Anda di halaman 1dari 14

Mar

POLITIK OLIGARKI; PENGALAMAN


INDONESIA

Review Buku: Jeffrey A. Winters, Oligarchy, Cambridge University Press, New York, 2011

[ Sumbangan tulisan dari Ade Reza Haryadi, mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik UI ]
A. Pendahuluan
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998 harus diakui memberikan sejumlah dampak
perubahan penting, terutama dalam konteks demokratisasi politik. Kekebasan politik, sistem
kepartaian multipartai dan desentralisasi pemerintahan merupakan kemajuan besar dalam
demokrasi yang telah dicapai. Demokratisasi ini diharapkan juga menghadirkan situasi
kesejahteraan ekonomi yang lebih adil dan pelibatan rakyat sebagai subjek dalam pembangunan
yang sebelumnya termarginalisasi secara sistematis akibat cengkeraman politik para oligark yang
hanya memperkaya diri dan mementingkan urusannya sendiri.
Namun, perkembangan politik justru menunjukan fakta bahwa rakyat tetap termarginalisasi
secara politik, bahkan secara ekonomi dalam pembangunan. Demokrasi memang membuka
kebebasan dan menghadirkan berbagai kekuatan politik yang tersebar. Akan tetapi, rakyat tetap
menjadi objek mobilisasi dan alat legitimasi bagi politik para oligark dalam kendali atas
kekuasaan dan politik pemupukan serta pertahanan kekayaan. Perubahan politik atas nama
demokratisasi justru membuat sistem politik kita menjadi plutokrasi dan kleptokrasi. Orang kaya
dan para perampok negara/koruptor menjadi pemegang kekuasaan dan secara liar membagi
berbagai konsensi dan privelege pada kroninya dalam skala masif dan sistemik, dari pusat hingga
daerah dan meliputi berbagai sektor strategis. Para oligark ini berbagi akses dengan oligark yang
lain ketika monopoli kekuasaan secara tunggal tidak dapat dicapai. Kepentingan pemupukan dan
pertahanan kekayaan menjadi dasar utama terbentuknya koalisi atau lebih tepat kartel politik di
antara mereka. Fenomena tersebut dapat dijelaskan melalui tipologi oligarki yang dijelaskan
secara dalam oleh Jeffrey A. Winters dengan mengkaji sejarah dan berbagai pola hubungan
antara kekayaan dan kekuasaan.
B. Dasar Material dan Teori Oligarki
Oligarki telah menjadi tema yang dikaji sejak jaman Yunani kuno. Aristoteles, murid Plato,
membagi kekuasaan dalam tiga bentuk, yakni Monarkhi-dengan varian Tirani, Aristokrasi-
dengan varian Oligarki, dan Polity atau pemerintahan konstitusional.[1] Demokrasi menurutnya
merupakan bentuk menyimpang dari polity, suatu kekuasaan yang dikendalikan oleh kelas
bawah yang bertindak atas kepentingan kelas bawah. Aristoteles juga menambahkan adanya
faktor ekonomi dalam kontroversi mengenai demokrasi. Menurutnya, status sosial dan
kesejahteraan ekonomi mempengaruhi institusi dan pengelolaan kekuasaan dari bentuk-bentuk
kekuasaan yang ada[2]. Sebagai contoh adalah demokrasi yang merupakan pemerintahan
mayoritas kelas bawah. Jumlahnya yang banyak merupakan kekuatan utama untuk memerintah.
Hal ini berbeda dengan oligarki dimana pemerintah dikendalikan oleh segelintir orang kaya[3].
Menurut International Encyclopedia of the Social Sciences, oligarki adalah sebuah bentuk
pemerintahan yang kekuatan politiknya berada di tangan sekelompok kecil (minoritas) anggota
masyarakat.[4] Sedangkan oligarki sendiri berasal dari bahasa Yunani yakni oligarkia yang
terdiri dari oligoi yang berarti sekelompok kecil dan arkhein atau memerintah. Sedangkan Robert
Michels dalam Iron Law Oligarchies, meletakan pengertian oligarki lebih pada aspek sejumlah
kecil yang memerintah atau dominasi elite atas organisasi yang kompleks. Menurutnya,
organisasi partai merupakan satu-satunya sarana ekonomi atau politik untuk membuat kemauan
kolektif. Setiap organisasi, terutama kepartaian mewakili kekuatan oligarkis yang didasarkan atas
basis demokratis. Oligarki muncul sebagai kebutuhan teknis yang mendesak akan
kepemimpinan. Fenomena oligarki juga sebagai dampak dari transformasi psikis yang dialami
oleh pemimpin-pemimpin partai sepanjang hidup mereka. Oligarki juga tergantung kepada apa
yang dikatakan sebagai psikologi organisasi itu sendiri, yakni pada kebutuhan-kebutuhan taktis
dan teknis yang berasal dari konsolidasi setiap kesatuan politik yang berdisiplin. Organisasilah
yang melahirkan dominasi golongan terpilih atas pemilih, pemegang mandat atas pemberi
mandat, utusan atas pengutus.[5] Sedangkan Mills dalam power elit yang menjelaskan minoritas
kecil dalam masyarakat yang berpengaruh karena memegang posisi penting dalam organisasi,
atau bahkan Pareto maupun Mosca dalam elit dan sirkulasi elit.
Meski para ilmuan sebelumnya telah banyak menjelaskan mengenai oligarki, namun adalah
penjelasan Winters yang memberikan analisis lebih memadai dan menempatkan sumberdaya
kekayaan sebagai faktor yang penting dalam hubungan oligarki dan kekuasaan. Oligark tidak
hanya sekedar elit minoritas yang berkuasa ataupun bentuk pemerintahan, melainkan para pelaku
yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa
digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial
eksklusifnya.[6] Premis dasar dari oligarki menurutnya adalah konsentrasi kekayaan di tangan
individu-individu dan telah memperkuat mereka dalam berbagai cara sehingga menghasilkan
berbagai perbedaan jenis oligarki politik yang tidak akan dapat dijelaskan dalam kerangka kerja
pluralis yang umum.[7] Teori oligarki berkembang dengan argumentasi bahwa apapun format
maupun kekuasaan yang ada dalam masyarakat, kekayaan yang ekstrim telah memberikan
pengaruh yang besar atas kapasitas para oligark dalam melindungi dan mengembangkan
kepentingan utama mereka dalam berbagai realitas politik yang ada, terutama kebijakan politik
dan ekonomi.
Melalui bukunya yang berjudul Oligarki, Winters mencoba melacak faktor-faktor yang sama dari
para oligarki dalam berbagai masa, selain itu juga bagaimana para oligarki ini berkembang dalam
perubahan lingkungan yang penuh konflik antar para oligark. Banyak kasus penting dari zaman
kuno hingga kontemporer yang mana dapat digunakan untuk menjelaskan perpolitikan dari
kekuasaan minoritas dan pengaruhnya terhadap mayoritas baik tidak persuasif atau miskin secara
teoritik. Secara gamblang Winters mengeksplorasi sejarah dan berbagai kasus yang terjadi
dibanyak negara untuk menunjukan berbagai model dan praktek oligarki yang berlangsung di
dunia. Winters dalam Oligarki secara mendalam juga menjelaskan mengenai aspek yang
menjadi dasar oligarki, pembentukan teori, sumber daya, perlindungan kekayaan, oligarki dan
sirkulasi elite, dan tipe-tipe oligarki (oligarki militer/ warring oligarchies, oligarki
pemerintahan/ruling oligarchies, oligarki kesultanan/sultanic oligarchies, dan oligarki sipil/civil
oligarchies).
Lanjutnya, menjelaskan oligark dan oligarki setidaknya ada dua masalah yang perlu untuk
dicermati. Pertama, basis dari kekuasaan minoritas oligarkis. Semua bentuk dari pengaruh
kekuasaan minoritas terjadi karena konsentrasi yang ekstrim dari kekuasaan sehingga memiliki
eksklusifitas atau privellege atas kontrol kekuasaan. Oligark berbeda dengan semua bentuk
kekuasaan minoritas karena basis persoalan dari kekuasaan yang mereka miliki, yakni kekayaan
materi. Kekayaan personal yang demikian masif adalah bentuk ekstrim dari ketidakseimbangan
sosial dan politik. Kedua, adalah mengenai ruang lingkup dari kekuasaan minoritas oligark.
Kekuasaan para oligark berkembang luas melampaui ruang lingkup atau wilayah dari komunitas.
Kekuasaan oligarkis musti berdasar atas format kekuasaan dimana tidak biasanya resisten
terhadap penyebaran, dan lingkupnya musti sistemik.
Dalam memahami oligark dan oligarki diawali dengan observasi bahwa ketidaksetaraan material
secara ekstrim telah menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrim, melampaui
dictactorship, demokrasi, monarkhi, masyarakat biasa dan paska industri. Ketidaksetaraan
material di antara masyarakat secara garis besar dikenali sebagai isu politik yang penting, namun
bukan sebab utama dari ketidaksetaraan kekuasaan politik. Namun demikian, faktanya, kekayaan
yang masif di tangan sekelompok kecil minoritas telah menyebabkan keuntungan politik yang
signifikan, bahkan termasuk dalam demokrasi yang mensyaratkan adanya kesetaraan politik[8].
Penjelasan serupa juga disebutkan oleh Dahl merujuk pada kekayaan yang dimiliki para Baron di
Amerika Serikat pada paruh kedua abad sembilan belas dimana perbedaan sumberdaya dapat
pula memasuki kehidupan politik.
Winters mengembangkan teori oligarki dengan mengadaptasi teori sumber daya. Oligark
menurutnya adalah aktor-aktor yang memerintah dan mengontrol konsentrasi secara masif
sumberdaya material yang dapat digunakan untuk melindungi atau mengembangkan kekayaan
pribadinya dan posisi sosial yang eksklusif.[9] Perlindungan kekayaan para oligark memiliki dua
komponen; perlindungan properti (mengamankan klaim mendasar atas kekayaan dan properti),
dan perlindungan pendapatan (menjaga sebanyak mungkin aliran pendapatan dan keuntungan
dari satu kekayaan sebisa mungkin di bawah kondisi keamanan hak kepemilikan).[10]
Sedangkan oligarki merujuk pada politik untuk melindungi kekayaan dengan material yang
memberkahi para pelakunya. Perlindungan terhadap Si kaya oleh para oligark melibatkan
tantangan dan kapasitas, tidak dibagi dengan berbagai bentuk dominasi minoritas lainnya.
Oligarki sebagai kekuasaan minoritas yang berpengaruh juga termasuk elit, hanya berbeda
dengan bentuk elit lainnya memiliki perbedaan secara natur. Jika dalam pendekatan marxis, teori
kapitalis borjuis fokus pada aktor yang menyebar sumberdaya material secara ekonomi yang
berdampak penting pada sosial dan politik, maka dalam teori oligarki fokus pada aktor yang
menyebar sumberdaya material secara politik dengan dampak penting pada ekonomi.[11] Dalam
demokrasi, secara formal kekuasaan politik menyebar berdasarkan hak, prosedur, dan level dari
partisipasi populer. Hal ini kontras dengan oligarki dimana konsentrasi kekuasaan material
berdasarkan atas kekuatan klaim atau hak atas properti dan kekayaan.
Winters juga menjelaskan tentang sumberdaya kekuasaan yang menurutnya ada lima bentuk
kekuasaan individual yang penting yakni; kekuasaan berdasarkan atas hak politik formal, jabatan
resmi dalam pemerintahan atau organisasi, kekuasaan pemaksaan/koersif, kekuasaan mobilisasi,
dan terakhir kekuasaan material.[12] Melalui kekayaan material, para oligark dapat membiayai
para profesional dengan berbagai kapasitas yang berbeda untuk melindungi kekayaan dan
sumberdaya yang berharga dari kemungkinan pengambilalihan. Kecuali ketika mereka lemah,
mereka dapat terlibat secara langsung sebagai pribadi dalam kekuatan koersif yang diperlukan
untuk mengalahkan ancaman atas keberuntungan mereka. Oligarki memiliki berbagai karakter
yang berbeda tergantung kondisi dimana kekayaan tidak hanya benar-benar aman, tetapi
dilindungi secara institusional oleh negara yang memelihara secara permanen aparat terorganisir
untuk kekerasan dan mempertahankan monopoli dalam arti melalui kekerasan.
Winters dalam studinya juga membagi oligarki dalam berbagai tipe. Menurutnya, ada empat
bentuk oligarki, yakni:[13]
a. Oligarki Panglima (Warring Oligarchy)
Bentuk oligarki yang sangat ekstrim dan penuh konflik sesama kaum oligarkis. Persekutuan
sesama oligarkis dalam bentuk ini tidak stabil. Kompetisi berlangsung penuh dengan kekerasan
dan terus menerus karena fragmentasi yang tajam. Pengumpulan kekayaan dengan cepat paling
banyak terjadi melalui penaklukan, walau para oligark juga mengambil surplus dari produsen
primer. Kapasitas pemaksa ada untuk pertahanan kekayaan, dan kekayaan digunakan untuk
memelihara kapasitas pemaksa.
Untuk memahami bagaimana oligarki panglima (warring oligarchy) berkembang, dapat dilacak
dari hubungan antara kepala suku (chiefs), panglima perang (warlords) hingga terbentuknya
warring oligarki. Pada mulanya para chiefs muncul melalui teknologi sosial yang superior bagi
pertahanan properti komunal, tetapi kemudian secara cepat berkembang menjadi instrumen bagi
individu untuk memupuk kekayaan. Para kepala suku atau panglima perang ini merupakan
bentuk awal dari oligarki panglima di mana kekuasaan koersif kemudian meningkat akibat
sumber daya material yang dimiliki. Kuncinya terletak pada kemampuan koersif mereka yang
digunakan untuk mempertahankan klaim komunal atas tanah atau sumberdaya berharga lainnya,
dapat digunakan untuk konsentrasi kekayaan yang mana akan memperkaya dan memperkuat
pimpinan mereka, yang melindungi dan pertama kali mengawasi kelompok mereka sendiri dan
sesungguhnya juga meliputi seputar mereka. Kesuksesan dalam melindungi properti dalam
komunitasnya akan mendorong para warlords ini untuk melakukan ekspansi penaklukan
tetangganya dan memperluas klaim properti untuk meningkatkan kekayaannya.[14]
Oligarki panglima (di beberapa negara Afrika) mengutamakan penggunaan kekuatan fisik/paksa,
Oligarki pemerintahan (mafia di Italia) lebih mengandalkan jaringan sosial dan institusi negara.
Oligarki kesultanan menggabungkan kekuatan paksa dan kekuatan ekonomi untuk
mengendalikan oligarki-oligarki lain di bawahnya agar tunduk pada oligarki utama
(pemerintahan Ferdinand Marcos di Filipina dan Soeharto di Indonesia). Oligarki sipil
berkembang di negara-negara maju (AS, Singapura) di mana kekuatan keuangan dan
kepemilikan aset jadi andalan untuk menguasai perangkat hukum untuk menjaga keabsahan hak
miliknya. Dalam menelaah ketimpangan kaya miskin di seluruh dunia, Winters mengajukan
gagasan perbedaan antara hak milik properti dan klaim atas properti. Karena jumlah dan jenis
properti (tanah, bangunan, aset) selalu lebih kecil dari jumlah penduduk maka di mana-mana
muncul apa yang disebutnya industri pertahanan pendapatan. Industri ini terdiri atas lembaga
yang bertugas di lobi hukum maupun secara politis melindungi properti milik oligarki sipil.
Industri ini berupa konsultan hukum, konsultan manajemen, akuntan, pengacara, otoritas sipil
penegak hukum, badan legislasi, bahkan anggota partai politik di pemerintah dan parlemen.
Bagaimanapun juga, oligarki panglima berbeda dengan dengan bentuk oligarki lainnya. Aspek
yang membedakan adalah oligarki panglima (warring oligarchy) secara langsung terlibat dengan
mempersenjatai dirinya dan penggunaan kekerasan dan koersif dalam melindungi kekayaanya,
mereka memiliki tingkat keterlibatan yang sangat luar biasa dalam mengatur seluruh komunitas
(pengalaman di Appalachia para oligark ini terlibat jauh dalam mengendalikan pemerintahan
ketika para anggota keluarga tidak berada di kantor pemerintahan), dan mereka mengejar tujuan
dari perlindungan kekayaannya melalui sikap yang terfragmentasi secara berlawanan untuk
kolektif dan institusionalisasi.
b. Oligarki Penguasa Kolektif (Ruling Oligarchy)
Para oligark masih berperan besar secara pribadi dalam pelaksanaan kekerasan, namun berkuasa
secara kolektif dan melalui lembaga yang memiliki norma atau aturan main, hasilnya adalah para
oligark kolektif. Para oligark menggunakan pengaruhnya untuk melakukan pemaksaan terhadap
pemilik otoritas resmi demi keuntungan kaum oligarkis, yaitu mempertahankan dan
mengakumulasi kekayaan.
Dalam oligarki penguasa kolektif, oligark masih memainkan peranan langsung dalam
melindungi kekayaan dan memerintah komunitas atau masyarakat. oligarki tipe ini bisa
mengembangkan kerjasama dengan oligark lainnya untuk menciptakan stabilitas melalui
seperangkat aturan bersama yang dirumuskan dan dijalankan oleh komite bersama. Mereka juga
bisa mempersenjatai atau melalui kekayaannya menggunakan kapasitas koersif secara personal
untuk kepentingannya, atau melalui institusi kolektifnya, atau bahkan cara keduanya. Sebagai
contoh adalah Komisi Mafia yang dibentuk oleh organisasi-organisasi mafia di Amerika Serikat
Tahun 1930-an untuk mengatur hubungan diantara mereka merupakan gambaran yang ekstrim
dari rulling oligarchy. Para Don yang berada dipuncak organisasi mafia yang sebelumnya
menikmati kekayaan dan memainkan peranan personal seperti halnya para warlord, kemudian
harus berbagi peranan dengan Don yang lain melalui suatu aturan bersama yang dinyatakan
untuk mengatur hubungan dengan Don yang lain hingga terhindar dari konflik dan saling
memangsa dalam memainkan peranan peningkatan kekayaan diantara mereka. Aturan kolektif
ini digagas oleh Joseph Bonanno, salah satu keluarga Mafia di New York untuk melindungi
pasar, zona ekonomi eksklusif dan meminimalisir ancaman diantara para oligark mafia.[15]
Dengan kemampuan ekonomi, dan aturan yang sangat disiplin diantara mereka, para mafia ini
merupakan kekuatan ekonomi nyata yang dapat mempengaruhi para pengambil keputusan politik
yang bekerja untuk mengamankan kepentingan mereka. Menurut Flynn dan Cinelli, 2009,
diperkirakan kekayaan mafia di Amerika Serikat mencapai US$ 322 billion pada tahun 2005.[16]
c. Oligarki Sultanistik (Sultanistic Oligarchy)
Ciri utama adanya seorang oligarkis yang sangat dominan mengatur banyak aspek atau
memonopoli sarana pemaksaan, bukan lembaga negara yang dibatasi oleh hukum. Pengalaman
di Indonesia menunjukan bahwa bentuk ini pernah terjadi di masa pemerintahan Soeharto yang
merupakan pusat dari para oligark yang mengendalikan kekuasaan ekonomi dan politik.
Jika dalam oligarki panglima maka perlindungan kekayaan dilakukan secara langsung dengan
mempersenjatai oligark dimana secara terpisah menguasai wilayah mereka sendiri. Oligarki
penguasa kolektif, ada perjanjian atau aturan bersama dan setidaknya membutuhkan perlucutan
senjata secara parsial agar sistem menjadi lebih stabil. Sedangkan oligarki kesultanan, selain
secara penuh dilucuti atau kewalahan dengan kemampuan koersif, tidak berminat untuk
mengatur secara langsung, tetapi justru menikmati perlindungan dari kekuasaan yang tunggal
dalam menghadapi berbagai ancaman, termasuk ancaman vertikal.
Kekuasaan utama dari perangkat koersif melindungi seluruh kekayaan dari para oligark, tetapi
tidak melalui perangkat hukum yang terinstitusionalisasi dalam negara birokrasi yang
impersonal. Perangkat aturan perlindungan justru berada di tangan sang oligark utama, satu
oligark yang mengangkangi aturan secara langsung dan sangat personalistik. Dalam oligarki
kesultanan, tidak ada hak kepemilikan yang absolut, yang ada hanyalah klaim properti, dimana
rejim kesultanan secara sistematis semakin kuat, tetapi juga dengan perubahan yang menyertai
personalisasi kekuasaan. Stabilitas dari oligarki kesultanan sangat tergantung sejauh mana
pemimpin dari oligarki dalam mengelola perlindungan kekayaan untuk para oligark anggotanya
secara umum.[17]
Konsep kesultanan sendiri berkembang dari Max Weber mengenai kekuasaan patrimonial. Tiga
elemen penting dalam mendefinisikan rezim kesultanan itu sendiri meliputi bahwa kesultanan
memerintah secara personal dan mempraktekan berbagai diskresi atas persoalan ekonomi-politik
secara signifikan. Hal ini dilakukan dengan menempatkan hukum dan lembaga-lembaga
pemerintahan dalam subordinasi hak prerogatif sang penguasa. Kedua, kekuasaan kesultanan
memelihara kontrol strategis atas seluruh akses kekayaan dan menyebar sumberdaya sebagai
bagian penting dari dasar kekuasaanya. Hubungan di antara para oligarki selain bersifat
simbiosis, tetapi juga sesungguhnya sarat dengan ketegangan. Ketiga, kekuasaan kesultanan
berupaya untuk menetapkan dan memelihara diskresi pengawasan atas kekuasaan koersif dalam
negara atau pemerintahan. Hal ini termasuk kontrol atas angkatan bersenjata, intelejen, polisi,
aparat pengadilan, dan kadangkala memperkuat paramiliter yang mereka biayai.[18]
d. Oligarki Sipil (Civil Oligarchy)
Kebersamaan kaum oligarkis yang saling berbagi dengan sesamanya tanpa ada monopoli oleh
satu pihak. Dalam bentuk ini dimungkinkan tunduknya kaum oligarkis kepada satu sistem
hukum yang mengatur mereka. Para oligark menyerahkan sebagian kekuasaanya kepada
pemerintah tak-pribadi dan terlembaga dimana hukum lebih kuat daripada semua individu.
Masing-masing jenis oligarki mempertahankan keunggulan materi: tanah, uang, bangunan, atau
aset-aset properti.
Dalam oligarki sipil, seluruh oligark dilucuti secara penuh, perangkat koersif yang melindungi
kekayaan oligark disediakan secara eksklusif oleh negara. Oligarki sipil hanya sebuah tipe
dimana tidak ada kekuasaan oligark (jika mereka memegang jabatan publik, ini tidak akan
pernah sebagai atau untuk oligark), dan perangkat keorsif negara yang melindungi properti
oligark diperintah secara impersonal melalui institusi birokrasi. Substansi penting dari oligarki
sipil adalah adanya dominasi yang kuat dan impersonal sistem hukum terhadap para oligark,
dibandingkan hubungan yang bersifat sebaliknya.
Oligarki sipil tidak dapat bertahan tanpa adanya sistem hukum yang kuat. Persoalan mendasar
saat ini adalah adanya persoalan mendasar dalam sistem hukum dimana tidak dapat menjangkau
para oligark dan elite. Hukum begitu mudah menjangkau masyarakat biasa yang tidak memiliki
sumberdaya untuk melindungi dirinya ketika berhadapan dengan hukum. Infrastruktur hukum
justru menghasilkan ketidakadilan dan inkonsistensi sebagai akibat organisasi hukum yang tidak
sempurna, inefesiensi, personel yang tidak terlatih, atau bahkan hukum yang tercantum dalam
buku memang jelek untuk berbagai alasan. Persoalan lemahnya hukum inilah yang kini menurut
Winters menjadi masalah serius bagi Indonesia, maupun Philipina pasca Soeharto maupun rezim
Marcos.
Pengalaman di Amerika Serikat dan Singapura menunjukan bahwa oligarki sipil telah
sedemikian kuatnya sehingga mereka menguasai perangkat-perangkat hukum negara untuk
mempertahankan kekayaan oligarki keuangan dan perbankan. Kasus dana talangan Pemerintah
AS menyelamatkan perusahaan dan bank-bank investasi pascakrisis 2007-2008 membuktikan
bahwa hukum yang berlaku telah menjaga kepentingan 10 bank terbesar dari gugatan hukum.
Tak satu pun pemimpin perusahaan perbankan keuangan di AS itu tersentuh gugatan hukum
karena ketentuan hukum tentang itu dianggap belum cukup memadai. Oligarki perbankan telah
membuat dirinya terlalu besar untuk gagal.
C. Politik Oligarki; Pengalaman Indonesia
Praktek politik oligarki sesungguhnya terjadi di banyak negara. Amerika Serikat pada era 1930-
an mengalami pemusatan kekayaan pada kelompok kecil korporasi besar yang mencoba
mengendalikan pemerintahan. Kebangkrutan laissez faire diawali dengan runtuhnya Wall Street
pada 1929 dan mencapai puncaknya pada 1932. Untuk mengakhiri resesi ekonomi ini
pemerintah Amerika mengeluarkan program New Deal tahun 1933 sebagai respon mendesak
dimana pemerintah terlibat jauh dalam program recovery ekonomi dan community planning.
Roosevelt mengecam terjadinya monopoli industri dan kekuatan ekonomi Amerika yang terpusat
di tangan segelintir orang.[19] Peristiwa itu merupakan salah satu bukti adanya kekuatan oligarki
di Amerika Serikat, selain munculnya kelompok-kelompok mafia yang merupakan kekuatan
ekonomi dengan pengaruh politik yang nyata.
Di Indonesia sendiri menurut Vedi R. Hadiz, bibit-bibit oligarki telah berkembang sejak era
tahun 1950-an sebagai perpaduan antara nasionalisme ekonomi yang bersifat negara-sentris dan
oligarki predatoris yang mengumpul di sekitar negara beserta para korps birokrat politisnya.[20]
Para panglima militer dan para menteri baik era Soekarno maupun tahun-tahun awal kekuasaan
Soeharto semuanya beroperasi melalui klien bisnis dengan memanfaatkan kontrol atas lembaga-
lembaga pemegang kunci gerbang-antara lain Departemen Kehutanan, Departemen
Perdagangan, Badan Urusan Logistik, BUMN (terutama Pertamina)-para birokrat itu
membagikan lisensi perdagangan, kredit, konsensi lahan, kontrak pasokan.[21]
Oligarki Soeharto dibangun sejak Orde Baru berdiri diakhir tahun 1960-an melalui aktor-aktor
yang disebut dengan kapitalis baru, konglomerat, kapitalis kroni, politik-bisnis keluarga.
Penguasaan Soeharto atas alat paksa dalam program pembersihan kekuatan PKI dan
pendukungnya menunjukan konsolidasi atas dukungan militer yang kuat, terutama Angkatan
Darat atas kekuasaan pemerintah yang dipimpinya. Hal ini kemudian diikuti dengan politik
patronase dan bagi-bagi kepada pendukungnya sepanjang mereka menyediakan dan loyal atas
penggunaan kekuatan brutal untuk menjaga kekuasaan.[22] Sebagai kompensasi adalah akses
terhadap kekuasaan politik yang menurut Ali Moertopo, kendali militer atas pos-pos strategis
pemerintahan dimaksudkan untuk stabilisasi dan karenanya tidak mungkin untuk dikembalikan
pada kelompok sipil dan hanya akan mempertaruhkan eksistensi negara akibat ketidakcakapan
sipil dalam menjalankan pemerintahan yang stabil.[23] Pos pemerintahan strategis ini penting
bagi pemupukan kekayaan secara pribadi yang tersedia dalam skala besar. Kedudukan Soeharto
sebagai pusat oligarki inilah yang disebut oleh Winters sebagai model oligarki kesultanan di
mana personifikasi Soeharto menjadi unsur utama dalam relasi patronase baik secara politik
maupun ekonomi.[24]
Pada awal Orde Baru kemajuan pembangunan menunjukan perkembangan signifikan dan seolah
mengkonfirmasi kesuksesan siombiosa antara para panglima dengan Soeharto sebagai pusat
kekuasaan oligark. Sulit dibantah bahwa pembangunan Orde Baru telah berhasil menggerakan
transformasi struktural di bidang ekonomi dan politik. Sebagaimana diikhtisarkan oleh Sjahrir,
berbagai bentuk transformasi struktural dibidang ekonomi telah berhasil dilakukan sepanjang dua
dasa warsa pembangunan Orde Baru[25]. Soemitro Djojohadikusumo juga menunjukan bahwa
selama lima Pelita, angka pertumbuhan PDB berkisar antara 4,4 - 8,6% [26]. Angka tertinggi
dicapai dalam Pelita I (8,6%) dan angka terendah pada Pelita IV (4,4%). Laju pertumbuhan
ekonomi yang berhasil dicapai selama lebih dari dua dasa warsa Orde Baru merupakan angka
yang relatif menggembirakan; rata-rata 6,02% dalam lima Pelita yang sudah dan sedang berjalan.
Hampir semua kalangan sepakat bahwa -dengan memperhitungkan kapabilitas pengambil
kebijakan ekonomi Orde Baru yang didukung kenyataan-kenyataan objektif perkembangan
perekonomian -laju pertumbuhan yang relatif tinggi tersebut akan dapat dipertahankan secara
konsisten ke depan.
Proyeksi data pendapatan perkapita penduduk adalah sama menggembirakannya. Dalam rentang
waktu 24 tahun-dari 1967-1991-pendapatan perkapita penduduk beranjak dari US $ 7 menjadi
US $ 570,[27] maka menurut proyeksi Bank Dunia angka itu akan makin beranjak di tahun 2000
hingga menjadi US $ 1000.[28] Perkembangan progresif dalam kualitas perekonomian
masyarakat juga terlihat melalui pengurangan penduduk miskin dari waktu ke waktu. Pada tahun
1976 masih terdapat 40,09% penduduk miskin dari total sekitar 135 juta penduduk; pada tahun
1987 jumlahnya berkurang hingga menjadi 17,44% dari total sekitar 172 juta penduduk; dan
menurut proyeksi BPS angka ini akan menurun lagi menjadi 15,08% dari total 180 juta
penduduk ditahun 1990.
Transformasi struktural di bidang ekonomi dan politik ini digerakan oleh kebijakan strategis
berupa maksimalisasi produktivitas ekonomi dan minimalisasi konflik politik. Dengan kalimat
lain, pembangunan Orde Baru secara umum dapat digambarkan sebagai: memprioritaskan
pertumbuhan ekonomi dengan berpagarkan stabilitas politik. Dalam kerangka ini yang menjadi
pusat perhatian negara adalah mesin-mesin pertumbuhan yang efektif dan sebaliknya sektor dan
pelaku ekonomi yang tidak potensial untuk memacu pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas
belakangan. Secara politik yang diprioritaskan adalah tersedianya lembaga-lembaga yang
dituntut oleh konstitusi sambil mempolakan lembaga-lembaga itu untuk menciptakan perilaku
politik yang pro stabilitas dan menjauhi konflik politik.
Rancang bangun pembangunan seperti itu dapat tegak berdiri ditopang oleh dua pilar yakni
kebijakan ekonomi pragmatis dan stabilitas politik otokratis. Kebijakan ekonomi pragmatis
dijalankan melalui berbagai regulasi ekonomi yang mewujudkan peran negara yang amat besar
terhadap ekonomi dan pasar. Negara mewujud sebagai kekuatan yang mensubordinasi kekuatan
pasar. Negara menjadi pusat dari kebijakan pembangunan yang otonom dari variabel eksternal
sebagaimana dijelaskan oleh Caporaso. Menurutnya, otonomi negara merujuk pada kemampuan
negara dalam mendefinisikan dan mengejar agenda semata-mata terpisah dari kepentingan privat
masyarakat.[29] Pendekatan negara terpusat mendefinisikan politik sebagai negara atau agenda
negara dan ekonomi dengan sector privat. Namun sesungguhnya realitas yang terjadi memang
negara otonom dari pengaruh publik eksternal, tetapi negara dikendalikan oleh oligarki, karena
negara Orde Baru adalah oligarki itu sendiri.
Sekalipun negara Orde Baru cenderung mencontoh model pembangunan yang kapitalistik, tetapi
model ini dipraktekan dengan besarnya peran negara dan tidak adanya dasar perkembangan
tehnologi yang memadai. Model inilah yang oleh Kunio disebut sebagai kapitalisme semu atau
ersatz capitalism[30]. Kapitalisme semu ini dicirikan secara lengkap dengan pentingnya
keberadaan modal asing, besarnya peranan negara, tingkat tehnologi yang rendah, dan dominasi
modal domestik non pribumi.
Persoalan kemudian muncul ketika model pembangunan ekonomi seperti ini, keuntungan banyak
diperoleh oleh kekuatan-kekuatan ekonomi menengah-besar yang menyandarkan diri pada
patronase politik kepada negara. Sementara itu kekuatan ekonomi kecil, terutama modal
domestik pribumi hanya menikmati sebagian kecil remahan kue pembangunan. Praktek oligarki
telah berkontribusi terhadap munculnya kesenjangan akses terhadap ekonomi dan
ketidakmerataan distribusi kue pembangunan yang kelak pada penghujung akhir kekuasaan
Soeharto menjadi faktor yang mengekskalasi gerakan menjatuhkan kekuasaanya. Selain itu,
model pembangunan Orde Baru telah menyebabkan terjadinya keterasingan masyarakat dari
lingkaran kekuasaan dan pusat pembuatan kebijakan, masyarakat lebih sebagai korban aktivitas
pembangunan daripada subjek pembangunan.[31]
Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, dalam studinya Reorganising Power in Indonesia: The
Politics of Oligarchy in An Age of Markets (2004), menjelaskan tentang kemunculan model
pemerintahan oligarkis di Indonesia periode 1965 hingga 1997. Menurut Robison dan Vedi
Hadiz memaknai oligarki sebagai sistem pemerintahan dengan semua kekuasaan politik berada
di tangan sekelompok kecil orang-orang kaya yang membuat kebijakan publik lebih untuk
keuntungan finansial mereka sendiri, melalui kebijakan subsidi langsung terhadap perusahaan-
perusahaan pertanian milik mereka atau usaha-usaha bisnis lainnya, kontrak karya pemerintah
yang bernilai besar, juga tindakan proteksionis bisnis mereka dengan tujuan untuk
menghancurkan saingan bisnis. Definisi tersebut dirujuk Robison dan Hadiz pada definisi yang
dibuat Paul M. Johnson, dan dengan itu mereka mendefiniskan model oligarki rezim Soeharto
dan Orde Baru-nya. Soeharto sebagai inti dari oligarki telah melahirkan negara predator
(predatory state), dengan berbagai kebijakan dan barang publik dinikmati dan diperjualbelikan
oleh para pejabat dan politisi untuk mendapatkan dukungan politik.
Soeharto telah melahirkan kapitalis baru meski mereka tidak memiliki naluri enterpreuner dan
bisnis. Para kapitalis ini bergantung pada kekuasaan privellege yang diberikan oleh Soeharto
dalam kegiatan bisnisnya dan lebih tepat jika disebut sebagai proto capitalis. Distribusi kekayaan
melalui politik bagi-bagi dalam kerangka menjaga stabilitas dukungan politik yang juga
paralel dengan pemupukan properti dan kekayaan telah membuat bangunan oligarki Soeharto
bertahan kuat meski sarat dengan kontradiksi di dalamnya. Secara reguler rezim oligark terlibat
dalam berbagai prosesi politik demokrasi seperti pemilu sebagai instrumen sharing kekuasaan,
dan memenangkannya dengan menggunakan intimidasi, kekayaan yang secara legal dapat
dialokasikan dalam proses politik. Praktek politik yang dikangkangi oleh rezim oligarki ini
membuat demokrasi hanya memberi keuntungan dan semakin menguntungkan oligark kaya,
demokrasi inilah yang disebut oleh Winters sebagai demokrasi kriminal.[32]
Oligarki Soeharto ini berkembang dalam tiga tahap yakni, fase aliansi antara militer-etnis China.
Fase ini merupakan simbiosis antara keamanan dan bisnis yang semuanya di bawah kendali
Soeharto. Kedua, fase pribumi yang diawali dengan booming minyak pada paruh 1970-an. Era
ini Soeharto banyak memberikan kesempatan pada oligark pribumi, tidak hanya dalam jabatan
politik, tetapi juga akses pada sumberdaya penting bagi pemupukan kekayaan. Ketiga, fase
keluarga, dimana era 1980-an keluarga Cendana terutama anak-anak Soeharto telah semakin
matang dan didorong untuk mengambil peranan lebih besar dalam kegiatan bisnis melalui
berbagai privellege dan memasuki ranah politik kekuasaan.[33]
Setelah kekuasaan Soeharto berakhir pada tahun 1998, oligarki tidak lantas berakhir, bahkan
semakin meluas dan bersinergi dengan sistem politik demokrasi. Para oligark yang sebelumnya
merupakan kroni Soeharto menyebar dan bermetamorfosa dalam wajah demokrasi melalui
partai-partai politik yang merupakan sarana kendali atas kekuasaan yang dengan demikian juga
akses pertahanan dan pemupukan kekayaan. Para oligark mengendalikan partai dan berbagai
kekuatan politik baik secara langsung maupun tidak langsung pada level pusat maupun daerah,
sebagai contoh adalah Wiranto mengendalikan partai Hanura, Prabowo dengan partai Gerindra,
Susilo Bambang Yudhoyono dengan Partai Demokrat, Golkar sebagai aliansi birokrat-pebisnis-
militer yang dibesarkan oleh Soeharto, serta aliansi pebisnis media yang sebagian berisi para
taipan yang mengendalikan kekuatan politik baru, partai Nasional Demokrat. Struktur politik
yang ada pasca Soeharto menurut Hadiz merupakan aliansi dari orang-orang yang dibesarkan
oleh Orde Baru tanpa mengikutsertakan elemen-elemen lain (misalnya buruh dan petani) yang
secara sistematis telah termarjinalkan.[34]
Soeharto menurut Winters telah mewariskan sistem oligarki pada para oligark yang kini
menyebar dan mengambil peran menentukan dalam berbagai institusi politik demokrasi. Uang
telah memainkan peranan yang sangat nyata dalam berbagai aspek sebagai sumber daya material.
Para oligark etnis china masih memainkan peranan besar dari penguasaan sumberdaya yang
diwariskan oleh Orde Baru dan afiliasi politik dengan para oligark pribumi yang menurut
Winters tidak cukup kaya dibandingkan etnis china. Bahkan, para oligark pribumi ini
memanfaatkan kekuasaan politiknya untuk mencuri kekayaan dari negara secara langsung seperti
yang terjadi dengan beberapa skandal, Bruneigate, Bulogate, BLBI, dan terakhir diduga kuat
modus yang sama yakni Centurygate.[35]
Secara sosiologis, historis maupun politis, sirkulasi politik memang lebih memberikan
kesempatan pada aktor politik pribumi untuk dapat terlibat dalam kontestasi kekuasaan. Hal
inilah yang membuat para kandidat dalam berbagai jabatan politik lebih didominasi wajah
politisi pribumi dibanding keturunan, meskipun tidak ada aturan yang membatasi mereka.
Namun demikian, para oligark pribumi ini harus berhadapan dengan kenyataan yang mereka
buat sendiri bahwa untuk dapat menduduki posisi-posisi penting dalam partai politik dan jabatan
pemerintahan berbanding lurus dengan sumberdaya yang harus dialokasikan. Hal ini membuka
peluang bagi praktek afiliasi dengan oligark lainnya serta membuat terjadinya perburuan rente
atau munculnya para broker atau makelar kasus yang memperantarai kebutuhan sumberdaya bagi
interest politik para oligark dalam demokrasi kriminal.[36]
Para oligark inilah yang banyak memetik keuntungan melalui pola hubungan transaksional
dalam mekanisme demokrasi yang oleh kaum pluralis dikenal adanya tiga mekanisme besar
dalam penyaluran ekspresi tersebut yakni opini publik, voting dalam pemilu dan melembagakan
mekanisme dari protes dan tuntutan.[37] Setiap proses politik kemudian menjadi momentum
yang tidak hanya membutuhkan sumber daya ekonomi, tetapi juga sekaligus memiliki nilai
ekonomi tersendiri.
Menurut Robert A. Dahl, suatu masyarakat demokratis membutuhkan organisasi- organisasi
yang bebas dan otonom untuk menjamin akan adanya ruang publik yang cukup bagi artikulasi
politik individu maupun kelompok secara bebas dan otonom, lepas dari situasi represif.[38]
Sebuah negara disebut demokrasi pluralis, jika; pertama, ia merupakan demokrasi dalam arti
poliarki dan kedua, organisasi-organisasi penting lainnya relatif bersifat otonom, sehingga semua
negara demokratis merupakan demokrasi pluralis.[39] Melalui pemilu yang paralel dengan
sistem pasar, para oligark sipil meregenerasikan kepentingannya dalam mekanisme politik yang
tersedia.
Joseph Schumpeter yang menyatakan bahwa demokrasi muncul dengan sistem ekonomi kapitalis
dan secara kausal berhubungan erat menjadi memiliki relevansi.[40] Lanjutnya, peran rakyat
dalam suatu masyarakat demokratis adalah tidak untuk memerintah, atau bahkan untuk
menjalankan keputusan-keputusan umum atas kebanyakan masalah politik. Sedangkan
perananan pemilihan umum adalah untuk menghasilkan suatu pemerintah atau suatu badan
penengah lainnya yang pada gilirannya menghasilkan suatu eksekutif nasional atau pemerintah.
Bagi Schumpeter, demokrasi secara sederhana merupakan mekanisme untuk pemilihan dan
memberi kekuasaan pada pemerintah, bukan suatu jenis masyarakat dan bukan seperangkat
tujuan moral-suatu mekanisme yang mengandung suatu kompetisi antara satu atau lebih
kelompok para politisi yang terpilih sendiri, yang terorganisasikan dalam partai politik, bagi
suara yang akan mencerahkan mereka untuk memerintah sampai pemilihan berikutnya.[41]
Demokrasi menurutnya dapat dimaknai sebagai suatu mekanisme pasar; para pemilih adalah
konsumen; para politisi adalah wiraswastawannya.[42] Lanjutnya, proses politik bukanlah
sesuatu yang berupa kemauan yang asli (genuine will), melainkan suatu kemauan yang dibuat
(manufactured will), dibuat dengan cara-cara yang tepat sama dengan cara-cara periklanan
komersial.
Pendapat serupa dengan Schumpeter dijelaskan oleh Anthony Down mengenai teori ekonomi
tentang demokrasi. Menurutnya, partai-partai politik dalam kehidupan politik demokratis sama
dengan wiraswastawan dalam suatu ekonomi yang memburu laba. Sepertihalnya mengusahakan
laba, mereka merumuskan politik apapun yang mereka yakini akan meraih suara terbanyak,
persis seperti pedagang yang berusaha menghasilkan produk-produk yang diyakini akan
memberikan keuntungan tertinggi dengan alasan yang sama.[43] Demokrasi yang demikian
menyuburkan praktek politik uang (money politik) dan membebani ekonomi. Dalam demokrasi
seperti ini maka hanya mereka yang memiliki kekayaan atau setidaknya didukung oleh pemilik
kekayaan-lah yang dapat ikut serta dalam kontestasi politik. Bagi para oligark, maka siapapun
yang berkuasa akan bekerja untuk memupuk dan melindungi kekayaan mereka.
Rakyat bagi para oligark tak lebih sebagai objek mobilisasi dan legitimasi belaka. Oligark ini
dalam manifestnya tampil sebagai elit politik maupun elit ekonomi yang mengambil keuntungan
dari rentannya stabilitas sosial maupun politik akibat kekuasaan yang terlalu divergen. Sebagai
contoh dapat kita lihat dari fenomena munculnya kartel politik maupun kartel ekonomi yang
sama-sama memanfaatkan kendali terhadap pusat-pusat kekuasaan untuk mengambil keuntungan
ekonomi dari kegiatan ekonomi negara. Oligark pasca Orde Baru juga telah menghasilkan
kekuatan yang berbentuk kartel ekonomi dan afiliasinya dalam kartel politik yang paralel dengan
sistem kepartaian yang tergantung pada sumber daya negara. [44] praktek ini menyuburkan
perburuan rente atau rent seeking[45] dalam demokrasi kriminal.
Setelah Orde Baru berakhir maka format kekuasaan yang dihasilkan melalui reformasi tidak lagi
memberikan kekuasaan yang tersentralisasi di tangan presiden. Partai-partai politik menempati
kekuasaan yang jauh lebih besar dari masa sebelumnya dan menjadi rumah bagi para politisi pun
menjadi tempat untuk meraih kekayaan atau menyelamatkan kekayaannya. Di sanalah, selain
birokrasi, menjadi tempat bersandar baru bagi para pengusaha pemburu rente (rent seekers).
Praktek rent seeking saat ini menjadi fenomena yang massif, baik dalam intensitas, kuantitas
maupun jangkauannya. Bahkan, desentralisasi kekuasaan yang berlebihan dalam otonomi daerah
turut mendorong praktek perburuan rente hingga menjangkau daerah. Sebagai contoh adalah
transaksi alokasi keuangan daerah yang melibatkan para oligark (elite partai, birokrat, swasta)
yang sekaligus rent seekers baik pada level pusat maupun daerah, mengatur alokasi proyek, ijin
usaha, perda, dan sebagainya.
Bagi para birokrat, modus rent seeking dilakukan melalui kecenderungan birokrasi untuk
memperbesar anggaran. Birokrasi memperbesar anggaran dengan dua cara yaitu melakukan
ekspansi birokrasi dan memaksimumkan pemborosan. Ekspansi birokrasi dilakukan dengan cara
memperbesar organisasi, memperbanyak prosedur, dan memasukkan kegiatan yang dapat
disediakan pasar menjadi kegiatan yang dimonopoli oleh pemerintah. Sedangkan pemborosan
dilakukan dengan cara memperbesar biaya per-unit pelayanan, memperbanyak perjalanan, dan
menambah jumlah pegawai untuk menjalankan fungsi pelayanan umum.
Realitas tersebut menunjukan bahwa sistem hukum tidak berjalan secara efektif dalam praktek
demokrasi di Indonesia. Bahkan reformasi dan jatuhnya kekuasaan Soeharto tidak lantas paralel
dengan penguatan sistem hukum dan berakhirnya kekuasaan para oligark. Dalam oligarki sipil
yang seharusnya ditopang oleh sistem hukum yang kuat ternyata justru tidak terjadi di Indonesia,
dan menjadi momentum bagi para oligark untuk memanfaatkan kelemahan ini dalam upaya
melindungi dan mengembangkan kekayaannya. Tepatnya terlalu menguasai hukum sehingga
kebal hukum. Jasa terbesar Jeffrey Winters ialah dalam mengungkap betapa luas dan besarnya
jaringan peran berbagai profesi yang terlibat dalam industri pertahanan pendapatan ini. Ahli
hukum, pengacara, mafia pajak, mafia lingkungan, makelar kasus, konsultan manajemen,
akuntan, aparat negara, lembaga-lembaga hukum semuanya bertugas bukan untuk menegakkan
hukum. Mereka malah membengkokkan hukum agar berpihak dan melindungi kepentingan
oligarki keuangan dan properti itu. Begitu pula demokrasi elektoral di Indonesia maupun
Philipina yang saat ini berjalan beriringan dengan sistem hukum yang lemah yang terus diinjak-
injak sehingga justru menjadi peluang bagi para oligark untuk semakin menancapkan
kekuasaanya.
Jika merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Winters maka kita dapat melihat bahwa
perkembangan oligarki dari Orde Baru, oligarki kesultanan telah bermetamorfosa setelah
reformasi menjadi oligarki yang terdesentralisasi dan tersebar dalam sistem politik demokrasi.
Para oligark tidak lagi terpusat seperti dalam oligarki kesultanan tetapi telah menjadi oligark sipil
yang menguasai hukum dan kekuasaan secara bersama-sama dengan oligark lainnnya melalui
model-model aliansi atau yang disebut Katz dan Mair sebagai kartel politik.[46]
D. Penutup
Hal mendasar terkait hubungan antara oligark dan sistem politik terutama antara masa Orde Baru
dan pasca Orde Baru adalah pada konteks bagaimana format politik itu dikonstruksi. Jika pada
masa Orde Baru, kekuasaan oligark yang demikian besar dan terpusat pada patron politik yang
didukung oleh para panglima militer telah menjadikan sistem politik sebagai subordinasi
sepenuhnya dari para oligark. Namun, setelah Orde Baru berakhir, para oligark harus
berkompromi dengan tuntutan rakyat mengenai demokratisasi politik, kekuasaan tidak lagi
tunggal, tetapi tersebar dan terdesentralisasi. Meski demikian, para oligark secara faktual telah
berhasil memanipulasi dan memanfaatkan tuntutan demokratisasi untuk tetap mengendalikan
proses politik dan kekuasaan dengan didorong motif utama, pemupukan dan pertahanan
kekayaan. Hal ini menunjukan kemampuan para oligark karena penguasaan sumberdaya
kekuasaan yang masif, terutama kekayaan untuk tetap berkuasa dan kaya, apapun format politik
yang berlangsung. Dengan demikian, teori yang dikemukakan oleh Winters memiliki signifikansi
yang kuat untuk menjelaskan bagaimana model-model oligarki berkembang di Indonesia
berdasarkan perubahan-perubahan politik yang berlangsung.
Daftar Pustaka
Buku-Buku :
Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, CSIS, Jakarta, 1974
Anthony Down, An Economic Theory of Democracy, Harper & Row, Publishers, 1957
Bahrin, Dampak Korupsi Terhadap Negara dan Penanggulangannya, Bogor, IPB Press, 2004
David R. Henderson. Rent Seeking. The Concise Encyclopedia of Economics. David R.
Henderson, ed. Liberty Fund, Inc. 2008
Herman Hidayat, Sistem Politik Orde Baru Menuju Kepudaran, dalam Krisis Masa Kini dan
Orde Baru, Penyunting Muhammad Hisyam, Yayasan Obor, Jakarta, 2003
Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir Partai Politik, PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1988
James A. Caporaso & David P. Levine, Theories Of Political Economy, Cambridge university,
New York, 1992
Jeffrey A. Winters, Oligarchy, Cambridge University Press, New York, 2011
Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel; Studi Tentang Sistem Kepartaian di Indonesia
Era Reformasi, Gramedia, Jakarta, 2009
Leslie Lipson, The Democratic Civilization, New York; Oxford University Press, 1964
Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol, terj. Sahat
Simamora, Rajawali Pers, Jakarta, 1985
Robert R. Alford dan Roger Friedland, Power of Theory, Cambridge University Press, New Port
Chester, 1985
Sjahrir, Refleksi Pembangunan Orde Baru: Ekonomi Indonesia 1968 - 1992, Gramedia, Jakarta,
1992
SP.Varma, Teori Politik Modern, Rajawali Pers, Jakarta, 2003
Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan; Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, LP3ES,
Jakarta, 2005
Willliam Ebenstein, Great Political Thinkers; Plato to The Present, Third Edition, Holt, Rinehart
and Winston, New York, 1960
Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, terj. A. Setiawan Abadi, LP3ES, Jakarta,
1990
Jurnal, Paper, Majalah:
Ross, Michael Lewin, The Political Economy of the Resource Curse, World Politics - Volume
51, Number 2, January 1999
Soemitro Djojohadikusumo, Perkembangan Ekonomi Indonesia Selama Empat Tahap Pelita,
1969/1970 - 1988/1989, Prasaran Untuk Sidang Pleno ISEI. Bukit Tinggi, 29 Juni 1989.
Swa Sembada, No. 9/VII, Desember 1992, Bonus Proyeksi Bisnis 1993`
Vedi R Hadiz, Retrieving the Past for the Future? Indonesia and the New Order Legacy,
Southeast Asian Journal of Social Science, 28, 2, 2000

Anda mungkin juga menyukai