Anda di halaman 1dari 17

1.

Nilai Normal Pemeriksaan Darah Lengkap


a. Eritrosit (Red Blood Cell)
Pria Dewasa : 4,5 6,5 juta/mm3
Wanita Dewasa : 3,9 5,6 juta/mm3
< 3 bulan : 4,0 5,6 juta/mm3
3 bulan : 3,2 4,5 juta/mm3
1 tahun : 3,6 5,0 juta/mm3
12 tahun : 4,2 5,2 juta/mm3
b. Leukosit (White Blood Cell)
Pria Dewasa : 4 11 ribu/mm3
Wanita Dewasa : 4 11 ribu/mm3
Bayi : 10 25 ribu/mm3
1 tahun : 6 18 ribu/mm3
12 tahun : 4,5 13 ribu/mm3
c. Hemoglobin (Hb)
Pria Dewasa : 12,5 18,0 gr %
Wanita Dewasa : 11,5 16,5 gr %
< 3 bulan : 13,5 19,5 gr %
3 bulan : 9,5 13,5 gr %
1 tahun : 10,5 13,5 gr %
3 6 tahun : 12,0 14,0 gr %
10 - 12 tahun : 11,5 14,5 gr %
d. Hematokrit
Pria Dewasa : 47 7 %
Wanita Dewasa : 42 5 %
Bayi baru lahir : 54 10 %
3 bulan : 38 6 %
3 6 bulan : 40 45 %
10 - 12 tahun : 41 4 %
e. Trombosit (Platelet)
Nilai Normal : 150.000 400.000 / mm3
f. Indeks Eritrosit (MCV, MCH, dan MCHC)
MCV : 80 100 fl
MCH : 27 31 pg
MCHC : 32 36 %
g. Laju Endap Darah (LED)
Metode Westergreen
Pria Dewasa : 0 15 mm / jam
Wanita Dewasa : 0 20 mm / jam
h. Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)
Eosinofil :14%
Basofil :01%
Stab :25%
Segmen : 50 70 %
Limfosit : 20 40 %
Monosit :16%
2. Klasifikasi anemia
a. Berdasarkan morfologi eritrosit
1) Anemia Hipokromik mikrositer
a) Anemia defisensi besi
b) Thalasemia
Adalah sekelompok heterogen gangguan genetik pada sintesis Hb yang
ditandai dengan tidak ada atau berkurangnya sintesis rantai globin.
c) Anemia akibat penyakit kronis
Anemia ini hampir mirip dengan anemia defisiensi besi, namun perbedaanya
terletak pada penyebabnya. Pada anemia akibat penyakit kronis adalah adanya
sekuestrasi zat besi di dalam sel sistem retikuloendotel akibat terjadi
inflamasi.
d) Anemia sideroblastik
Anemia ini terjadi karena abnormalitas metabolisme besi pada eritrosit
2) Anemia normokromik normositer
a) Anemia pasca perdarahan akut
Anemia ini terjadi karena berkurangnya jumlah darah (eritrosit) karena
perdarahan yang masiv.
b) Anemia aplastik
c) Anemia pada gagal ginjal kronik
Ada empat mekanisme sebagai penyebab anemia pada GGK, yaitu:
i. Defisiensi eritropoietin (Epo)
Pemendekan panjang hidup eritrosit
hemolisis
hipersplenisme
ii. transfusi berulang
iii. Metabolit toksik yang merupakan inhibitor eritropoesis
iv. Kecenderungan berdarah karena trombopati

3) Anemia Makrositer

a) Anemia Megaloblastik
b) Anemia def asam folat
c) Anemia def B12
Anemia defisiensi besi

ADB adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena
cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan
hemoglobin berkurang (Bakta, 2009).

Ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer dengan hasil laboratorium yang menunjukkan
cadangan besi dalam tubuh kosong.

Etiologi :
i. Rendahnya masukan besi/faktor nutrisi: kurangnya jumlah besi total dalam makanan atau
kualitas besi yang tidak baik, contohnya pada makanan berserat, rendah vitamin C, dan
rendah daging.
ii. Gangguan absorbsi besi dalam tubuh, misalnya pada penyakit gastrektomi dan kolitis
kronik.
iii. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, misalnya pada kanker lambung, kanker
kolon, hematuria, tukak peptik, divertikulosis, hemoroid, menorrhagia, metrorhagia, dan
infeksi cacing tambang.
iv. Kebutuhan besi meningkat, misalnya pada masa pertumbuhan dan kehamilan.

Patogenesis :
Kurangnya asupan makanan yang mengandung besi menyebabkan cadangan besi dalam
tubuh menurun. Keadaan di mana cadangan besi menurun disebut iron depleted state atau
negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh peningkatan absorbsi besi dalam usus,
penurunan kadar feritin serum, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila
keadaan ini berlangsung secara terus-menerus, maka cadangan besi dalam tubuh akan menjadi
kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga bentuk eritrosit
terganggu, akan tetapi gejala klinik anemia belum timbul. Keadaan ini disebut iron deficient
erythropoiesis.
Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free
protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan total
iron binding capacity (TIBC) meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah
peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus maka
eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul
anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deficiency anemia (Bakta, 2009).

Dampak defisiensi besi (selain menimbulkan anemia) :


i. Gangguan pada sistem neuromuskular sehingga mengakibatkan gangguan kapasitas kerja;
ii. Gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan;
iii. Gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi;
iv. Gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang dikandungnya;
v. Penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom dan gliserofosfat oksidase yang dapat
menyebabkan gangguan glikolisis yang berakibat penumpukan asam laktat sehingga
mempercepat kelelahan otot;
vi. Menurunkan kesegaran jasmani dan produktivitas kerja; dan
vii. Gangguan kognitif maupun non-kognitif pada anak dan bayi sehingga dapat menurunkan
kapasitas belajar.

patofisiologi
Zat besi diperlukan untuk hemopoesis (pembentukan darah) dan juga diperlukan oleh berbagai
enzim sebagai faktor penggiat. Zat besi yang terdapat dalam enzim juga diperlukan untuk
mengangkut elektro (sitokrom), untuk mengaktifkan oksigen (oksidase dan oksigenase).
Defisiensi zat besi tidak menunjukkan gejala yang khas (asymptomatik) sehingga anemia pada
balita sukar untuk dideteksi.

Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya simpanan zat besi (feritin) dan
bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya kapasitas pengikatan
besi. Pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat besi, berkurangnya kejenuhan
transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang diubah menjadi heme, dan akan diikuti
dengan menurunnya kadar feritin serum. Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya yang khas yaitu
rendahnya kadar Rb (Gutrie,186:303)

Bila sebagian dari feritin jaringan meninggalkan sel akan mengakibatkan konsentrasi feritin
serum rendah. Kadar feritin serum dapat menggambarkan keadaan simpanan zat besi dalam
jaringan. Dengan demikian kadar feritin serum yang rendah akan menunjukkan orang tersebut
dalam keadaan anemia gizi bila kadar feritin serumnya <12 g/ml. Hal yang perlu diperhatikan
adalah bila kadar feritin serum normal tidak selalu menunjukkan status besi dalam keadaan
normal. Karena status besi yang berkurang lebih dahulu baru diikuti dengan kadar feritin.

Gejala anemia defisiensi besi :


Gejala umum :
- Kadar Hb < 7-8 g/dl mengakibatkan badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-
kunang, dan telinga mendenging.
- Pemeriksaan fisik menunjukkan kondisi pasien pucat.

Gejala khusus :
- Koilonychia atau kuku sendok (spoon nail), kuku cekung, bergaris-garis vertikal, dan
rapuh
- Atrofi papil lidah, sehingga permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil
lidah menghilang.
- Stomatitis angularis (cheilosis) : radang pada sudut mulut yang tampak sebagai bercak
pucat keputihan.
- Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
- Atrofi mukosa gaster sehingga menyebabkan akhloridia.
- Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti tanah liat, lem, dan lain-
lain.

Diagnosis
a. Anamnesis
b. Riwayat faktor predisposisi dan etiologi :
- Kebutuhan meningkat secara fisiologis terutama pada masa pertumbuhan yang cepat,
menstruasi, dan infeksi kronis

- Kurangnya besi yang diserap karena asupan besi dari makanan tidak adekuat
malabsorpsi besi

- Perdarahan terutama perdarahan saluran cerna (tukak lambung, penyakit Crohn, colitis
ulserativa)

- Pucat, lemah, lesu, gejala pika

c. Pemeriksaan fisis

- anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan limphadenopati

- stomatitis angularis, atrofi papil lidah

- ditemukan takikardi ,murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran jantung

d. Pemeriksaan penunjang

- Hemoglobin, Hct dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun

- Hapus darah tepi menunjukkan hipokromik mikrositik

- Kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat , saturasi menurun

- Kadar feritin menurun dan kadar Free Erythrocyte Porphyrin (FEP) meningkat

- sumsum tulang : aktifitas eritropoitik meningkat

Metabolisme Besi
Salah satu unsur yang dibutuhkan oleh tubuh adalah unsure besi. Besi terbagi dalam 3
bagian yaitu senyawa besi fungsional, besi cadangan dan besi transport. Besi fungsional yaitu
besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh terdiri dari hemoglobin, mioglobin
dan berbagai jenis ensim. Bagian kedua adalah besi transportasi yaitu transferin, besi yang
berikatan dengan protein tertentu untuk mengangkut besi dari satu bagian ke bagian lainya.
Bagian ketiga adalah besi cadangan yaitu feritin dan hemosiderin, senyawa besi ini dipersiapkan
bila masukan besi diet berkurang. Besi membutuhkan protein transferin, reseptor transferin dan
feritin agar dapat berfungsi dalam tubuh manusia yang akan berperan sebagai penyedia dan
penyimpan besi dalam tubuh dan iron regulatory proteins (IRPs) untuk mengatur suplai besi.
Transferin merupakan protein pembawa yang mengangkut besi plasma dan cairan
ekstraseluler untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Hoffman, 2000). Reseptor transferin adalah
suatu glycoprotein yang terletak pada membran sel yang berperan mengikat transferin-besi
komplek dan selanjutnya diinternalisasi ke dalam vesikel untuk melepaskan besi ke intraseluler.
Kompleks transferin-reseptor transferin selanjutnya kembali ke dinding sel, dan apotransferin
dibebaskan ke dalam plasma. Feritin sebagai protein penyimpan besi yang bersifat nontoksik
akan dimobilisasi saat dibutuhkan. Iron regulatory proteins (IRP-1 dan IRP-2 yang dikenal
sebagai iron responsive element-binding proteins [IRE-BPs], iron regulatory factors [IRFs],
ferritin-repressor proteins [FRPs] dan p90) merupakan messenger ribonucleic acid (mRNA)
yang mengkoordinasikan ekspresi intraseluler dari reseptor transferin, feritin dan protein penting
lainnya yang berperan dalam metabolisme besi.

Gambar 2.8 Struktur protein transport (Beutler at al, 2000)

Bagian A adalah struktur apotransferin. Secara skematik struktur apotransferin terdiri atas
cincin polipeptid yang terbagi dalam dua lobus, masing-masing berbentuk elip dan mengandung
single iron-binding site yang ditampilkan dengan sebuah tanda titik. Setiap lobus disusun dengan
dua domain yang berbeda, diberi label I dan II. Selain itu dikenal juga adanya dua lobus yaitu
lobus N-terminal dan C-terminal. Bagian B adalah reseptor transferin. Skema di atas
menampilkan reseptor transferin di atas permukaan sel. Transferin reseptor merupakan dimer
glikoprotein transmembran terdiri atas dua subunit yang identik dihubungkan dengan ikatan
disulfide. Transferin reseptor bersifat ampipatik dengan ekor sitoplasmik hidrofilik yang kecil
dan domain ekstraseluler hidropilik yang luas. Reseptor dapat mengikat dua molekul transferin
(Beutler at al, 2000).

Penatalaksanaan Anemia Defisiensi Besi


a. Terapi besi oral, terapi ini merupakan cara pertama yang efektif, murah, dan aman.
Preparat yang digunakan adalah ferrous sulphat (sulfas ferosus) dan dosis anjuran
yang digunakan 3 x 200 mg. Pemberian dosis ini dapat mengakibatkan absorsi besi 50
mg per hari dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai tiga kali dari normal.
Pengobatan ini diberikan 3 hingga 6 bulan, ada juga yang hingga 12 bulan.
Sebaiknya diberikan juga dosis pemeliharaan dengan 100 sampai 200 mg agar anemia
tidak kambuh kembali.
b. Terapi besi parenteral. Terapi ini termasuk yang sangat efektif tetspi risiko yang
dapat ditimbulkannya juga besar dan harganya lebih tidak terjangkau. Ada beberapa
indikasi yang baik untuk diberikan terapi ini, seperti: 1) tidak toleransi pada
pemberian besi parenteral; 2) tidak patuh pada obat; 3) gangguan pencernaan jika
diberikan besi; 4) penyerapan besi terganggu; 5) keadaan banyak kehilangan darah; 6)
sedang banyak membutuhkan asupan besi; 7) defisiensi besi fungsional relatif seperti
pada anemia gagal ginjal kronik.
c. Terapi Transfusi
Transfusi sel-sel darah merah atau darah lengkap, jarang diperlukan dalam
penanganan anemia defisiensi Fe, kecuali bila terdapat pula perdarahan, anemia yang
sangat berat atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi respon terapi.

Prognosis Anemia Defisiensi Besi

Prognosis dari anak A yang mengalami ADB baik, karena anemia ini masih dapat diobati,
dengan terapi yang sudah disebutkan, dan menambah asupan besi.

Anemia penyakit kronik


Penyakit kronik sering kali disertai anemia, namun tidak semua anemia penyakit
kronik digolongkan sebagai anemia akibat penyakit kronik. Anemia akibat penyakit
kronik adalah anemia yang dijumpai pada penyakit teertentu yang khas ditandai oleh
gangguan metabolisme besi, yaitu adanya hipoferemia sehingga menyebabkan
berkurangnya penyediaan besi yang dibutuhkan untuk sintetis hemoglobin tetapi
cadangan besi sumsum tulang masih cukup. Anemia ini tergolong anemia yang
cukup sering dijumpai, baik di klinik maupun di lapangan. Beberapa penilitian
menunjukkan bahwa anemia ini merupakan penyebab kedua tersering setelah anemia
defisiensi besi (Bakta, 2006)
a) Penyebab
i. Infeksi kronik
Tuberkulosis paru
Infeksi jamur kronik
Bronkhiestasis
Penyakit radang panggul kronik
Osteomielitis kronik
Infeksi saluran kemih kronik
Kolitis kronik
ii. Inflamasi kronik
Artritis rematoid
Lupus eritematosus sistemik
Inflammatory bowel disease
Sarkoidosis
Penyakit kolagen lain
iii. Neoplasma ganas
Karsinoma : ginjal, hati, kolon, pankreas, uterus, dan lain-lain.
Limfoma maligna : limfoma Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin.
b) Patogenesis
Patogensis anemia akibat penyakit kronik belum diketahui dengan pasti,
tetapi beberapa teori yang diajukan antara lain :
1. Gangguan pelepasan besi dari RES (sel makrofag) ke plasma
2. Pemendekan masa hidup eritrosit
3. Pembentukan eritropoetin tidak adekuat
4. Respons sumsum tulang terhadap eritropoetin tak adekuat.
Diperkirakan semua perubahan di atas disebabkan oleh pengaruh sitokin
proinflamasi (proinflammatory cytokines), IL-1 dan TNF- terhadap
eritropoesis. Gangguan pelepasan besi ke plasma menyebabkan berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoesis yang berakibat pada gangguan pembentukan
hemoglobin sehingga terjadi anemia hipokromik mikrositer (Bakta, 2006)
c) Manifestasi Klinik dan Laboratorik
Gejala klinik anemia akibat penyakit kronik tidak khas karena lebih
banyak didominasi oleh gejala penyakit dasar. Sindrom anemia tidak teralu
mencolok karena biasanya penurunan hemogloobin tidak terlalu berat.
Anemia penyakit kronik memberikan gambaran laboratorik sebagai berikut :
1. Anemia ringan sampai sedang, hemoglobin jarnag < 8 g/dl;
2. Anemia bersifat normositer atau makrositer ringan (MCV 75-90 fl);
3. Besi tranferin sedikit menurun;
4. Protoporfirin eritrosit meningkat;
5. Feritin serum normal atau meningkat;
6. Reseptor tranferin normal;
7. Pada pengecatan sumsum tulang dengan biru Prusia, besi sumsum tulang
normal atau meningkat dengan butir-butir hemosiderin yang besar (Bakta,
2006)
d) Diagnosis
Diagnosis anemia akibat penyakit kronik dibuat bila :
1. Dijumpai anemia ringan sampai sedang pada setting penyakit dasar yang
sesuai (seperti disebuatkan pada tabel diatas)
2. Anemia hipokromik mikrositer ringan atau normokromik normositer.
3. Besi serum menurun disertai dengan TIBC menurun dengan cadangan besi
sumsum tulang masih positif.
4. Dengan menyingkirkan adanya gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik dan
hipotiroid (Bakta, 2006)
e) Diagnosis diferensial
Anemia akibat penyakit kronik perlu dibedakan dengan anemia hipokromik
lainnya, seperti :
i. Anemia defisiensi besi;
ii. Trait thalassemia;
iii. Anemia sideroblastik (Bakta, 2006)
f) Terapi
Dalam terapi anemia akibat penyakit kronik, bebrapa hal yang perlu mendapat
perhatian adalah :
i. Jika penyakit dasar dapat diobati dengan baik, anemia akan sembuh dengan
sendirinya.
ii. Anemia tidak memberi respons pada pemberian besi, asam folat, atau
vitamin B12.
iii. Transfusi jarang diperlukan karena derjat anemia ringan.
iv. Sekarang pemberian eritopoetin terbukti dapat menaikkan hemoglobin, tepai
harus disertai defisiensi besi pemberian preparat besi akan meningkatkan
hemoglobin, tetapi kenaikan akan berhenti setelah hemoglobin mencapai
kadar 9-10 g/dl (Bakta, 2006)

Thalassemia
Klasifikasi secara klinis :
Thalasemia mayor
- defek molekul pada 2 gen globin (homosigot / heterosigot ganda)
- gejala : anemia (+)
Thalasemia minor
- defek molekul pada 1 gen globin
- gejala : anemia (-)/(+) ringan, SDM mikrositik

Klasifikasi :
- Kelainan sintesis globin thalasemia :
Thalasemia-a
Thalasemia-b (paling sering)
Thalasemia- db
Thalasemia- gdb
- Kelainan struktur globin varian Hb

Thalassemia beta dibagi menjadi 4 sindrom:


1. Thalassemia beta minor (trait)/ heterozigot: anemia mikrositik hipokrom
2. Thalassemia beta mayor/ homozigot: anemia berat yang bergantung pada transfuse darah
3. Thalassemia beta intermedia: gejala diantara thalassemia beta mayor dan minor
4. Pembawa sifat tersembunyi thalassemia beta (silent carrier)

Thalassemia beta minor:


Gambaran klinis
1. Hepatosplenomegali
Gambaran laboratories
1. Kadar hb 10-13
2. Pada apusan darah tepi ditemukan mikrositik hipokrom, poikilositosis, sel target, dan
eliptosit
3. Hyperplasia eritroid ringan pada apusan sum2 tulang
4. HbF 1- 5%

Thalassemia beta mayor


Gambaran klinis
1. Biasanya pada anak usia 6 bln- 2 thn
2. Anemia berat
3. Hepatosplenomegali
4. Ikterus
5. Perubahan tulang yg nyata
Gambaran radiologis
1. Gambaran hair on end tulang panjang menjadi tipis akibat ekspansi sum2 tulang yang
dapat berakibat fraktur patologis
Gambaran laboratories
1. Hb 3-4
2. Eritrosit hipokrom, poiklositosis, sel target, sel teardrop, eliptosit, eritrosit stippled dan
eritrosit bernukleus
3. TIBC normal atau sdikit meningkat
4. Saturasi transferin 80% atau lebih
5. Feritin serum meningkat

Thalassemia beta intermedia


Gambaran klinis
Gambaran klinis bervariasi dari anemia ringan sampe berat yang dapat mentoleransi aktivitas
berat dan fraktur patologis. Komplikasi penyakit jantung dan endokrin setelah 10-20 thn
Gambaran laboratorium
1. Morfologinya menyerupai thalassemia mayor
2. Hbf 2-100%, HbA2 7%
Diagnosis thalassemia intermedia:
anamnesis
1. Usia antara 18-67 thn
2. Kelainan endokrin seperti DM
3. Splenomegali
4. Batu empedu
5. Thrombosis
6. Penyakit hati kronis
7. Hemopoiesis ekstrameduler
8. Ulkus maleolar
Pemeriksaan fisik
1. Pucat
2. Terkadang Ikterik
3. Hepatosplenomegali
4. Terkadang terjadi gangguan pertumbuhan tulang
Pemeriksaan lab
1. Darah tepi: mikrositik hipokrom, poikilositosis, sel target, eliptosit, fragmentosit, dan
normoblast
2. Analisis hemoglobin
Pemeriksaan radiologi
MRI : untuk melihat hemopoiesis ekstrameduler

Patofisiologi
Thalasemia
Penyebab anemia pada thalasemia bersifat primer dan sekunder. Penyebab primer adalah
berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel
eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder adalah karena defisiensi asam folat,bertambahnya
volume plasma intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh system
retikuloendotelial dalam limfa dan hati.
Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai
alfa atau beta dari hemoglobin berkurang. Tejadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi
antara transfusi berulang,peningkatan absorpsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak
efektif, anemia kronis serta proses hemolisis.
Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb-A dengan dua polipeptida rantai alpa dan dua
rantai beta.
Pada Beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai Beta dalam molekul
hemoglobin yang mana ada gangguan kemampuan eritrosit membawa oksigen.

Ada suatu kompensator yang meningkatkan dalam rantai alpa, tetapi rantai Beta
memproduksi secara terus menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defektive.
Ketidakseimbangan polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ini
menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau
hemosiderosis.

Kelebihan pada rantai alpa pada thalasemia Beta dan Gama ditemukan pada thalasemia
alpa. Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami presipitasi dalam sel eritrosit. Globin
intra-eritrositk yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa
dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil-badan Heinz, merusak sampul eritrosit
dan menyebabkan hemolisis.

Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow memproduksi RBC yang lebih.
Dalam stimulasi yang konstan pada bone marrow, produksi RBC diluar menjadi
eritropoitik aktif. Kompensator produksi RBC terus menerus pada suatu dasar kronik, dan
dengan cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin.
Kelebihan produksi dan distruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan
mudah pecah atau rapuh.

Penegakan Diagnosis
Diagnosis thalasemmia bisa dilakukan dengan cara:

1. Anamnesis
info ras, riwayat sakit keluarga, usia awal penyakit, pertumbuhan pasien. Info
mengenai ras cukup penting karena ada populasi dengan jumlah ras dan etnik
tertentu yang memiliki prevalensi thalasemia cukup tinggi.
info mengenai riwayat penyakit keluarga, apakah ada keluarga yang pernah
menderita thalasemia (keturunan)
2. Pemeriksaan fisik
ditemukan keadaan fisik yang pucat menyerupai anemia, ikterus,
hepatosplenomegali, deformitas skeletal, hiperpigmentasi pada daerah kulit
tertentu, kondisi yang lemas, adanya facies cooley, gangguan pertumbuhan tulang,
dan tampak seperti anak dengan gizi kurang (Atmakusuma, 2009).
3. Pemeriksaan Laboratorium darah
Yang diperiksa meliputi Kadar hemoglobin, MCV, MCH, retikulosit,
jumlah eritrosit, gambaran darah tepi termasuk benda inklusi dalam eritrosit, darah
tepi sumsum tulang, dan prespitasi HbH. Komponen komponen tersebut bisa
meningkat atau berkurang bila pasien terkena thalasemia.
Di periksaan SADT ini, akan banyak ditemui sel sel asing yang menjadi
tanda adanya thalasemia. Selain ini juga bisa ditemukan perubahan bentuk sel darah
yang di luar bentuk normal.

4. Analisis DNA
Tes ini digunakan untuk mengidentifikasi genotip spesifik untuk
membedakan thalasemia carier dari thalasemia carier. Juga untuk melihat gen
pembawa sifat tersembunyi dan pola pewarisannya dalam keluarga.
5. Hemoglobin Elektroforesis
Normal:
HbA2: 2,5 3,6%
HbF : < 1%
HbA : 95 98 %
Penatalaksanaan :
1. Splenektomi
Pre splenektomi perlu diberikan vaksin anti meningococcus, dan anti haemophilus
influenza
Pasca splenektomi diberi antibiotic profilaksis ex; pensilin
2. Transfuse darah PRC (packed red cell)
Bila kadar Hb<6 gr/ dl
3. Pemberian asam folat
Dosis 2-5 mg/ hari secara oral.
4. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sum sum tulang dapat dilakukan dari saudara kandungyang HLA nya cocok
sehingga dapat memberikan harapan hidup dengan bebas dari penyakit dalam jangka
waktu lama sampai 90 % pada pasien beresiko ringan dan 50 % pada pasien bersiko
berat. (Tapi ga semua bisa, apalagi thalasemia mayor, perlu dipertimbangkan!!)
5. Terapi kelasi untuk pengobatan muatan berlebih besi
Iron chelator merupakan jenis desferoksiamin atau desferal (DFX) atau kelasi besi yang
berfungsi meningkatkan sekresi besi dalam urin. Iron chelator ini diberikan melalui
infusion bag atau sub cutan (lapisan di bawah dermis) selama 8 12 jam, 5 7 malam
setiap minggu (Bakta, 2009) . Selain itu dapat juga dilakukan secara intra muskular dan
intravena

Anda mungkin juga menyukai