Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

PAPILLOMA INVERTED

Pembimbing :
Dr. Maranatha Lumban Batu, Sp.THT-KL

Disusun Oleh :
Amelia Kristin Simanjuntak
0761050103

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG


TENGGOROKAN-BEDAH KEPALA LEHER
PERIODE 26 SEPTEMBER 2011 - 22 OKTOBER 2011
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
RUMAH SAKIT MARDI WALUYO METRO
LAMPUNG
2011
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia dan rahmat-
Nya saya dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Papilloma inverted.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam
menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher.
Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua Dosen pembimbing di
bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Indonesia dan Dosen Pembimbing di bagian Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher di RS Mardi Waluyo Metro Lampung,
dr.Maranatha Lumban Batu, Sp.THT-KL. Semoga Laporant ini dapat bermanfaat bagi kita
semua, Tuhan memberkati.

Lampung, 14 Oktober 2011

Penulis
DAFTAR ISI

BAB I
1.1 PENDAHULUAN .. 1

BAB II
2.1 Anatomi Hidung ................ 2
2.1.1 Perdarahan ........................... 5
2.1.2 Persarafan .......... 6
2.2 Histologi Hidung ........................ 6
2.2. 1 Mukosa Hidung ................. 6
2.2.2 Silia ........................... 8
2.2. 3 Area Olfaktorius ................. 9
2.3 Fisiologi Hidung ............. 9
2.3. 1 Fungsi Respirasi ................. 10
2.3.2 Fungsi Penghidu ......... 11
2.3. 3 Fungsi Fonetik .................. 11
2.3.4 Refleks Nasal ............ 11
2.4 Definisi ........... 12
2.5 Etiologi ...................... 13
2.6 Faktor Resiko ......................... 13
2.7 Gejala Klinis .............................. 13
2.8 Pemeriksaan Penunjang .......................... 14
2.9 Staging ........................................ 15
2.10 Tatalaksana ............................................ 16
2.11 Prognosis ........................................ 16

BAB III
LAPORAN KASUS ....... 17
BAB IV
ANALISA KASUS ....... 30
BAB V
KESIMPULAN .............. 32
DAFTAR PUSTAKA ...... 33
BAB I
PENDAHULUAN

Pada tahun 1854, untuk pertama kalinya Ward memperkenalkan Schneiderian


papilomas (Sps) dari hidung (misalnya, sinonasal papilloma). Lesi tumor jinak ini diberi
nama sesuai dengan penemunya sekaligus untuk menghormati penemunya, yaitu C. Victor
Schneider, yang mana pada tahun 1600-an menunjukkan bahwa mukosa hidung
menghasilkan catarh dan bukan CSF yang diidentifikasi berasal dari ektoderm. Kramer dan
Som mengklasifikasikan SPs sebagai neoplasma sejati pada hidung dan mendeskripsikannya
sebagai papilloma sejati, yang mana dapat membedakannya dengan polip hidung. Ringertz
adalah orang pertama yang menidentifikasi kecenderungan dari SPs menjadi stroma jaringan
ikat, yang membedakannya dengan jenis papilloma.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 ANATOMI
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1
1. pangkal hidung (bridge),
2. dorsum nasi,
3. puncak hidung,
4. ala nasi,
5. kolumela dan
6. lubang hidung (nares anterior).

Gambar 2.1 Anatomi Hidung Bagian Luar 2

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 1

1. tulang hidung (os nasalis),


2. prosesus frontalis os maksila dan
3. prosesus nasalis os frontal
Gambar 1.2. Anatomi Kerangka Hidung 3

sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu: 1

1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior,


2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),
3. beberapa pasang kartilago alar minor dan
4. tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 1
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. 1

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis
os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela. 1

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang
mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. 1

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga
rudimenter. 1

Gambar 2.3. Anatomi Hidung Bagian Dalam 4


Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum
etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.1

Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan
dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap
hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. 1

2. 1. 1. PERDARAHAN

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari
a.karotis interna.1

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris


interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. 1

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.


Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,
a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus
Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak. 1
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi sampai ke intrakranial. 1

2. 1. 2. PERSARAFAN

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris
dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. 1

Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga


memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus
superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.Ganglion
sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. 1

Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 1

II. 2 HISTOLOGI HIDUNG


2. 2. 1. MUKOSA HIDUNG

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa
olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar
epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. 1
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan
kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan
normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut
lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel-sel goblet. 1

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan
dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam
rongga hidung. 1

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat.Gangguan gerakan silia dapat disebabkan
oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di
bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah,
kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. 1

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel
dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler
perigalnduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke
rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan
otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya
sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula.
Dengan susunan demikian mukosa hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang
erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi
pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.1

Gambar 2.4. Mukosa hidung 5


2. 2. 2. SILIA
Silia yang panjangnya sekitar 5-7 mikron terletak pada lamina akhir sel-sel
permukaan eptelium dan jumlahnya sekitar 100 per mikron persegi, atau sekitar 250
per sel pada saluran pernapasan atas. Silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral
tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus, semuanya terbungkus dalam
membran sel berlapis tiga yang tipis dan rapuh. Masing-masing silium terdiri dari
suatu batang, ujung yang makin mengecil, dan korpus basalis. Tidak semua
mikrotubulus berlanjut hingga ke ujung silia. Kedua mikrotubulus sentral tunggal
tidak melewati bagian bawah permukaan sel. Namun, tepat dibawah permukaan sel,
tiap pasang mikrotubulus perifer bergabung dengan mikrotubulus ketiga dalam korpus
basalis, yaitu struktur yang ditemukan dalam sitoplasma apikal. Triplet ini terus
berjalan turun ke dalam sitoplasma apikal sebagai radiks silia, dan perlahan-lahan
menghilang.6
Dalam hal melecut, masing-masing silia tidak hanya bergerak ke depan dan ke
belakang seperti tangkai gandum di ladang. Tiap lecutan memiliki suatu fase dengan
kekuatan penuh yang berlangsung cepat searah aliran di mana silium tegak dan kaku,
yang dikuti suatu fase pemulihan yang lebih lambat dimana silium membengkok.
Hubungan waktu antara fase efektif dan fase pemulihan tengah diteliti dengan
percobaan memakai tikus. Rasionya adalah 1:3, yaitu fase efektif memerlukan
sepertiga dari waktu fase pemulihan. Lecutan itu bukannya tidak mirip kayuhan
lengan perenang. 6

2. 2. 3. AREA OLFAKTORIUS
Variasi antar individu yang besar mencirikan struktur regio penghidu;
perbedaan ini dapat menyangkut ketebalan mukosa (biasanya sekitar 60 mikron)
ukuran sel, dan vesikel olfaktorius. Pada manusia, epitel penhidu bertingkat toraks
terdiri dari tiga jenis sel: (1) sel saraf bipolar olfaktorius; (2) sel sustentakular
penyokong yang besar jumlahnya; dan (3) sejumlah sel basal yang kecil, agaknya
merupakan sel induk dari sel sustentakuler. 6
Masing-masing sel olfaktorius merupakan suatu neuron bipolar. Dalam
lapisan epitel, sel-sel ini tersebar merata di antara sel-sel penyokong. Sel-sel penghidu
ini merupakan satu-satunya bagian sistem saraf pusat yang mencapai permukaan
tubuh. Ujung distal sel ini merupakan suatu dendrit yang telah mengalami modifikasi
yang menonjol di atas permukaan epitel, membentuk apa yang disebut vesikel
olfaktorius. Pada permukaan vesikel terdapat 10 sampai 15 silia non motil. Ujung
proksimal sel mengecil membentuk suatu tonjolan yang halus berdiameter sekitar 0,1
mikron, yaitu aksonnya. Akson ini bergabung dengan akson lainnya membentuk saraf
olfaktorius, yang menembus lamina kribriformis dan membentuk bulbus olfaktorius
dimana terjadi sinaps dengan dendrit neuron kedua. Akson-akson neuron kedua
mebentuk traktus olfaktorius, yang berjalan ke otak untuk berhubungan dengan
sejumlah nuklei, fasikuli dan traktus lainnya. Aparatus olfaktorius sentral merupakan
struktur yang sangat kompleks.6

II. 3 FISIOLOGI HIDUNG


Berdasarkan teori structural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah: 1

1. Fungsi respirasi
Untuk mengatur kondisi udara, humidikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunologik local.

2. Fungsi penghidu
Terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu.

3. Fungsi fonetik
Yang berguna untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.

4. Fungsi static dan mekanik


Untuk meringankan beban kepala.

5. Reflex nasal.
2. 3. 1. FUNGSI RESPIRASI

Udara inpirasi masuk ke hidung menuju system respirasi melalui nares


anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. 1

Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan
udara inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya. 1

Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 Celcius. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan
adanya permukaan konka dan septum yang luas. 1

Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
dihidung oleh: 1
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lender
Debu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan reflex bersin.

2. 3. 2. FUNGSI PENGHIDU

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik napas dengan kuat. 1

Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan


rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis
strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk mebedakan rasa ayam yang berasal
dari cuka dan asam jawa. 1
2. 3. 3. FUNGSI FONETIK

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). 1

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan
konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole
turun untuk aliran udara. 1

2. 3. 4. REFLEKS NASAL

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran


cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung dan pankreas.1

II. 4 DEFINISI

Lapisan mukosa hidung dan sinus paranasal dikenal sebagai membran


Schneiderian untuk mengingat Victor Conrod Schnider yang menemukan gambaran
histologinya. Papilloma yang timbul di daerah ini sangat unik karena ditemukan
dalamnya dan dikenal sebagai Papilloma inverted. 7
Papilloma yang terletak vestibule tidak termasuk dalam Papiloma inverted karena dari
gambaran histologis, biologis serta sifatnya berbeda. 7
Lapisan mukosa hidung dan sinus paranasal secara embriologi unik karena
berasal dari ektoderm, berbeda dengan lapisan epitel saluran laringobronkial yang
berasal dari jaringan endoderm. 7
Sifat inverted Papilloma adalah neoplasma, yang muncul dari
cadangan/penggantian sel-sel yang terletak di membran basal mukosa. Stimulus yang
menyebabkan sel ini berproliferasi tidak diketahui. Hasil dari penebalan epitelium ini
dapat menjadi inverted ataupun fungiform ataupun keduanya. Jarang Papilloma dapat
seluruhnya terdiri dari sel clylinderical, dan karenanya isitilah cylinderical papilloma
cell digunakan untuk menggambarkan subtipe ini. 7
Papilloma inverted juga sering d isebut papilloma Schneiderian yang namanya
berasal dari mukosa tempatnya berasal, biasanya terletak di dinding lateral hidung;
dan jarang ditemukan di septum. Insidensi tumor ini adalah antara 0,5% dan 7,0% dari
semua tumor hidung. Penyebab dari tumor ini masih belum diketahui, walaupun
begitu, ada hubungannya dengan human papilomavirus (HPV) tetapi bukan
dikarenakan oleh alergi ataupun polip hidung. Papilloma inverted biasanya mengenai
meatus medial dan setidaknya satu rongga sinus; sinus yang paling sering terkena
adalah sinus maksilaris dan sinus etmidalis, diikuti sinus sphenoidalis dan sinus
frontalis. 8
Papilloma inverted biasanya unilateral, tetapi ada juga yang bilateral dan
dilaporkan kasusnya sekitar 13%. Tumor ini dapat menyebar melalui septum ke
rongga hidung yang kontralateral. Tumor multifokal kasusnya tercatat 4%. Belum
diketahui apakah karena multicentricity ataupun eksisi yang tidak komplit, neoplasma
ini sering muncul kembali atau kambuh dengan berbagai penyebab, yaitu tingkat
kekambuhannya 75%. Pasien Papilloma inverted juga memiliki resiko sebesar 5-15%
untuk menjadi karsinoma sel skuamosa. 8

II. 5 ETIOLOGI
Etiologi dari Papilloma inverted tidak sepenuhnya dimengerti; walaupun
begitu etiologinya diperkirakan karena infeksi seperti infeksi human papillomavirus
(HPV). Pada penilitian yang pernah dilakukan ditemukan DNA virus HPV pada 16
pasien dari 21 pasien yang didiagnosis Papilloma inverted. 9

II. 6 FAKTOR RESIKO


USIA
Papilloma inverted bisa dialami oleh semua tingakatan usia akan tetapi puncak
insidensi terjadinya Papilloma inverted adalah antara pada dekade kelima sampai
ketujuh. 9
JENIS KELAMIN
Pria lebih banyak menderita Papilloma inverted dibandingkan dengan wanita
dengan perbandingan 4 sampai 5:1 9
ROKOK
Rokok merupakan faktor resiko paling penting dalam menyebabkan tingkat
kekambuhan pa berbagai macam kanker sel skuamosa. Beberapa penelitian
mengindikasikan bahwa paparan lama pada asap rokok dapat mengakibatkan
depresi dari respon imun dan menurunkan resistensi dari sel tumor 10
IATROGENIK
Penggunaan endoskopi nasal pada pasien yang didiagnosis Papilloma inverted dan
telah dioperasi akan meningkatkan kekambuhan dari penyakit tersebut dan
biasanya kekambuhan yang terjadi menyerang cavum nasi bilateral. Sehingga
penggunaan endoskopi harus dilakukan secara benar dan perlu diperhatikan
tingakt sterilisasinya.

II. 7 GEJALA KLINIS


Pasien yang didiagnosis menderita Papilloma inverted datang dengan keluhan
obstruksi hidung, rhinorrhea, serta pistaksis dari salah satu hidung. Gejala lain, yaitu
tekanan pada wajah (facial pressure), sakit kepala, dan anosmia. Pada pemeriksaan
biasa, tidak ada gejala tertentu yang membedakan secara jelas antara Papilloma
inverted dengan polip karena inflamasi, meskipun bentuk Papilloma inverted lebih
tegas dan kurang translucent daripada polip pada umumnya. Pada pemeriksaan
histopatologis, gambaran yang membedakan Papilloma inverted adalah proliferasi
epitel dengan inversi fingerlike ke epitel yan mendasarinya. 8

II. 8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


ENDOSKOPI
Pada pemeriksaan dengan endoskopi biasanya didapatkan gambaran sel
hiperkrom, sel heterogen dan sel bervakuola sedangkan pada kanker sel skuamosa
terlihat gambaran sel heterogen, sel hiperkrom, anisokaryosis, pleomorfik nuklear,
mitosis, keratosis dan gambaran pembuluh atipikal atau corkscrew vessel.11
(a) (b)

(c)
Gambar 2.5 (a) corkscrew vessel, (b) sel vakuola, (c) atypical vessel 11

PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pada pemeriksaan radiologi didapatkan massa unilateral di hidung yang harusnya
dilakukan biopsi hidung pada semua pasien dewasa yang dievaluasi dengan
keluhan sumbatan di hidung, epistaksis yang berulang, dan bila ada remodelling
tulang. 12

BIOPSI
Merupakan pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti dari
Papilloma inverted dan dilakukan dengan mengambil jaringan dari hidung yang
terkena. 8
II. 9 STAGING
Meskipun sistem staging dapat membantu dalam perencanaan bedah, tetapi
belum dapat memprediksi klinis dari pasien. 3

Tabel 2.1 Klasifikasi Pembagian Stage untuk Papilloma Inverte


Sistem Krouse
T1 Terbatas pada rongga hidung
T2 Ostiomeatal ke sinus ethmoid atau maksilaris medial
(dengan atau tanpa keteribatan rongga hidung)
T3 Setiap dinding sinus maksilaris medial, sinus frontalis
ataupun sphenoidalis dengan atau tanpa kriteria T2
T4 Setiap daerah extra sinus ataupun keganasan

Sistem Han
Grup I Terbatas pada rongga hidung, dinding lateral hidung, sinus
maksilaris medial, sinus etmoidalis dan sinus sphenoid
Grup II Sepanjang dinding maksilaris lateral sampai medial
dengan atau tanpa kriteria grup I
Grup III Sampai ke sinus frontalis
Grup IV Sudah keluar dari semua sinus

Sistem Cannady
Grup A Papilloma inverted terbatas pada rongga hidung, sinus
etmodalis ataupun dinding maksilaris medial
Grup B Sudah mengenai semua dinding maksilaris (selain dinding
medial)
Grup C Sudah mengenai semua sinus paranasal
Tabel 2.1 Klasifikasi Pembagian Stage untuk Papilloma Inverted 11
II. 10 TATALAKSANA
Penatalaksanaan Papilloma inverted terdiri dari eksisi tumor total.
Pendekatan paling sering adalah rhinotomi lateral atau pendekatan degloving
midfacial, sampai maksilektomi medial untuk menghilangkan tumor secara
keseluruhan. Osteoplastik sinus frontalis kadang-kadang diperlukan untuk penyakit
yang sudah menyebar ke sinus frontalis. Untuk memastikan reseksi yang lebih
lengkap, mikroskopik dapat digunakan untuk melihat visualisasi dari mukosa. Baru-
baru ini, dengan kemajuan teknologi endoskopi sinus, reseksi endoskopi tumor telah
dianjurkan sebagai pilihan pengobatan. Prosedur berdasarkan reseksi transnasal
sampai ke endoscopic modified Lothrop dan harus dilakukan oleh ahli berdah yang
berpengalaman. Keuntungan dari pendekatan endoskopi yaitu meningkatkan
visualisasi dari mukosa yang sakit serta memerlukan reseksi. Tumor yang paling
cocok untuk dilakukan endoscopic resection adalah untuk neoplasma yang terbatas
pada meatus inferior atau meatus media atau turbinate tengah. 8
Sebuah gambaran penting dalam penatalaksanaan pasien dengan neoplasma
adalah bahwa semua spesimen yang dipotong harus diperiksa dengan cermat untuk
menyingkirkannya dari diagnosis bandingnya. 8

II. 11 PROGNOSIS
Angka kekambuhan dari operasi terbuka maupun secara pendekatan endoskopi adalah
8-10% hingga 49-75% berdasarkan berbagai sumber. 8
BAB III

LAPORAN KASUS

3. 1. IDENTITAS
Nama : Tn. T
No. Rekam medik : 176157
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen
Alamat : Ganjar Agung Metro
Tanggal masuk : 10 Oktober 2011

3. 2. ANAMNESIS
Anamneis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 10 Oktober 2011
Keluhan Utama : bengkak dalam lubang hidung kiri.
Keluhan Tambahan : Pilek, serta pendengaran berkurang di kedua telinga.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan 3 tahun sebelum masuk Rumah Sakit pasien
mengeluh bengkak dalam lubang hidung kirinya. Bengkak dalam lubang hidung kiri
ini semakin lama semakin membesar dan mengganggu keseharian pasien. Karena
adanya bengkak ini hidung pasien jadi tersumbat sehingga pasien sulit untuk
bernapas. Perdarahan dari pembengkakan di hidung (-). Pasien sudah pernah berobat
sebelumnya dan diberikan obat tetes dihidung akan tetapi keluhan tidak berkurang.
Selain keluhan tersebut pasien juga mengeluh pilek, cairan berwarna jernih kental,
tidak berbau, darah (-). Pasien juga merasa pendengarannya berkurang di kedua
telinga, tidak ada cairan yang keluar dari telinga. Demam (-), pusing (-). Riwayat
darah tinggi disangkal, riwayat kencing manis disangkal, riwayat asma disangkal,
tidak ada riwayat alergi terhadap obat.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien belum pernah menderita penyakit ini sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Dalam keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien.
Riwayat Kebiasaan Pribadi :
Pasien memiliki kebiasaan merokok 50 tahun yang lalu selama 10 tahun tapi
sekarang sudah tidak

3. 3. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Frekuensi nadi : 90 kali/menit
Frekuensi napas : 20 kali/menit
Suhu : 36,7 c

Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thoraks
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan = kiri
Palpasi : Vokal fremitus simetris kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan = kiri
Auskultasi : Bunyi nafas dasar vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Bunyi jantung I dan II normal, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar
Auskultasi : Bising usus 4 kali permenit
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani, nyeri ketok (-)
Genitalia : Tidak diperiksa
Anggota gerak : Atrofi (-), normotonus
Kulit : Dalam batas normal
Refleks fisiologis
Biceps : ++/++
Triceps : ++/++
APR : ++/++
KPR : ++/++
Refleks patologis : -/-

B. Status THT
Telinga
KANAN KIRI
Daun telinga ;
Bentuk Normotia Normotia
Infeksi (-) (-)
Trauma (-) (-)

Tumor (-) (-)

Pre auriculae :
Fistel (-) (-)
Auricula accessories (-) (-)
Abses (-) (-)

Sikatrik (-) (-)

Retro auriculae :
Pembengkakan (-) (-)
Abses (-) (-)
Fistel (-) (-)

Sikatrik (-) (-)

Nyeri tekan (-) (-)

Infra auriculae :
Parotis Tidak teraba membesar Tidak teraba membesar
Liang telinga :
Liang telinga Lapang Lapang
Warna Merah muda Merah muda
Sekret (-) (-)

Serumen (-) (-)

Kelainan lain (-) (-)


Membran timpani :
Utuh / tidak Utuh Utuh
Warna Putih keabuan Putih keabuan
Refleks cahaya (+) (+)

Posisi Normal Normal

Perforasi (-) (-)

Kelainan lain :
Jaringan granulasi (-) (-)

Polip (-) (-)

Kolesteatoma (-) (-)

Tumor (-) (-)

Hidung
KANAN KIRI
Bentuk Biasa Biasa
Vestibulum nasi Normal Normal
Cavum nasi Lapang Sempit
Mukosa Merah muda Hiperemis
Konka inferior & media
Besar Eutrofi Hipertrofi
Warna Merah muda Hiperemis
Permukaan Licin Licin
Meatus inferioa & media Sekret (+) Sekret (+)
Septum Ditengah Ditengah
Sekret Sekret jernih tidak Sekret jernih tidak
berbau berbau
Kelainan lain Massa (-) Massa (+)
Tenggorokan
Mukosa Warna merah muda
Uvula Ditengah, deviasi (-)
Faring Warna merah muda, arcus faring
simetris, massa (-), granul (-)
Refleks muntah (+)

Mulut
Deviasi : (-)

Leher
Kelenjar Submandibula Tidak teraba membesar
Kelenjar Cervicalis anterior (superior, media, Tidak teraba membesar
inferior)
Kelenjar Cervicalis posterior Tidak teraba membesar
Kelenjar supraclavcula Tidak teraba membesar
Thyroid Tidak teraba membesar
Tumor (-)
Abses submandibula (-)
Abses cervical (-)

3. 4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan darah ( tanggal 10 Oktober 2011)
HASIL NILAI NORMAL
Leukosit 7200 5.000-10.000/l
Eritrosit 4,71 4,5-6,5 juta
Hemoglobin 13,9 12,0-16,0
Hematokrit 41,0 38-47 %
MCV 87,0 82-92 fl
MCH 29,5 27-31
MCHC 33,9 32-37 gr%
Trombosit 354.000 150-450 ribu/l
Colt time 11 5-15
Bled time 3 1-5
Gula darah sewaktu 120 <200 mg%
Ureum 28 10-50 mg%
Kreatinin 1,4 L < 1,3 mg %
P < 1,1 mg %
SGOT 33 L <37 U/L
P <31 U/L
SGPT 32 L <40 U/L
P <31 U/L

B. CT Scan ( tanggal 10 Oktober 2011)


Head / SPN CT Scan potongan axial dan coronal, interval slice 5mm dan 10 mm
Torus tubarius simetris
Nasofaring tampak baik
Tampak penebalan mukosa sinus maxillaris bilateral
Concha nasalis sinistra tampak membesar
Tampak lesi radioopaq pada sellulae ethmoidalis sinistra
Tampak deviasi septum nasi kearah sinistra
Tak tampak lesi hipo/hiper/isodens pada intracranial
Tak tampak destruksi pada tulang yang tervisualisasi
KESAN :
Hiperthrophy concha nasalis sinistra
Sinusitis maxillaris bilateral dan sinusitis ethmoidalis sinistra
Deviasi septum ke arah sinistra
3. 5. RESUME
Pasien datang dengan keluhan 1 tahun sebelum masuk Rumah Sakit pasien
mengeluh bengkak dalam lubang hidung kirinya. Bengkak dalam lubang hidung kiri
ini semakin lama semakin membesar dan mengganggu keseharian pasien. Karena
adanya bengkak ini hidung pasien jadi tersumbat sehingga pasien sulit untuk
bernapas. Perdarahan dari pembengkakan di hidung (-). Pasien sudah pernah berobat
sebelumnya dan diberikan obat tetes dihidung akan tetapi keluhan tidak berkurang.
Selain keluhan tersebut pasien juga mengeluh pilek, cairan berwarna jernih kental,
tidak berbau, darah (-). Pasien juga merasa pendengarannya berkurang di kedua
telinga, tidak ada cairan yang keluar dari telinga. Demam (-), pusing (-). Riwayat
darah tinggi disangkal, riwayat kencing manis disangkal, riwayat asma disangkal,
tidak ada riwayat alergi terhadap obat. Pasien memiliki kebiasaan merokok 50 tahun
yang lalu selama 10 tahun tapi sekarang sudah tidak

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Frekuensi nadi : 90 kali/menit
Frekuensi napas : 20 kali/menit
Suhu : 36,7 c

STATUS THT
Pada hidung kiri didapatkan massa dengan sekret dikedua cavum nasis sinistra
dan dextra berwarna jernih dan tidak berbau.
Pada hidung kiri terlihat hipertrofi konka inferior serta hiperemis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium :
Peningkatan kadar kreatinin dalam darah, yaitu 1,4 mg%
CT Scan
Didapatkann kesan :
Hiperthrophy concha nasalis sinistra
Sinusitis maxillaris bilateral dan sinusitis ethmoidalis sinistra
Deviasi septum ke arah sinistra

3. 6. DIAGNOSA
A. Diagnosa Kerja : Suspek papilloma inverted sinonasal sinistra
B. Diagnosa Banding : Polip hidung

3. 7. PENATALAKSANAAN
Persiapan operasi rhinotomi lateral
Rawat inap
IVFD : RL 18 tetes /menit
MM :
Ceftriaxone 2x1 gram
Dexamethason 2x 10 mg
Tramadol 3x10 gram
Asam tranexamat 3x250 mg
Periksa DL cito post op. Rhinotomi lateral

3. 8. FOLLOW UP
Telah dilakukan rhinotomi lateral pada tanggal 10 Oktober 2011 yang berlangung dari
jam 16.50 sampai dengan 18.50

Hasil Pemeriksaan darah lengkap post operasi rhinotomi lateral :


HASIL NILAI NORMAL
Leukosit 11.700 5.000-10.000/l
Eritrosit 3,71 4,5-6,5 juta
Hemoglobin 11,0 12,0-16,0
Hematokrit 32,3 38-47 %
MCV 87,1 82-92 fl
MCH 29,6 27-31
MCHC 34,1 32-37 gr%
Trombosit 278.000 150-450 ribu/l

Follow up Post operasi rhinotomi lateral


Jam 20.50
S O A P
Susah bernapas TD: 110 /70 mmHg Post op. IVFD :
karena hidung N : 100 kali/menit Rhinotomi RL 18 tetes /menit
tertutup kassa RR : 20 kali/menit lateral
Keluar darah S : 36,7 c MM :
bercampur liur Ceftriaxone 2x1gram
sedikit Dexamethason 2x 10mg
Muka bengkak Tramadol 3x10 gram
sebelah kiri As.tranexamat 3x250mg

Hari pertama, Selasa 11 Oktober 2011


Jam 06.30
S O A P
Susah bernapas TD: 130 /80 mmHg Post op. Kompres pipi dengen
karena hidung N : 72 kali/menit Rhinotomi air hangat
tertutup kassa RR : 20 kali/menit lateral hari Diet : bebas
Darah (-) S : 36,7 c pertama IVFD :
Muka bengkak RL : D5 = 2:1
sebelah kiri = 18 tetes /menit
MM :
Ceftriaxone 2x1gram
Dexamethason 2x 10mg
Tramadol 3x10 gram
Ranitidin 2x1 amp
Jam 17.00

S O A P
Susah bernapas TD: 120 /80 mmHg Post op. Kompres pipi dengen
karena hidung N : 72 kali/menit Rhinotomi air hangat
tertutup kassa RR : 20 kali/menit lateral hari IVFD :
Darah (-) S : 36,4 c pertama RL : D5 = 2:1
Muka bengkak = 18 tetes /menit
sebelah kiri Diet : bebas

MM :
Ceftriaxone 2x1gram
Dexamethason 2x 10mg
Tramadol 3x10 gram
Ranitidin 2x1 amp

Hari kedua, Selasa 12 Oktober 2011


Jam 06.15
S O A P
Susah bernapas TD: 110 /90 mmHg Post op. Kompres pipi dengen
karena hidung N : 72 kali/menit Rhinotomi air hangat
tertutup kassa RR : 20 kali/menit lateral hari Diet : bebas
Darah (-) S : 36,2 c kedua IVFD :
Muka bengkak RL : D5 = 2:1
sebelah kiri = 18 tetes /menit
berkurang
MM :
Ceftriaxone 2x1gram
Dexamethason 2x 10mg
Tramadol 3x10 gram
Ranitidin 2x1 amp
Jam 17.15
S O A P
Susah bernapas TD: 120 /70 mmHg Post op. Kompres pipi dengen
karena hidung N : 80 kali/menit Rhinotomi air hangat
tertutup kassa RR : 20 kali/menit lateral hari Diet : bebas
Darah (-) S : 36,6 c kedua IVFD :
Muka bengkak RL : D5 = 2:1
sebelah kiri = 18 tetes /menit
berkurang
MM :
Ceftriaxone 2x1gram
Dexamethason 2x 10mg
Tramadol 3x10 gram
Ranitidin 2x1 amp

Hari ketiga, Kamis 13 Oktober 2011


Jam 06.15
S O A P
Susah bernapas TD: 140 /90 mmHg Post op. Diet : bebas
karena hidung N : 76 kali/menit Rhinotomi IVFD :
tertutup kassa RR : 20 kali/menit lateral hari RL : D5 = 2:1
Darah (-) S : 36,4 c ketiga = 18 tetes /menit
Tenggorokan
kering MM :
Muka tidak Ceftriaxone 2x1gram
bengkak Dexamethason 2x 10mg
Avamys spray 2x3tetes

Tramadol STOP
Ranitidin STOP

Aff tampon + perawatan luka jam 08.00


Jam 17.00
S O A P
Darah (-) TD: 110 /70 mmHg Post op. Diet : Lunak
Tenggorokan N : 76 kali/menit Rhinotomi IVFD :
kering (-) RR : 16 kali/menit lateral hari RL : D5 = 2:1
Muka tidak S : 36,7 c kedua = 18 tetes /menit
bengkak
MM :
Ceftriaxone 2x1gram
Dexamethason 2x 10mg
Avamys spray 2x3tetes

Hari Keempat, Jumat 14 Oktober 2011


Jam 06.15
S O A P
Tidak ada keluhan TD: 120 /70 mmHg Post op. Boleh pulang
N : 84 kali/menit Rhinotomi
RR : 20 kali/menit lateral hari Kontrol 21 Oktober
S : 36,1 c keempat 2011
BAB III

ANALISA KASUS

Sifat inverted Papilloma adalah benign, yang muncul dari cadangan/penggantian sel-sel
yang terletak di membran basal mukosa.

Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien datang dengan keluhan bengkak pada rongga
hidung sebelah kiri dan menyebabkan sumbatan pada hidung sehingga pasien sulit untuk
bernapas. Selain itu pasien juga mengeluhkan pilek dengan cairan yang keluar dari hidung
berwarna jernih serta kental. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa pada pasien
yang didiagnosis menderita Papilloma inverted datang dengan keluhan obstruksi hidung pada
salah satu rongga hidungnya dan juga rhinorrhea.

Selain keluhan tersebut pasien juga mengeluh pendengarannya berkurang untuk telinga
kiri dan kanan. Hal ini tidak sesuai dengan teori karena di teori tidak ada disebutkan bahwa
pasien dengan papilloma inverted mengalami keluhan pada telinganya. Keluhan tersebut
mungkin disebabkan karena proses degeneratif yang dialami oleh pasien. Untuk
memastikanya perlu dilakukan pemeriksaan audiometri.

Pasien berjenis kelamin laki-laki dan berusia 65 tahun, hal ini sesuai dengan teori yang
menyebutkan bahwa faktor resiko Papilloma inverted meningkat pada laki-laki dibandingkan
dengan wanita dengan perbandingan 2:1 dan insidensi kejadiannya memuncak pada usia 50
samapi 70 tahun.

Pada penatalaksanaan pasien diatas dilakukan tindakan operasi rhinotomi lateral. Hal
ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa penatalaksanaan pasien dengan Papilloma
inverted dilakukan dengan tindakan operasi rhinotomi lateral.

Pada pasien diberikan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi sebelum dan setelah
dilakukan tindakan operasi. Selain itu pasien juga diberikan antiinflamasi berupa
dexamethason, pemberian analgetik berupa tramadol untuk mengurangi rasa sakit, asam
tranexamat untuk menghentikan perdarahan serta pemberian ranitidin untuk menjaga mukosa
lambung dari efek samping pemberian dexamethasone. Kortikosteroid topikal juga diberikan
pada pasien berupa obat spray yaitu avamys spray.

Kekambuhan pada papilloma inverted mungkin terjadi sehingga pasien yang telah
menjalani tindakan pembedahan sebaiknya kontrol ke dokter ahli untuk mendapatkan saran
agar angka kekambuhan dapat dikurangi.

Untuk mendapatkan diagnosis pasti dari Papilloma inverted harus dilihat gambaran
histologi dari jaringan yang diambil sehingga pada pasien ini sebaiknya dilakukan
pemeriksaan Patologi Anatom untuk mendapatkan diagnosis pasti.

Paparan terhadap rokok serta penggunaan endoskopi nasal sebaiknya dikurangi untuk
menghindari terjadinya kekambuhan pada pasien.
BAB III

3. 1. KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa Papilloma inverted merupakan benign, yang muncul


dari cadangan/penggantian sel-sel yang terletak di membran basal mukosa. Etiologi
dari Papilloma inverted tidak sepenuhnya dimengerti; walaupun begitu etiologinya
diperkirakan karena infeksi seperti infeksi human papillomavirus (HPV). Pasien yang
didiagnosis menderita Papilloma inverted datang dengan keluhan obstruksi hidung,
rhinorrhea, serta pistaksis dari salah satu hidung. Gejala lain, yaitu tekanan pada
wajah (facial pressure), sakit kepala, dan anosmia. Pria lebih memiliki kemungkinan
lebih besar menderita Papilloma inverted bila dibandingkan dengan wanita dan lebih
sering menyerang usia 50-70 tahun. Penegakkan diagnosa dilakuakan dengan biopsi
hidung. Penatalaksaan pasien dapat dilakukan tindakan pembedahan.
Pada pasien ini sudah dilakukan penatalaksanaan sesuai dengan teori yaitu
dilakukan tindakan pembedahan berupa rhinotomi lateral, akan tetapi belum
dilakukan biopsi hidung yang dapat menegakkan diagnosis pasti dari pasien ini.
Setelah tidak ada keluhan dan perdarah sudah tidak serta keadaan umum pasien telah
baik, pasien lalu dipulangkan tanggal 14 Oktober 2011.

3. 2. SARAN

Sebaiknya kita menjauhi faktor-faktor resiko dari terjadinya Papilloma inverted


seperti konsumsi rokok ataupun menjauhi paparan terhadap asap rokok dan juga
memperhatikan penggunaan alat endoskopi nasal bila ingin melakukan endoskopi
nasal.
Sebaiknya dilakukan biopsi untuk mendapatkan diagnosis pasti dari keluhan yang
dialami oleh pasien sehingga membantu dalam penatalaksanaan terhadap pasien.
Sebaiknya pasien tetap mengonrolkan diri kepada dokter spesialis THT untuk
mencegah terjadinya kekambuhan walaupun sudah dilakukan tindakan
pembedahan karena papilloma inverted dapat kambuh walaupun telah dilakukan
tindakan pembehdan
Karena komplikasi Papilloma inverted yang tersering adalah Karsinoma Sel
Skuamosa maka perlu dilakukan kontrol ke dokter spesialis THT serta menjauhi
faktor resiko terjadinya Papilloma inverted sehingga mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih buruk lagi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam.
2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. Availble from http//:visualdictionaryonline.com
3. Available from
http://4bp.blogspot.com/_bdoZHdubEbw/TH6LLZ1mCEI/AAAAAAAAAAKY/ZCH
7f0VbYnk/s1600/externalnoseparts.jpg
4. Available from
http://lh5.ggpht.com/_I0UHlGxoP6A/SaVl7Jfr_KI/AAAAAAAAAtQ/yupDo2elruw/
clip_image0024.jpg
5. Available from
http://www.google.co.id/imglanding?q=nasal+mucosa&hl=id&client=firefox-
a&rls=org.mozilla:en-US:official&tbm=isch&tbnid=Z7
6. Higler, Peter. Hidung. BOEIS:Buku Ajar Penyakit THT.Edisi keenam.Editor : Effendi
H. Philadelphia:WB Saunders Company,1997.Hal 173-188

7. Available from http://www.drtbalu.com/inver_pap.html


8. Anil K. Lalwani. Current Diagnosis &Treatment Otolarungology Head and neck
surgery. Second edition. Mc. Graw Hill.
9. Krista Rodriguez Bruno, MD, M. Jafer Ali, MD, and Steve J. Wang,MD. Iatrogenic
Bilateral Inverted Papilloma : Case Report and Literature Review. The Journal of
ototlaryngology.2007. Page 72-75
10. II Joon Moon,M., Doh Young Lee, M.D, myung-Whan Suh, M.D,Ph.D et al.
Cigarette Smoking Increase Risk of Recurrence for Sinonasal Inverted
Papilloma.American Journal of Rhinology & Allergy. 2011
11. Juan R. Gras-Cabrerizo, M.D., Joan R. Montserrat-Gili, M.D., Humbert Massegur-
Solench, M.D. et al. Management of sinonasal inverted papillomas and comparison of
classification staging systems. 2010
12. Flavio A.P. Prado,Md,Ph.D, raimar Weber, M.D, Ph.D, Fabrizio R. Romano,M.D,
Ph.D et al. Evaluation of Inverted Papilloma and Squamous Cell carcinoma by nasal
Contact Endoscopy. 2010

Anda mungkin juga menyukai