Anda di halaman 1dari 4

BBM NAIK : ASING GEMBIRA, RAKYAT SENGSARA?

Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Sommeng
berpendapat, kenaikan harga BBM akan membuka kesempatan luas kepada perusahaan swasta/asing
untuk berbisnis BBM di Indonesia. Kenaikan harga BBM bersubsidi membuat bisnis BBM yang
dilakukan perusahaan asing akan makin berkembang.

Menurut dia, selisih harga yang tinggi antara BBM subsidi dan non-subsidi telah membuat
operator SPBU asing gulung tikar. Kenaikan harga BBM subsidi akan membuat perusahaan asing seperti
PT Shell Indonesia dan PT Total Oil Indonesia makin memperbanyak jumlah SPBU-nya (Liputan6.com,
1/10/2014).

Ini mengingatkan kita pada apa yang disampaikan mantan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro,
Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis
eceran migas Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi Pemerintah.
Sebab, kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.(Kompas,14 Mei
2003).

Jadi harga BBM bersubsidi dinaikkan adalah demi menyelamatkan SPBU asing dari
kebangkrutan. Menaikkan harga BBM makin mendekati harga pasar juga berarti mendatangkan
konsumen ke SPBU-SPBU asing yang selama ini sangat sulit mereka usahakan. Kebijakan inilah yang
ditunggu oleh SPBU asing selama ini.

Karena itu yang pertama-tama senang dengan kenaikan harga BBM itu tidak lain adalah pihak
asing. Apalagi seperti diberitakan Republika (20/11), SPBU asing sudah mulai ramai.

Sebaliknya, yang pertama-tama merasa susah dengan kenaikan harga BBM itu adalah rakyat.
Begitu harga BBM naik, ongkos transportasi langsung naik. Untuk satu keluarga yang terdiri dari empat
orang, kenaikan ongkos yang harus ditanggung bisa mencapai lebih dari Rp 20.000 perhari atau Rp 520
ribu perbulan. Ini baru satu dampak dari kenaikan harga BBM, yaitu kenaikan ongkos angkot. Itu artinya,
kompensasi 200 ribu perbulan perkeluarga jelas jauh dari memadai untuk mengkompensasi kenaikan
harga BBM. Jika penerima kompensasi saja tak terlindungi dari dampak kenaikan harga BBM, apalagi
mereka yang sedikit di atas garis kemiskinan dan tidak mendapat kompensasi. Kenaikan harga BBM juga
membuat semua harga barang dan jasa naik dan biasanya tak mungkin turun lagi.

Berbagai alasan palsu dan mengada-ada sempat keluar dari mulut para aparat pemerintah :

1. Subsidi BBM salah sasaran.


Faktanya, menurut data BPH Migas tahun 2013, pengguna BBM bersubsidi adalah 1% transportasi
laut, 2% untuk keperluan rumah tangga, 5% untuk perikanan dan sisanya 92% untuk transportasi darat.
Besaran 92% transportasi darat itu terdiri dari: 40% sepeda motor, 53% mobil pribadi, 4% mobil barang
(truk dan pick up) dan 3% bus (kata dan data.co.id, 6/6/14).

Pengguna mobil pribadi bukan menghabiskan 53% dari total BBM bersubsidi, tetapi 53% dari 92%,
artinya hanya 48.76%. Selain itu banyak di antara mobil pribadi itu sudah tua. Banyak mobil dipakai
sebagai angkutan baik angkot, minibus, disewakan, angkutan antarjemput atau lainnya; untuk sarana
distribusi produk hasil UKM; bahkan untuk berjualan.

Menurut data Susenas tahun 2010, pengguna BBM sebagian besar adalah kelompok menengah bawah
dan miskin 65% dan menengah 27%. Sisanya, kelompok menengah ke atas hanya 6% dan kaya hanya
2%.

Menurut data Korp Lalu Lintas Kepolisian RI, jumlah kendaraan yang beroperasi di seluruh
Indonesia tahun 2013 adalah 104,211 juta unit; terdiri dari 86,253 juta unit (82,7%) sepeda motor, 10,54
juta unit (10,1%) mobil penumpang, 5,156 juta unit (5%) mobil barang (truk, pick-up dan lainnya), 1,962
juta (1,9%) mobil bus dan sisanya kendaraan khusus (Kompas.com, 14/4/2014).

Jadi pemilik mobil pribadi hanya kurang dari 10 juta (atau 50 juta jika beserta keluarganya) dari 250
juta penduduk negeri ini. Itu pun banyak di antaranya bukan mobil mewah. Alhasil, sebanyak 200 juta
orang yang menikmati subsidi BBM jelas adalah rakyat biasa.

Akibat kenaikan harga BBM, semua rakyat kena dampak. Pengguna kendaraan bermotor yang
jumlahnya 100 juta orang lebih adalah yang pertama dan langsung kena dampak. Rakyat yang tak punya
kendaraan bermotor juga kena dampak. Pasalnya, ongkos transportasi dan harga semua barang dan jasa
ikut naik. Lagi-lagi, rakyat banyaklah yang susah akibat kenaikan harga BBM.

2. Subsidi membebani APBN.

Faktanya, pembayaran bunga dan cicilan utang juga menyedot pengeluaran APBN. Anehnya, itu tak
dianggap beban oleh Pemerintah. Pemerintah malah terus menumpuk utang. Total utang Pemerintah per
30 September 2014 adalah Rp 2.601,72 triliun. Akibatnya, APBN tiap tahun jebol untuk membayar
cicilan pokok dan bunga. Januari sampai September 2014 pembayaran bunga mencapai Rp 103,352
triliun dan cicilan pokoknya Rp 170,062 triliun. Total Rp 273,412 triliun. Dalam pagu APBN 2014,
cicilan pokok Rp 247,696 triliun dan cicilan bunganya Rp 121,386 triliun. Total Rp 368,981 triliun.
Dalam APBN-P 2014, cicilan bunga mencapai Rp 135,453 triliun. Total cicilan bunga dan pokok itu
mencapai sekira 16% dari APBN. Siapa yang menikmati bunga utang itu? Tentu negara-negara pemberi
pinjaman seperti Jepang, AS, Kanada, dll; lembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia, ADB, USAID;
serta segelintir investor baik individu maupun perusahaan pemegang surat utang negara. Investor asing
banyak menguasai surat utang negara itu.

3. Subsidi BBM hanya untuk kegiatan konsumtif.


Faktanya, dengan BBM dibakar menjadi asap, jutaan nelayan bisa melaut mencari ikan; jutaan petani
bisa bertani menggunakan traktor; ribuan perusahaan bisa mendistribusikan barang hasil produksinya;
jutaan pelajar dan mahasiswa bisa belajar ke sekolah dan ke kampus; jutaan buruh dan pegawai bisa
bekerja; jutaan pekerja informal bisa mencari nafkah; dan sebagainya. Alhasil, BBM memang dibakar
menjadi asap, tetapi kebanyakan demi usaha dan kegiatan produktif.

4. Subsidi BBM menghambat pembangunan.

Pemerintah beralasan, karena subsidi BBM, anggaran pembangunan menjadi sangat kecil. Padahal
masalah itu bisa dipecahkan tanpa menaikkan harga BBM. Selain penghematan dari sisi pengeluaran
(misal: aparatur negara tidak rapat di hotel, cukup memakai fasilitas milik Pemerintah), masih banyak
cara lain tanpa menaikkan harga BBM. Satu contoh, saat ini Pemerintah menjual gas Tangguh ke Fujian
Tiongkok dengan harga US$ 8 per MMBTU (energinya setara 29 liter solar) sejak Juli 2014 lalu.
Sebelumnya, sejak dibuat kontrak penjualan jangka panjang tahun 2003 semasa Presiden Megawati, harga
jualnya hanya US$ 3 per MMBTU, lalu naik menjadi US$ 5 per MMBTU sekitar tahun 2007. Gas yang
sama dijual ke Korea Selatan US$ 4 per MMBTU. Harga itu lebih rendah dari harga pasar, tetapi lebih
tinggi dari harga jual ke PLN US$ 10 per MMBTU. Andai Pemerintah mau kerja keras dan mau
mencabut subsidi ke Tiongkok, Korsel, Jepang dan AS itu, lalu gas produksi dalam negeri dari Tangguh,
Blok Mahakam dan lainnya dijual ke PLN meski seharga US$ 10 per MMBTU, akan dihemat dana
hingga seratus triliun. Jumlah ini sama dengan hasil dari menaikkan harga BBM. Dengan begitu
pembangunan bisa jalan tanpa menaikkan harga BBM.

Dari sisi pendapatan, andai Pemerintah mau kerja keras mengelola sendiri berbagai kekayaan alam
yang ada di negeri ini (migas, tambang, dsb), niscaya akan didapatkan pemasukan ribuan triliun setiap
tahun.

5. Dana kompensasi bisa mengurangi jumlah orang miskin.

Pemerintah sepertinya menganggap enteng dampak kenaikan harga BBM. Hanya tiga bulan. Setelah
itu akan normal. Begitu kata JK. Apalagi untuk rakyat miskin disiapkan kompensasi tiga kartu sakti
yaitu: Kartu Indonesia Sehat (KIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).

Padahal selama ini setiap harga BBM naik juga disertai dengan kompensasi serupa.
Faktanya,menurut data BPS 2013, setelah kenaikan BBM pada September 2013, jumlah penduduk miskin
28,55 juta orang (11,47%), bertambah 0,48 juta orang dari angka Maret 2013. Dampak harga BBM naik
tahun 2005, penduduk miskin bertambah dari 35,10 juta menjadi 39,10 juta orang pada tahun 2006.
Alhasil, saat BBM dinaikkan, yang paling menderita adalah rakyat miskin.

Alasan Sebenarnya

Alasan sebenarnya di balik tindakan Pemerintah menaikkan harga BBM tidak lain demi
menyempurnakan agenda liberalisasi di sektor migas sekaligus demi memenuhi kemauan pihak
asing. Menurut ekonom Utama Bank Dunia perwakilan Indonesia Jim Brumby, skenario ketiga yang
ditawarkan Bank Dunia adalah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar 50 persen. Artinya,
premium menjadi Rp 8.500 perliter. Karena Indonesia akan menggelar Pemilu pada April dan Juli 2014,
menurut dia, menaikkan BBM itu bisa dilakukan pemerintahan selanjutnya yang akan dilantik bulan
Oktober 2014 dengan melakukan perubahan anggaran dalam APBN-P (Sinarharapan.co.id, 19/3/2014).

Jika dirunut ke belakang, IMF dan Bank Dunia berperan mendiktekan berbagai peraturan dan UU
yang meliberalisasi sektor migas. Hal itu tercantum dalam Letter of Intent (LoI) Pemerintah dengan IMF.
Di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000) antara lain disebutkan:
Pada sektor migas, Pemerintah berkomitmen untukmembiarkan harga domestik mencerminkan harga
internasional.

Lalu di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, July 2001) antara lain
disebutkan:Menteri Pertambangan & Energi telah menyiapkan rencana jangka menengah untuk
menghapus secara bertahap subsidi BBM dan mengubah tarif listrik sesuai dengan tarif komersil.

Pada tahun 2000 Bank Dunia melakukan studi mengenai minyak dan gas di Indonesia (Indonesia
Oil and Gas Sector StudyWorld Bank, June 2000). Studi tersebut merekomendasikan agar rancangan
UU Migas yang diajukan kepada DPR pada tahun 1999 harus berlandaskan pada semangat kompetisi,
berorientasi pasar, menghilangkan intervensi Pemerintah, serta konsisten mengikuti aturan-aturan yang
berlaku di dunia internasional.

Berikutnya di dalam dokumen Bank Dunia, Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank,
2001)disebutkan: Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah
langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi
belanja publikBanyak subsidi khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin
ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya.

Maka, jelas sudah, Kebijakan menaikkan harga BBM tidak lain untuk menyukseskan liberalisasi
sektor hilir (sektor niaga dan distribusi) setelah liberalisasi sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi)
sempurna dilakukan. Liberalisasi migas hakikatnya adalah memberikan kewenangan yang lebih besar
kepada swasta (asing) seraya mengurangi peran negara. Kebijakan ini jelas akan sangat merugikan dan
menyengsarakan rakyat. Padahal rakyatlah pemilik sejati sumberdaya alam itu. Yang lebih menyakitkan,
liberalisasi dilakukan sekadar untuk memenuhi tuntutan pihak asing (IMF, Bank Dunia, ADB, USAID,
dll). Hanya demi menyenangkan pihak asing, Pemerintah tega mengabaikan keinginan mayoritas
rakyatnya. Jika demikian, kebijakan menaikkan harga BBM itu pantas disebut sebagai bentuk
pengkhianatan terhadap rakyat!

Anda mungkin juga menyukai