Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Debu

2.1.1. Definisi Debu

Debu adalah debu adalah zat kimia padat, yang disebabkan oleh kekuatan-

kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan,penghancuran, pelembutan,

pengepakan yang cepat, peledakan, dan lain-lain dari benda, baik organik maupun

anorganik (Sumamur, 2009). Menurut Departemen Kesehatan RI (2003) debu ialah

partikel-partikel kecil yang dihasilkan oleh proses mekanis. Jadi, pada dasarnya

pengertian debu adalah partikel yang berukuran kecil sebagai hasil dari proses alami

maupun mekanik.

2.1.2. Sifat-Sifat Debu

Menurut Departemen Kesehatan RI yang dikutip oleh Sitepu (2002),

partikel-partikel debu di udara mempunyai sifat:

1. Sifat pengendapan

Sifat pengendapan adalah sifat debu yang cenderung selalu mengendap

karena gaya gravitasi bumi. Namun karena kecilnya ukuran debu, kadang-

kadang debu ini relatif tetap berada di udara.

2. Sifat permukaan basah

Sifat permukaan debu akan cenderung selalu basah, dilapisi oleh lapisan air

yang sangat tipis. Sifat ini penting dalam pengendalian debu dalam tempat

kerja.

Universitas Sumatra Utara


3. Sifat penggumpalan

Oleh karena permukaan debu selalu basah, sehingga dapat menempel satu

sama lain dan dapat menggumpal. Turbulensi udara meningkatkan

pembentukan penggumpalan debu. Kelembaban di bawah saturasi, kecil

pengaruhnya terhadap penggumpalan debu. Kelembaban yang melebihi

tingkat huminitas di atas titik saturasi mempermudah penggumpalan debu.

Oleh karena itu partikel debu bias merupakan inti dari pada air yang

berkonsentrasi sehingga partikel menjadi besar.

4. Sifat listrik statis

Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel lain yang

berlawanan. Dengan demikian, partikel dalam larutan debu mempercepat

terjadinya proses penggumpalan.

5. Sifat optis

Debu atau partikel basah atau lembab lainnya dapat memancarkan sinar

yang dapat terlihat dalam kamar gelap.

Partikel debu yang berdiameter lebih besar dari 10 mikron dihasilkan dari

proses-proses mekanis seperti erosi angin, penghancuran dan penyemprotan , dan

pelindasan benda-benda oleh kendaraan atau pejalan kaki. Partikel yang

berdiameter antara 1-10 mikron biasanya termasuk tanah dan produk-produk

pembakaran dari industri lokal. Partikel yang mempunyai diameter 0,1-1 mikron

terutama merupakan produk pembakaran dan aerosol fotokimia (Fardiaz, 1992).

Polutan partikel masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui sistem

pernafasan, oleh karena itu pengaruh yang merugikan terutama terjadi pada sistem

Universitas Sumatra Utara


pernafasan. Faktor lain yang paling berpengaruh terhadap sistem pernafasan

terutama adalah ukuran partikel, karena ukuran partikel yang menentukan seberapa

jauh penetrasi partikel ke dalam pernafasan. Debu-debu yang berukuran 5-10

mikron akan ditahan oleh jalan pernafasan bagian atas, sedangkan yang berukuran

3-5 mikron ditahan oleh bagian tengah jalan pernafasan (Yunus, 1997).

American Lung Association membagi penyakit paru akibat kerja mejadi

dua kelompok besar : Pneumokoniosis disebabkan karena debu yang masuk ke

dalam paru serta penyakit hipersensitivitas seperti asma yang disebabkan karena

reaksi yang berlebihan terhadap polutan di udara (Sumamur, 2009).

Menurut Sumamur (1996), debu yang dapat menimbulkan ganggguan

kesehatan bergantung dari :

a. Solubility

Jika bahan-bahan kimia penyusun debu mudah larut dalam air, maka

bahan- bahan itu akan larut dan langsung masuk ke pembuluh darah kapiler

alveoli. Apabila bahan-bahan tersebut tidak mudah larut, tetapi ukurannya

kecil, maka partikel-partikel itu dapat memasuki dinding alveoli, lalu ke

saluran limpa atau ke ruang peri bronchial menuju ke luar bronchial oleh

rambut-rambut getar di kembalikan ke atas.

b. Komposisi kimia debu

1. Inert dust

Golongan debu ini tidak menyebabkan kerusakan atau reaksi fibrosis

pada paru. Efeknya sangat sedikit atau tidak ada sama sekali pada

penghirupan normal.

Universitas Sumatra Utara


Poliferal dust

Golongan debu ini di dalam paru akan membentuk jaringan parut atau

fibrosis. Fibrosis ini akan membuat pengerasan pada jaringan alveoli

sehingga mengganggu fungsi paru. Debu golongan ini menyebabkan

fibrocytic pneumoconiosis, contohnya : debu silika, asbestosis, kapas,

berilium dan sebagainya.

Tidak termasuk inert dust dan poliferatif dust

Kelompok debu ini merupakan kelompok debu yang tidak tahan di

dalam paru, namun dapat ditimbulkan efek iritasi yaitu debu yang

bersifat asam atau asam kuat.

c. Konsentrasi debu

Semakin tinggi konsentrasi debu di udara tempat kerja, maka semakin

besar kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan.

d. Ukuran partikel debu

Ukuran partikel besar akan di tangkap oleh saluran nafas bagian atas.

Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran

pernapasan. Dari hasil penelitian ukuran tersebut dapat mencapai target

organ sebagai berikut :

1. Ukuran debu 5 10 mikron, akan tertahan olah cilia pada saluran

pernapasan bagian atas.

2. Ukuran debu 3 5 mikron, akan tertahan oleh saluran pernapasan

bagian tengah.

Universitas Sumatra Utara


3. Ukuran debu 1 3 mikron, sampai dipermukaan alveoli.

4. Ukuran debu 0,5 1 mikron, hinggap dipermukaan alveoli, selaput

lendir sehingga menyebabkan fibrosis paru.

5. Ukuran debu 0,1 0,5 mikron, melayang dipermukaan alveoli.

2.1.3. Sumber Debu

Debu yang terdapat di dalam udara terbagi dua, yaitu deposite particulate

matter adalah partikel debu yang hanya berada sementara di udara, partikel ini

segera mengendap karena ada daya tarik bumi. Suspended particulate matter

adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap (Yunus,

1997). Sumber-sumber debu dapat berasal dari udara, tanah, aktivitas mesin

maupun akibat aktivitas manusia yang tertiup angin.

2.1.4. Jenis Debu

Jenis debu terkait dengan daya larut dan sifat kimianya. Adanya perbedaan

daya larut dan sifat kimiawi ini, maka kemampuan mengendapnya di paru juga

akan berbeda pula. Demikian juga tingkat kerusakan yang ditimbulkannya juga

akan berbeda pula. Sumamur (2009) mengelompokkan partikel debu menjadi dua

yaitu debu organik dan anorganik. Klasifikasi debu dapat dilihat pada tabel 2.1

Universitas Sumatra Utara


Tabel 2.1. Jenis Debu Yang Dapat Menimbulkan Gangguan Kesehatan Pada
Manusia

No Jenis Debu Contoh (Jenis Debu)

1 Organik
a. Alamiah
1. Fosil Batu bara, karbon hitam, arang, granit.
2. Bakteri TBC, antraks, enzim, bacillus substilis.
Koksidiomikosis, Histoplasmosis.
3. Jamur Actinomycosis, kriptokokus, thermophilic.
4. Virus Cacar air, Q fever, psikatosis.
5. Sayuran Kompos jamur, ampas tebu, tepung padi,
gabus, serat nanas, atap alang-alang, katun,
rami.
6. Binatang
Kotoran burung, kesturi, ayam
b. Sintesis
1. Plastik
2. Reagen Politetrafluoretilen, toluene diisosianat
Minyak isopropyl, pelarut organic

2 Anorganik
a. Silika bebas
1. Crystaline Quarz, trymite cristobalite
2. Amorphous Diatomaceous earth, silica gel

b. Silika
1. Fibrosis Asbestosis, sillinamite, talk
2. Lain-lain Mika, kaolin, debu semen

c. Metal
1. Inert Besi, barium, titanium, alumunium
2. Lain-lain Berilium
3. Bersifat keganasan Arsen, kobal, nikel hematite, uranium,
khrom,

(Sumber : Sumamur.P.K 2009)

Partikel debu yang terdapat di lingkungan kerja lokasi penelitian sebagian

besar bersumber dari akitivitas pengepressan barang-barang bekas yang terbuat

Universitas Sumatra Utara


dari besi dan alumunium yang sudah korosif (berkarat). Debu di lingkungan kerja

lokasi penelitian sebagian besar debu anorganik golongan metal yang bersifat

inert. Debu inert merupakan debu kerja nonfibrogenik, dimana debu ini yang tidak

menimbulkan reaksi jaringan paru akibat inhalasi di tempat kerja, contohnya

adalah ferrioksida, stanum oksida, alumunium oksida, barium sulfat, titanium

dioksida (Harrianto, 2010).

2.1.5. Pengukuran Kadar Debu di Udara

Pengukuran kadar debu di udara bertujuan untuk mengetahui apakah kadar

debu pada suatu lingkungan kerja berada konsentrasinya sesuai dengan kondisi

lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi pekerja. Dengan kata lain, apakah

kadar debu tersebut berada di bawah atau di atas nilai ambang batas (NAB) debu

udara. Hal ini penting dilaksanakan mengingat bahwa hasil pengukuran ini dapat

dijadikan pedoman pihak pengusaha dalam membuat kebijakan yang tepat untuk

menciptakan lingkungan kerja yang sehat bagi pekerja, sekaligus menekan angka

prevalensi penyakit akibat kerja.

Pengambilan/pengukuran kadar debu di udara biasanya dilakukan dengan

metode gravimetri, yaitu dengan cara menghisap dan melewatkan udara dalam

volume tertentu melalui saringan serat gelas/kertas saring. Alat-alat yang biasa

digunakan untuk pengambilan sampel debu total (TSP) di udara seperti:

1. High Volume Air Sampler (HVAS)

Alat ini menghisap udara ambien dengan pompa berkecepatan 1,1 - 1,7

m/menit, partikel debu berdiameter 0,1-10 mikron akan masuk bersama

aliran

Universitas Sumatra Utara


udara melewati saringan dan terkumpul pada permukaan serat gelas. Alat

ini dapat digunakan untuk pengambilan contoh udara selama 24 jam, dan

bila kandungan partikel debu sangat tinggi maka waktu pengukuran dapat

dikurangi menjadi 6 - 8 jam.

2. Low Volume Air Sampler (LVAS)

Alat ini dapat menangkap debu dengan ukuran sesuai yang kita inginkan

dengan cara mengatur flow rate 20 liter/menit dapat menangkap partikel

berukuran 10 mikron. Dengan mengetahui berat kertas saring sebelum dan

sesudah pengukuran maka kadar debu dapat dihitung.

3. Low Volume Dust Sampler (LVDS)

Alat ini mempunyai prinsip kerja dan metode yang sama dengan alat low

volume air sampler.

4. Personal Dust Sampler (PDS)

Alat ini biasa digunakan untuk menentukan Respiral Dust (RD) di udara

atau debu yang dapat lolos melalui filter bulu hidung manusia selama

bernafas. Untuk flow rate 2 liter/menit dapat menangkap debu yang

berukuran < 10 mikron. Alat ini biasanya digunakan pada lingkungan kerja

dan dipasang pada pinggang pekerja karena ukurannya yang sangat kecil.

2.1.6. Nilai Ambang Batas (NAB) Kadar Debu

Nilai ambang batas (NAB) adalah standard faktor-faktor lingkungan kerja

yang dianjurkan di tempat kerja agar tenaga kerja masih dapat menerimanya tanpa

mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari

untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu (Permenakertrans

Universitas Sumatra Utara


RI No.13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di

Tempat Kerja). Kegunaan NAB ini sebagai rekomendasi pada praktik higiene

perusahaan dalam melakukan penatalaksanaan lingkungan kerja sebagai upaya

untuk mencegah dampaknya terhadap kesehatan.

Kadar debu yang melampaui ambang batas yang ditentukan dapat

mengurangi penglihatan, menyebabkan endapan tidak menyenangkan pada mata

,hidung,dan telinga dan dapat juga mengakibat kerusakan pada kulit. Nilai ambang

batas kadar debu di udara berdasarkan Permenakertrans RI Nomor 13 tahun 2011

tentang Nilai Ambang Batas Bahan Fisika dan Kimia di Tempat Kerja, bahwa

kadar debu di udara tidak boleh melebihi 3,0 mg/m3.

2.1.7. Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru

Adapun mekanisme penimbunan debu dalam paru-paru dapat terjadi pada

saat menarik nafas, dimana udara yang mengandung debu masuk kedalam paru-

paru. Debu yang berukuran antara 5-10 mikron akan ditahan oleh saluran

pernafasan bagian atas, sedangkan yang berukuran 3-5 mikron ditahan oleh bagian

tengan jalan pernafasan. Partikel-partikel yang besarnya antara 1 dan 3 mikron

akan ditempatkan langsung dipermukaan alveoli paru. Partikel-partikel yang

berukuran 0,1 mikron tidak begitu mudah hinggap pada permukaan alveoli, oleh

karena partikel dengan ukuran yang demikian tidak mengendap di permukaan.

Debu yang yang partikel-partikelnya berukuran kurang dari 0,1 mikron bermassa

terlalu kecil, sehingga tidak mengendap di permukaan alveoli atau selaput lendir,

oleh karena gerakan brown yang menyebabkan debu demikian bergerak ke luar

masuk ke alveoli (Sumamur, 2009).

Universitas Sumatra Utara


Beberapa mekanisme tertimbunnya debu dalam paru menurut Sumamur

(2009) antara lain :

a. Inertia

Inertia terjadi pada waktu udara membelok ketika melalui jalan pernafasan

yang tidak lurus, maka partikel-partikel debu yang yang bermassa cukup

besar tidak dapat membelok mengikuti aliran udara, melainkan terus dan

akhirnya

menumbuk selaput lendir dan mengendap disana.

b. Sendimentasi

Sendimentasi merupakan penimbunan debu yang terjadi di bronkhi dan

bronkhioli, sebab di tempat itu kecepatan udara sangat kurang kira-kira 1

cm/detik sehingga gaya tarik dapat bekerja terhadap partikel-partikel debu

dan mengendapkannya.

c. Gerakan Brown

Gerak Brown merupakan penimbunan bagi partikel partikel yang

berukuran sekitar atau kurang dari 0,1 mikron. Partikel-partikel yang kecil

ini digerakkan oleh gerakan Brown sehingga ada kemungkinan membentur

permukaan alveoli dan hinggap di sana.

Universitas Sumatra Utara


2.2. Paru Paru

2.2.1. Anatomi Paru

Paru-paru adalah dua organ yang terbentuk seperti bunga karang yang

sangat lunak, elastis dan berada dalam rongga torak, sifatnya ringan dan terapung

di air, yang terletak di dalam torak pada sisi lain jantung dan pembuluh darah

besar. Pembagian paru ada dua , yaitu :

1. Paru-paru kiri:

Pada paru-paru kiri terdapat satu fisura yaitu fisura obliges. Fisura ini

membagi paru-paru kiri atas menjadi dua lobus, yaitu :

a. Lobus superior, bagian yang terletak di atas dan sebagian di depan fisura.

b. Lobus inferior, bagian yang terletak di belakang dan di bawah fisura.

2. Paru-Paru Kanan:

Pada paru-paru kanan terdapat dua fisura, yaitu :

1. Fisura oblique (interlobularis primer) : mulai dari daerah atas dan

kebelakang sampai ke hilus setinggi vertebra torakaliske-4 terus kebawah

dan kedepan searah dengan iga ke-6 sampai linie aksilaris media ke ruang

interkostal ke-6 memotong margo inferior setinggi artikulasi iga ke-6 dan

kembali ke hilus.

2. Fisura transversal (interlobularis sekunder) : mulai dari fisura oblique

pada aksilaris media berjalan horizontal memotong margo anterior pada

artikulasio kosta kondralis keenam terus ke hilus. Fisura oblique

memisahkan lobus inferior dari lobus medius dan lobus posterior. Fisura

horizontal memisahkan lobus medius dari lobus superior.

Universitas Sumatra Utara


Kedua fisura ini membagi paru-paru kanan menjadi tiga lobus yaitu : lobius

atas, lobus tengah dan lobus bawah, dimana tiap lobus terdiri dari belahan-belahan

yang lebih kecil bernama segmen (Syaifuddin, 1997). Paru terletak pada rongga

dada datarannya menghadap ke tengah rongga dada atau kavum media stinum.

Pada bagian tengah itu terdampat tumpuk paru/hilus. Pada media stinum depan

terletak jantung. Paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura terbagi

menjadi 2, yaitu :

1. Pleura Viseral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang

langsung membungkus paru.

2. Pleura parietal, yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar.

Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum pleura)

(Syaifuddin, 1997). Dalam paru terdapat alveoli yang berfungsi dalam

pertukaran gas O2 dengan CO2 dalam darah (Tambayong, 2001).

Universitas Sumatra Utara


Gambar 2.1 Anatomi paru

2.2.2. Fisiologi Paru

Raharjoe, dkk (1994) menyatakan bahwa salah satu fungsi utama paru

adalah sebagai alat pernafasan yaitu melakukan pertukaran udara (ventilasi), yang

bertujuan menghirup masuknya udara dari alveolus keluar tubuh (ekspirasi).

Pernafasan dapat berarti pengangkutan oksigen ke sel dan pengangkutan CO2 dari

sel kembali ke atmosfer. Proses ini menurut Guyton (1981) dapat dibagi menjadi 4

tahap yaitu:

Universitas Sumatra Utara


a. Pertukaran udara paru

Pertukaran udara paru merupakan proses masuk dan keluarnya udara ke

dan dari alveoli. Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat

mengempis penuh karena masih adanya udara yang tersisa didalam

alveoli yang tidak dapat dikeluarkan walaupun dengan ekspirasi kuat.

Volume udara yang tersisa ini disebut volume residu. Volume ini

penting karena menyediakan O2 dalam alveoli untuk menghasilkan

darah.

b. Difusi O2dan CO2 antara alveoli dan darah.

c. Pengangkutan O2 dan CO2 dalam darah dan cairan tubuh dari dan

menuju ke sel-sel.

d. Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.

Menurut Raharjoe dkk (1994) dari aspek fisiologi, ada 2 (dua) macam

pernapasan yaitu:

1. Pernapasan luar (eksternal respiration)

Pernafasan luar adalah proses pertukaran udara yang berlangsung di paru.

2. Pernapasan dalam (internal respiration)

Pernafasan dalam adalah pertukaran gas pada metabolisme energi yang

terjadi dalam sel. Ditinjau dari aspek klinik pernapasan adalah pernapasan luar.

Untuk melakukan tugas pertukaran disusun oleh beberapa komponen penting

antara lain:

a. Dinding dada yang terdiri dari tulang, otot, dan saraf perifer.

b. Parenkim paru yang terdiri dari saluran napas, alveoli dan pembuluh darah.

Universitas Sumatra Utara


c. Beberapa respirator yang berada di pembuluh arteri utama.

Sebagai organ pernafasan, dalam melakukan tugasnya, paru dibantu oleh

system kardiovaskuler dan sistem saraf pusat. Sistem kardiovaskuler selain

menyuplai darah bagi paru (perfusi), juga dipakai sebagai media transportasi O2

dan CO2, sistem saraf pusat berperan sebagai pengendali irama dan pola

pernapasan.

2.2.3. Volume dan Kapasitas Fungsi paru

Volume paru dan kapasitas fungsi paru merupakan gambaran fungsi

ventilasi sistem pernapasan. Dengan mengetahui besarnya volume dankapasitas

fungsi paru dapat diketahui besarnya kapasitas ventilasi maupun ada tidaknya

kelainan fungsi ventilisator paru.

1. Volume Paru

Selama pernapasan berlangsung, volume selalu berubah-ubah dimana

mengembang sewaktu inspirasi dan mengempis sewaktu ekspirasi. Dalam

keadaan normal, pernapasan terjadi secara pasif dan berlangsung hampir

tanpa disadari. Beberapa parameter yang menggambarkan volume paru

adalah :

a. Vaolume Tidal (Tidal Volume = TV)

Volume tidal adalah volume udara masuk dan keluar pada pernapasan.

Besarnya TV orang dewasa sebanyak 500 ml.

Universitas Sumatra Utara


b. Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory Reserve Volume = IRV)

Volume cadangan inspirasi adalah volume udara yang masih dapat

dihirup kedalam paru sesudah inspirasi biasa, besarnya IRV pada orang

dewasa adalah 3100 ml.

c. Volume Cadangan Ekspirasi (Ekspiratory Reserve Volume = ERV)

Volume cadangan ekspirasi adalah volume udara yang masih dapat

dikeluarkan dari paru sesudah ekspirasi biasa, besarnya ERV pada orang

dewasa adalah 1200 ml.

d. Volume Residu (Residual Volume = RV)

Volume residu adalah udara yang masih tersisa didalam paru sesudah

ekspirasi maksimal. TV, IRV dan ERV dapat diukur dengan spirometer,

sedangkan RV = TLC-VC (Mukono, 1997).

2. Kapasitas Fungsi Paru

Kapasitas fungsi paru adalah merupakan penjumlahan dari dua volume paru

atau lebih. Yang termasuk pemeriksaan kapasitas fungsi paru-paru adalah:

a. Kapasitas Inspirasi (Inspiratory Capacity = IC)

Kapasitas inspirasi adalah volume udara yang masuk paru setelah

inspirasi maksimal atau sama dengan volume cadangan inspirasi

ditambah volume tidal (IC = IRV + TV).

b. Kapasitas Vital (Vital Capacity = VC)

Kapasitas vital adalah volume udara yang dikeluarkan melalui ekspirasi

maksimal setelah sebelumnya melakukan inspirasi maksimal. Kapasitas

vital besarnya sama dengan volume inspirasi cadangan ditambah volume

Universitas Sumatra Utara


tidal (VC = IRV + ERV + TV). Ada 2 macam Vital Capacity berdasarkan

cara pengukurannya, yaitu:

1. Vital Capacity (VC), adalah volume ekspirasi setelah individu

melakukan inspirasi maksimal dimana individu tidak perlu

melakukan pernapasan dengan kekuatan penuh

2. Forced Vital Capacity (FVC), adalah volume ekspirasi maksimal

(secara paksa) setelah individu melakukan inspirasi maksimal.

Kapasitas Paru Total (Total Lung Capacity = TLC).

c. Kapasitas Residu Fungsional (Functional Residual Capacity = FRC)

Kapasitas residu fungsional adalah volume ekspirasi cadangan ditambah

volume sisa (FRC = ERV + RV) (Amin, 2000).

2.2.4. Pemeriksaan Fungsi Paru

Pemeriksaan fungsi paru sangat dianjurkan bagi tenaga kerja, yaitu

menggunakan spirometer dengan alasan spirometer lebih mudah digunakan, biaya

murah, ringan praktis, bisa dibawa kemana-mana, tidak memerlukan tempat

khusus, cukup sensitif, akurasinya tinggi, tidak invasif dan cukup dapat memberi

sejumlah informasi handal (Yunus, 2006)

Dengan pemeriksaan spirometri dapat diketahui semua volume paru

kecuali volume residu, semua kapasitas paru kecuali kapasitas paru yang

mengandung komponen volume residu. Interpretasi dari hasil spirometri biasanya

langsung dapat dibaca dari print out setelah hasil yang didapat dibandingkan

dengan nilai prediksi sesuai dengan tinggi badan, umur, berat badan, jenis kelamin,

Universitas Sumatra Utara


dan ras yang datanya telah terlebih dahulu dimasukkan kedalam spirometer

sebelum pemeriksaan dimulai.

Tabel 2.2 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Fungsi Paru

RESTRIKTIF PENGGOLONGAN OBSTRUKTIF


FVC/nilai prediksi (%) FEV1/FVC (%)

80 NORMAL 75
60-79 RINGAN 60-74
30-59 SEDANG 30-59
< 30 BERAT < 30
Sumber : Pusat Hiperkes dan KK, Depnakertrans (2005)

Interpretasi hasil pemeriksaan spirometri dapat dikategorikan sebagai

berikut :

1. Restriktif (sindrom pembatasan)

Restriktif (sindrom pembatasan) adalah keterbatasan ekspansi paru yang

ditandai dengan penurunan kapasitas vital (VC) dan volume istirahat yang kecil,

tetapi resistensi jalan nafas meningkat (West, 2010). Parameter yang dilihat adalah

kapasitas vital (VC) dan kapasitas vital paksa (FVC). Pada gangguan restriktif baik

hasil pengukuran FEV1 maupun FVC sama-sama berkurang sedikit sehingga rasio

FEV1/FVC hasilnya dapat kembali normal atau meningkat dan biasanya kapasitas

vital paksa (FVC) kurang dari 80% nilai prediksi (Harrianto, 2010).

2. Obstruktif (sindrom penyumbatan)

Obstruktif adalah setiap perlambatan atau gangguan kecepatan aliran udara

yang masuk dan keluar dari dalam paru-paru (Yunus, 1992). Sindrom

penyumbatan ini terjadi apabila kapasitas ventilasi menurun akibat menyempitnya

Universitas Sumatra Utara


saluran udara pernafasan. Biasanya ditandai dengan terjadi penurunan FEV1 yang

lebih besar dibandingkan dengan FVC sehingga rasio FEV1/FVC menurun atau

kurang dari 75% dan nilai FEV1 kurang dari 80% nilai prediksi (Harrianto, 2010 ).

Forced Expiratory Volume in 1 Secon (FEV1) adalah besarnya volume

udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama. Lama ekspirasi orang normal

berkisar antara 4-5 detik dan pada detik pertama orang normal dapat mengeluarkan

udara pernapasan sebesar 80% dari nilai VC. Fase detik pertama ini dikatakan

lebih penting dari fase-fase selanjutnya. Adanya obstruksi pernapasan didasarkan

atas besarnya volume pada detik pertama tersebut. Interpretasi tidak didasarkan

nilai absolutnya tetapi pada perbandingan dengan FVC-nya. Bila FEV/FVC

kurang dari 75% berarti tidak normal (Alsagaf dan Mangunegoro, 2004). Penyakit

obstruktif seperti bronchitis kronik atau emfisema terjadi pengurangan FEV lebih

besar dibandingkan kapasitas vital (kapasitas vital mungkin normal) sehingga rasio

FEV/FVC kurang 80%.

3. Kombinasi obstruktif dan restriktif (Mixed)

Kombinasi obstruktif dan restriktif adalah suatu gangguan fungsi paru yang

terjadi juga karena proses patologi yang mengurangi volume paru, kapasitas vital

dan aliran, yang juga melibatkan saluran napas. Rendahnya FEVl/FVC (%)

merupakan suatu indikasi obstruktif saluran napas dan kecilnya volume paru

merupakan suatu restriktif (Rahmatullah, 2006). Partikel debu yang terdapat di

lingkungan kerja lokasi penelitian bersumber dari debu anorganik golongan metal

yang bersifat inert yaitu debu besi dan alumunium yang dapat menimbulkan

gangguan paru akibat menginhalasi debu tersebut.

Universitas Sumatra Utara


Debu inert merupakan debu kerja golongan nonfibrogenik. Inhalasi debu

nonfibrogenik hanya akan mengakibatkan bertambahnya jaringan ikat paru dalam

jumlah yang sangat sedikit, contohnya adalah debu besi, seng, kapur dan timah.

Pada akumulasi debu inert dalam paru, alveoli tetap utuh, tidak terbentuk jaringan

ikat dan umumnya bersifat sementara (Harrianto, 2010). Inhalasi debu anorganik

di lingkungan kerja cenderung menyebabkan terjadinya pneumokoniosis pada

pekerja, dimana pada umumnya pneumokoniosis menimbulkan gangguan restriktif

pada paru (Rahmatullah, 2009).

2.2.5. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Keadaan Fungsi Paru di Tempat

Kerja

Fungsi paru seseorang dapat mengalami penurunan secara bertahap dan

bersifat kronis sehingga frekuensi lama seseorang bekerja pada lingkungan yang

berdebu dan faktor-faktor internal yang terdapat dalam diri pekerja antara lain:

1. Umur

Usia berhubungan dengan proses penuaan atau bertambahnya umur.

Semakin tua usia seseorang semakin besar kemungkinan terjadi

penurunan fungsi paru (Suyono, 2001). Fungsi pernafasan dan sirkulasi

darah akan meningkat pada masa anak-anak dan mencapai maksimal pada

usia 20-30 tahun , kemudian akan menurun kembali sesuai dengan

pertambahan umur (Pollock ML, 1971). Kekuatan otot maksimal pada usia 20-40

tahun dan akan berkurang sebanyak 20% setelah usia 40 tahun (Pusparini, 2003).

Dalam keadaan normal usia mempengaruhi frekuensi pernafasan dan kapasitas

paru. Frekuensi pernafasan pada orang dewasa antara 16-18 kali permenit, pada

Universitas Sumatra Utara


anak-anak sekitar 24 kali permenit sedangkan pada bayi sekitar 30 kali per menit.

Pada individu normal terjadi perubahan nilai fungsi paru secara fisiologis sesuai

dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya.

Mulai pada fase anak sampai umur kira-kira 22-24 tahun terjadi

pertumbuhan paru sehingga pada waktu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan

dengan pertambahan umur dan nilai fungsi paru mencapai maksimal pada umur

22-24 tahun. Beberapa waktu nilai fungsi paru menetap kemudian menurun secara

perlahan-lahan, biasanya umur 30 tahun sudah mulai penurunan, berikutnya nilai

fungsi paru (KVP = Kapasitas Vital Paksa dan VEP1 = Volume ekspirasi paksa

satu detik pertama) menagalami penurunan rerata sekitar 20 ml tiap pertambahan

satu tahun umur individu (Rahmatullah, 2009).

2. Merokok

Merupakan kegiatan yang dilakukan secara berulang ulang dalam

menghisap rokok mulai dari satu batang atau lebih dalam satu hari

(Bustan, 2000). Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan

fungsi saluran pernafasan dan jaringan paru. Merokok juga dapat lebih

merendahkan kapasitas vital paru dibandingkan dengan beberapa bahaya

kesehatan kerja (Suyono, 2001). Penurunan kapasitas paru (VC)

merupakan indikator yang dapat mengakibatkan gangguan restriktif pada

paru pekerja (West, 2010). Kebiasaan merokok akan mempercepat penurunan faal

paru. Menurut Rahmatullah (2009) yang menyatakan bahwa besarnya penurunan

fungsi paru (FEV1) berhubungan langsung dengan kebiasaan merokok (konsumsi

rokok).

Universitas Sumatra Utara


Pada orang dengan fungsi paru normal dan tidak merokok mengalami

penurunan FEV1 20 ml pertahun, sedangkan pada orang yang merokok (perokok)

akan mengalami penurunan FEV1 lebih dari 50 ml pertahunnya

(Rahmatullah, 2009). Penurunan ekspirasi paksa pertahun 28,7 ml untuk

nonperokok, 38,4 ml untuk bekas perokok dan 41,7 ml untuk perokok aktif.

Pengaruh asap dapat lebih besar daripada pengaruh debu yang hanya sepertiga dari

pengaruh buruk rokok (Depkes RI, 2003). Rata-rata perokok ringan dalam sehari

1-14 batang, bagi perokok sedang 15-24 batang/hari, dan perokok berat > 25

batang/hari (Yusuf dan Giriputro, 1987).

3. Masa kerja

Masa kerja ialah lamanya seorang pekerja bekerja dalam (tahun) dalam

satu lingkungan perusahaan dihitung mulai saat bekerja sampai penelitian

berlangsung. Dalam penelitian Setyani (2005) dalam lingkungan kerja

yang berdebu, masa kerja dapat mempengaruhi dan menurunkan

kapasitas fungsi paru pada karyawan. Semakin lama seseorang dalam

bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang

ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut (Sumamur, 2009). Berdasarkan hasil

penelitian Uninta (1998) di Bandung, mengatakan bahwa masa kerja di suatu

perusahaan yang mengandung banyak debu mempunyai risiko tinggi untuk

timbulnya pneumokoniosis. Pada pekerja yang berada dilingkungan dengan kadar

debu tinggi dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terkena penyakit paru

obstruktif. Masa kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya

Universitas Sumatra Utara


obstruksi pada pekerja di industri yang berdebu lebih dari 5 tahun (Hyatt

dkk, 2006).

4. Pemakaian Alat Pelindung Diri (Masker)

Alat pelindung diri adalah suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri

dari tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja untuk mencegah dan

mengurangi tingkat keparahan dari kecelakaan yang terjadi. Pemakaian

alat pelindung diri (masker) oleh pekerja di tempat kerja yang udaranya

banyak mengandung debu, merupakan upaya mengurangi masuknya

partikel debu kedalam saluran pernapasan (Pusparini, 2003). Masker adalah salah

satu bagian dari alat pelindung diri (APD) yang berfungsi sebagai pelindung

hidung dan mulut yang merupakan alat pelindung pernafasan dari pernafasan

(inhalasi) debu, gas, uap, mist (kabut), fumes, asap dan fog. Dengan mengenakan

alat pelindung diri (masker) diharapkan pekerja melindungi dari kemungkinan

terjadinya gangguan pernafasan akibat terpapar udara yang kadar debunya tinggi.

Walaupun demikian, tidak ada jaminan bahwa dengan mengenakan masker,

seorang pekerja di industri akan terhindar dari kemungkinan terjadinya gangguan

pernapasan (Sumamur, 2009).

Penggunaan alat pelindung diri merupakan upaya terakhir dalam usaha

perlindungan bagi pekerja. Oleh karena itu, alat pelindung diri harus memenuhi

persyaratan antara lain : enak dipakai, tidak mengganggu kerja dan memberikan

perlindungan yang efektif terhadap jenis bahaya yang ada (Sumamur, 2009).

Jenis Alat Pelindung Diri (masker) antara lain sebagai berikut:

Universitas Sumatra Utara


a. Masker penyaring debu

Masker ini berguna untuk melindungi pernafasan dari asap

pembakaran, abu hasil pembakaran dan debu.

b. Masker berhidung

Masker ini dapat menyaring debu atau benda sampai ukuran 0,5

mikron.

c. Masker bertabung

Masker ini punya filter yang lebih baik daripada masker berhidung.

Masker ini tepat digunakan untuk melindungi pernafasan dari gas

tertentu.

5. Riwayat penyakit paru

Faktor lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi paru adalah

penyakit paru (Raharjoe, 1994). Penyakit silicosis akan lebih buruk kalau

penderita sebelumnya juga sudah menderita penyakit TBC paru-paru,

bronchitis, asma broonchiale dan penyakit saluran pernapasan lainnya.

Beberapa penyakit infeksi paru akan menimbulkan kerusakan pada

jaringan paru dan membentuk jaringan fibrosis pada alveoli. Hal ini

menimbulkan hambatan dalam proses penyerapan udara pernafasan dalam

alveoli tersebut, sehingga jumlah udara yang terserap akan berkurang.

Universitas Sumatra Utara


2.3. Usaha Butut

2.3.1. Definisi Butut

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Butut ialah barang-barang

yang sudah rusak/barang-barang rongsokan/barang yang sudah tua yang tidak dapat

lagi dipergunakan sesuai dengan fungsinya.

2.3.2. Jenis - Jenis Butut

Jenis-jenis butut pada umumnya di kelompokkan kedalam 4 kelompok

secara garis besar, yaitu : Logam, Plastik, Kertas, dan Kaleng. Usaha

penampungan tidak semua menampung butut hal ini karena pengusaha lebih

memfokuskan kepada barang-barang berupa kaleng, seng yang risiko

kehilangannya kecil. Meskipun pengusaha memfokuskan pada barang-barang yang

risiko kehilangannya kecil, namun pengusaha tidak menerima butut dari plastik

seperti : kemasan air mineral cup, timba,baskom dan lain-lain hal ini dikarenakan

pengusaha lebih mengspesifikkan pada jenis barang tertentu.

Adapun jenis-jenis butut yang diterima oleh Usaha Penampungan

Butut ini adalah golongan kertas dan Kaleng. Golongan kertas yang diterima

ialah : kardus, buku-buku/majalah, koran, kertas HVS, duplek, sarang telur dan

lain-lain yang terbuat dari kertas. Golongan Kaleng : kaleng-kaleng minuman

(semua jenis kaleng), drum minyak, kompor gas rusak, sepeda rusak, kawat duri,

seng dan lain-lain.

Universitas Sumatra Utara


2.4. Kerangka Konsep

Kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Kadar Debu Fungsi Paru


1) > 3 mg/m3
1) Normal
3
2) < 3 mg/m
2) Tidak Normal

Faktor Pekerja :

1) Umur
umumu
2) Kebiasaan Merokok
3) Masa kerja
4) Pemakaian APD
(Masker)
5) Riwayat penyakit
paru

Gambar 2.2 Skema kerangka konsep

Keterangan :

Variabel Bebas : Kadar debu yang terdapat di lingkungan kerja proses press-

packing ( 3 mg/m3 atau 3 mg/m3).

Variabel Terikat : Fungsi Paru paru pekerja proses press-packing (normal atau

tidak normal).

Faktor Pengganggu : Umur, kebiasaan merokok, masa kerja, pemakaian alat

pelindung diri (masker) dan riwayat penyakit paru.

Universitas Sumatra Utara


2.5. Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara kadar debu dengan fungsi paru pekerja proses press-

packing.

2. Ada hubungan antara umur dengan fungsi paru pekerja proses press- packing.

3. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan fungsi paru pekerja proses

press- packing.

4. Ada hubungan antara masa kerja dengan fungsi paru pekerja proses press-

packing.

5. Ada hubungan antara pemakaian alat pelindung diri (masker) dengan fungsi

paru pekerja proses press- packing.

6. Ada hubungan antara riwayat penyakit paru dengan fungsi paru pekerja proses

press- packing.

Universitas Sumatra Utara

Anda mungkin juga menyukai