Anda di halaman 1dari 20

x

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Interferometer Michelson dibuat pertama kali oleh seorang fisikawan Amerika

yang bernama Albert Abraham Michelson. Interferometer Michelson adalah salah

satu jenis dari interferometer, yaitu suatu alat yang digunakan untuk menghasilkan

suatu pola interferensi dan ini merupakan alat, yang paling umum digunakan

dalam mengukur pola interferensi untuk bidang optik ( Abdul,2014).

Secara umum alat ini berfungsi memecah sebuah berkas cahaya menjadi dua

bagian kemudian menggabungkan kembali kedua berkas tersebut untuk

membentuk sebuah pola interferensi. Interferensi terjadi ketika dua buah

gelombang datang bersama pada suatu tempat. Jika hasil interferensi ingin diamati

maka syarat yang harus dipenuhi adalah dua sumber cahaya harus koheren dan

memiliki beda fase yang selalu tetap (memiliki frekuensi dan ampiltudo yang

sama) (Abdul, 2014). Hasil interferensi ini disebut dengan princing. Namun,

terdapat sebuah proses untuk merangkai sehingga diperolehnya princing tersebut.

Dari hal inilah sehingga dilakukan praktikum ini, untuk mengetahui proses

merangkai komponen interferometer michelson sehingga menghasilkan princing.

x
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam percobaan ini yaitu :

1. Bagaimana merangkai komponen interferometer dengan tepat sehingga

menghasilkan princing ?

2. Bagaimana pengamatan princing-princing yang terbentuk ?

3. Bagaimana perbandingan bentuk princing-princing yang terbentuk dengan

teori ?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari percobaan ini yaitu :

1. Merangkai komponen interferometer dengan tepat sehingga menghasilkan

princing.

2. Mengamati princing-princing yang terbentuk.

3. Membandingkan bentuk princing-princing yang terbentuk dengan teori.

1.4 Manfaat

Adapun manfaat percobaan ini yaitu :

1. Mahasiswa dapat merangkai komponen interferometer dengan tepat sehingga

menghasilkan princing.

2. Mahasiswa dapat mengamati princing-princing yang terbentuk.

3. Mahasiswa dapat membandingkan bentuk princing-princing yang terbentuk

dengan teori.

x
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interferensi

Interferensi adalah penggabungan superposisi dua gelombang atau lebih yang

bertemu pada satu titik ruang. Hasil interferensi yang berupa pola-pola cincin

dapat digunakan untuk menentukan beberapa besaran fisis yang berkaitan dengan

interferensi, misalnya panjang gelombang suatu sumber cahaya, indeks bias, dan

ketebalan bahan, untuk memahami fenomena interferensi harus berdasar pada

prinsip optika fisis, yaitu cahaya dipandang sebagai perambatan gelombang yang

tiba pada suatu titik yang bergantung pada fase dan amplitudo gelombang

tersebut, untuk memperoleh pola-pola interferensi cahaya haruslah bersifat

koheren, yaitu gelombang-gelombang harus berasal dari satu sumber cahaya yang

sama. Koherensi dalam optika sering dicapai dengan membagi cahaya dari

sumber celah tunggal menjadi dua berkas atau lebih, yang kemudian dapat

digabungkan untuk menghasilkan pola interferensi (Tipler, 1991).

Menurut Oktaviano (2006), untuk interferometer pembagi amplitudo,

diumpamakan sebuah gelombang cahaya jatuh pada suatu lempeng kaca yang

tipis. Sebagian dari gelombang akan diteruskan dan sebagian lagi akan

dipantulkan. Kedua gelombang tersebut tentu saja mempunyai amplitudo

gelombang yang lebih kecil dari gelombang sebelumnya. Ini dapat dikatakan

bahwa amplitudo telah terbagi. Jika kedua gelombang tersebut bisa disatukan

x
kembali pada sebuah layar, maka akan dihasilkan pola interferensi, yang dapat

dilihat seperti gambar 2.1

Gambar 2.1 Digram skematik interferometer Michelson (Oktaviano,2006)

Dalam gambar 2.1 Oktiviano (2006), menjelaskan bahwa permukaan beam splitter

(pembagi berkas) cahaya laser, sebagian dipantulkan ke M1 dan sisanya

ditransmisikan ke M2. Bagian yang dipantulkan ke M1 akan dipantulkan kembali ke

beam splitter yang kemudian menuju ke layar. Adapun bagian yang ditransmisikan

oleh M2 juga akan dipantulkan kembali ke beam splitter, kemudian bersatu dengan

cahaya dari M1 menuju layar, sehingga kedua sinar akan berinterferensi yang

ditunjukkan dengan adanya pola-pola cincin gelap terang. Pengukuran jarak yang

tepat dapat diperoleh dengan menggerakkan M2 pada interferometer Michelson dan

menghitung cincin yang bergerak atau berpindah, dengan acuan suatu titik pusat.

Sehingga diperoleh jarak pergeseran yang berhubungan dengan perubahan cincin :


= (2.1)
2

x
Menurut Setyaningsi (2010), untuk interferometer Michelson, panjang koherensi

sama dengan dua kali panjang lintasan optic antara kedua lengan pada

interferometer Michelson, diukur pada saat penampakan frinji sama dengan nol.

ketika movable mirror digerakkan, maka kedua berkas laser yang melewati L1 dan

L2 memiliki jarak lintasan yang berbeda. Sehingga beda optic masing-masing

berkas adalah 2L1 dan 2L2. Jadi beda lintasan optisnya adalah :

= 22 21 = 2(2 1 ) (2.2)

Dalam interferometer ini, kedua gelombang yang berinterferensi diperoleh dengan

jalan membagi intensitas gelombang semula. Contohnya adalah intreferometer

Michelson yang menghasilkan kesimpulan negatif tentang adanya eter,

interferometer ini juga sangat berguna dalam pengukuran indeks bias dan jarak.

Prinsip kerja dari percobaan yang dilakukan oleh Albert Abraham Michelson telah

menghasilkan beberapa variasi konfigurasi. Jika pola interferensi yang misalnya

berwujud lingkaran-lingkaran gelap-terang terjadi, maka hubungan fase antara

gelombang-gelombang di sembarang titik pada pola interferensi haruslah koheren.

Michelson memiliki solusi untuk mengukur dan memastikan keberadaan eter.

Michelson membangun sebuah perangkat cukup akurat untuk mendeteksi angin.

Perangkat yang dirancang, kemudian dikenal sebagai interferometer, dikirim satu

sumber cahaya putih melalui setengah silvered cermin yang digunakan untuk

membagi cahaya datang menjadi dua berkas. Setelah keluar dari beams splitter,

cahaya akan diteruskan dan dipantulkan sebesar 45. derajat kemasing-masing

cermin. Hasil pantulan kedua cermin ini akan berinterfensi satu sama lain

x
sehingga akan membentuk pola interferensi berbentuk cincin pada layar. Jika

bumi bergerak melalui media eter, maka akan ada keterlambatan salah satu

pantulan cahaya di salah satu permukaan beams splitter. Akibat keterlambatan ini

akan menghasilkan pola yang cacat pada layar. Sedikit perubahan dalam waktu

tempuh akan menghasilkan pergeseran posisi (Abdul,2014).

2.2 Pola Interferensi Interferometer Michelson


Penelitian interferometer Michelson dengan berbagai sumber cahaya

menghasilkan pola interferensi yang tajam, jelas dan jarak antar pola frinjinya

lebih sempit. Pola interferensi untuk berbagai sumber cahaya yang dihasilkan dari

penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.2

Gambar 2.2 Pola interefensi (a) Sumber laser He-Ne (b) sumber laser dioda (c)
sumber laser dioda merah II dan (d) sumber laser dioda hijau

Pada gambar 2.2 dapat dilihat bahwa pola interferensi yang dihasilkan oleh laser

He-Ne (a) mempunyai pola interferensi berupa lingkaran yang membentuk cincin

interferensi dan memiliki pusat pola ditengah cincin yang lebih tajam

dibandingkan dengan laser dioda merah dan laser dioda hijau. Ketika sumber

berupa laser dioda merah (b) dan (c) pola interferensi gelap dan terangnya terpisah

dengan jelas dan bisa di amati dengan baik sehingga jarak antar frinji gelap

maupun terangya dapat di ukur. Sedangkan untuk pola interferensi yang di bentuk

x
oleh laser dioda hijau, pola yang di peroleh lebih rapat dan tajam dari pola

interferensi pada sumber laser diode merah. Hal ini disebabkan karena panjang

gelombang laser dioda hijau lebih pendek. Semakin pendek panjang gelombang

suatu sumber cahaya, maka semakin pendek pula jarak pemisahan antara pola-

pola terang yang terjadi (Tippler, 1996).

Pada penelitian Nugroho (2007), mengenai penentuan tebal transparan bahan

(ZnO) menggunakan interferometer Michelson didapatkan bentuk pola

interferensi perincing yang dapat dilihat seperti gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3 Sistem frinji dengan menggunakan kaca preparat berlapis (ZnO)
(Nugroho, 2007)

Dari gambar 2.3 dapat dilihat bahwa pola interferensi perincing yang dihasilkan

adalah tidak jauh berbeda dengan pola perincing yang dihasilkan dengan

menggunakan kaca biasa yang tidak dilapisi (ZnO), di mana dihasilkan pola gelap

terang yang berbentuk lingkaran.

x
BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Waktu dan Tempat

Adapun waktu dan tempat pelaksanaan percobaan ini yaitu :

Hari / Tanggal : Jumat, 14 Desember 2016

Pukul : 17.00 WITA - Selesai

Tempat : Laboratorium Fisika Dasar Jurusan Fisika FMIPA UNTAD

3.2 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan pada percobaan ini yaitu :

1. Laser pointer berfungsi sebagai sinar datang.

2. Bench laser berfungsi sebagai dudukan atau landasan untuk laser.

3. Basic interferometer merupakan rangkaian alat yang digunakan untuk mengatur


cahaya dari laser.

4. Permukaan bidang kaca pertama berfungsi untuk menangkap cahaya dari laser
dan memantulkannya kembali pada pusat tabung laser pointer.

5. Permukaan bidang kaca kedua berfungsi untuk menangkap salah satu cahaya
cahaya yang dibagi oleh beam splitter.

6. Beam splitter berfungi sebagai pembelok atau pembagi cahaya dari sumber ke
cermin.

7. Lensa convex berfungsi mengumpulkan cahaya sehingga mudah dalam

memfokuskan cahaya pada layar.

8. Layar berfungsi menangkap cahaya hasil pembelokkan dari splitter.

x
3.3 Prosedur Kerja

Adapun prosedur kerja percobaan ini, yaitu :

1. Merangkai komponen interferometer seperti gambar dibawah ini

Gambar 3.1 Rangakaian interferometer Michelson (Falah, M. 2008).

Keterangan

A. Bangku optik

B. Laser pointer

C. Permukaan bidang kaca pertama

D. Permukaan bidang kaca kedua

E. Kaca pembagi sinar

F. Lensa konvergen

G. Layar

x
A. Tabung laser pointer

Gambar 3.2 tabung laser pointer (Falah, M. 2008).

B. Kaca pembagi sinar

Gambar 3.3 kaca pembagi sinar (Falah, M. 2008).

C. Permukaan bidang kaca

Gambar 3.4 permukaan bidang kaca (Falah, M. 2008).

x
2. Pengaturan interferometer

A. Memasukkan laser pointer metrologik kedalam tabung laser pointer.


Mengatur posisi dan usahakan agar sianar yang keluar sudah sejajar.

B. Mengatur ketinggian cermin pertama sehingga sinar pantulan laser dari


cermin pertama tepat menegenai laser pointer.

C. Memasang kaca pembagi sinar U-Shapped dan menggeser 450 terhadap


sinar datang. Mengatur ketinggian kaca sehingga bagian sinar yang akan
ditransmisikan menembus pusat spliter dan bagian lain direfleksikan
sebesar 400 .

D. Mengatur ketinggian cermin kedua sehingga bagian lain dari kaca pembagi
sinar menembus cermin dan dipantulkan kembali oleh kaca pembagi sinar,
sinar akan diteruskan menembus pusat lensa konvergen yang membentuk
dua titik terang merah pada layar.

F. Mengusahakan agar kedua titik terang merah dari kaca pertama dan kaca
kedua tergabung menjadi datu pada layar sehingga akan terbentuk princing-
princing pada layar.

x
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

A. Hasil pola pengamatan 1

Gambar 4.1 Hasil pola pengamatan 1

B. Hasil pola pengamatan 2

Gambar 4.1 Hasil pola pengamatan II

x
C. Hasil pola princing pada literatur

Gambar 4.3 Hasil pola princing pada literatur (Abdul, 2014)

x
4.2 Pembahasan

Interferometer Michelson adalah salah satu jenis dari interferometer, yaitu suatu

alat yang digunakan untuk menghasilkan suatu pola interferensi. Interferensi

terjadi ketika dua buah gelombang datang bersama pada suatu tempat. Jika pola

interferensi berwujud lingkaran-lingkaran gelap-terang maka hubungan fase

antara gelombang-gelombang di sembarang titik pada pola interferensi haruslah

koheren dengan memiliki beda fase yang selalu tetap dan memiliki amplitudo

serta frekuensi yang sama. Interferometer Michelson mengambil cahaya

monokromatik yang berasal dari sebuah sumber tunggal dan membaginya ke

dalam dua gelombang yang mengikuti lintasan-lintasan yang berbeda.

Percobaan kali ini menggunakan, sumber cahaya yang digunakan adalah sinar

laser pointer. Adapun proses merangkai komponen dengan mengatur posisi sinar

laser agar mengenai tepat pada tengah cermin (M1) kemudian dipantulkan kembali

tepat berada di tengah sumber cahaya (laser). Sinar hasil pemantulan tersebut

ditangkap oleh kaca pembagi sinar yang menyebabkan sinar terbagi menjadi dua,

yang membentuk sudut 450 terhadap arah berkas cahaya yakni sebagian menuju

cermin M1, yang dipantulkan secara tegak lurus ke layar dan sebagian menuju

cermin M2 yang dipantulkan pula menuju layar. Sinar yang bertemu pada satu

titik akan difokuskan oleh lensa konveks sehingga akan terbentuk pola

interferensinya.

x
Pada proses merangkai inilah sehingga seberkas cahaya monokromatik yang

dipisahkan di suatu titik tertentu (kaca pembagi sinar) sehingga masing-masing

berkas dibuat melewati dua panjang lintasan yang berbeda dan kemudian

disatukan kembali melalui pantulan dari dua cermin yang letaknya saling tegak

lurus dengan titik pembagi berkas tersebut setelah berkas cahaya monokromatik

tersebut disatukan, maka akan terlihat pola interferensi akibat penggabung antara

dua buah gelombang dan akan teramati pola lingkaran gelap dan terang.

Dari hasil percobaan, diperoleh pembentukan princing pada pengamatan pertama

untuk gambar 4.1 kurang jelas penyatuan dari kedua sinar sehingga pola yang

terbentuk kurang bagus, pada pengamatan yang kedua untuk gambar 4.2 sudah

terlihat penyatuan kedua sinar namun, princing yang terbentuk sejajar bukan

lingkaran. Pada literatur Abdul (2014), menyatakan bahwa pola-pola interferensi

yang terbentuk dari hasil pengamatan, yaitu berupa lingkaran yang terdiri dari

pola-pola gelap dan terang, pola-pola interferensi yang terdapat pada literatur

dapat dilihat pada gambar 4.3. Dari hal inilah sehingga dapat dikatakan bahwa

terdapat perbedaan literatur dengan pengamatan yang dilakukan hal disebabkan

sinar laser pointer tidak mengenai titik tengah lensa pembagi sehingga sinar laser

kurang terfokus pada saat mengenai cermin M2 dan lensa konveks yang tidak

dapat memfokuskan sinar dengan baik.

x
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Adapun hasil kesimpulan yang diperoleh pada praktikum ini yaitu :

1. Proses merangkai komponen dengan mengatur posisi sinar laser agar

mengenai tepat pada tengah cermin (M1) kemudian dipantulkan kembali tepat

berada di tengah sumber cahaya (laser). Sinar hasil pemantulan tersebut

ditangkap oleh kaca pembagi sinar yang menyebabkan sinar terbagi menjadi

dua, yang membentuk sudut 450 terhadap arah berkas cahaya yakni sebagian

menuju cermin M1, yang dipantulkan secara tegak lurus ke layar dan sebagian

menuju cermin M2 yang dipantulkan pula menuju layar. Sinar yang bertemu

pada satu titik akan difokuskan oleh lensa konveks sehingga akan terbentuk

pola interferensinya.

2. Princing yang diperoleh pada pengamatan pertama dan kedua berbeda

dikarenakan penyatuan sinar dari M1 dan M2, dimana pada percobaan ini

diperoleh perincing berbentuk sejajar.

3. Pada percobaan yang telah dilakukan, di dapatkan princing berbentuk sejajar

namun pada literatur berbentuk lingkaran.

x
5.2 Saran

Sebaiknya asisten menguji terlebih dahulu pembentukan princing pada praktikum

ini sehingga ketika praktikan tidak menemukan pembentukan pola gelap dan

terang yang berbentuk , asisten dapat mengetahui titik kesalahannya.

x
DAFTAR PUSTAKA

Abdul., 2014, Laporan Interferometer Michelson, http://www.scribd.com.2014.


diakses pada tanggal 14 Desember 2016 Palu.

Falah, M., 2008, Analisis Pola Interferensi pada Interferometer Michelson Untuk
Menentukan Panjang Gelombang Sumber Cahaya, Skripsi S1 FMIPA UNDIP,
Semarang.
Nugroho., 2007, Penentuan Tebal Bahan Transparan (ZnO) Menggunakan
Interferometer Michelson, Skripsi S1 FMIPA UNHAS, Makassar.

Oktaviano, A., 2006, Penggunaan Interferometer Michelson Untuk Menentukan


Panjang Gelombang Laser Dioda dan Indeks Bias Bahan Transparan, Skripsi
S1 FMIPA UNDIP, Semarang.

Setyaningsih, A., 2010, Penentuan Nilai Panjang Koherensi Laser Menggunakan


Interferometer Michelson, Skripsi S1 FMIPA UNDIP, Semarang.

Tippler, P.A., 1991, Fisika Untuk Sains dan Teknik Jilid 2, Erlangga, Jakarta.

Tippler, P.A., 1996, Fisika Untuk Sains dan Teknik Jilid 1, Erlangga, Jakarta.

x
x

Anda mungkin juga menyukai