Menurun<20g/l Normal 20-200 Meningkat >50g/l Meningkat >50g/l

g/l
Elektoforesis Normal Normal Hb.A2 meningkat Normal
Hb

4.6 Pencegahan

Beberapa tindakan penting yang dapat dilakukan untuk mencegah kekurangan besi
pada awal kehidupan adalah sebagai berikut :

Meningkatkan pemberian ASI eksklusif.

Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun.

Memberi bayi makanan yang mengandung besi serta makanan yang kaya dengan
asam askorbat (jus buah).

Memberi suplemen Fe pada bayi kurang bulan.

Pemakaian PASI yang mengandung besi.

Diprioritaskan pada kelompok rawan yaitu, balita, anak sekolah, ibu hamil, wanita
menyusui, wanita usia subur, remaja putri dan wanita pekerja.

Diet :

Makanan yang mengandung Fe sebanyak 8 10 mg Fe perhari dan hanya sebesar 5


10% yang diabsrobsi.

36
Pada anak, Fe berasal dari ASI dan penyerapannya lebih efisien daripada Fe yang
berasal dari susu sapi (ditunda hingga umur 1 tahun dikarenakan perdarahan saluran cerna
yang tersamarkan)
Pemberian makanan kaya vitamin C dan memperkenalkan makanan padat mulai
pada usia 4-6 bulan
Pemberiam suplemen Fe pada bayi prematur
Pemakaian susu formula yang mengandung besi (PASI)
Makanan yang dapat mempengaruhi penyerapan zat besi, yaitu :

Meningkatkan penyerapan
Asam askorbat, daging, ikan, dan unggas, dan HCl

Menurunkan penyerapan
Asam tanat (teh dan kopi), kalsium, fitat, beras, kunung telur, polifenol, oksalat, dan
obat-obatan (antasid, tetrasiklin, dan kolestiramin)

Penyuluhan kesehatan

Kesehatan lingkungan (penggunaan jamban, pemakaian alas kaki)


Gizi (mengkonsumsi makanan bergizi)
Konseling pada ibu atau orang sekitar untuk memilih bahan makanan dengan
kadar besi cukup sejak bayi sampai remaja

Pemberantasan infeksi cacing tambang


Suplementasi besi pada populasi rentan (ibu hamil dan anak balita)
Fortifikasi bahan makanan dengan besi
Skirining anemia
pemeriaksaan hb, ht pada bayi baru lahir dan pada bayi kurang bulan ( prematur )

Sebaiknya dilakukan pada usia 12 bulan dengan pemeriksaan hemoglobin (Hb)


dan penilaian risiko defisiensi besi atau anemia defisiensi besi.

37
4.7 Tatalaksana
Setelah diagnosis ditegakan maka dibuat rencana pemberian terapi, terapi terhadap
anemia difesiensi besi dapat berupa :
1. Terapi kausal: tergantung penyebabnya,misalnya : pengobatan cacing tambang,
pengobatan hemoroid, pengubatan menoragia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka
anemia akan kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh :
a.Besi per oral : merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman.preparat yang
tersedia, yaitu:
i. Ferrous sulphat (sulfas ferosus): preparat pilihan pertama (murah dan efektif). Dosis: 3 x 200
mg.
ii. Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate,harga lebih mahal,
tetepi efektivitas dan efek samping hampir sama.
b. Besi parenteral
Efek samping lebih berbahaya, serta harganya lebih mahal. Indikasi, yaitu:
1. Intoleransi oral berat
2. Kepatuhan berobat kurang
3. Kolitis ulserativa
4. Perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi, hamil trimester akhir).
Preparat yang tersedia : iron dextran complex, iron sorbitol citric acid complex. Dapat diberikan
secara intramuskular dalam atau intravena pelan.
Kebutuhan besi (mg) = ( 15-Hb sekarang ) x BB x 3
3. Pengobatan lain
a. Diet : sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang berasal dari
protein hewani
b. Vitamin C : diberikan 3 x 100 mg per hari untuk meningkatkan absorbsi besi
c. Transfusi darah : Jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pada :
- Adanya penyakit jantung anermik dengan ancaman payah jantung
- Anemia yang amat simptomatik misalnya anemia dengan gejala pusing yang amat mencolok
- Penderita memerlukan peningkatan kadar Hb yang cepat, seperti pada kehamilan trimester
akhir atau preoperasi.

38
4.8 Prognosis

Anemia defisiensi besi adalah gangguan yang mudah diobati dengan hasil yang sangat baik;
Namun, hal itu mungkin disebabkan oleh kondisi yang mendasarinya dengan prognosis buruk,
seperti neoplasia. Demikian pula, prognosis dapat diubah oleh kondisi komorbiditas seperti
penyakit arteri coroner. Pengobatan yang segera dan memadai pasien dengan anemia defisiensi
besi dibutuhkan untuk pasien dengan gejala seperti kondisi komorbiditas.
Anemia kekurangan zat besi kronis jarang menyebabkan kematian langsung; Namun, anemia
defisiensi besi sedang atau berat dapat menghasilkan hipoksia cukup untuk memperburuk
gangguan paru dan jantung yang mendasari. Kematian pada hipoksia telah diamati pada pasien
yang menolak transfusi darah karena alasan agama. Jelas, dengan perdarahan cepat, pasien
mungkin meninggal akibat hipoksia yang berhubungan dengan anemia posthemorrhagic.
Pada anak-anak, tingkat pertumbuhan dapat melambat, dan kemampuan untuk belajar menurun
dilaporkan. Pada anak-anak muda, anemia defisiensi besi yang berat dikaitkan dengan quotient
rendah kecerdasan (IQ), kemampuan berkurang untuk belajar, dan tingkat pertumbuhan
suboptimal.

39
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I. M. 2016. Hematologi klinik ringkas. Jakarta: EGC.
Hoffbrand, AV & Moss, AH. 2016. Hoffbrands Essential Haematology Seventh Edition.
Publisher: John Wiley & Sons Ltd.
Setiati S, et. Al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6 Jilid 2. Jakarta: Interna
Publishing.
Sherwood, Lauralee. 2014. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Bain, BJ. 2004. A Beginners Guide to Blood Cells. Publisher: Blackwell, London.
Diggs LW, Strum D, & Bell, A. 1956. The Morphology of Human Blood Cells. Publisher: WB
Saunders, Philadelphia.
Bakta, I.M . 2007. Hematologi Ringkas. Jakarta : EGC.
Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, et. Al. (2014). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid 2.
Jakarta: Interna Publishing
Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H., 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta : EGC.
McKenzie, Shirlyn B. Lynne Williams, J.2016.Clinical Laboratory Hematology, Global
Edition 3rd Ed.London:Pearson Education Limited.
KEMENKES RI.2011.Pedoman Interpretasi Data Klinik.Jakarta:Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Hoffbrand AV, Petit TE, Moss PAH. Essential Haematology 4th ed. London : Blackwell
Scientific Publication. 2001; 1-97.
Kamus Kedokteran Dorland 31th edition, 2007.

40

Anda mungkin juga menyukai