i
BAB II
TINJAUAN TEORI
I. LAHAN BERTRANSIS/BERKONTUR
A. PENGERTIAN LAHAN BERTRANSIS/BERKONTUR
1. Lahan
Menurut Purwowidodo (1983) lahan mempunyai pengertian: suatu
lingkungan fisik yang mencakup iklim, relief tanah, hidrologi, dan tumbuhan
sampai batas tertentu akan mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan.
Lahan juga diartikan sebagai permukaan daratan dengan benda-
benda padat, cair bahkan gas (RafiI, 1985). Definisi lain juga dikemukakan
oleh Arsyad yaitu lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas
iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang diatasnya sepanjang
ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan, termasuk didalamnya hasil
kegiatan manusia dimasa lalu dan sekarang seperti hasil reklamasi laut,
pembersihan vegetasi dan juga hasil yang merugikan seperti yang
tersalinasi. (FAO dalam Arsyad, 1989)
Selain itu lahan memiliki pengertian yang hampir serupa dengan
sebelumnya bahwa pengertian lahan adalah suatu daerah dipermukaan
bumi dengan sifat-sifat tertentu yang meliputi biosfer, atmosfer, tanah,
lapisan geologi, hidrologi, populasi tanaman dan hewan serta hasil kegiatan
manusia masa lalu dan sekarang, sampai pada tingkat tertentu dengan
sifat-sifat tersebut mempunyai pengaruh yang berarti terhadap fungsi lahan
oleh manusia pada masa sekarang dan masa yang akan datang. (FAO dalam
Sitorus, 2004)
2. Lahan Bertransis
Pengertian tanah bertransis adalah tanah yang memiliki
topografi/ketinggian yang berbeda-beda. Sedangkan lahan bertransis
adalah lahan dengan topografi/ketinggian yang berbeda-beda atau tidak
sama. Lahan bertransis juga dapat diartikan sebagai lahan yang memiliki
kemiringan tertentu.
Menurut Purwowidodo (1983), site bertransis atau tapak dengan
kontur miring merupakan sebuah site yang memiliki garis kontur yang
terdapat pada daerah daerah perbukitan, pegunungan dan daerah lainnya
yang memiliki level kemiringan yang bervariasi.
1
B. KARAKTERISTIK LAHAN BERTRANSIS
a. Daerah yang datar yang cukup luas dapat dikatakan tidak ada.
b. Permukaan datar harus dibuat dengan metode cut and fill seperlunya agar
tidak mengurangi karakter dari tapak tersebut.
c. Dalam melakukan metode fill diperlukan pemadatan tanah yang dapat
diukur berdasarkan perhitungan sigma daya dukung tanah. Pemadatan
dapat dilakukan setiap 30 cm agar bangunan tidak terjadi penurunan
pondasi secara mekanis menggunakan alat pemadat tanah (stamper).
d. Tapak miring memiliki orientasi ke arah luar dan arah bawah sehingga
memiliki potensi peletakan bangunan yang langsung menghadap ke arah
view.
e. Site yang miring mempunyai kualitas landscape yang dinamis sehingga
dapat dibuat permainan atas elemen elemen landscape sehingga
berpengaruh pula pada elemen tampak bangunan yang menuntut
kreativitas positif seperti misalnya dengan membuat permainan garis garis
yang kuat, kombinasi dan komposisi dinamis serta pengolahan sudut denah
yang yang bervariasi.
f. Site cocok untuk bentuk-bentuk bangunan yang dinamis dan sifat bangunan
yang informal.
Site yang miring memberikan view yang menarik seperti pemandangan
alam dan lautan sehingga dapat mempengaruhi suasana dalam ruangan
misalnya dimensi pemandangan alam yang biru dan hijau dapat menjadi
unsur pelengkap dalam suatu ruangan melalui berbagai bukaan seperti
teras ataupun jendela kaca yang merupakan hubungan visual semata.
g. Site yang miring menimbulkan persoalan drainase sehingga diperlukan
pengolahan drainase yang khusus. (Hernandez, 2017)
2
C. KLAFISIKASI KEMIRINGAN TANAH
Kemiringan lereng adalah perbandingan antara tinggi (jarak vertikal) suatu
lahan dengan jarak mendatarnya. Biasanya kemiringan lereng dapat dinyatakan
dalam satuan (%). Kemiringan lereng merupakan ukuran kemiringan lahan
relative terhadap bidang datar yang secara umum dinyatakan dalam persen atau
derajat. Kecuraman lereng, panjang lereng, dan bentuk lereng semuanaya akan
mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan. Berikut ini beberapa
klasifikasi kemiringan lereng.
3
Tabel Pembagian Kemiringan Lereng Berdasarkan Klasifikasi USSM dan USLE
KEMIRINGAN KEMIRINGAN KETERANGAN KLASFIKASI KLASFIKASI
LERENG () LERENG (%) USSM (%) USLE (%)
<1 0-2 Datar-Hampir Datar 0-2 1-2
1-3 3-7 Sangat Landai 2-6 2-7
3-6 8-13 Landai 6-13 7-12
6-9 14-20 Agak Curam 13-25 12-18
9-25 21-55 Curam 25-55 18-24
25-65 56-140 Sangat Curam >55 >24
>65 >140 Terjal
Sumber: USSM (United Stated Soil System Management) dan USLE (Universal Soil Loss
Equation)
4
D. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN LAHAN BERKONTUR
Berikut ini kelebihan lahan berkontur:
a. Landscape/Pemandangan yang Indah dan Orientasi Bangunan Keluar
Dari beberapa keuntungan yang ada, bahwa lahan berkontur jelas akan
mendapatkan view lebih baik dari pada view di lahan datar, karena view
akan lebih jelas disebabkan permukaan di lahan berkontur akan
mendapatkan ketinggian yang dapat dimanfaatkan menjadi over view.
b. Memiliki Daya Tarik Tersendiri
Dari keuntungan kontur lebih rendah atau lebih tinggi dapat dimanfaatkan
sebagai over view yang mengarahkan pada lingkungan tapak yang lebih
rendah. Dengan lahan berkontur akan menciptakan suasana lingkungan
tapak lebih dinamis apalagi bila ini dapat dibawa kedalam olahan tapak
pada bangunan. Bangunan di lahan berkontur akan lebih gaya baik secara
visual bila direncanakan dan dirancang dengan baik.
c. Adanya Kesan Tiga Dimensi (3D)
Kelebihan lahan berkontur dapat membuat bangunan
tingkat/berlantai banyak terlihat tidak setinggi rumah di lahan yang datar.
Karena sebagian lantai tertutupi oleh lahan yang lebih tinggi atau karena
adanya bassement pada lantai yang dibawah lahan berkontur diatasnya.
Tapi sebaliknya bila rumah berada di lahan berkontur lebih tinggi dari jalan
dan sekitarnya maka rumah akan terlihat tinggi. Lahan berkontur yang
mempunyai perbedaan ketinggian kontur yang signifikan dapat mengurangi
ketinggian dari bangunan bertingkat, karena sebagian lantai akan berada di
permukaan lahan yang lebih rendah.
Bangunan yang dibangun di atas tanah berkontur akan sangat kaya
kreasi ruang, mengingat pemanfaatan lahan di tanah berkontur
menciptakan ruang yang dapat tersembunyi di antara ruang lainnya. Di
atas tanah berkontur akan terlihat hanya dua lantai karena satu lantai
lainnya berfungsi seperti basement atau lantai bawah tanah.
Dari sisi teknis dan sisi non-teknis, secara visual banguanan yang
hanya memiliki satu lantai agak membosankan, datar dan tidak ada bentuk
atau sudut yang bisa diekspose dengan gaya unik dan mengasyikan.
Sementara bangunan dengan tanah yang berkontur dapat dimodifikasi tiap
ruangnya yang disesuaikan dengan kontur tanah. Di samping itu bentuknya
pun akan bertambah gaya.
d. Rancangan Bersifat Dinamis
Kelebihan lahan bertransis terhadap bangunan adalah rancangan bersifat
dinamis. Pada lahan bertransis dapat membuat bangunan split level,
bangunan sistem raam. Kedua jenis rancangan ini menjadikan bangunan
nampak lebih dinamis. Split level memberikan variasi suasana interior yang
unik. Karena, ketinggian lantainya yang berbeda-beda untuk setiap
ruangan, memberikan sekuen perjalanan yang menarik, selain pembeda
antar ruang yang lebih tegas melalui ketinggian.
5
e. Terdapat Banyak Sistem dan Bahan Konstruksi yang Dapat Digunakan dalam
Merancang di Lahan Bertransis
Banyak sistem dan bahan kontruksi yang dapat digunakan untuk
mengatasi tanah berkontur, baik yang alami atau buatan. Yang terpenting
penggunaannya harus tepat dan sesuai dengan kondisi lingkungan dan
kemampuan dari lahan. Bahan-bahan tersebut bisa pondai terassering
buatan dengan batu dan beton atau dengan terassering dari bahan alami
yaitu dari pohon dan rerumputan.
Menggunakan sistem dan bahan alami akan meminimalisasikan biaya
pembanguan. Selain itu dengan menggunakan pilihan bahan yang alami
pada lahan miring, seperti pohon dan rumput dapat membuat lingkungan
menjadi lebih asri dan lahan tersebut dapat menjadi resapan air hujan.
f. Mempermudah Sistem Drainase
Salah satu pengaruh yang baik lahan berkontur adalah dapat dengan
mudah untuk sistem drainase. Dengan lahan yang berkontur, berarti lahan
tersebut mempunyai kemiringan tertentu sehingga dapat digunakan untuk
kemudahan menyalurkan air.
6
E. PENGOLAHAN LAHAN BERKONTUR UNTUK BANGUNAN
Pengolahan muka tanah pada lahan betransis dapat juga disebut grading.
Grading yaitu pengolahan lahan dengan cara pelandaian sebagian permukaan
tapak untuk memudahkan pekerjaan konstruksi. Grading tanah adalah
meratakan kemiringan tanah tertentu guna memberi kemungkinan desain lantai
bangunan yang bersifat fleksibel(mudah dicapai).
Tujuan dari pengolahan/peragcangan bangunan pada lahan
bertransis/berkontur mencakup banyak hal. Penggunaan grading tanah sangat
mempengaruhi proses perancangan dan desain dari arsitektur tersebut.
Beberapa tujuan grading antara lain adalah:
a. Mengembangkan tapak bangunan yang menarik dan unik, sesuai
dengan bentuk tanah.
b. Memberikan pencapaian yang aman, nyaman dan fungsional sesuai
tapak baik untuk tujuan fungsional maupun pemeliharaan.
c. Membagi aliran air permukaan dan air bawah permukaan menjauhi
bangunan dan perkerasan trotoar untuk menghindari kejenuhan lapisan
dasar yang dapat merusak struktur bangunan atau melemahkan
perkerasan.
d. Mempertahankan bentuk kontur sehingga tidak merubah letak peil tanah
dalam rangka mempertahankan aset alam di atasnya.
7
Gambar Sistem Cutting
Sumber : Membangun Rumah di Lereng dan Perbukitan, Heinz Frick
2. Sistem Filling
a. Kontur tertinggi dekat dengan lereng dipilih sebagai ketinggian site
permukaan yang rata.
b. Kontur dipindahkan ke bagian bawah site.
c. Kontur sisanya menyesuaikan supaya tidak ada garis kontur existing
yang melintang pada site.
d. Sistem drainase harus direncanakan dengan baik, karena jika sistem ini
tidak bekerja, air akan bergerak menuruni bukit mengalir melawan
pola kontur sehingga mempengaruhi struktur bangunan.
Kelebihan sistem ini adalah terciptanya suatu site yang datar sehingga
dapat dimanfaatkan sebagai ruang-ruang efektif. Sedangkan kekurangannya
adalah pemborosan biaya transortasi karena untuk keperluan urugan
harus mendatangkan tanah dari tempat lain.
8
3. Cut and Fill
Cut dan Fill yaitu memindahkan sebagian tanah untuk mengisi tanah
di bagian yang lain. Untuk mengolah perancangan bangunan di atas tanah
miring dapat dilakukan cut and fill (gali dan uruk). Istilah ini mengandung
arti bahwa dilakukan pemotongan atau penggalian dan pengisian atau
pengerukan semata-mata pada keperluan untuk mempermudah
meletakkan lantai-lantai bangunan, agar dapat menciptakan ruangan-
ruangan di kemiringan permukaan tersebut. Jadi, metode cut and fill sama
sekali tidak meratakan total kemiringan tanah, tetapi harus diartikan
mengolah rancangan bangunan atau rancangan potongan dengan sejauh
mungkin memanfaatkan potensi-potensi dan kemungkinan-kemungkinan
khas yang diberikan oleh kemiringan tanah tersebut.
Kelebihan sistem ini adalah adanya keseimbangan kuantitas tanah
pas site yang dieliminasi untuk kebutuhan pengurugan dan penggalian. Hal
ini dikerjakan dengan membuat ketinggian site berada di antara kontur
terendah dan tertinggi.
4. Panggung
Mendirikan bangunan di atas struktur panggung, sehingga
didapatkan suatu bangunan yang datar, tanpa merusak kontur tanah.
Menggunakan sistem bangunan di atas tanah dengan bantuan
penopang agar pemukaan tanah yang asli tidak terganggu.
9
5. Split Level dan Sengkedan/Terasering
Menurut Frick (2006:58-59), berkaitan dengan pembangunan rumah
di lerengan perlu dijelaskan dua istilah yang sering disalahgunakan, yaitu:
a. Split-level berarti rumah yang karena topografi tanah merupakan
lerengan landai, maka memiliki dua lantai yaitu di bagian bawah dan di
bagian atas lerengan, biasanya dengan beda tinggi setengah tingkat
rumah.
b. Rumah sengkedan (terraced house) merupakan rumah yang karena
topografi tanah merupakan lerengan yang agak terjal, maka memiliki
susunan tingkat rumah yang sesuai garis kontur, dengan beda tinggi
selalu satu tingkat rumah.
10
Sumber: Frick (2003:23)
11
12
Gambar Rumah Split-Level di Lerengan <10%
Sumber: Frick (2003:40-43)
13
14
15
16
Gambar Rumah Sengkedan di Lerengan 10-20 %
Sumber: Frick (2003:43-47)
17
18
Gambar Rumah Sengkedan di Lerengan >20 %
Sumber: Frick (2003:48-50)
19
6. Sistem Penopang
Sistem ini mengunakan retaining wall atau dinding penahan tanah. Dinding
Pondasi lereng diekspos dan berfungsi sebagai retaining wall (dinding
penahan) di bagian bawah atau atas permukaan. Alternatif ini paling banyak
dilakukan meski agak sulit dalam pelaksanaannya.
20
F. PENCEGAHAN EROSI PADA LAHAN BETRANSIS
1. Dinding Penahan Tanah
a. Pengertian dan Fungsi Dinding Penahan Tanah
Dinding penahan tanah merupakan komponen struktur yang
berfungsi sebagai konstruksi penahan tanah untuk jalan, bangunan dan
lingkungan yang berhubungan tanah berkontur atau tanah yang
memiliki elevasi berbeda. Dinding ini dibangun untuk menahan
pergerakan massa tanah miring di atas struktur atau bangunan yang
dibuat guna mencegah terjadinya erosi. Beberapa faktor yang perlu
diperhatikan dalam rancangan dinding penahan tanah adalah.
a. Faktor kekuatan struktur, besarnya tekanan tanah yang sangat
dipengaruhi oleh kondisi fisik tanah, sudut geser, dan kemiringan
tanah terhadap bentuk struktur dinding penahan.
b. Faktor bentuk dan struktur, yaitu berkaitan dengan keperluan dan
kondisi lingkungan.
c. Faktor penampilan luar, yaitu berkaitan dengan estetika,
kesesuaian dengan lingkungan dan kearifan lokal.
Empat jenis dari sistem dinding penahan tanah tersebut yaitu.
a. Jenis dan sistem dinding gravitasi (gravity walls)
b. Jenis dan sistem dinding kantilever (cantilever walls)
c. Jenis dan sistem dinding pancang (sheet piling walls)
d. Jenis dan sistem dinding jangkar (anchored walls).
21
b. Dinding Penahan Tanah Gaya Berat Tinggi
Pada dinding penahan tanah gaya berat tinggi, bobot dinding
penahan tanah menyalurkan beban tanah ke pondasinya. Jika dinding
penahan tanah gaya berat tinggi dibuat dari batu kali, perencanaannya
berdasarkan kaidah bahwa lebar landasan seharusnya minimal
setengah dari tingginya. Pada dinding penahan tanah gaya berat tinggi
dari beton, ukuran beton harus dipilih sedemikian rupa sehingga
resultan dari tekanan tanah dan bobot dinding penahan tanah pada
dasar pondasi masih berada di dalam penampang lintang dinding
tersebut.
22
Konstruksi dinding penahan tanah gaya berat tinggi dapat juga
dibuat, selain dari batu kali atau beton, dari beronjong (gabion) berupa
keranjang panjang terbuat dari kawat kasa baja yang diisi batu-batu,
dengan elemen prakilang dari beton (elemen sendok beton) atau ban
bekas mobil (yang dua-duanya dapat diisi dengan tanah dan tanaman).
23
Disamping menghemat bahan bangunan beton, dinding penahan
tanah siku memusatkan saluran beban tanah pada pertengahan dasar
pondasi yang penting pada keadaan tanah yang kurang stabil.
Kelemahan konstruksi dinding penahan tanah siku memerlukan
penggalian tanah yang sangat besar.
24
Sumber: Frick (2003:9-10)
25
Semua tumbuhan memiliki sifat-sifat khusus menurut keadaan tanah,
iklim, persediaan air, dan komunitas alam dalam ekosistem setempat. Oleh
karena itu, pilihan jenis tanaman sangat penting jika erosi lerengan hendak
dicegah secara berkesinambungan.
1) Pencegahan Erosi Lerengan Sederhana
Dengan menggunakan cangkok yang mudah bertunas dan
berakar tunjang sebagai pagar anyaman tangkai dalam tanah, sebagai
sisipan cangkok perdu atau berkas tangkai terikat (fascine), erosi
lerengan dapat dicegah sebagai berikut: (Frick, 2006: 29)
Pembangunan sisipan cangkok perdu sebaiknya dilakukan
dengan kerja tangan. Pencegahan erosi lerengan dengan
pembangunan sisipan cangkok perdu yang akan mengikat lerengan
gunung.
26
2) Pencegahan Erosi dengan Menggunakan Bahan Tambahan
Pencegahan erosi dengan menggunakan bahan tambahan dapat
dilakukan dengan menggunakan pagar palisade (pengembang pagar
anyaman tangkai), dengan bantalan hijau tunggal maupun berganda,
atau dengan beronjong (gabion) yang ditanami.
Kemungkinan lain adalah penggunaan geotekstil. Geotekstil
bukan merupakan lembaran plastic (foil) atau karung plastik,
melainkan semacam jaringan yang dibuat dari bahan polimer atau
tenunan kasar dari tali goni.
27
Kemungkinan lain untuk mencegah erosi ialah penggunaan
jaringan baja tulangan atau concrete lawn block yang diletakkan pada
lerengan dengan kemiringan 2:3. Jaringan baja tulangan dipaku
dengan kaitan baja tulangan ke dalam lerengan, sedangkan concrete
lawn block dipaku dengan cangkok yang mudah bertunas dan berakar.
Kemudian jaringan baja tulangan maupun concrete lawn block diisi
dengan tanah subur sehingga perdu akan bertumbuh dengan baik dan
mengikat lerengan dengan akarnya.
28
3) Pilihan Perdu yang Baik terhadap Erosi Tanah
Perdu yang baik terhadap erosi tanah dan untuk mencegah
kelongsoran dengan akarnya dapat:
a. Ditanam sebagai tiang pagar anyaman tangkai atau palisade;
b. Diletakkan sebagai cangkok pada sisipan perdu, bantalan hijau
atau di antara beronjong (gabion); atau
c. Diikat sebagai berkas tangaki dan cangkok terikat (fascine).
Tentu saja setiap perdu memiliki sifat-sifat khusus menurut
keadaan tanah, iklim, persediaan air, serta komunitas alam dalam
ekosistem setempat. Beberapa contoh perdu yang dapat dimanfaatkan
adalah:
a. Pete cina (Leguminosae leucaena glauca);
b. Janti (Leguminosae sesbania sesban);
c. Yang Lioe (Salicaeae salix tetrasperma atau salix babylonica);
d. Kembang Jepun (Apocynaceae thevetia peruviana);
e. Kersen (Rosaceae prunus cerasus);
f. Nangka (Artocarpus integra), atau
g. Nimba (Meliaceae azadirachta indica) dan lain-lain.
29
G. PILIHAN STRUKTUR BANGUNAN DAN FONDASI YANG TEPAT GUNA
Menurut Frick (2006:59-61), untuk membangun rumah di lerengan
gunung dapat menggabungkan penggolongan rumah secara fenomenologis
dengan organisasi ruang, lingkungan alam (dalam hal ini terutama topografi)
sesuai dengan struktur bangunan yang dipilih. Perbedaan fondasi pada tapak
bangunan datar dan tapak bangunan berlereng diuraikan dalam tabel berikut.
30
Sumber: Frick (2003:37)
31
H. PENCAPAIAN LAHAN BANGUNAN (PERENCANAAN JALAN)
Perencanaan jalan pencapaian pada lereng gunung jangan didemensikan
menurut kebutuhan pada masa pembangunan (supaya truk besar dapat naik)
melainkan sesuai kebutuhan penghuni (dapat dicapai dengan mobil sedan dan
sebagainya). Hal ini berarti bahwa pada umumnya jalan tidak perlu lebih lebar
dari pada 3.00-3.50 m dengan kekuatan 3.5 ton. Untuk transportasi bahan
banguanan berat (pasir, krikil, beton, dan sebagainya) dapat dimanfaatkan
peralatan sementara (jika dari atas ke bawah cukup dipasang pipa paralon 400
mm, jika dari bawah ke atas perlu dibangun kereta kabel yang sederhana).
32
Sumber: Frick (2003:19)
33
Perlu diperhatikan bahwa pada tikungan balik tajam jalan harus
dikurangi (menjadi separo dari tanjakan jalan biasa). Penentuan potongan
lintang jalan pada umumnya direncanakan sedemikian rupa sehingga
banyaknya tanah yang digali sedapat mungkin dibuat sama dengan
banyaknya tanah yang diperlukan untuk menimbun.
34
Selokan air hujan tersebut di buat di saming bahu jalan di mana
kemiringan melintang menyalurkan air hujan. Di daerah pegunungan
selokan tersebut selalu terletak pada bagaian jalan yang menyinggung
lereng gunung. Selokan dapat dibuat dari tanah saja atau batu.
Selokan air hujan dan air limbah yang paling sederhana di buat
dengan menggali kedalam tanah dengan kemiringan <45o terhadap bahu
jalan dengan kedalaman 30-50 cm.
35
Sumber: Frick (2003:22)
36
I. PERTIMBANGAN MEMBANGUN DI LAHAN BERKONTUR
Tanah berkontur atau tidak rata sering kita temui di wilayah perbukitan
dan pegunungan. Bagi sebagian orang, kondisi tersebut selain sulit
pengolahaannya, konstruksi strukturnya haruslah super ekstra. Sisi lainnya,
lahan berkontur juga memiliki nilai positif yang dapat menjadi inspirasi
tersendiri. Hunian yang dibangun di atas tanah berkontur akan sangat kaya
kreasi ruang, jika penataannya tepat. Mengingat pemanfaatan lahan di tanah
berkontur menciptakan ruang yang dapat tersembunyi di antara ruang lainnya.
Misalnya rumah tinggal berlantai tiga, akan terlihat hanya satu lantai dari sisi
berbeda. Sedangkan dari sisi samping, akan terlihat hanya dua lantai karena satu
lantai lainnya berfungsi seperti basement atau lantai bawah tanah. Padahal,
basement ini memanfaatkan tanah yang cekung dari permukaan.
Hunian di atas tanah tidak rata juga memiliki keunikan dibandingkan
dengan rumah berlantai satu (tanpa lantai atas), yang berada di atas tanah tidak
berkontur. Rumah berlantai satu memang tidak meletihkan karena tidak ada
tangga yang setiap saat akan mengantarkan tubuh kita dari lantai satu ke lantai
yang lain. Keunikan lain yang tidak di dapat lahan datar adalah
pemandangannya. Pada lahan ini muka bangunan akan dapat terbentuk menjadi
dua sisi. View yang dihasilkan pun jauh lebih menarik.
Untuk menghasilkan desain arsitektur yang baik dari segi konstruksi,
langkah pertama yang harus diketahui adalah kepadatan tanahnya dan
kedalaman kontur tersebut. Hal ini untuk menghindari lantai bangunan yang
tidak rata. Kondisi lahan seperti ini juga akan mempengaruhi banyak aspek mulai
dari pembagian ruang, akses dan jalur sirkulasi, bentuk massa dan atap, struktur
sampai biaya konstruksi pembangunan.
Namun perbedaan ketinggian tanah ini ternyata dapat menjadi nilai
lebih terhadap lokasi bangunan apabila karakteristik topografi tanah menjadi
bagian dari desain bangunannya sehingga menjadi ciri khas hunian. Dalam hal ini
ada beberapa solusi yang dapat diterapkan. Cara paling mudah adalah
meratakan lahan dengan jalan mengeruk tanah yang tinggi dan menimbun
bagian lahan yang rendah (cut and fill). Tahap selanjutnya berlangsung
sebagaimana proses membangun bangunan di lahan yang rata.
Alternatif lain adalah sengaja mengatur ketinggian tanah yang tidak
sama rata di semua bagian lahan. Beberapa bagian dari lahan dapat ditata
menjadi susunan lantai terasering atau split level yang cukup luas sehingga
dapat menampung beberapa ruangan. Desain ini menuntut perhatian ekstra
terhadap hubungan antar lantai dan jalur sirkulasi yang akan mengambil luas
lahan cukup banyak.
Pilihan paling ekstrem adalah membangun rumah panggung yang tidak
mengubah keadaan topografi tanah. Rancangan rumah seperti ini memerlukan
perhitungan konstruksi dan bahan bangunan yang khusus. Apapun solusi
bangunan yang diterapkan, hendaknya ruang-ruang berfungsi sejenis dalam satu
37
bidang lantai dikelompokkan. Contohnya ruang tamu dengan ruang keluarga,
ruang makan dengan pantiy dan kamar tidur yang sejajarkan.
Perhitungkan posisi akses utama dan jalan samping rumah yang paling
mudah dicapai dan langsung dikenali dari arah depan lahan. Desain jalan dan
pintu masuk sebaiknya dibuat menarik. Desain pula alur sirkulasi penghuni
dalam bangunan yang paling efisien, sehingga tidak membingungkan dan tidak
membuat lelah penghuninya. Jika langkah-langkah di atas dapat diterapkan dan
dikembangkan baik. Bangunan di lahan berkontur akan terbentuk menarik.
Untuk lahan berkontur yang akan di bangun, sebaiknya tetap
mempertahankan kondisi eksisting lahan. Hal ini salah satu cara adalah dengan
menyesuaikan desain bangunan dengan kondisi lahan. Penggalian dan
pengurugan memang akan diperlukan, namun hanya sebagian kecil, tidak untuk
meratakan kondisi lahan berkontur secara keseluruhan. Ketinggian pada desain
bangunan akan mengikuti tinggi kontur, sehingga beberapa ruang memiliki
kemungkinan berada pada ketinggian yang berbeda. Perbedaan ketinggian
dalam ruang ini dikoneksikan atau dihubungkan dengan beberapa anak tangga
atau ramp.
Desain bangunan di lahan berkontur memiliki nilai seni atau artistik yang
tinggi jika didesain secara baik. Fungsi ruang publik dan ruang privat dalam
hunian dapat dibatasi melalui perbedaan tinggi ruang, Hal ini biasa disebut
dengan pembatas imajiner, dimana fisik pembatas tidak selalu terlihat, seperti
pembatas menggunakan dinding, namun dapat dilakukan tanpa dinding dengan
perbedaan ketinggian lahan. Beberapa ruang dalam bangunan mendapatkan
view yang berbeda, ini menambah pengalaman pengguna dalam ruang,
pengguna dapat menemukan view baru antar ruang sehingga mengurangi rasa
bosan ketika seharian berada dalam bangunan.
Dalam merancang, acapkali dijumpai site dengan topografi berkontur.
Secara normatif, lahan dengan kelerengan > 25% diperuntukkan sebagai
kawasan penyangga, kelerengan > 40% dinyatakan sebagai kawasan konservasi.
Bila menginginkan lahan dengan karakter tersebut, arsitek secara cerdik dan
bijaksana harus mengikuti kemauan dan kemampuan alamiah dari site tersebut
sehingga dalam pembangunan dan operasionalisasi bangunan/kawasan tidak
memerlukan terlalu banyak energi. Mengolah lahan berkontur dengan split level
secara benar untuk ruang dalam maupun ruang luar dapat menunjukkan tingkat
kepedulian arsitek terhadap masalah lingkungan, pemborosan materi dan
energi, serta kepiawaiannya berarsitektur.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membangun hunian di atas
tanah yang berkontur:
a. Perhatikan kondisi sekeliling lahan, taksir kekuatan tanahnya dengan jalan
memperhatikan pepohonan yang ada dan pertimbangkan pepohonan
tersebut dapat difungsikan tanpa harus ditebang.
38
b. Pilih bagian yang paling landai (agak datar) di dalam tapak karena disitulah
tempat terbaik untuk mendirikan bangunan utama dan ruang utama,
setelah itu baru pilih daerah lain untuk bangunan tambahan lainnya.
c. Jika memungkinkan, bagilah bangunan menjadi beberapa fungsi bagian
bangunan yang berdiri sendiri-sendiri untuk menciptakan suasana resort.
d. Perbanyak bukaan yang menghadap ke arah lembah dan puncak agar
panorama alam tertangkap secara maksimal.
e. Kontur yang terjal dan tak beraturan dapat dimanfaatkan untuk jalur
jogging.
f. Gunakan bahan-bahan alami baik bahan dasar bangunan maupun finishing.
g. Apabila anda mengharapkan singgle building maka panjang dan lebar
bangunan jangan dimaksimalkan, sehingga masih ada area terbuka.
h. Manfaatkan beda ketinggian dengan sistem split level, keuntungan split
level anda akan mendapatkan view yang lebih luas tanpa halangan.
i. Untuk fasilitas publik sebaiknya gunakan ruangan tanpa dinding ataupun
tanpa atap karena anda akan merasa menyatu dengan alam.
Berikut ini tips dari tim Archira untuk anda yang ingin membangun di atas
tanah berkontur:
a. Menyesuaikan bangunan dengan kontur tanah, sebaiknya bangunan yang
akan dibangun mengikuti lekukan tanah yang ada.
b. Cek kepadatan tanah untuk membangun pondasi bangunan.
c. Penggunaan split level akan membuat bangunan lebih menarik.
d. Jika kontur tajam, sebaiknya memanfaatkan ruang pada kontur menjadi
bagian dari bangunan.
e. Menyesuaikan posisi split level untuk mendapatkan view yang terbaik.
f. Memilih material yang kuat secara konstruksi untuk menopang bangunan
g. Menganalisis kondisi iklim sekitar sebelum menentukan desain bangunan
h. Memperhatikan jalur buangan air dan sumber air pada site, untuk menjadi
pertimbangan dalam membuat sistem drainase.
i. Jika menginginkan split level yang landai, sebaiknya menggunakan
sistem cut and fill pada kontur, sehingga bisa disesuaikan dengan desain
bangunan.
j. Mempertimbangkan pula posisi dan bentuk sirkulasi agar tidak menyulitkan
pengguna bangunan.
39
II. LAHAN KRITIS
A. DEFINISI LAHAN KRISTIS
Menurut Poerwowidodo (1990), memandang bahwa: Lahan kritis adalah
suatu keadaan lahan yang terbuka atau tertutupi semak belukar, sebagai akibat
dari solum tanah yang tipis dengan batuan bermunculan dipermukaan tanah
akibat tererosi berat dan produktivitasnya rendah.
Menurut Kuswanto, dalam Hanipah (2005:14) dijelaskan; Lahan kritis
adalah lahan yang telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia,
atau biologi yang akhirnya dapat membahayakan fungsi hidrologi, gieologi,
produksi pertanian, pemukiman, dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah
lingkungan pengaruhnya.
Lahan kritis merupakan lahan yang tidak produktif dengan kondisi yang
tidak memungkinkan untuk dijadikan lahan pertanian tanpa usaha atau input
yang tinggi, yang dicirikan oleh proses pengikisan yang sangat cepat, sehingga
lapisan tanah semakin lama semakin tipis serta lapisan lahan tersebut
mengalami penurunan fungsi hidrologis, giologis, produksi pertanian dan sosial
ekonomi.
40
3. Lahan Potensial Kritis
Lahan potensial kritis adalah lahan yang masih produktif untuk pertanian
tanaman pangan tetapi apabila pengolahannnya tidak berdasarkan
konservasi tanah yang baik, maka akan cenderung rusak dan menjadi semi
kritis/lahan kritis. Ciri lahan potensial kritis adalah:
a. Pada lahan belum terjadi erosi, namun karena keadaan topografi dan
pengolahan yang kurang tepat maka erosi dapat terjadi bila tidak
dilakukan pencegahan,
b. Tanah mempunyai kedalaman efektif yang cukup dalam (>20 cm),
c. Persentase penutupan lahan masih tinggi (> 70% ),
d. Kesuburan tanah mulai dari rendah sampai tinggi.
41
C. FAKTOR LAHAN KRITIS
1. Kekeringan/ Tandus
42
2. Tergenang Terus Menerus/Rawa
Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yang terkandung di
dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara
alami dilahan yang relative datar atau ccekung dengan endapan mineral atau
gambut, dan ditumbuhi vegetasi, yang merupakan suatu ekosistem. (PP 73
Tahun 2013 tentang Rawa)
Lahan rawa lahan yang terkena pasang surut atau banjir biasanya tidak
merupakan lahan yang subur, dan jika dibangun rumah di tempat tersebut,
terutama yang dipesisisr, secara ekologis merupaka lahan yang
keanekaragaman hayatinya paling kaya, jika lahan rawa yang berfungsi
sebagai sepon yang mengatur kelebihan air dari darat (banjir) dan kelebihan
air dari laut (pasang purnama dan rob) akan ditimbun tanah untuk
pembangunan, maka pengaturan banjir dan rob serba ekosistem akan rusak.
Sebaiknya pada lahan tersebut digunakan rumah panggung. (Frick, 1998:67)
Menurut Frick (1998:66) secara tradisional di Asia Tenggara
pembangunan di daerah rawa bisa dengan menggunakan rumah panggung.
Rumah panggung (platform houses) biasanya dibangun diats tiang setinggi
60-300 cm, sedangkan rumah tonggak (houses on stilts) biasanyan lebih
tinggi.
43
3. Mengalami Erosi
Gambar Erosi
Sumber: ilmudaninfo.com
Erosi adalah peristiwa terangkutnya tanah atau bagian tanah dari suatu
tempat yang diangkut oleh air atau angina ke tempat lain dengan media
alam. Pada daerah dengan iklim tropis basah agen utama erosi adalah air.
Sedangakan pada daerah yang beriklim tropis kering agen utama erosinya
adalah angin. Secara umum proses erosi oleh air terjadi melalui tiga
kombinasi proses yaitu:
a. Penghancuran struktur tanah menjadi butir-butir primer oleh energi
kinetik hujan yang kemudian diikuti oleh perendaman air yang
tergenang.
b. Pengangkutan butir-butir primer tanah tersebut oleh air melalui
limpasan (runoff), partikel bergerak melalui arah lereng
c. Proses sedimentasi butir-butir tanah yang terangkut, proses ini terjadi
setelah energy aliran permukaan menurun. Partikel yang mempunyai
massa yang lebih berat mengalami sedimentasi lebih awal.
44
4. Kesalahan Design
45
D. PARAMETER PENENTUAN LAHAN KRITIS
Sejak tahun 1974 hingga 1994 penentuan lahan kritis ditentukan oleh
parameter penutup vegetasi, tingkat torehan/kerapatan, penggunaan
lahan/vegetasi dan kedalaman tanah. Pada tahun 1998 dilakukan perbaikan
dalam penentuan lahan kritis, dimana sasaran lahan yang dinilai adalah lahan-
lahan dengan fungsi lahan yang ada kaitannya dengan kegiatan reboisasi dan
penghijauan, yaitu fungsi kawasan hutan lindung, fungsi kawasan lindung diluar
kawasan hutan, dan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian. Menurut
Ditjen RRL (dalam Nugroho, 2000:74). Dengan demikian penilaian lahan kritis di
setiap tempat harus mengacu pada kriteria yang ditetapkan dan sesuai dengan
fungsi tempat tersebut. Besaran nilai bobot tingkat kekritisan lahan diperoleh
dari hasil perkalian antara bobot dan nilai skor.
Parameter fisik lahan berupa kelas lereng, jenis tanah, geologi, curah
hujan serta karakteristik DAS menentukan peran yang sangat penting. Hal ini
berkaitan erat dengan penentuan kriteria lahan kritis sebagai sasaran utama dari
arahan RTL RLKT. Metode yang dilakukan adalah melakukan tumpang susun
(overlay) secara spatial masing-masing data tersebut untuk kemudian dilakukan
pembobotan (skoring). Adapun parameter yang akan dilakukan pembobotan
adalah sebagai berikut:
1. Tipe Iklim (Curah Hujan)
a. Tipe iklim, dianalisis berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan
Ferguson. Data hujan bulanan selama 10 tahun terakhir dikelompokkan
dalam bulan kering (curah hujan bulanan <60 mm), bulan lembab (curah
hujan bulanan antara 60-100 mm) dan bulan basah (curah hujan bulanan
> 100 mm). Penentuan tipe iklim didasarkan pada nilai Q yang dihitung
dengan rumus:
Q = (BK/BB) x 100%
Keterangan:
BK = Jumlah bulan kering dalam satu periode analisis (bulan)
BB = Jumlah bulan basah dalam satu periode analisis (bulan)
Selanjutnya penentuan tipe iklim didasarkan pada kriteria Schmidt &
Ferguson.
b. Intensitas Hujan
Intensitas hujan (I) dihitung berdasarkan curah hujan rata-rata dalam
satu tahun dan hari hujannya, sebagai berikut:
I = CH/HH
Keterangan :
CH = Curah hujan rata-rata dalam satu tahun
HH = Hari hujan rata-rata dalam satu tahun
46
Tabel Klasifikasi Intensitas Curah Hujan
Kelas Intensitas Intensitas Curah hujan
Klasifikasi CH
Curah Hujan (mm/hari)
1 < 13,6 Sangat rendah
2 13,6 20,7 Rendah
3 20,7 27,7 Sedang
4 27,7 34,8 Tinggi
5 > 34,8 Sangat Tinggi
2. Kelas Lereng
Bentuk lahan dan ketinggian tempat dianalisis secara deskriptif
berdasarkan Peta Topografi dengan memperhatikan pola dan ketinggian
garis kontur. Kelas lereng diklasifikasikan sesuai dengan kerapatan garis
kontur. Pada bagian yang berbukit/bergunung selain dengan analisis
kerapatan kontur, penetapan kelas lereng juga dilakukan secara sistematis
dengan melihat puncak atau punggung bukit/gunung. Panjang lereng
ditentukan berdasarkan pengamatan di lapangan dengan memprediksi rata-
ratanya pada masing-masing kelas lereng dan lokasinya.
Tabel Klasifikasi Kelas Lereng
Kelas Kondisi Klasifikasi
Lereng Di Peta Di Lapangan Lereng
1 Jarak kontur > 6,25 mm 0%-8% Datar
2 Jarak kontur 3,33 - 6,25 mm 8 % - 15 % Landai
3 Jarak kontur 2,00 - 3,32 mm 15 % - 25 % Agak curam
4 Jarak kontur 1,25 1,99 mm 25 % - 40 % Curam
5 Jarak kontur < 1,25 mm > 40 % Sangat Curam
3. Jenis Tanah
Pengolahan data jenis tanah adalah dengan pendekatan terhadap
kepekaan jenis tanah tertentu terhadap tingkat laju erosi. Tanah memiliki
struktur dan porositas yang mampu menahan laju aliran permukaan
(surface run off) yang berbeda antara jenis tanah satu dengan lainnya.
Semakin kuat jenis tanah menahan laju aliran permukaan maka
kepekaannya semakin rendah, sebaliknya semakin rendah jenis tanah akan
tingkat laju erosi maka kepekaannya semakin tinggi. Berikut adalah
klasifikasi jenis tanah berdasarkan kepekaan terhadap erosi.
Tabel Klasifikasi Kepekaan Jenis Tanah terhadap Erosi
Kelas
Jenis tanah Klasifikasi kepekaan
Tanah
1 Aluvial, glei planosol, hidomorf kelabu,
Tidak peka
laterita air tanah
2 Latosol Aga peka
3 Brown forest soil, noncalsic brown, mediteran Kurang peka
4 Andosol, Laterit, Grumusol, Podsol, Podsolik Peka
5 Regosol,Litosol, Organosol, Renzina Sangat Peka
47
Ketiga parameter fisik lahan tersebut digunakan sebagai dasar
penentuan kriteria lahan kritis, untuk kemudian ditentukan skala prioritas
dalam penanganan program yang akan dilaksanakan. Penentuan kriteria
lahan kritis tersebut disajikan pada diagram alir berikut:
Peta Kelas Lereng (Bobot 20%) Peta Erosi (Bobot 20%)
Kelas Skor Kelas Skor
Datar 5 Ringan 5
Landai 4 Sedang 4
Agak Curam 3 Berat 3
Curam 2 Sangat Berat 2
Sangat Curam 1
Overlay
Peta Tingkat
Kekritisan Lahan
Kawasan Lindung
Tingkat Kawasan Kawasan Budidaya
Di luar Kawasan
Kekritisan Hutan Lindung Pertanian
Hutan
Lahan
Total Skor Total Skor Total Skor
Sangat Kritis 120-180 115-200 110-200
Kritis 181-270 201-275 201-275
Agak Kritis 271-360 276-350 276-350
Potensial Kritis 361-450 351-425 351-425
Tidak Kritis 451-500 426-500 426-500
4. Penutupan Lahan
Data penutupan lahan dari hasil penafsiran citra Alos Prism 2.5 m
tersebut, penutupan lahan di bedakan menjadi tiga kelas penutupan lahan
yaitu kelas penutupan I (kawasan lindung), Kelas penutupan II ( kawasan
konservasi), Kelas penutupan II (kawasan budidaya).
Hasil penafsiran tersebut terdiri dari 23 kelas penutupan lahan yang
selanjutnya dikelompokkan menjadi 3 kelompok penutupan lahan,
berdasarkan tingkat penutupan vegetasinya, yaitu:
48
a. Kelompok Penutupan I: terdiri dari jenis penutupan tanah terbuka,
semak/belukar, pertanian, lahan kering bercampur semak. Kegiatan
yang dapat diarahkan pada kelompok ini adalah kegiatan reboisasi dan
penghijauan.
b. Kelompok Penutupan II: terdiri dari jenis penutupan hutan lahan kering
sekunder, hutan rawa sekunder. Kegiatan yang dapat diarahkan pada
kelompok ini adalah kegiatan pengayaan tanaman.
c. Kelompok Penutupan III: terdiri dari jenis penutupan savana, pertanian
lahan kering, sawah, pertambangan dan pemukiman. Kegiatan
diasumsikan tidak dilakukan pada seluruh areal dan dapat dilakukan
melalui kegiatan teknik konservasi tanah.
Data hasil penafsiran citra tersebut dilakukan pengecekan lapangan
untuk mengoreksi beberapa kesalahan penafsiran, sehingga sesuai dengan
kondisi riil dan perubahan terkini di lapangan.
5. Karakteristik DAS
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang dibatasi oleh
punggung bukit yang mampu menerima, menyimpan aliran air, sedimen
serta unsur hara tanah serta mengalirkannya ke satu titik pertemuan aliran
sungai. Ditinjau dari aspek hidrologi, DAS dapat dipandang sebagai suatu
sistem yang mampu mempengaruhi kondisi suatu lahan atau kawasan.
Adapun parameter fisik DAS yang secara signifikan mampengaruhi
karakteristik lahan adalah bentuk DAS, kerapatan aliran, dan kemiringan
DAS (Seyhan, 1977). Ketiga parameter fisik DAS tersebut berpengaruh
terdapat kondisi aliran permukaan dan erosi, yang kemudian berpengaruh
terhadap distribusi aliran dan kualitas air suatu kawasan DAS. Masing-
masing parameter fisik (morfometri) DAS dikelompokkan dan
diklasifikasikan berdasarkan pengaruhnya terhadap aliran permukaan.
Tabel Bentuk DAS yang Mempengaruhi Aliran Permukaan
Bentuk DAS Karakteristik Kode
Melebar Bentuk DAS melintang arah aliran, sungai I
melebar, pengaruh erosi semakin kecil
Bulat/bujur sangkar Panjang dan lebar lebih kurang sama II
Memanjang Bentuk DAS memanjan searah aliran sungai, III
pengaruh erosi semakin besar
Tabel Kerapatan Aliran Sungai yang Mempengaruhi Aliran Permukaan dan Erosi
Kerapatan Karakteristik Kode
Rapat Kerapatan aliran tinggi, ada banyak cabang I
sungai selain sungai utama, pengaruh erosi
semakin kecil
Agak rapat Kerapatan aliran kurang, sungai agak rapat II
dan hanya terdapat satu sungai utama
Jarang Kerapatan aliran sungai jarang, pengaruh III
aliran permukaan dan erosi menjadi besar.
49
Tabel Kemiringan DAS yang Mempengaruhi Aliran Permukaan
Kemiringan Karakteristik DAS Kode
Datar Pengaruh terhadap aliran permukaan kecil I
Sedang Pengaruh terhadap aliran permukaan sedang II
Curam Pengaruh terhadap aliran permukaan besar III
50
4. Sangat Berat Tanah dalam: Semua lapisan tanah 2
atas hilang lebih dari 25 % lapisan
tanah bawah hilang dan atau erosi
alur pada jarak kurang dari 20 m
Tanah dangkal: > 75 % lapisan tanah
atas telah hilang dan sebagian
lapisan tanah bawah tererosi
51
lapisan tanah atas hilang dan atau
erosi alur pada jarak > 50 m
2. Sedang Tanah dalam: 25-75 % lapisan 4
tanah atas hilang dan atau erosi
alur pada jarak 20 m
Tanah dangkal: 25-50 % lapisan
tanah atas hilang dan atau erosi
alur dengan jarak < 20-50 m
3. Berat Tanah dalam: lebih dari 75 % 3
lapisan tanah atas hilang dan atau
erosi alur pada jarak 20-50 m
Tanah dangkal: 25-75 % lapisan
tanah atas hilang
4. Sangat Tanah dalam: Semua lapisan tanah 2
Berat atas hilang lebih dari 25 % lapisan
tanah bawah hilang dan atau erosi
alur pada jarak kurang dari 20 m
Tanah dangkal: > 75 % lapisan
tanah atas telah hilang dan
sebagian lapisan tanah bawah
tererosi
4 Batuan (5) 1. Sedikit < 10 % 5
2. Sedang 10-30 % 3
3. Banyak > 30 % 1
5 Manajemen 1. Baik Penerapan teknologi konservasi 5
(30) 2. Sedang tanah lengkap dan sesuai dengan 3
3. Buruk petunjuk teknis 1
Tidak lengkap dan tidak dipelihara
Tidak ada
Tabel Tingkat Kekritisan Lahan Pada Kawasan Budidaya untuk Usaha Pertanian
No Tingkat Kekritisan Lahan Besaran Nilai
2. Kritis 201-275
52
Tabel Kriteria Lahan Kritis Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan
N Kriteria (%
Kelas Besaran/Deskripsi Skor Keterangan
o Bobot)
1 Vegetasi 1. Sangat baik >40 % 5 Dinilai
permanen 2. Baik 31-40 % 4 berdasarkan
(50) 3. Sedang 21-30 % 3 prosentase
4. Buruk 10-20 % 2 penutupan
5. Sangat buruk < 10 % 1 tajuk pohon
2 Lereng (10) 1. Datar <8% 5
2. Landai 8- 15 % 4
3. Agak Curam 16-25 % 3
4. Curam 26-40 % 2
5. Sangat >40 % 1
curam
3 Erosi (10) 1. Ringan Tanah dalam: Kurang dari 25 %
lapisan tanah atas hilang dan atau
erosi alur pada jarak 20-50 m
Tanah dangkal: Kurang dari 25 % 5
lapisan tanah atas hilang dan atau
erosi alur pada jarak > 50 m
2. Sedang Tanah dalam: 25-75 % lapisan tanah
atas hilang dan atau erosi alur pada
jarak 20 m
4
Tanah dangkal: 25-50 % lapisan
tanah atas hilang dan atau erosi alur
dengan jarak < 20-50 m
3. Berat Tanah dalam: lebih dari 75 % lapisan
tanah atas hilang dan atau erosi alur
pada jarak 20-50 m
3
Tanah dangkal: 25-75 % lapisan
tanah atas hilang
4. Sangat Berat Tanah dalam: Semua lapisan tanah
atas hilang lebih dari 25 % lapisan
tanah bawah hilang dan atau erosi 2
alur pada jarak kurang dari 20 m
Tanah dangkal: > 75 % lapisan tanah
atas telah hilang dan sebagian
lapisan tanah bawah tererosi
5 Manajemen 1. Baik Penerapan teknologi konservasi 5
. (10) tanah lengkap sesuai petunjuk teknis
2. Sedang Tidak lengkap atau tidak terpelihara 3
3. Buruk Tidak ada 1
53
Pengelolaan lahan kritis pada tingkat petani adalah dengan cara
pembuatan teras dan parit yang mengukuti arah garis kontur kemudian pada
pinggir-pinggir teras ditanami tanaman tahunan yang berfungsi untuk
menguatkan pinggir teras tersebut. Pengembangan metode ini dikaji terap dan
dirintis oleh Care International Indonesia (CII) dan Lembaga Pengembangan
Pertanian Baptis.
Pada tahun 1079 Lembaga Pengembangan Pertanian Baptis (LPPB),
memperkenalkan metode untuk pengelolaan lahan kritis berbukit-bukit.
Pengelolaan lahan kritis berbukit-bukit dilakukan dengan sistem Teras Baptis
atau sering disebut Sloping Agricultural Land Technology (SALT). metode ini
pertama kali dikemukakan di Mindanao Baptist Rural Life Center, di Mindanao,
Filipina. Sistem SALT ini telah berjalan dengan baik dan sampai sekarang
digunakan oleh pemerintah Filipina sebagai cara utama untuk mencegah erosi
tanah. (Rukmana, 1995:18)
Terdapat kesamaan antara metode yang dikembangkan CII dan metode
yang dikenalkan oleh LPPB, keduanya menerapkan sistem teras kontur dengan
enggunakan alat sederhana yang disebut Bingkai A.
Gambar Bingkai A
Sumber: Teknik pengelolaan lahan berbukit dan kritis
54
DAFTAR PUSTAKA
55