Anda di halaman 1dari 6

Al-Kindi

Abdul Yusuf Yaqub bin Ishaq bin Ash-Shabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad
bin al-Asyats bin Qais al-Kindi atau lebih dikenal dengan Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar
tahun 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan terhormat. Al-Kindi menganut paham Mutazilah
dan kemudian belajar filsafat. Penguasaanya terhadap filasafat dan disiplin ilmu lainnya telah
menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran para
filosof terkemuka. Al-Kindi mengarang buku-buku dan menurut keterangan ibn al-Nadim
buku-buku yang ditulisnya berjumlah 241 dalam filsafat, logika, matematika, musik, ilmu jiwa
dan lain sebagainya. Al-Kindi mengemukakan pokok-pokok pemikiran filsafat dalam berbagai
aspek antara lain:
1. Keserasian Agama dan Filsafat
Al-Kindi orang Islam yang pertama meretas jalan mengupayakan pemaduan antara
filasafat dan agama atau antara akal dan wahyu, karena antara keduanya tidak bertentangan
dan masing-masing merupakan ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran itu
hanyalah satu, dalam pengembangan filsafat pertama Al-Kindi mengatakan : Yang paling
luhur dan paling mulia di antara segala seni manusia adalah seni filsafat, pengetahuan
segala hal, sejauh batas akal manusia, tujuannya adalah mengetahui hakekat kebenaran
dan bertindak sesuai dengan kebenaran itu.
Bagi Al-Kindi, argumen yang dibawa Al-quran lebih menyakinkan daripada
argumen yang dikemukakan filsafat, tetapi filsafat dan Al-Quran tidaklah bertentangan,
Al-Kindi mengatakan Kebenaran yang diberitakan wahyu tidaklah bertentangan dengan
kebenaran yang dibawa oleh filsafat, karena filsafat adalah pengetahuan tentang yang
benar (knowledge of truth). Dari sini kita lihat persamaan antara filsafat dan agama, yaitu
menerangkan apa yang benar dan apa yang baik, agama disamping wahyu juga
menggunakan akal sebagaimana filsafat menggunakan akal.
Al Kindi berpendapat ilmu pengetahuan terdiri dari dua jenis: pertama, pengetahuan
ilahi, yaitu segala pengetahuan yang tertuang dalam Al-Qur'an, pengetahuan ilahi ialah
rangkaian pengetahuan yang langsung diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi
Muhammad Saw. Pondasi pengetahuan ilahi adalah keyakinan atau iman. Kedua,
pengetahuan manusiawi atau falsafat yang menggunakan pemikiran rasional,20 kedua
pengetahuan ini satu dengan yang lain tidak mengandung pertentangan hanya dasar dan
argumentasinya yang berbeda, dengan kata lain pengetahuan filsafat adalah pengetahuan
yang menggunakan akal sedangkan pengetahuan ilahi berasal dari wahyu.
Agaknya untuk memuskan semua pihak, terutama orang-orang Islam yang tidak
senang dengan filsafat, dalam usaha pemanduannya ini, al-Kindi juga membawakan ayat-
ayat Al-Quran. Menurutnya menerima dam mempelajari filsafat sejalan dengan anjuran
Al-Quran yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahas segala
fenomena di alam semesta ini. Di antara ayat-ayatnya yang hanya terjemahan adalah
sebagai berikut.
a. Surat Al-Nasyr [59]: 2
Maka ambillah untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
pandangan.
b. Surat Al-Araf [7]: 185
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala
sesuatu yang dicipitakan Allah.
c. Surat Al-Ghasiyat [88]: 17-20
Maka apakah tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan. Dan langit,
bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaiamana ia ditegakkan. Dan
bumi, bagaimana ia dihamparkan.
d. Surat Al-Baqarah [2]: 164
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
kapal yang berlayar di laut membawa apa yang mereka berguna bagi manusia, dan
apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan
bumi yang sudah mati dan Dia sebarkan di bumi segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-
tanda keesaan dan kebenaran bagi kaum yang memikirkan.
Pemaduan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan berikut: ilmu agama
merupakan bagian dari filsafat; wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat
saling bersesuaian; menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama.

2. Filsafat Ketuhanan
Allah bagi Al-Kindi adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada
kemudian ada, Ia mustahil tidak ada dan selalu ada dan akan selalu ada selamanya, Allah
adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud yang lain, wujudnya tidak
berakhir, sedangkan wujud lain disebabkan wujudnya. Oleh karena itu pencipta (Allah) itu
tidaklah banyak, melainkan Maha Esa, tidak terbilang, Maha Suci dan Maha Tinggi,
sejauh-jauhnya dalam penyelewengan agama, Dia tidak menyerupai alam ciptaan, karena
sifat banyak itu ada secara nyata pada setiap ciptaan dan sifat itu sama sekali tidak ada
pada-Nya.
Sesuai dengan faham yang ada dalam Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah Pencipta
dan bukan Penggerak Pertama sebagai pendapat Aristoteles. Alam bagi al-Kindi bukan
kekal di zaman lampau tetapi punya permulaan. Karena itulah ia lebih dekat dalam hal ini
pada filsafat Plotinus yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari alam
ini dan sumber dari segala yang ada.

3. Filsafat Jiwa dan Akal


Para filosof muslim menamakan jiwa (al-nafs) seperti yang diistilahkan dalam al-
Quran yaitu, al-ruh. Tidak menjelaskan secara tegas tentang ruh atau jiwa, bahkan Al-
Quran, sebagai sumber pokok ajaran Islam menginformasikan bahwa manusia tidak akan
mengetahui hakekat ruh, karena iniadalah urusan Allah SWT, bukan urusan manusia, Al
Isra ayat 85 : Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
Justru itu kaum filosof muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang
dikemukakan para filusuf Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam.
Ruh memiliki wujud tersendiri dalam berbeda dengan badan, sebab jasmani
mempunyai hawa nafsu dan sifat pemarah, sedangkan ruh selalu menentang keinginan
hawa nafsu, sementara sifat ruh menjadi penganjur kepada ketenangan dan kelembutan,
oleh karena itu perbedaan antara ruh dan jasmani amat jelas.
Sedangkan akal merupakan sebuah potensi berupa alat untuk berpikir yang hanya
dimiliki oleh manusia. Setiap manusia yang terlahir ia akan membawa potensi masing-
masing dari akal yang dimilikinya, semakin banyak ia berpikir semakin banyak pula ia
akan mendapatkan pengetahuan, maka akan nampak sebuah perbedaan seorang yang
banyak berpikir dengan akalnya untu menemukan sebuah ide-ide baru dari pada seorang
yang hanya menerima hasil dari ide orang lain. Muncullah sebuah perbedaan antara
seorang yang berpengetahuan dengan yang tidak berpengetahuan.

https://zentadacon.wordpress.com/makulzen/filsafat-islampokok-pemikiran-al-kindi/
https://syafieh.blogspot.com/2013/03/filsafat-al-kindi.html

diakses 14 November 2016

Abdul Hakim. Al KIndi. UPT. Mata Kuliah Umum, Universitas Negeri Makasar
Al Ghazali
Nama lengkap Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad Al-Imamul Jalil Abu
Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H
(1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di pasar-
pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat
kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau
mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani
untuk biaya hidup dan belajar Imam Ghazali. Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat
kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun.
Pemikiran Al Ghazali:

1. Metafisika (Ketuhanan)
Menurut Al Ghazali Tuhan merupakan kehendak tertinggi dan obyek cinta tertinggi,
ideal bagi diri manusia. Tuhan sadar dan memiliki kesadaran dengan sendirinya, dan
kesadaran-Nya meliputi pengetahuan terperinci tentang segala sesuatu yang menjadi atau bisa
menjadi. Tuhan bukanlah sebuah substansi, juga tidak ada substansi-substansi dalam diri
Tuhan. Dia adalah satu-satunya sebab sejati.
Hubungan antara Tuhan dengan alam semesta dipahami Al-Ghazali sebagai hubungan
identitas sejati tetapi dengan perbedaan nyata. Dunia materi berasal dari Tuhan seperti
mengalirnya sungai. Penciptaan disertai obyek dan tujuan yang pasti. Maksud yang
mendasarinya adalah pengetahuan Tuhan dan cinta Tuhan. Karenanya Al-Ghazali meyakini
kausalitas imanen. Dalam eksistensi fenomena, cara atau sebab sangat diperlukan, tetapi
akhirnya hanya Tuhan-lah satu-satunya sebab sejati bagi segala akibat. Selain Tuhan, sama
sekali tak ada satupun wujud yang memiliki perbuatan.

2. Iradat Tuhan

Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu
berasal dari iradat (kehendak) Tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya.
Iradat Tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat Tuhan adalah mutlak, bebas dari
ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan
dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-
Ghazali menganggap bahwa Tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatNya imanen
di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.

Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan
akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asyari berpendapat
bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap berkuasa mutlak untuk
menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh,
kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya
merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di
dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak
terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak
mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api itu atau mengubah diri
(zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.

3. Etika

Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori
tasawufnya dalam buku Ihya Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali
adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada
semboyan tasawuf yang terkenal Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi Ala Thaqah al-Basyariyah,
atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman Ala Thaqah al-Basyariyah. Maksudnya adalah agar
manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti
pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.

Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang
aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian
alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan
sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri
dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.

https://syafieh.blogspot.com/2013/04/filsafat-islam-al-ghazali-dan-pemikiran.html

diakses 14 November 2016

Anda mungkin juga menyukai