PAPILLOMA INVERTED
Pembimbing :
Dr. Maranatha Lumban Batu, Sp.THT-KL
Disusun Oleh :
Amelia Kristin Simanjuntak
0761050103
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia dan rahmat-
Nya saya dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Papilloma inverted.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam
menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher.
Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua Dosen pembimbing di
bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Indonesia dan Dosen Pembimbing di bagian Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher di RS Mardi Waluyo Metro Lampung,
dr.Maranatha Lumban Batu, Sp.THT-KL. Semoga Laporant ini dapat bermanfaat bagi kita
semua, Tuhan memberkati.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
1.1 PENDAHULUAN .. 1
BAB II
2.1 Anatomi Hidung ................ 2
2.1.1 Perdarahan ........................... 5
2.1.2 Persarafan .......... 6
2.2 Histologi Hidung ........................ 6
2.2. 1 Mukosa Hidung ................. 6
2.2.2 Silia ........................... 8
2.2. 3 Area Olfaktorius ................. 9
2.3 Fisiologi Hidung ............. 9
2.3. 1 Fungsi Respirasi ................. 10
2.3.2 Fungsi Penghidu ......... 11
2.3. 3 Fungsi Fonetik .................. 11
2.3.4 Refleks Nasal ............ 11
2.4 Definisi ........... 12
2.5 Etiologi ...................... 13
2.6 Faktor Resiko ......................... 13
2.7 Gejala Klinis .............................. 13
2.8 Pemeriksaan Penunjang .......................... 14
2.9 Staging ........................................ 15
2.10 Tatalaksana ............................................ 16
2.11 Prognosis ........................................ 16
BAB III
LAPORAN KASUS ....... 17
BAB IV
ANALISA KASUS ....... 30
BAB V
KESIMPULAN .............. 32
DAFTAR PUSTAKA ...... 33
BAB I
PENDAHULUAN
II. 1 ANATOMI
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1
1. pangkal hidung (bridge),
2. dorsum nasi,
3. puncak hidung,
4. ala nasi,
5. kolumela dan
6. lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 1
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu: 1
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 1
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. 1
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis
os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela. 1
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang
mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. 1
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga
rudimenter. 1
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan
dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap
hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. 1
2. 1. 1. PERDARAHAN
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari
a.karotis interna.1
2. 1. 2. PERSARAFAN
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris
dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. 1
Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 1
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa
olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar
epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. 1
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan
kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan
normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut
lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel-sel goblet. 1
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan
dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam
rongga hidung. 1
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat.Gangguan gerakan silia dapat disebabkan
oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di
bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah,
kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. 1
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel
dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler
perigalnduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke
rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan
otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya
sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula.
Dengan susunan demikian mukosa hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang
erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi
pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.1
2. 2. 3. AREA OLFAKTORIUS
Variasi antar individu yang besar mencirikan struktur regio penghidu;
perbedaan ini dapat menyangkut ketebalan mukosa (biasanya sekitar 60 mikron)
ukuran sel, dan vesikel olfaktorius. Pada manusia, epitel penhidu bertingkat toraks
terdiri dari tiga jenis sel: (1) sel saraf bipolar olfaktorius; (2) sel sustentakular
penyokong yang besar jumlahnya; dan (3) sejumlah sel basal yang kecil, agaknya
merupakan sel induk dari sel sustentakuler. 6
Masing-masing sel olfaktorius merupakan suatu neuron bipolar. Dalam
lapisan epitel, sel-sel ini tersebar merata di antara sel-sel penyokong. Sel-sel penghidu
ini merupakan satu-satunya bagian sistem saraf pusat yang mencapai permukaan
tubuh. Ujung distal sel ini merupakan suatu dendrit yang telah mengalami modifikasi
yang menonjol di atas permukaan epitel, membentuk apa yang disebut vesikel
olfaktorius. Pada permukaan vesikel terdapat 10 sampai 15 silia non motil. Ujung
proksimal sel mengecil membentuk suatu tonjolan yang halus berdiameter sekitar 0,1
mikron, yaitu aksonnya. Akson ini bergabung dengan akson lainnya membentuk saraf
olfaktorius, yang menembus lamina kribriformis dan membentuk bulbus olfaktorius
dimana terjadi sinaps dengan dendrit neuron kedua. Akson-akson neuron kedua
mebentuk traktus olfaktorius, yang berjalan ke otak untuk berhubungan dengan
sejumlah nuklei, fasikuli dan traktus lainnya. Aparatus olfaktorius sentral merupakan
struktur yang sangat kompleks.6
1. Fungsi respirasi
Untuk mengatur kondisi udara, humidikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunologik local.
2. Fungsi penghidu
Terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu.
3. Fungsi fonetik
Yang berguna untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
5. Reflex nasal.
2. 3. 1. FUNGSI RESPIRASI
Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan
udara inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya. 1
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 Celcius. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan
adanya permukaan konka dan septum yang luas. 1
Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
dihidung oleh: 1
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lender
Debu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan reflex bersin.
2. 3. 2. FUNGSI PENGHIDU
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik napas dengan kuat. 1
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). 1
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan
konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole
turun untuk aliran udara. 1
2. 3. 4. REFLEKS NASAL
II. 4 DEFINISI
II. 5 ETIOLOGI
Etiologi dari Papilloma inverted tidak sepenuhnya dimengerti; walaupun
begitu etiologinya diperkirakan karena infeksi seperti infeksi human papillomavirus
(HPV). Pada penilitian yang pernah dilakukan ditemukan DNA virus HPV pada 16
pasien dari 21 pasien yang didiagnosis Papilloma inverted. 9
(c)
Gambar 2.5 (a) corkscrew vessel, (b) sel vakuola, (c) atypical vessel 11
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pada pemeriksaan radiologi didapatkan massa unilateral di hidung yang harusnya
dilakukan biopsi hidung pada semua pasien dewasa yang dievaluasi dengan
keluhan sumbatan di hidung, epistaksis yang berulang, dan bila ada remodelling
tulang. 12
BIOPSI
Merupakan pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti dari
Papilloma inverted dan dilakukan dengan mengambil jaringan dari hidung yang
terkena. 8
II. 9 STAGING
Meskipun sistem staging dapat membantu dalam perencanaan bedah, tetapi
belum dapat memprediksi klinis dari pasien. 3
Sistem Han
Grup I Terbatas pada rongga hidung, dinding lateral hidung, sinus
maksilaris medial, sinus etmoidalis dan sinus sphenoid
Grup II Sepanjang dinding maksilaris lateral sampai medial
dengan atau tanpa kriteria grup I
Grup III Sampai ke sinus frontalis
Grup IV Sudah keluar dari semua sinus
Sistem Cannady
Grup A Papilloma inverted terbatas pada rongga hidung, sinus
etmodalis ataupun dinding maksilaris medial
Grup B Sudah mengenai semua dinding maksilaris (selain dinding
medial)
Grup C Sudah mengenai semua sinus paranasal
Tabel 2.1 Klasifikasi Pembagian Stage untuk Papilloma Inverted 11
II. 10 TATALAKSANA
Penatalaksanaan Papilloma inverted terdiri dari eksisi tumor total.
Pendekatan paling sering adalah rhinotomi lateral atau pendekatan degloving
midfacial, sampai maksilektomi medial untuk menghilangkan tumor secara
keseluruhan. Osteoplastik sinus frontalis kadang-kadang diperlukan untuk penyakit
yang sudah menyebar ke sinus frontalis. Untuk memastikan reseksi yang lebih
lengkap, mikroskopik dapat digunakan untuk melihat visualisasi dari mukosa. Baru-
baru ini, dengan kemajuan teknologi endoskopi sinus, reseksi endoskopi tumor telah
dianjurkan sebagai pilihan pengobatan. Prosedur berdasarkan reseksi transnasal
sampai ke endoscopic modified Lothrop dan harus dilakukan oleh ahli berdah yang
berpengalaman. Keuntungan dari pendekatan endoskopi yaitu meningkatkan
visualisasi dari mukosa yang sakit serta memerlukan reseksi. Tumor yang paling
cocok untuk dilakukan endoscopic resection adalah untuk neoplasma yang terbatas
pada meatus inferior atau meatus media atau turbinate tengah. 8
Sebuah gambaran penting dalam penatalaksanaan pasien dengan neoplasma
adalah bahwa semua spesimen yang dipotong harus diperiksa dengan cermat untuk
menyingkirkannya dari diagnosis bandingnya. 8
II. 11 PROGNOSIS
Angka kekambuhan dari operasi terbuka maupun secara pendekatan endoskopi adalah
8-10% hingga 49-75% berdasarkan berbagai sumber. 8
BAB III
LAPORAN KASUS
3. 1. IDENTITAS
Nama : Tn. T
No. Rekam medik : 176157
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen
Alamat : Ganjar Agung Metro
Tanggal masuk : 10 Oktober 2011
3. 2. ANAMNESIS
Anamneis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 10 Oktober 2011
Keluhan Utama : bengkak dalam lubang hidung kiri.
Keluhan Tambahan : Pilek, serta pendengaran berkurang di kedua telinga.
3. 3. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Frekuensi nadi : 90 kali/menit
Frekuensi napas : 20 kali/menit
Suhu : 36,7 c
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thoraks
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan = kiri
Palpasi : Vokal fremitus simetris kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan = kiri
Auskultasi : Bunyi nafas dasar vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Bunyi jantung I dan II normal, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar
Auskultasi : Bising usus 4 kali permenit
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani, nyeri ketok (-)
Genitalia : Tidak diperiksa
Anggota gerak : Atrofi (-), normotonus
Kulit : Dalam batas normal
Refleks fisiologis
Biceps : ++/++
Triceps : ++/++
APR : ++/++
KPR : ++/++
Refleks patologis : -/-
B. Status THT
Telinga
KANAN KIRI
Daun telinga ;
Bentuk Normotia Normotia
Infeksi (-) (-)
Trauma (-) (-)
Pre auriculae :
Fistel (-) (-)
Auricula accessories (-) (-)
Abses (-) (-)
Retro auriculae :
Pembengkakan (-) (-)
Abses (-) (-)
Fistel (-) (-)
Infra auriculae :
Parotis Tidak teraba membesar Tidak teraba membesar
Liang telinga :
Liang telinga Lapang Lapang
Warna Merah muda Merah muda
Sekret (-) (-)
Kelainan lain :
Jaringan granulasi (-) (-)
Hidung
KANAN KIRI
Bentuk Biasa Biasa
Vestibulum nasi Normal Normal
Cavum nasi Lapang Sempit
Mukosa Merah muda Hiperemis
Konka inferior & media
Besar Eutrofi Hipertrofi
Warna Merah muda Hiperemis
Permukaan Licin Licin
Meatus inferioa & media Sekret (+) Sekret (+)
Septum Ditengah Ditengah
Sekret Sekret jernih tidak Sekret jernih tidak
berbau berbau
Kelainan lain Massa (-) Massa (+)
Tenggorokan
Mukosa Warna merah muda
Uvula Ditengah, deviasi (-)
Faring Warna merah muda, arcus faring
simetris, massa (-), granul (-)
Refleks muntah (+)
Mulut
Deviasi : (-)
Leher
Kelenjar Submandibula Tidak teraba membesar
Kelenjar Cervicalis anterior (superior, media, Tidak teraba membesar
inferior)
Kelenjar Cervicalis posterior Tidak teraba membesar
Kelenjar supraclavcula Tidak teraba membesar
Thyroid Tidak teraba membesar
Tumor (-)
Abses submandibula (-)
Abses cervical (-)
3. 4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan darah ( tanggal 10 Oktober 2011)
HASIL NILAI NORMAL
Leukosit 7200 5.000-10.000/l
Eritrosit 4,71 4,5-6,5 juta
Hemoglobin 13,9 12,0-16,0
Hematokrit 41,0 38-47 %
MCV 87,0 82-92 fl
MCH 29,5 27-31
MCHC 33,9 32-37 gr%
Trombosit 354.000 150-450 ribu/l
Colt time 11 5-15
Bled time 3 1-5
Gula darah sewaktu 120 <200 mg%
Ureum 28 10-50 mg%
Kreatinin 1,4 L < 1,3 mg %
P < 1,1 mg %
SGOT 33 L <37 U/L
P <31 U/L
SGPT 32 L <40 U/L
P <31 U/L
STATUS THT
Pada hidung kiri didapatkan massa dengan sekret dikedua cavum nasis sinistra
dan dextra berwarna jernih dan tidak berbau.
Pada hidung kiri terlihat hipertrofi konka inferior serta hiperemis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium :
Peningkatan kadar kreatinin dalam darah, yaitu 1,4 mg%
CT Scan
Didapatkann kesan :
Hiperthrophy concha nasalis sinistra
Sinusitis maxillaris bilateral dan sinusitis ethmoidalis sinistra
Deviasi septum ke arah sinistra
3. 6. DIAGNOSA
A. Diagnosa Kerja : Suspek papilloma inverted sinonasal sinistra
B. Diagnosa Banding : Polip hidung
3. 7. PENATALAKSANAAN
Persiapan operasi rhinotomi lateral
Rawat inap
IVFD : RL 18 tetes /menit
MM :
Ceftriaxone 2x1 gram
Dexamethason 2x 10 mg
Tramadol 3x10 gram
Asam tranexamat 3x250 mg
Periksa DL cito post op. Rhinotomi lateral
3. 8. FOLLOW UP
Telah dilakukan rhinotomi lateral pada tanggal 10 Oktober 2011 yang berlangung dari
jam 16.50 sampai dengan 18.50
S O A P
Susah bernapas TD: 120 /80 mmHg Post op. Kompres pipi dengen
karena hidung N : 72 kali/menit Rhinotomi air hangat
tertutup kassa RR : 20 kali/menit lateral hari IVFD :
Darah (-) S : 36,4 c pertama RL : D5 = 2:1
Muka bengkak = 18 tetes /menit
sebelah kiri Diet : bebas
MM :
Ceftriaxone 2x1gram
Dexamethason 2x 10mg
Tramadol 3x10 gram
Ranitidin 2x1 amp
Tramadol STOP
Ranitidin STOP
ANALISA KASUS
Sifat inverted Papilloma adalah benign, yang muncul dari cadangan/penggantian sel-sel
yang terletak di membran basal mukosa.
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien datang dengan keluhan bengkak pada rongga
hidung sebelah kiri dan menyebabkan sumbatan pada hidung sehingga pasien sulit untuk
bernapas. Selain itu pasien juga mengeluhkan pilek dengan cairan yang keluar dari hidung
berwarna jernih serta kental. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa pada pasien
yang didiagnosis menderita Papilloma inverted datang dengan keluhan obstruksi hidung pada
salah satu rongga hidungnya dan juga rhinorrhea.
Selain keluhan tersebut pasien juga mengeluh pendengarannya berkurang untuk telinga
kiri dan kanan. Hal ini tidak sesuai dengan teori karena di teori tidak ada disebutkan bahwa
pasien dengan papilloma inverted mengalami keluhan pada telinganya. Keluhan tersebut
mungkin disebabkan karena proses degeneratif yang dialami oleh pasien. Untuk
memastikanya perlu dilakukan pemeriksaan audiometri.
Pasien berjenis kelamin laki-laki dan berusia 65 tahun, hal ini sesuai dengan teori yang
menyebutkan bahwa faktor resiko Papilloma inverted meningkat pada laki-laki dibandingkan
dengan wanita dengan perbandingan 2:1 dan insidensi kejadiannya memuncak pada usia 50
samapi 70 tahun.
Pada penatalaksanaan pasien diatas dilakukan tindakan operasi rhinotomi lateral. Hal
ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa penatalaksanaan pasien dengan Papilloma
inverted dilakukan dengan tindakan operasi rhinotomi lateral.
Pada pasien diberikan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi sebelum dan setelah
dilakukan tindakan operasi. Selain itu pasien juga diberikan antiinflamasi berupa
dexamethason, pemberian analgetik berupa tramadol untuk mengurangi rasa sakit, asam
tranexamat untuk menghentikan perdarahan serta pemberian ranitidin untuk menjaga mukosa
lambung dari efek samping pemberian dexamethasone. Kortikosteroid topikal juga diberikan
pada pasien berupa obat spray yaitu avamys spray.
Kekambuhan pada papilloma inverted mungkin terjadi sehingga pasien yang telah
menjalani tindakan pembedahan sebaiknya kontrol ke dokter ahli untuk mendapatkan saran
agar angka kekambuhan dapat dikurangi.
Untuk mendapatkan diagnosis pasti dari Papilloma inverted harus dilihat gambaran
histologi dari jaringan yang diambil sehingga pada pasien ini sebaiknya dilakukan
pemeriksaan Patologi Anatom untuk mendapatkan diagnosis pasti.
Paparan terhadap rokok serta penggunaan endoskopi nasal sebaiknya dikurangi untuk
menghindari terjadinya kekambuhan pada pasien.
BAB III
3. 1. KESIMPULAN
3. 2. SARAN
1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam.
2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. Availble from http//:visualdictionaryonline.com
3. Available from
http://4bp.blogspot.com/_bdoZHdubEbw/TH6LLZ1mCEI/AAAAAAAAAAKY/ZCH
7f0VbYnk/s1600/externalnoseparts.jpg
4. Available from
http://lh5.ggpht.com/_I0UHlGxoP6A/SaVl7Jfr_KI/AAAAAAAAAtQ/yupDo2elruw/
clip_image0024.jpg
5. Available from
http://www.google.co.id/imglanding?q=nasal+mucosa&hl=id&client=firefox-
a&rls=org.mozilla:en-US:official&tbm=isch&tbnid=Z7
6. Higler, Peter. Hidung. BOEIS:Buku Ajar Penyakit THT.Edisi keenam.Editor : Effendi
H. Philadelphia:WB Saunders Company,1997.Hal 173-188