Anda di halaman 1dari 39

BAB II

HASIL DAN PENGAMATAN

2.1 Pedet Pra Sapih

2.1.1 Pakan
Pemberian paka pedet pra sapih perlu diperhatikan karena merupakan calon induk yang
akan memproduksi susu. Meskipun pedet pra sapih belum diberi pakan hijauan maupun
konsentrat, pemberian kolostrum perlu diperhatikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ahmad,
dkk (2007) bahwa faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak, baik pada periode
pralahir, pra sapih maupun pasca sapih terutama adalah komposisi pakan dan kesehatan pada induk
bunting, induk menyusui dan pedet.
Pemberian kolostrum untuk pedet pra sapih perlu diperhatikan terutama waktu, kualitas,
maupun kuantitas. Pedet pra sapih di peternakan Pak Suyono diberi kolostrum 2-3 liter setelah 30
menit lahir. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rahayu (2014) bahwa 86% peternak memberikan
kolostrum antara melebihi 1 jam setelah pedet lahir. Pemberian kolostrum yang melebihi 1 jam
setelah kelahiran adalah terlambat. Kolostrum sebaiknya diberikan antara 30-60 menit setelah
pedet lahir. Semakin bertambah umur pedet, semakin berkurang susu yang diberikan. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Bakhri (2008) bahwa pada umur 2-3 minggu diberikan susu sekitar 5
liter kemudian umur 4-6 minggu diberikan 6 lier, 7-8 minggu 5 liter, umur 9 minggu 4 liter, umur
10-11 minggu 3 liter, umur 12 minggu 2 liter sampai umur 3 bulan. Setelah 3 bulan pemberian
susu dihentikan. Pemberian susu dilakukan 2 kali sehari, pada pagi dan sore hari.
Pedet pra sapih hanya mengkonsumsi susu dan mulai dikenalkan hijauan saat tahap
penyapihan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Genswein et al (2013) bahwa pedet merupakan anak
sapi baru lahir sampai masa sapih yang berumur sekitar 3-4 bulan. Pakan utama pedet yang baru
dilahirkan adalah susu, sedangkan pada saat dewasa pakan utama adalah serat. Perubahan dari
pakan cair menuju padat tersebut memerlukan suatu tahapan yang disebut dengan penyapihan.
Peralihan pakan (susu) menjadi pakan (hijauan) dilakukan secara bertahap untuk proses
penyapihan. Hal ini sesaui dengan pernyataan Donkin et al (2009) bahwa upaya yang dapat
dikerjakan dengan merubah pakan cair menuju pakan padat dapat digunakan pakan perantara yang
disebut calf starter. Calf starter merupakan bahan pakan yang diberikan pada saat pedet masih
dalam periode menyusu. Pemberian calf starter diharapkan pedet dapat sesegera mungkin berhenti
minum susu dan diganti menjadi pakan padat.

2.1.2 Bobot Badan


Tujuan pemeliharaan pedet pra sapih untuk menggantikan induk. Diusahakan pedet pra
sapih bobot badan tumbuh secepat, seberat, dan seoptimal mungkin agar semakin cepat pedet

1
tersebut di sapih. Lestari, dkk (2014) menyatakan bahwa rata-rata pertambahan bobot badan harian
(PBHH) anak-anak sapi yang belum sapih (umur 1-4 bulan) sebesar 0,290,15 kg. Lorenz et al
(2011) menyatakan bahwa PBBH pedet pra sapih sampai umur tujuh minggu sebesar 0,32 kg.
Pertambahan bobot badan pedet pra sapih juga yang menentukan kapan pedet tersebut di
sapih. Di peternakan Pak Suyono tidak ada kriteria bobot badan pedet untuk disapih, beliau
menggunakan umur sebagai acuan untuk penyapihan, yaitu 3 bulan. Pratiwi, dkk (2008)
menyatakan bahwa efek pengaruh waktu penyapihan pedet antara 20 dan 24 minggu tidak
berpengaruh terhadap PBBH pedet periode prasapih maupun lepas sapih, karena pedet-pedet
tersebut dikumpuljan dalam kandang kelompok dengan induk selama 24 jam, walaupun beda
waktu penyapihan (20 dan 24 minggu). Hal ini juga sesaui dengan Bakhri (2008) bahwa Target
pemeliharaan pedet periode prasapih adalah mencapai bobot badan 65 kg pada saat umur 8 minggu
atau umur sapih. Pedet mengkonsumsi pakan kasar minimal 1 kg/hari. Setelah disapih konsumsi
konsentrat pedet sekitar 2 kg/hari. Pedet pada periode ini diusahakan mencapai pertambahan bobot
badan harian 0,7 kg.
Pertambahan bobot badan digunakan untuk mengukur sejauh mana pakan tersebut dapat
dimanfaatkan oleh pedet. Namun dalam peternakan Pak Suyono hal tersebut kurang diperhatikan.
Hal ini sesaui dengan pernyataan Azzaro et al (2011) bahwa perubahan bobot badan pada pedet
dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengetahui status kecukupan nutrien dan
mengindikasikan kondisi kesehatan pada ternak tersebut.

2.1.3 Kandang
Pedet pra sapih untuk kandang disatukan dengan induk sekitar 2,5-3 bulan kemudian
disendirikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Krova, dkk (2017) bahwa macam kandang
berdasarkan kegunaannya ada kandang beranak atau kandang menyusui, untuk ternak sapi yang
bunting tua (7-8 bulan) sampai menyapih pedetnya.
Lantai kandang terbuat dari semen sehingga lebih mudah dalam membersihkan. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Suharyati dan Madi (2016) bahwa lantai kandang yang bersih dan tidak
licin merupakan hal penting yanh harus diperhatikann. Lantai kandang yang terbuiat dari semen
lebih mudah dibersihkan dan cepat kering bila terkena air, sebaliknya lantai kandang dari tanah
akan lebih cepat kotor dan licin sehingga membuat ternak tidak nyaman dan lebih banyak
mengandung sumber penyakit. Lantai kandang dari tanah akan cepat kotor sehingga akan mudah
tercemar bakteri yang dapat menginfeksi saluran reproduksi.
Bentuk kandang di peternakan Pak Suyono yaitu kandang terbuka, sehingga sirkulasi udara
mengalir dengan baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lorenz et al (2011) bahwa bentuk kandang
terbuka dan luas yang memungkinkan untuk sirkulasi udara yang bagus sanagt dibutuhkan untuk
menunjang efisiensi reproduksi yang baik. Persyaratan umum kandang sapi antara lain adalah
sirkulasi udara dan sinar matahari yang cukup sehingga kandang tidak lembab.
Suhu di sekitar kandang 23C. Suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pedet
mengalami cekaman panas sehingga dapat menurunkan konsumsi pakan dan pertumbuhan lambat.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Herbut and Sabina (2012) bahwa apabila sapi dan pedet

2
ditempatkan pada lokasi yang memiliki sushu tinggi, maka akan mengalami cekaman panas terus
menerus yang berakibat pada menurunnya produktivitas sapi FH. Cekaman panas yang diterima
oleh sapi FH sebenarnya dapat direduksi oleh angin dengan kecepatan tertentu.
Pedet pra sapih dijadikan 1 dengan induk dan ketika penyapihan dipindah ke kandang
individu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bakhri (2008) bahwa pedet ditempatkan di kandang
sendiri, tidak dicampur dengan pedet yang lain sampai umur 3 bulan. Kandang pedet harus selalu
bersih, kering, cukup sinar matahari dan sirkulasi udaranya baik. Kandang diberi alas jerami yang
kering dan bersih. Selanjutnya pedet dipelihara di kandang koloni.

2.2 Pedet Post Sapih

2.2.1 Pakan dan Minum Pedet


Hartati dan Dikman (2007) menyatakan bahwa pada periode pascasapih dilakukan
pembesaran pedet (rearing) dengan pemberian konsentrat sebanyak 1% dari bobot hidup. Pakan
diberikan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Pakan yang digunakan untuk induk mengacu
pada konsep low external input, yaitu dengan memanfaatkan limbah-limbah pertanian berupa
tumpi jagung dan jerami padi. Tumpi diberikan sebanyak 2,5% dari bobot hidup (BH) sedangkan
jerami padi diberikan secara adlibitum atau sekitar 5 kg/ekor/hari, disamping itu juga diberikan
rumput gajah sebagai sumber vitamin A sebanyak 3 kg/ekor/hari. Hal ini bisa dipakai untuk acuan
dalam pemberian pakan pendet pasca sapih pada peternakan milik bapak Suwono dimana beliau
untuk pakan pendet menggunakan rumput yang sama dengan rumput sapi laktasi dan belum
dikasih konsentrat. Untuk vitamin dicampur dengan air minum, air minum disediakan ad libitum.
Peluang untuk menggunakan pakan limbah yang kandungan nutrisinya masih mencukupi
sebenarnya sangat mendukung karena dapat menekan biaya output pada pakan. Hal ini telah
dijelaskan oleh Hartati dkk (2006) bahwa pemanfaatan pakan asal biomas lokal sebagai pakan
murah dengan terapan model low external input masih memberi peluang dalam mendukung usaha
pembibitan untuk menghasilkan pedet sampai dengan umur 1 tahun.
Menurut Aryogi dkk (2006) ransum sapi kelompok perlakuan tersusun dari 4 bahan pakan
sumber serat (rumput lapangan, rumput gajah, jerami padi dan jerami jagung) dan 2 bahan pakan
sumber energi/protein (dedak padi dan ampas tahu). Susunan ransum tersebut kecernaan BK pada
pendet Post sapih yaitu sekitar 3,77kg/ekor/hari. Hal ini menandakan bahwa kemauan peternak
dalam menyusun ransum sangat dibutuhkan terkait dengan sumber pakan jika musim kemarau
ataupun kebutuhan ternak. pada peternakan bapak Suwono masih menggunakan ransum sederhana
yaitu rumput gajah dan Konsentrat yang ia dapatkan di KUD.
Pada pedet pasca sapih milik bapak Suwono sudah dikenalkan dengan konsentrat. Hal ini
sudah bagus karena menurut Utomo dkk (2015) pedet pasca sapih sebaiknya dikenalkan dengan
konsentrat supaya kebutuhan protein terpenuhi dan membrikan pertumbuhan yang cepat.

3
Gambar 1. Pemberian pakan hijauan dan konsentrat pedet post sapih

Frekuensi pemberian pakan pedet Post sapih pada peternakan bapak Suwono yaitu 2 kali
dalam sehari, pagi dan sore hari. Pemberian hijauannya terkadang tidak dicacah atau dipotong
padahal menurut Ummiyasih dan Anggraeni (2011) yaitu pemberian hijauan dalam bentuk
terpotong-potong (dicacah) dapat meningkatakan efisiensi penggunaan hijauan karena dapat
mengurangi effek seleksi oleh ternak.

2.2.2 Bobot Badan


Pertumbuhan dan perkembangan adalah salah satu faktor penting dalam pemuliabiakan
ternak. Pertumbuhan tubuh secara keseluruhan umumnya diukur dengan bertambahnya berat
badan sedangkan besarnya badan dapat diketahui melalui pengukuran pada tinggi pundak, panjang
badan, lingkar dada, dll. Kombinasi berat dan besarnya badan umumnya dipakai sebagai ukuran
pertumbuhan hal ini dijelaskan oleh Bugiwati (2013) yang dimana untuk mengetahui kesuksesan
atau keberhasilan dari perawatan pedet khusunya pasca sapih memang dilihat dari pertambahan
bobot badannya.
Dahlanudin dkk (2012) menjelaskan bahwa pertumbuhan sapi atau oertambahan bobot
badan sapi sangat bergantung pada kualitas pakan yang diberikan dalam hal ini kualitas pakan
yang memenuhi kebutuhan nutrisi akan menigkatkan pertambahan bobot badan. Hal ini perlu
diperhatikan pada peternakan milik bapak Suwono agar kualitas pakan pada pedet pasca sapih
ditingkatkan.
Pakan sangat penting untuk diperhatikan terutama pakan untuk pedet pasca sapih dimana
sesuai dengan penjelasan Pratiwi dkk (2008) yaitu kematian pedet pasca sapih sangat tinggi karena
sudah lepas dari induknya dan apabila sebelumnya tidak dilatih untuk makan hijauan bisa saja
pedet tersebut sulit untuk mengkonsumsi hijauan. Kematian bisa mencapai 50%. Kualitas pakan
induk saat bunting juga harus diperhatikan.
Menurut Hadziq (2011) Pertambahan bobot badan pada hewan muda merupakan bagian
dari pertumbuhan urat daging, tulang, dan organ-organ vital. Pertambahan bobot badan pada
hewan tua berupa penimbunan lemak. Pertumbuhan dipengaruhi oleh pakan, bobot lahir, kondisi
lingkungan, dan penyakit. Potensi pertumbuhan seekor ternak sangat dipengaruhi oleh faktor
bangsa, jenis kelamin, pakan, lingkungan, dan manajemen pemeliharaan. Pada pertumbuhan bobot
badan pada pedet lepas sapih milik bapak Suwono masih tergolong rendah hal ini bisa dikarenakan
karena manajemen pemeliharaan yang masih tergolong sederhana.

4
Pengukuran bobot badan berguna untuk penentuan tingkat konsumsi, efisiensi pakan dan
harga. anak sapi yang diberi perlakuan cafetaria memiliki pertambahan bobot badan yang lebih
tinggi dibandingkan perlakuan mix. Hal ini dipaparkan oleh Perdanayuda (2010) seperti halnya
pemberian pakan pada pedet lepas sapih milik bapak Suwono PBB rendah juga disebabkan karena
pakan tidak diberikan dengan teknik kafetaria atau bebas pilih.

2.2.3 Kandang
Perkandangan pada sapi perah milik bapak Suwono menerapkan sistem Stanchion ban dan
untuk pedet lepas sapih diberikan kandang tersendiri atau individu. Hal ini lebih dijelaskan oleh
Putra (2009) bahwa Sistem perkandangan ada dua tipe yaitu stanchion barn dan loose house.
Stanchion barn yaitu sistem perkandangan dimana hewan diikat sehingga gerakannya terbatas
sedangkan loose house yaitu sistem perkandangan dimana hewan dibiarkan bergerak dengan batas
batas tertentu. Untuk kandang pedet berbentuk Box stall yaitu panggung rendah yang terbuat
dari kayu agar lebih hangat karena kehangatan diperlukan bagi kesehatan sapi, box stall dibuat
dengan ukuran panjang 150 cm, lebar 100 cm, dan tinggi 125 - 150 cm.

Gambar 2. Kandang pedet post sapih

Kandang pedet lepas sapih sendiri antara individu dengan koloni tidak berpengaruh
terhadap pertambahan bobot badan harian. Hal ini sesuai dengan pendapat Pratiwi dkk (2008)
bahwa Manajemen penyapihan pedet pada umur 20 dan 24 minggu dengan sistem kandang
kelompok tidak berpengaruh terhadap periode APP, CI, CR dan S/C induk. Manajemen
penyapihan pedet di peternak pada sistem pemeliharaan dengan kandang kelompok (kawin alami)
disarankan untuk penyapihannya enam bulan dengan memperhatikan kebutuhan pakan induk.
Affandhy dkk (2010) menjelaskan bahwa pemisahan pedet dari induk periode pra-sapih
selama 90 hari pasca beranak berpengaruh terhadap tampilan periode APP induk sapi Peranakan
Ongole, tetapi tidak mempengaruhi produktivitas induk dan pertumbuhan pedet. Hal ini dapat
dikatakan bahwa pedet pasca sapih tidak akan terhambat pertumbuhannya jika sudah dipisahkan
dengan induknya.
Pada pedet lepas sapih milik bapak Suwono dikandangkan secara individu dengan dan di
dalam bangunan utama dan disediakan tempat pakan dan minum. Hal ini sesuai dengan penjelasan
Sihombing (2010) bahwa kandang pedet lepas sapih berada pada bangunan utama berupa kandang
permanen dengan ketinggian atap 7 m dan dinding samping berupa tembok setinggi 1,5 m. Setiap
kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum berupa ember plastik dan diletakkan di
dalam kandang.

5
Pada kandang pedet lepas sapih juga dilengkapi dengan lampu penerangan. Hal ini sesuai
dengan penjelasan Yunitasari (2011) bahwa pedet dipelihara dalam kandang individu berukuran
2,0x1,5 m2 yang diberi alas papan kayu dan dipagari dengan bambu. Kandang dilengkapi dengan
tempat pakan dan tempat air minum serta lampu penerangan.

2.3 Sapi Laktasi


2.3.1 .Bangsa Bangsa Sapi Perah
Menurut kelompok M3 setelah dilakukan praktikum manajement ternak ruminansia ,maka
jenis komoditi ternak yang dipelihara oleh bapak suwono adalah bangsa sapi Peranakan Friesien
Holstain (PFH) yang merupakan hasil dari persilangan sapi FH (Friesien Holstain) dengan sapi
lokal,serta mudah beradaptasi dengan lingkungan tropis.Hal ini juga sesuai dengan pendapat
Zainudin(2009) bahwa bangsa sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan salah satu
sapi perah di Indonesia yang merupakan hasil persilangan dari sapi perah Friesian Holstein (FH)
dengan sapi lokal. Sapi PFH mewarisi sifat bobot badan cukup tinggi dan mudah beradaptasi
dengan lingkungan tropis dengan produksi susu yang relatif tinggi.
Menurut bapak suwono sapi yang sedang dipelihara nya adalah bangsa sapi PFH
(Peranakan Friesien Holstain) yang mempunyai kemampuan produksi tinggi dan suudah lama
dikenal di indonesia yang mempunyai ciri-ciri berupa baji.Hal ini sesuai dengan Velly fillan(2016)
bahwa sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi perah dengan kemampuan produksi
tinggi dan sudah lama dikenal di Indonesia. Sapi Friesian Holstein (FH) memiliki ciri badan
menyerupai baji.
Bangsa sapi yang dipelihara bapak suwono adalah bangsa sapi perah yag mendominasi
wilayah persebaran di indonesia,daerah persebaran sapi PFH dan sapi potong mengikuti
persebaran jalur produsen dan konsumen susu jawa timur meliputi :malang dan surabaya serta
jawa barat meliputi :lembang dan bogor.Hal ini juga sesuai dengan Syahrianto(2011) bahwa
populasi bangsa sapi perah PFH mendominasi bangsa-bangsa sapi perah lainnya di
indonesia.Daerah persebaran sapi PFH sebagai sapi potong mengikuti persebaran konsumen dan
produsen susu jawa barat meliputi: lembang dan bogor,jawa tenggah meliputi: boyolali,solo dan
yogyakarta sedangkan jawa timur meliputi: malang dan surabaya.
Menurut bapak suwono bangsa sapi perah yang sedang dipeliharanya adalah sapi PFH yang
memiliki ciri-ciri :warna hitam belang putih,kepala berbentuk panjang serta lebar dan lurus,ekor
berwarna putih.Hal in juga sesuai dengan pendapat Gayatri A(2005) bahwa Bangsa sapi perah
yang hidup di Indonesia antara lain adalah Friesian Holstein (FH), Peranakan Friesian Holstein
(PFH), Aryshire, Jersey dan Sapi Grati. Namun sapi perah yang biasa dipelihara di Indonesia pada
umumnya adalah Peranakan Friesian Holstein atau dikenal dengan PFH dengan ciri: warna hitam
belang putih,kepala berbentuk panjang, lebar dan lurus, ekor warna putih, tanduk mengarah ke
depan dan membengkok ke dalam.
Menurut bapak suwono sapi yaang telah dipelihara adalah bangsa ternak PFH yang sudah
dipelihara kurang lebih 7 tahun dan produksi susu nya masih dikatakan cukup bagus dengan 2 ekor

6
sapi memperoleh susu 15 liter waktu pagi dengan sarana yang kurang memadai.Hal ini juga sesuai
dengan Atabany(2011) bahwa bangsa sapi Friesian Holstein (PFH) memiliki produksi susu
tertinggi dibandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainnya. Sapi PFH mengalami peningkatan
produksi susu sebanyak 23% selama periode 25 tahunpemeliharaan. Salah satu perbaikan
manajemen yang dapat dilakukan, yaitu perbaikan masa kosong.

2.3.2 Tingkat Laktasi dan Umur Sapi


Pada peternakan bapak suwono tingkat laktasi atau tingkat produksi susu nya tergolong
cukup bagus dengan jumlah sapi yang cukup banyak,namun bapak suwono kurang sedikit
modaldan keterampilan dalam memanajement ternak nya yang mencakup aspek
produksi,pemberian pakan dan penggolahaan hasil pasca panen.Hal ini juga sesuai dengan
Damaria haloha(2013) bahwa rendahnya tingkat produktivitas ternak tersebut lebih disebabkan
oleh kurangnya modal, serta pengetahuan/ketrampilan petani yang mencakup aspek produksi,
pemberian pakan, pengelolaan hasil pasca panen, penerapan sistem recording, pemerahan, sanitasi
dan pencegahan penyakit. Pengetahuan petani mengenai aspek tataniaga masih harus ditingkatkan
sehingga keuntungan yang diperoleh sebanding dengan pemeliharaannya.
Umur ternak bapak suwono yang sedang dipelihara adalah kurang lebih 7 tahun hal ini
menyebabkan produksi susu ternak bapak suwono banyak yang menurun dalam artian waktu nya
diculling dan di ganti ternak yang lebih muda,namun produksi susu ternak bapak suwono dalam
satu hari kurang lebih 34 liter dan dijual di koperasi dengan harga 5000 dan setiap bulan kurang
lebih bapak suwono dapat hasil Rp.5.100.000/bulan.Hal ini tidak sesuai dengan Imam
Santoso(2013) bahwa kabupaten Boyolali sebesar Rp960.000/bl. Pendapatan yang diperoleh
dalam penelitian ini lebih tinggi yang menyatakan bahwa keuntungan usaha sapi perah rakyat di
Kabupaten Boyolali sebesar Rp437.646,00/UT/bl atau Rp1.750.583,00/ peternak/bl. Hal tersebut
dikarenakan rata-rata umur ternak yang dipelihara berada pada puncak produksi.
Untuk dapat meningkatkan produksi susu bapak suwono dan dapat berdampak pada
kemampuan ekonomis maka hal yang harus dilakukan adalah merubah manajemen pemeliharaan
serta memberikan pakan yang cukup dan berkualitas dan meningkatkan frekuensi pemberian
pakan.Hal ini juga sesuai dengan Rusdiana(2009) bahwa peningkatan skala usaha agribisnis sapi
perah akan memberikan dampak ekonomis yang disertai peningkatan kemampuan berproduksi
sapi perah induk, yang umumnya masih dibawah potensi genetiknya. Kemampuan berproduksi
susu dari sapi perah induk dapat dilakukan melalui: pemberikan pakan yang cukup dan berkualitas
dan meningkatkan frekuensi pemberian pakan,menaikkan harga jual susu dengan menggolahnya
sendiri.
Peternakan bapak suwono ternak yang sedang laktasi kandungan lemak nya akan turun
sampai pada bulan ke tiga laktasi,serta komponen air susu akan berubah pada setiap tingkat
laktasi.Hal ini sesuai dengan pendapat Laryska(2013)bahwa selama periode laktasi kandungan
protein susu secara umum mengalami kenaikan, sedangkan kandungan lemaknya mula-mula
menurun sampai bulan ketiga laktasi kemudian naik lagi.Komposisi air susu berubah pada tiap

7
tingkat laktasi dimana perubahan yang terbesar terjadi pada saat permulaan dan terakhir periode
laktasi.
Peternakan bapak suwono terdapat ternak dara yang sedang buting sekitar umur 28
bulan,hal ini dianggap terlalu tua untuk sapi dara yang dikawinkan pada umur sekian karena setiap
peternak berharap setiap tahun dapat beranak serta dapat kawin pada waktunya dengan bobot
badan yang ideal untuk dara agar nanti ketika sudah lahir pedet nya maka tidak terjadi
kesulitan.Hal ini sesuai dengan Anggraeni(2008) bahwa sapi dara siap dikawinkan pertama kali
pada umur 15 bulan dengan bobot badan sekitar 275 kg. Standar umur kawin pertama sapi FH dara
di Jepang dengan kisaran bobot badan sapi dara antara 350 400 kg,yang dicapai sekitar umur 15
bulan.Sapi yang menjalani laktasi ke dua, tiga dan empat memiliki rataan umur beranak 49,65 dan
89 bulan.

2.3.3.Bulan Laktasi dan Persistensi


Pada peternakan bapak suwono hal yang dilakukan dalam manajemen pakan pada bulan
laktasi yaitu sama seperti pemberian pakan yang lain nya hanya saja dalam penggaturan posisi
kandang untuk yang buting di tempatkan bersama ternak yang bunting lainya.Hal ini juga sesuai
dengan Utomo(2010) pakan yang diberikan berupa konsentrat, hijauan (rumput gajah) dan
singkong segar. Perbaikan lantai kandang dengan lantai diplester semen dan menggunakan karpet
karet, tempat pakan serta minum permanen. Pengamatan produksi susu mulai bulan laktasi.
Peternakan bapak suwono menurut kelompok kami produksi susu nya susu lumayan bagus
,untuk dapat meningkatkan produksi susu harus dilakukan pembenahan manajemen yang
dilakukan di antaranya sarana dan prasarana serta ketersediaan dalam pemberian pakan dan harus
memperhatikan persistensi yang dipengaruhi oleh hormon.Hal ini juga sesuai Triani(2011) bahwa
dengan rendahnya produksi susu disebabkan oleh beberapa faktor penentu dalam usaha peternakan
yaitu pemuliaan dan reproduksi, penyediaan dan pemberian pakan, pemeliharaan ternak,
penyediaan sarana dan prasarana serta pencegahan penyakit dan pengobatan. Untuk meningkatkan
produksi susu selama laktasi perlu dilakukan seleksi selain dengan memilih sapi-sapi yang
mempunyai puncak produksi tertinggi, juga perlu memperhatikan persistensinya.Persistensi
produksi susu sangat dipengaruhi oleh keseimbangan tiga macam hormon,yaitu prolaktin, tiroksin
dan hormon pertumbuhan.
Menurut bapak suwono bulan laktasi ternak nya adalah bulan ke 10 bulan yang
berpedoman pada proporsi produksi susu perbulan.Hal ini juga sesuai dengan Bambang
santoso(2016) bahwa produksi susu satu masa laktasi diestimasikan berdasarkan masa laktasi 10
bulan laktasi (305 hari) dengan berpedoman pada proporsi persentase produksi susu perbulan yang
berturut-turut dari bulan ke-1 sampai ke bulan ke-10 tertulis 12%,13%, 12%, 12%, 11%, 10%, 9%,
8%, 7% dan 6%.
Lama periode kering peternakan bapak suwono ditentukan oleh ditentukan oleh
manajemen pemeliharaan nya,namun bapak suwono mengambil faktor yang menjadi
pertimbangan dalam pengeringan produksi susu diantara nya persistensi produksi susu.Hal ini
juga sesuai dengan Sughiri(2011) bahwa lama kering seekor sapi perah ditentukan sepenuhnya

8
oleh manajemen yang diterapkan oleh peternak, namun dalam manajemen tersebut tentu saja ada
beberapa faktor yang menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusannya. Hal-hal yang
menjadi pertimbangan dalam pengeringan diantaranya adalah persistensi produksi susu,semakin
baik tingkat persistensi maka sapi tersebut akan semakin lambat untuk dilakukan pengeringan
karena produksi susu yang dihasilkan masih tinggi sehingga untuk efisiensi produksi sapi tersebut
akan terus diperah meskipun sebenarnya sudah harus dikeringkan. Hal lain yang menjadi bahan
pertimbangan dalam pengeringan adalah kesehatan sapi tersebut, sapi yang memiliki penyakit
seperti mastitis biasanya akan langsung dikeringkan karena susu yang dihasilkan tidak akan
terpakai.
Dalam manajemen pemeliharaan sapi PFH pak suwono karena jumlah ternak nya banyak
dan pemberian pakan pada ternak yang bunting ataupun yang sedang laktasi adalah sama.Hal ini
yang dapat menjadi acuan untuk memperbaiki manajemen ternak supaya dapat meningkatkan
produksi susu sesuai dengan pendapat Tri anggiati(2015) bahwa imbangan hijauan dan konsentrat
yang berbeda dalam pemberian ransum sapi perah peranakan friesian holstein tidak mengubah
persistensi produksi susu tetapi meningkatkan efisiensi produksi susu.

2.3.4 Bobot badan dan BCS

Gambar 3. Body condition score sapi dewasa 2,00 4,00

9
Body Condition Score dinilai berdasarkan 8 titik pengamatan dan perabaan dari tubuh sapi
perah, yaitu: Tonjolan tegak tulang belakang, antara tonjolan tegak dengan tonjolan datar tulang
belakang, tonjolan datar tulang belakang, legok lapar, tonjolan tulang pinggul depan dan belakang,
daerah antara tonjolan tulang pinggul depan-belakang, daerah antara tonjolan tulang pinggul kiri
dengan depan kanan, daerah antara tulang ekor dengan tonjolan tulang pinggul belakang yang
sebanding dengan A,Bahroz,etal(2010) ada penilaian proporsi lemak tubuh yang dimilikinya, dan
ini diakui oleh ilmuwan hewan dan produsen sebagai faktor penting dalam pengelolaan sapi perah.
Yang dimaksud dengan BCS sendiri adalah suatu tehnik penilaian yang membantu dalam
penentuan berat badan baik. Penentuan BCS dapat dilakukan secara visual atau dengan penglihatan
dan dapat juga dengan rabaan. Selainiu estimasi berat badan juga dapat melalui pengkukuran
lingkar dada pada sapi seperti yang disebutkan oleh S, Endang,dkk (2008) bahwa Selanjutnya, ada
dua halyang berhubungan dengan ukuran atau scoring yaitu terutama lingkar dada dan penilaian
kondisi tubuh (Body Condition Scoring, BCS) pada saat laktasi.
Penilaian BCS dengan menggunakan metode tersebu adalah sangat murah dan efisien
seperti yang telah kami lakukan pada sapi Pak Suwono yang telah diukur lingkar dadanya dan hal
ini hanya membutuhkan meteran sebagai alatnya hal ini sesuai dengan H.R.Kadarmideent (2010)
Penilaian BCS merupakan metode murah dalam pendugaan lemak tubuh yang dapat digunakan
baik pada peternakan komersial maupun penelitian
Pada sapi yang dimiliki oleh bapak Suwono memiliki BCS yang rata-rata adalah rendah
sehimgga dalam produksi susu sendiri agak sedikit berkurang karena BCS pada ernak sendiri juga
sangat mempengaruhi atas produksi susunya hal ini disebutkan oleh A.Sukandar, dk (2009) bahwa
Sepanjang periode laktasi dan periode kering, sapi dewasa akan mengalami perubahan kondisi
tubuh. Kondisi tubuh menggambarkan cadangan lemak tubuh ternak. Cadangan lemak tubuh akan
digunakan sapi periode laktasi pada saat tidak cukup mendapat energi untuk produksi susu,
sehingga pemulihan kondisi tubuh saat periode kering penting untuk dijaga.
Dengan kecilnya BCS yang dimiliki oleh sapi milik pak Suwono dikarenakan pemberian
pakan yang disamakan pada setiap pemberianya sehinngga idak adanya saving lemak pada saat
periode kering mengakibatkan semakin urunya BCS dan menurunya produksi susu seperti yang
dijelaskan oleh S.E,Kemal dan H.Bagus (2011) bahwa perawatan utama yang diberikan pada sapi
dara adalah pemberian pakan dan minum secara teratur.hal ini ditujukan untuk peningkatan bobot
badan atau BCS guna untuk mempersiapkan masa kering setelah dikawinkan.
2.3.5 Pakan
Pakan sapi perah terdiri dari hijauan leguminosa dan rumput yang berkualitas baik serta
dengan konsentrat tinggi kualitas dan palatable. Setiap hari sapi memerlukan pakan kira-kira
sebanyak 10% dari berat badannya dan juga pakan tambahan 1-2% dari berat badan. Karena
pemberian pakan pada sapi sangat berengaruh terhadap performa dan produksinya seperti yang
dijelaskan oleh H.Yanovi.(2013) tampilan sapi sangat dipengaruhi oleh manajemen pakan dan
bangsa sapi. Sapi muda membutuhkan pakan yang mengandung protein dan energi tinggi untuk
pertumbuhan otot, tulang, dan lemak.

10
Akan tetapi dengan keterbatasan biaya pak Suwono memberikan pakan yang seadanya
terutama pada saat musim kemarau namun untuk konsentra bapak Suwono selalu membeli pada
KUD setempat sehingga untuk pemenuhan nutrisi sapi pak suwono tidak terlalu paham. Hai ini
kurang sependapat dengan L,K,Nuswantara.dkk (2008) bahwa System evaluasi pakan pada ternak
Ruminansia yang optimal selalu memperhitungkan kebutuhan nutrient mikroba dan kebutuhan
inangnya,sehingga rumen degradable protein (RDP) dan undegraded protein (UDP atau PDIA)
perlu diperhatikan dalam ransum.
Pak Suwono sendiri memberikan pakan yang seadanya dan tidak menghitung jumlah
konsumsinya dan hanya dikira kira saja sekitar 30 kg untuk hijauan dan untuk konsentrat
dibedakan untuk yang sapi laktasi dan yang tidak laktasi. Sapi laktasi diberi 7kg konsentrat
kemudian dicombor dan yang tidak laktasi diberi 4kg dan dicombor. Hal ini kurang sebanding
dengan C,Kendal,etal (2009) Pemberian pakan dimaksudkan agar sapi dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya sekaligus untuk pertumbuhan dan reproduksi. Pemberian pakan hendaknya mencukupi
kebutuhan dan harus efisien, sehingga tidak menimbulkan kerugian.

Gambar 4. Pemberian pakan hijauan

Pemberian pakan sendiri dilakukan bersamaan saat pemerahan susu karena disini
dimaksudkan agar sapi lebih tenang. Pemberian pakan dilakukan pada pagi hari jam 06.30 dan
pada sore hari pukul 16.00 dan hal ini setara dengan pendapat S.E,Kemal dan H.Bagus (2011)
Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari,yaitu pada pagi hari pukul 06.00 dan sore hari pukul
16.00.
Pada saat musim hujan seperti ini sangat mudah mencari rumput biasanya bapak Suwono
mencari rumput di daerah hutan yang lahanya telah bapak Suwono sewa dan apabila pada saat
musim kemarau pakan yang diberikan hanyalah seadanya karena untuk membeli rumput dengan
jumlah yang begitu banyak sangat mahal sehingga pada musim kemarau sapi pak Suwono juga
mengalami penurunan produksi karena pakan dan lingkungannya yang panas. Hal ini jug
dijelaskan oleh A,Maria (2009) Tekanan panas dapat menyebabkan penurunan produksi susu
karena asupan pakan bisa turun. Saat membandingkan sapi dengan dan tanpa akses ke tempat
teduh, hasil susu telah terbukti lebih tinggi untuk sapi yang diarsir

2.3.6 Kebuntingan
Sapi perah milik pak Suwono dikawinkan dengan cara inseminasi buatan yaitu dengan
mengundang inseminator dari KUD setempat kemudian di IB dengan menggunakan semen beku.
Terkadang sekali IB idak langsung berhasil sehingga dilakukan hingga beberapa kali inseminasi.

11
Hal ini memeakan waktu sera membutuhkan biaya yang lebih banyak karena jarak atau interval
kelahiran pedet semakin jauh sehingga tidak efisien hal ini juga disebutkan oleh H,Prajogo dan
I,Nyak (2006) bahwa Jarak waku beranak (calving interval) juga terlalu panjang. Idealnya jarak
waktu beranak adalah 12 bulan yaitu 9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui.
Pemeriksaan kebuntingan sendiri menurut dari wawancara dengan pak Suwarno tidak
dilakukan pengecekkan secara intensif hanya dilihat apakah sapi tersebut mengeluarkan tanda-
tanda estrus lagi atau tidak apabila masih estrus maka akan dilakukan IB ulang hal ini kurang
sebanding dengan Susilawati,T (2011) Setelah dua bulan dari IB yang terakhir dilakukan
pemeriksaan kebuntingan untuk memastikan sapi tersebut bunting atau tidak dengan palpasi rectal.
Di peternakan pak Suwarno sapi yang sedang bunting tidak mendapat perhatian khusus
dan pakan dan minumnya sama jumlahnya dengan sapi yang lain sehingga sedikit terlihat
kekurangan nutrisi hal ini juga kurang sebanding dengan T,Sutarto dan Sutarto (2006) Sapi perah
bunting yang mendapat pakan yang baik, mutu yang baik maupun jumlahnya serta kesehatanya
terpelihara dengan baik akan melahirkan anak yang sehat dan kuat dan produksi susu yang tinggi.
Sapi yang sedang bunting diletakkan pada kandang yang sama dengan sapi yang laktasi
dan tidak disendirikan mungkin disini sapi juga merasa agak stress karena disekitarnya juga rutin
dilakukan pemerahan pada sapi lain hal ini dilakukan karena bapak Suwarno tidak memiliki lahan
yang cukup untuk sapi-sapinya.hal ini tidak sesuai dengan M. A. Islam,etal (2010) bahwa Induk
sapi bunting perlu diberikan kesempatan berolahraga dengan cara dilepas di lapangan
penggembalaan secara teratur sehingga ternak akan merasa nyaman karena peredaran darah lancar
sehingga memudahkan kelahiran pedet.
Tingkat kestressan sapi juga dapat mempengaruhi kelahiran sapi selain itu juga sapi yang
nitrisinya kurang diperhatikan juga akan kesusahan pada saat partus nanti karena hormone yang
dihasilkan kurang karena pakan yang kurang hal ini sesuai dengan M.Krajniaakova,etal (2006)
Kelahiran abnormal sering terjadi pada sapi yang berukuran besar, pemeliharaanya di kandangkan
secara terus menerus, sapi yang terlalu muda, masa kebuntingan yang terlalu lama, kelahiran
kembar atau infeksi uterus dan lain-lain.

2.3.7 Suhu lingkungan


Pada peternakan bapak suwono suhu lingkungan disekitar cukup dingin karena terletak di
daerah batu yang cukup dingin, sehingga produksi yang di hasilkan cukup tinggi. Hal ini sebanding
dengan pernyataan Joshua liem (2015) Bahwa Ternak sapi perah sangatlah sensitif dengan suhu
pada lingkungan sekitar, hal ini berpengaruh pada produksi susu yang di hasilkan.
Peternakan bapak suwono memilih berternak sapi perah dan memilih jenis FH dikarenakan
sapi ini memiliki banyak keuntungan dibandinkan dengan sapi perah lainnya.. Salah satu
keunggulan sapi perah FH adalah dapat memproduksi susu dalam jumlah yang tinggi bila
dibandinkan dengan sapi perah jenis lainnya.. Hal tersebut sesuai dengan pendapat lili zalizar
(2011) yang menyatakan bahwa jenis sapi perah FH ssangatlah cocok untuk diternakan di
indonesia khususnya malang, karena suhu lingkungan ddi malang cocok seperti di tempat asal sapi
FH tersebut.

12
Alasan bapak sowono untuk memilih jenis sapi perah FH ialah daya tahan tubuh yang
tinggi untuk resiko kematian maupun adaptasi pada kandang. Hal ini sebanding dengan pernyataan
Muhammad usamah A. (2009) bahwa sapi perah jenis FH yang ada di Indonesia adalah jenis sapi
perah yang memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan karena sapi perah tersebut
sudah mengalami seleksi secara alami. Keberhasilan sapi perah FH sebagai ternak perah yang
mampu beradaptasi dengan baik dengan suhu lingkungan di Indonesia, membuat ternak tersebut
dapat hidup dan berkembang biak dimana saja.
Selain daya tahan yang tinggi terhadap resiko penyakt ternak sapi perah jenis FH mudah
dan murah untuk di pelihara. Hal ini sebanding dengan pernyataan Rut dameria H. (2013) bahwa
Ternak sapi perah jenis FH merupakan salah satu komoditi sapi perah yang mempunyai peran
cukup penting sebagai penghasil susu untuk mendukung ketersediaan protein hewani yang murah
dan mudah didapat.
Suhu lingkungan sangat mempengaruhi produksi susu apalagi wilayah bapak suwono di
dataran tinggi dan sejuk, hal ini sangat menuntungkan bapak suwono karena sapi beliau dapat
memproduksi susu dengan maksimal dan mendapatkan keuntungan cukup tinggi. Hal ini
sebanding dengan pernyataan sheryl puspa N. (2014) bahwa sapi perah jenis FH memerlukan
suhu yang sejuk di bawah 20 derajat, hal dapat berdampak pada hasil susu yang di hasilkan ternah
sapi tersebut.

2.3.8 Frekuensi Pemerahan


Pada peternakan bapak suwono memilih untuk memerah sebanyak dua kali yaitu pada pagi
hari pada pukul 06:00 dan sore hari pada pukul 15:30. Untuk jumlah per sapi dapat menghasilkan
15-20 liter perhari, untuk pemerahan bapak suwono masih menggunakan pemerahan dengan
tangan. Hal ini sebanding dengan pernyataan S. Rusdiana (2009) bahwa pada umunya frekuensi
pemerahan dapat dilakukan sebanyak 2-3 kali dalam sehari tergantung induk sapi dapat
memproduksi susu tinggi atau tidak tergantung pemberian pakannya.
Untuk pakan tambahan bapak suwono hanya menggunakan konsentrat dan ampas tahu
untuk menunjang produksi susu yang tinggi, tidak menggunakan pakan fermentasi atau sejenisnya.
Hal ini tidak sebanding dengan pernyataan Susyatyo Nugroho W.P (2011) bahwa untuk
menunjang produksi susu dapat ditambahkan pakan seperti pakan fermentasi ataupun silase, hal
ini dapat menguntungkan untuk para peternakan dapat melakukan pemerahan lebih dari 2 kali
dalam satu hari.
Pada dasarnya bapak suwono tidak begitu tepat dalam frekuensi pemeraahannya karena
frekuensi pemerahan sangatlah dekat dengan pemerahan selanjutnya. Hal ini tidak sesuai dengan
pernyataan Adika Putra (2009) bahwa pada umumnya pemerahan dapat dilakukan sebanyak 2
sampai 3 kali dalam satu hari dengan syarat pakan yang di berikan cukup untuk menunjang
produksi susu sapi tersebut dan juga pakan yang kaya nutrisi.
Untuk metode frekuensi pemerahan di peternakan bapak suwono sudah benar, tetapi disaat
proses pemerahannya itu sendiri belum bisa dikatakan benar karena kandang masih belum
sepenuhnya bersih hal ini menyebabkan kualitas susu sapi tersebut rendah. Hal ini tidak sesuai

13
dengan pernyataan dari Lisa Praharani (2010) bahwa selain frekuensi pemerahan yang harus tepat,
Di saat pemerahan juga harus di perhatikan kebersihan kandangnya dan sisa sia pakan yang
tersisa atau tercecer pada sekitar ternak sebelum di lakukan pemerahan.
Untuk kualitas susu yang di hasilkan pada peternakan bapak suwono belum bisa dikatakan
baik dikarekan di saat proses pemerahan kebersihan kandang dan kebersihan ambing sapi belum
benar benar bersih baik dari kotoran yang menempel maupun sisa- sisa air yang menetes saat di
mandikan. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan dari Mardalena (2009) bahwa Frekuensi
pemerahan juga dapat mempengaruhi kualitas susu yang di hasilkan jika kebersiahan kandang
kurang terjaga dan kebersihan ternak itu sendiri terutama pada ambing sapi tersebut.

2.3.9 Interval Pemerahan


Pada peternakan bapak suwono memilih metode interval pemerahan selama 7-8 jam. Hal
ini bertujuan untuk meningkatkan produksi susu yang dihasilkan ternak sapi milik bapak suwono.
Hal tersebut sebanding dengan pernyataan dari Darminto Pudjotomo (2011) bahwa untuk interval
pemerahan sebaiknya dilakukan selama 7-9 jam untuk jarak pemerahan pagi dengan pemerahan
sore harinya. Dan tidak kalah penting ialah faktor pakan yang di berikan untuk ternak tersebut baik
mulai dari pakan hijauan, pakan konsentrat dan pakan tambahan seperti ampas tahu maupun pakan
fermentasi.
Untuk pemerahan pada ternak bapak suwono tidak memperhatikan kebersihan ambing
ketika dilakukan pemerahan, padahal hal ini sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas susu
yang di hasilkan untuk dijual ke koperasi teerdekat. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari
Muhammad Taufiq Rahman (2011) bahwa pada dasarnya kelayakan dan kebersihan kandang
merupakan hal terpenting untuk menunjang harga dan kualitas susu yang di hasilkan pada suatu
peternakan, Meskipun metode interval pemerahan yang di gunakan sudah tepat.
Pada kenyataan di lapangan bapak suwono tidak begitu mengerti di saat ketika hendak
melakukan pemerahan, Hal ini justru mengurangi nilai jual susu yang dihasilkan. Hal tersebut
tidak sebanding dengan pernyataan Yuli Prasetyo (2015) yaitu pada umumnya interval pemerahan
pertama dan pemerahan kedua ialah 8-9 jam untuk menghasilkan produksi susu yang tinggi untuk
menghasilkan keuntungan bagi peternak.
Alasan bapak suwono menggunakan interval pemerahan selama 7-8 ialah bapak suwono
menginginkan produksi susu yang tinggi dengan pakan hanya konsentrat dan hijauan, di karenakan
terkendalanya biaya pakan agar tidak melambung tinggi. Bapak suwono hanya memilih pakan
hijauan dan pakan konsentrat saja. Hal ini tidak sebanding dengan pernyataan dari Adika Putra
(2009) bahwa untuk menunjang produksi susu yang tinggi pemberian pakan juga harus di
perhatikan dari segi nutrsinya dan juga kebersihan ternak tersebut baik dari kebersihan tubuh
ternak dan kebersihan ambing itu juga.
Bapak suwono tidak menggunakan mesin perah untuk memerah ternaknya, melainkan
masih menggunakan tangan karena terkendala biaya jika ingin membeli mesin perah tersebut. Hal
ini sebanding pernyataan dari Kemal Masyadi (2016) bahwa pemerahan dapat dilakukan dengan
tangan maupun mesin perah guna untuk mempercepat proses pemerahan dan mengurangi jumlah
karyawan yang di pekerjakan untuk memerah ternak sapi.

14
2.3.10 Persiapan dan Proses Pemerahan
Pemerahan adalah tindakan mengeluarkan susu dari ambing. Pemerahan bertujuan untuk
mendapatkan produksi susu yang maksimal. Terdapat tiga tahap pemerahan yaitu pra pemerahan,
pelaksanaan pemerahan dan pasca pemerahan. Tujuan dari pemerahan adalah untuk mendapatkan
jumlah susu maksimal dari ambingnya, apabila pemerahan tidak sempurna sapi induk cenderung
untuk menjadi kering terlalu cepat dan produksi total cenderung menjadi kering terlalu cepat dan
produksi total menjadi menurun.
Sebelum dilakukan pemerahan peternak hars melakukan persiapan tau pra pemerahan baik
menyiapkan alat yang digunakan selma pemerahan maupun persiapan ternak. Pada peternakan
bapak Suwono sebelum dilakukan pemerahan dilakukan pembersihan kandang dengan
membersihkan kotoran kotorsan pada karpet lantai kandang, memandikan sapi dari kotoran yang
menempel pada badan (bagian belakang tubuh sapi). Selain itu dilakukan pembersihan pada bagian
ambing sapi. Setelah pembersihan selesai, ternak diberikan pakan berupa hijaun pada pagi hari dan
pada sore hari diberikan konsentrat. Hal ini aga ternak merasa tenang karena tidak merasa
kelaparan. Sebelum dilakukan pemerahan ekor ternak sapi diikat pada salah satu kaki bagian
belakang hal ini aar tidak mengganggu pada saat peternak melakukan pemerahan susu. Hal ini di
dukung oleh pernyataan dari AAK (2007) bahwa A. sebaiknya sapi diberi konsentrat pada saat
menjelang pemerahan berlangsung, agar sapi menjadi tenang, B. Mengikat ekor sapi pada salah
satu kaku belakang, C. Ambing dan puting dibersihkan , kemudian dicuci dengan air hangat
memkai spon atau sikat yan halus, D. bagian depan dan belakang ambing seta puting perlu dipijat
pijat untuk melancarkan turunnya air susu.
Setelah persiapan selesai barulah proses pemerahan dimulai, pak suwono terbiasa memerah
menggunakan alat tradisional atau masih memerah menggunakan tangan. Biasanya peternak
menggunakan kedua tangan untuk memerah puting sapi. Namun sebenarnya dengan memerah
dengan menggunakan juga menurunkan mutu kualitas Susu yang dihasilkan. Namun, keadaaan di
lapang peternak tidak memiliki mesin perah untuk memerah susu karena memang harganya yang
mahal dan karena memang jumlah sapi yang dipelihara masih sedikit. Penggunaan alat perah
diharapkan dapat menghindari kontak langsung dengan tangan dan udara disekitarnya sehingga
menghasilkan susu yang bersih dan higienis serta dapat mengurangi tingkat TPC dalam susu.
Peternak sapi perah Indonesia masih banyak pemerahan dengan tangan. Hal ini salah satu
penyebab rendahnya mutu dan keamanan susu yang dihasilkan (Budiyanto dan Usmiati, 2008).

Gambar 5. Proses pemerahan

15
Proses pemarahan susu yang masih tradisiona tersebut cukup memepengaruh kualitas susu,
sehingga nantinya juga akan mempengaruhi harga jual susu sendiri di KSU. Dilain sisi terdapat
faktor yang juga meepengaruhi kualitas susu yakni keadaan si pemerah itu sendiri apakah sedang
dalam kondidi yang baik atau tidak, sesuai degan pendapat dari Surkar, Sawarkar, Kolhe and
Basunathe (2014) bahwa Petani tidak banyak mengetahui risiko zoonosis dan kontaminasi susu.
Sebagian besar responden tidak mengetahui fakta sebenarnya. tidak membiarkan orang
berpenyakit memerah susu (69,17%). Selain itu faktor kebersihan kandang maupun lingkungan
ketika pemerahan jga mempengaruhi hal ini didukung oleh Mahrous, Attar, Sameh and Soda
(2013) bahwa Tingkat kontaminasi mikroba susu mentah dipengaruhi oleh status kesehatan dan
kebersihan sapi perah, kebersihan lingkungan tempat sapi perah ditempatkan dan diperah, metode
persiapan ambing dan teknik pemerahan, metode yang digunakan untuk pembersihan dan
desinfeksi pemerahan susu. mesin dan tangki susu, kebersihan petugas petugas.
Setelah pemerahan susu atau tahap pasca pemeahan harus dilakukan proses diping adalah
perlakuan pasca pemerahan dengan cara mencelupkan larutan desinfektan pada puting sapi dengan
tujuan untuk mencegah masuknya bakteri dari luar (Swadayana, Sambodho dan Budiarti, 2012).
Namun di peternakan bapak Suwono belum diakukan proses dipping hanya di lakukan
pembasuhan dengan air biasa saja. Maka dari itu proses pemerahan yan dilakukan di peternakan
bapak suwono belum sepenuhnya memenuhi aturan
.
2.3.11 Penyakit
Penyakit yang menyerang sapi perah terdapat banyak macamnya, namun ada beberapa
penyakit yang sering menyerang sapi perah di indonesia yang pertama ada penyakit mastitis,
penyakit ini menyebabkan bagian ambing terasa sakit apabila disentuh oleh manuasi dan
menyebabkan produksi susu menjadi turun dan kondisi susu menjadi jelek. Penyakit mastistis
sedniri terjadi akibat lingkungan sapi kotor sehingga menyebabkan bakteri patogen masuk ke
dalam tubuh sapi melalui puting sapi. Namun mastitis sendiri dapat diobati sehingga tidak akan
mengganggu kesehatan sapi menjadi lama. Pengobatan mastitis mikotik mash sulit dilakukan;
penggunaan antibiotika untuk pengobatan mastitis bakterial tidak akan membunuh jamur
penyebab masitis sehingga usaha yang dapat dilakukan adalah dengan pencegahan (Sutarto dan
Sutarto, 2008). Pencegahan yang apat dilakukan salah satunya adaah dengan menjaga kebersihan
lingkungan sapi baik ketika pemerahan berlangsung maupun sebelum dan sesudah pemerahan, hal
ini tentunya akan menguangi cemaran mikroba patogen yang dapat menimbulkan kerugian pada
peternak.
Penyakit kedua yang sering menyerang sapi yakni penyakit akibat parasit. Parasit yang
dapat menyerang ternak sapi biasnya yakni caplak. Lalat terdiri dari Haematobia irritans (lalat
tanduk). Tabanus sp (lalat petak), Chrysops sp (lalat krisop). Haematopota sp (lalat totol),
Simulium sp (lalat punuk), Hippobosca sp (lalat Sumba), Stomocys sp (lalat kandang), Haemotobia
sp (lalat kerbau), dan Musca domestica (lalat rumah). Sedangkan caplak yang umum menyerang
sapi adalah Boophilus microplus. Hal ini ada hubungannya dengan iklim tropis dengan
kelembaban yang tinggi di Indonesia, sehingga merupakan tempat tumbuh berbagai macam

16
ektoparasit termasuk lalat dan caplak (Ahmad, 2010). Caplak dapat menyebakan luka luar pada
tubuh ternak sapi, apalagi jika terdapat luka terbuka akibat tergores benda di kandang maka akan
mengundang lalat agar hinggap pada luka tersebut yang akhirnya akan membuat luka tersebut
menjadi borok.
Selain itu penyakit yang disebabkan ektoparasit lainnya yaitu nyamuk dan kutu. Nyamuk
dan kutu dapat membuat kulit atau bagian luat kullit menjadi gatal sehingga akan membuat ternak
menggaruk yang pada akhirnya akan membuat timbulnya luka pada ternak sapi. Pada peternakan
bapak suwono nyamuk dan allat banyak berterbangan apalgi didekat pebuangan kotoran, jika
dibiarkan terus menerus akan mempengaruhi kesehatan sapi. Hal ini didukung oleh ponnusanny,
kale, ravi, devi and sharma (2017) bahwa di antara berbagai ektoparasit seperti nyamuk, lalat,
triatomin, kutu, lebah, kutu adalah penyebab umum masalah kesehatan yang parah pada hewan
perah. Terutama untuk mengendalikan ektoparasit, penggunaan bahan kimia seperti minyak tanah
dan bensin juga dikenal sebagai tickicides adalah metode praktik lokal yang terkenal diikuti oleh
semua wilayah di India.
Jenis penyakit yang mungkin dapat menyerng sapi di indonesia yakni adalah penyakit
paratuberkolosis. Penyakit ini dapat menurukan produksi susu jika sudah menyerang sapi perah.
Namun di peternakan bapak suwono tidak ada karena memang di indonesia penyakit ini belum
menyebar secara luas. Kasus Paratuberkulosis atau Johnes disease (JD) belum banyak diketahui
di Indonesia. Penyakit ini menyerang saluran pencernaan ruminansia yang disebabkan bakteri
Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis (MAP). Pengaruh penyakit JD terhadap
produksi susu juga sangat bervariasi. Sapi penderita JD sub klinis dapat mengalami penurunan
produksi sebesar 6% mulai laktasi kedua dan dapat mencapai 16% sebelum sapi diafkir. Penderita
JD selain mengalami perubahan klinis, patologis dan mengeluarkan MAP melalui feses, dapat pula
mencemari susu melalui saluran getah bening meskipun kejadiannya lebih sering melalui feses.
(Nugroho, sudarwanto, lukman, setiyaningsih dan usleber. 2009)
Penyakit yang dapat menyerang salurn pencernaan ruminansia seperti sapi perah yakni ada
Bovine virus diarrhea virus (BVDV), sebuah Pestivirus dari famili Flaviviridae, mampu
menyebabkan penyakit klinis yang serius pada sapi. Selain itu juga dapat mnyebabkan kematian
embrio jika sudah sangat serius menyerang sapi. Infeksi bendungan selama kehamilan
menyebabkan infeksi janin, yang dapat menyebabkan kematian embrio, efek teratogenik atau
kelahiran betina yang terus-menerus terinfeksi (PI) (lanyon, hill, reichel, and brownlie, 2013).

2.3.12 Stress
Seekor hewan, misaalnya sapi perah betina dapat mengalami stres anatraa lain karena
petugas pemerah susunya digantikan oleh orang lain , atau karena pemrah susunya mengenakan
pakaian yang tidak biasa dikenakannya saat mmemerah susu (isnaeni, 2006). Hal ini sama terjadi
pada saat kunjungan sapi yang awalnya tenang menjadi kebih gusar karena terlalu banyak orang
yang berada di kandang dan sapi tidak tenang ketika diperah karena secara bergilir di perah oleh
orang yang berbeda.

17
Stres merupakan suatu kondisi ketidaknyamanan non-spesifik yang mengakibatkan
berbagai hal yang tidak menyenangkan antara lain : penurunan imunitas, kegagalan reproduksi,
penurunan bobot karkas, hingga kepada kematian hewan ( Astuti, airin, widiyanto, hana
maheswari dan sjahfirdi, 2014).
kemampuan dan keterampilan seorang peternak akan berpengaruh terhadap hasil yang
dicapai peternakan sapi perah karena apabila peternak memiliki pengetahuan beternak yang baik,
peternak akan mampu mengatasi kejadian-kejadian stress pada sapi perah dan mempertahankan
kesehatan sapi perah sehingga dapat meningkatkan mutu sapi perah baik secara produksi dan
reproduksi (sari, hartono dan suharyati, 2016).
Masa transisi ditandai sebagai masa perubahan dramatis dalam efisiensi sistem kekebalan
tubuh sapi, yang bertepatan dengan tekanan metabolik (sordillo and raphael, 2013). perkembangan
progresif dari stres oksidatif dalam transisi sapi perah dianggap sebagai faktor mendasar yang
menyebabkan respons inflamasi disfungsional. Mineral trace tertentu, seperti Se, bisa efektif
dalam mengurangi stres oksidatif dan tingkat keparahan beberapa jenis susu sapi berbasis
proinflamasi seperti mastitis dan metritis (sordillo, 2013).

2.3.13 Kebersihan kandang dan ternak


Pada kandang dan peralatan sapi perah peralu di perhatikan kebersihannya agar mutu dari
susu yang di hasilkan baik. Peternakan rakyat seperti miliknya bapak suwono yang bertepatan di
pesanggrahan batu pembersihan kandang di lakukan pada pagi dan sore hari bersamaan dengan
pemberian pakan. Menurut W.P. Susanto N, dkk. (2011) kebersihan kandang, menjaga kebersihan
sapi-sapi laktasi, dan menjaga kebersihan peralatan yang dipergunakan untuk pemeliharaan
termasuk menjaga kebersihan petugas yang melakukan pemerahan, karena sanitasi pemerahan dan
kebersihan kandang dapat mempengaruhi jumlah bakteri dalam susu.

Gambar 6. Pembersihan kandang


Kandang yang bersih akan memberikan efek yang nyaman bagi sapi sehingga produksi
susu sapi meningkat. Pada peternakan bapak suwono sapi jarang di mandikan sehingga dapat
mempengaruhi produksi susunya akibatnya sapi mudah stress, produksi susu tidak hanya di
pengaruhi oleh kebersihan lingkungan tetapi juga dapat dipengaruhi oleh pakan. Menurut Popescu.
S, et al. (2013) Sapi yang di kandangkan memiliki peningkatan kualitas jika kandang tersebut
nyaman dan besih, pemberian makanan yang teratur, serta dimandikan secara teratur pula.
Pada peternakan pak suwono sapi-sapinya jarang di mandikan sehingga badanya terlihat
kotor, kebersihan tubuh sapi juga perlu di perhatikan agar produksi susu meningkat dan sapi tidak

18
mudah terserang penyakit dan stress. Menurut Syarif dan Bagus (2011) Agar kebersihan tubuhnya
terjaga, sapi perah di mandikan dua kali sehari dengan cara di sikat perlahan. Selain ambing, bagian
lain yang harus di perhatikan adalah bagian kaki, paha, dan bagian bawah tubuh yang potensial
kontak dengan kotoran dan sisa pakan. Memandikan sapi seharusnya wajib di lakukan setiap hari.

Gambar 7. Persiapan pemerahan (pemandian sapi)

Waktu pemerahan pak suwono hanya membersihakan bagian ambing ddaan sekitarnya saja
dengan menggunakan air dan hanya menyikatnya saja sehingga bagian tubuh sapi yang lain masih
terlihat kotoran yang menempel. Kotoran yang menempel dapat jadi sumber penyakit dan tempat
menempelnya lalat-lalat yang membuat sapi menjadi gatal jika gatal sapi akan mudah stresss.
Menurut Polikalainen, et al. (2012) bahwa kebersihan ambing dapat mempengaruhi hasil produksi
susu.
Kondisi kandang di perternakan pak suwono agak miring sehingga memudahkan
menejemen pembershan kandang sehingga kotoran dapat langsung masuk kedalam saluran
pembuangan. Pembersihan tempat makan dari sisa-sisa pakan sapi juga di lakukan pada saat sapi
tersebut di beri makan baru, sehingga sisa-sisa pakan yang sebelumnya tidak menumpuk di dalam
tempat pakan. Menurut Susanto dkk. (2013) bahwa Lantai kandang terbuat dari semen sehingga
tidak licin serta dibuat agak miring agar mudah dibersihkan, atap kandang terbuat dari genting.
2.3.14 Penanganan dan Pemanfaatan Limbah.
Limbah peternakan khususnya ternak sapi merupakan bahan buangan dari usaha
peternakan sapi yang selama ini juga menjadi salah satu sumber masalah dalam kehidupan manusia
sebagai penyebab menurunnya mutu lingkungan melalui pencemaran lingkungan, menggangu
kesehatan manusia dan juga sebagai salah satu penyumbang emisi gas efek rumah kaca. Pada
umumnya limbah peternakan hanya digunakan untuk pembuatan pupuk organik. Untuk itu sudah
selayaknya perlu adanya usaha pengolahan limbah peternakan menjadi suatu produk yang bisa
dimanfaatkan manusia dan bersifat ramah lingkungan. Menurut Slana, et al. (2011) pengolahan
limbah feses sapi menggunakan proses fermentasi dengan menggunakan bantuan bakteri pathogen
terutama Escherichia coli, Salmonella spp.,Listeria monocytogenes, Yersinia enterocolitica,
Clostridium spp., Atau Mycobacterium avium subsp. Paratuberkulosis yang bersifat zoonosis,
oleh karena itu perlu penanganan khusus untuk mengurangi resiko.

19
Pengolahan limbah peternakan melalui proses anaerob atau fermentasi perlu digalakkan
karena dapat menghasilkan biogas yang menjadi salah satu jenis bioenergi. Pengolahan limbah
peternakan menjadi biogas ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar
minyak yang mahal dan terbatas, mengurangi pencemaran lingkungan dan menjadikan peluang
usaha bagi peternak karena produknya terutama pupuk kandang banyak dibutuhkan masyarakat.
Menurut Rahayu, dkk. (2009). Biogas adalah gas mudah terbakar (flammable) yang dihasilkan
dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup
dalam kondisi kedap udara). Sedangkan menurut Hidayati, dkk (2010) bahwa rata-rata jumlah
bakteri total feses pada awal dan akhir pembentukan gasbio setelah dianalisis terjadi penambahan
jumlah bakteri total pada lumpur, diduga bakteri yang ada pada lumpur merupakan sekumpulan
bakteri yang berperan dalam pembentukan gasbio.

Gambar 8. Saluran kotoran ternak menuju tempat penampungan biogas

Kotoran sapi dapat di manfaatan sebagai energi pada peternakan bapak suwono kotoran
ternaknya di manfaaatkan untuk biogas yang nantinya biogas ini di manfaatkan sebagai bahan
bakar untuk memasak. Biogas yang dihasilkan bapak suwono hanya di gunakan untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya dan tidak untuk komersial. Menurut Cuellar, et al. ( 2008). Energi dari
biogas bisa diubah menjadi listrik dengan efisiensi yang tinggi 34-40% untuk turbin besar dan
dengan efisiensi 25% untuk generator yang lebih kecil.
Dalam pembuatan biogas di peternakan pak suwono selain feses sapi dimasukan juga sisa-
sisa pakan kedalam digester sebagai bahan pengisi agar tidak ada limbah yang tersisa dan dapat
mencemari lingkungan. Menurut Wahyuni daan Surajudin. (2006) bahwa bahan pengisi digester
berupa bahan organic, terutama limbah pertanian dan peternakan. Selama ini limbah yang paling
umum di gunakan sebagai bahan pengisi adlah kotoran sapi hal ini disebabkan oleh potensi limbah
dari peternakan sapi (dihitung per ekor) lebih banyak sehingga dengan memelihara 5-10 ekor sapi
sudah menghasilkan limbah cukup banyak.

2.3.15 Kualitas Susu di Lokasi Praktikum


Susu adalah cairan bergizi berwarna putih yang dihasilkan oleh kelenjar susu
mamalia betina. Susu adalah sumber gizi utama bagi bayi sebelum mereka dapat mencerna
makanan padat. Susu binatang (biasanya sapi) juga diolah menjadi berbagai produk seperti
mentega, yogurt, es krim, keju, susu kental manis, susu bubuk dan lain-lainnya untuk konsumsi
manusia. Menurut Bytyqi, et al. (2010) Susu adalah produk hewani dengan nilai gizi tinggi yang

20
disintesis oleh sel khusus kelenjar susu, yang hampir steril saat disekresikan dari alvoli ambing
sapi perah. Biasanya, dalam susu dari kelenjar susu yang sehat, sel somatic lebih rendah dari
100.000 sel / mL, sementara infeksi bakteri dapat menyebabkannya meningkat diatas 1.000.000
sel somatic / mL.
Pada peternakan pak suwono menghasilkan susu rata-rata sekitar 6-10
liter/ekor/hari dengan harga 1 liter susu Rp. 5000 dan kandungan lemak 4% dan berat jenis 1.024
g/ml. Hal ini tentunya jauh dari standart yang berlaku SNI Berat jenis pada susu segar sekitar 1,027
g/ml dan lemak sekitar 3,8%. Tingginya lemak susu yang berada pada peternakan pak suwono
mungkin di pengaruhi oleh kualitas paka yang di berikan. Menurut Utami, dkk. (2013) Kandungan
lemak dalam susu ini tergolong tinggi karena rata-rata rasio rumput dan konsentrat yang diberikan
adalah 87:13%. Pakan yang banyak mengandung hijauan akan menyebabkan kadar lemak susu
tinggi. Sedangkan menurut Angraeni (2012) Selain itu, kualitas susu seperti solid non fat (SNF),
lemak, dan total plate count (TPC) juga menjadi pertimbangan dalam penjualan susu segar dan
penyesuaian harga susu tingkat peternak.
KUD di daerah pesangrahan sekitar peternakan milik bapak suwono melihat
kualitas susu segar berat jenis dan kandungan lemak. Setelah di ketahui kadar berat jenis dan lemak
kemudian ditentukan harga susu perliternya. Menurut Walstra, et al. (2006) Kualitas susu segar
memiliki beberapa aspek, yang terpenting adalah komposisi dan kualitas higienis. Yang pertama
dapat dengan mudah dinilai dengan menentukan, katakanlah, kandungan lemak dan protein dalam
susu segar kemudian di tentukan harga susu segar.
Syarat kualitas air susu segar di Indonesia telah dibakukan dalam Standart Nasional
Indonesia (SNI 01-3141-1997), dimana pemeriksaan cemaran mikroba dalam air susu segar
meliputi uji pemeriksaan dengan angka lempeng total (batas maksimum mikroba 3,0 106
koloni/ml), Escherichia coli (maksimum 10/ml), Salmonella (tidak ada), Staphylococcus
aureus (maksimum 10 koloni/ml). Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas susu adalah
Keadaan kandang sapi, Keadaan rumah pemerah, Keadaan kesehatan sapi, keadaan kesehatan
pemerah, pemberian pakan, kebersihan hewan, kebersihan alat pemerah, penyaringan susu, dan
penyimpanan susu. Menurut Srujana, et al. (2011) Susu merupakan makanan bergizi bagi manusia,
juga berfungsi sebagai makanan yang baik media untuk pertumbuhan banyak mikroorganisme,
terutama Lactobacillus, Streptococcus, Staphylococcus dan Micrococcus sp. Kontaminasi bakteri
susu mentah bisa berasal dari berbagai sumber dari hewan seperti udara, peralatan pemerah susu,
pakan, tanah, kotoran dan rumput.

2.3.16 Kandang
Kandang adalah bangunan sebagi tempat tinggal ternak yang ditujukan untuk melindungi
ternak dari resiko yang merugikan. Misalnya terik matahari, hujan, angin, gangguan binatang buar
dan lain-lain, dan tentu saja kandang dibutuhkan untuk memudahkan dalam manajemen nya.
Kandang sapi perah milik bapak Suwono terletak di belakang rumahnya. Santosa dkk (2013)
menyatakan bahwa Lokasi kandang berada di belakang rumah bahkan ada beberapa kandang yang
menempel dengan rumah pemilik. Bangunan kandang umumnya merupakan bangunan semi

21
permanen mulai dari yang sederhana sampai dengan penggunaan konstruksi beton. Model
bangunan kandang di Kecamatan Musuk dibuat terbuka.

Gambar 9. Kandang sapi laktasi

Lantai kandang terbuat dari semen dan dilapisi alas berupa karpet karet agar tidak licin,
sanitasi kandang yang biasa dilakukan oleh bapak Suwono yaitu lantai dbersihkan dengan cara
disiram dengan air, digosok dengan sikat dan sekop untuk membersihkan kotoran sapi. Hal ini
dilakukan untuk menjaga kebersihan dan juga mencegah penyakit. Penyataan dari Rahman dan
Rauf (2013) bahwa Lantai kandang terbuat dari semen sehingga tidak licin serta dibuat agak miring
agar mudah dibersihkan, atap kandang terbuat dari genting. Sedangkan perawatan sapi laktasi
berkaitan dengan kebersihan kandang setiap hari agar sapi senantiasa bersih dan bebas dari kotoran
sehingga susu yang diperoleh tidak rusak dan tercemar.
Manajemen perkandangan sangat penting untuk menjaga keberlangsungan sapi perah
kondisi didalam harus diperhatikan, kebersihan, dan kandang tidak terlalu lembab, mendapat sinar
matahari yang cukup. Pernyataan dari Marce et al (2011) bahwa beberapa persyaratan kandang
sapi perah yaitu kondisi kandang di usahakan untuk tidak terlalu lembab, lantai tidak tergenangi
air, cukup mendapatkan sinar matahari, ventilasi dan sirkulasi udara baik, sumber air mudah
dijangkau, efektif dan sfisien dalam penggunaan tenaga kerja, proses pembuangan feces dan
kotoran lain baik padat ataupun cair dapat berlangsung dengan baik,
Kandang sapi perah laktasi masing-masing dilengkapi tempat pakan dan minum, kandang
berukuran 12 m x 4 m di dalam nya memuat enam ekor sapi perah laktasi. Sudono dkk (2011)
menyatakan bahwa kandang sapi laktasi biasanya dibuat satu jajar dengan jumlah genap karena
satu bak air disediakan untuk dua ekor sapi.
Di dalam kandang terdapat enam ekor sapi laktasi yang rata-rata produksi susu nya tidak
sama. Sebaiknya dilakukan seperti pernyataan dari Angrecka dan Herbut (2011) bahwa Sapi yang
telah berproduksi dikelompokkan dalam satu kandang. Pengelompokan ini sebaiknya berdasarkan
tingkat produksi susu sehingga, sapi yang berproduksi tinggi tidak bercampur dengan sapi yang
berproduksi rendah.

2.4 Sapi Periode Kering


2.4.1 Lama Pengeringan
Lama pengeringan adalah menghentikan pemerahan selama 8 minggu menjelang sapi
melahirkan kembali pada sapi yang mengalami periode laktasi kedua dan seterusnya. Rahman dkk

22
(2014) menyatakan bahwa Masa kering adalah periode atau lamanya sapi berhenti diperah hingga
sapi beranak, dihitung berdasarkan jumlah hari. Dihitung sejak tanggal sapi diberhentikan diperah
sampai dengan tanggal beranak..
Pemulihan jaringan ambing yang berlangsung selama periode kering diperlukan untuk
mempersiapkan sapi pada kondisi optimal untuk berlaktasi berikutnya. Hal ini sesuai dengan
pernyataan dari Pezeshki et al (2011) bahwa masa kering diperlukan untuk memudahkan
perputaran sel di dalam kelenjar ambing sapi dan mengoptimalkan produksi susu pada laktasi
berikutnya. Masa kering 8 minggu telah lama menjadi standar manajemen untuk sapi perah
Panjang atau pendek nya masa kering akan mempengaruhi produksi dalam satu masa
laktasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Anggraeni dkk (2010) bahwa masa kering memberi
kesempatan kelenjar ambing untuk beregresi, proliferasi dan differensiasi, sehingga stimulasi
produksi susu dari laktasi berikutnya menjadi maksimal.
Lama kering yang panjang berpengaruh lebih merugikan dibandingkan lama kering
singkat. Tetapi kering kandang atau masa istirahat yang terlalu singkat juga dapat menyebabkan
produksi air susu pada masa laktasi berikutnya menjadi rendah. Sedangkan menurut Vries (2017)
memperpendek atau menghilangkan masa kering sapi dengan kesehatan kelenjar ambing yang baik
akan diperoleh susu dengan kandungan protein lebih tinggi dengan sedikit perbedaan dalam
komposisi protein.
Sapi yang berproduksi rendah pun biasanya akan dipaksa untuk dikeringkan demi efisiensi
pengeluaran pakan. Sapi perah yang berproduksi rendah biasanya akan diberikan pakan yang
kualitasnya lebih rendah dari pakan untuk sapi laktasi dikarenakan untuk mencegah kerugian atau
dijual apabila tidak meningkat produksinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Syarif dan
Harianto (2011) pemberian complete feed dan ampas tahu dikurangi pada sai yang sedang
mengalami masa kering.

2.4.2 Pakan
Pada saat sapi perah dalam kondisi kering, kebutuhan akan konsumsi pakan penting untuk
di perhatikan. Hal ini di maksudkan untuk menjaga kesehatan sapi itu sendiri serta untuk menjaga
kesehatan kandungan ternak tersebut. Ternak diberikan sedikit hijauan dan pengurangan bahkan
penghentian pemberian konsentrat pada masa awal kering, sedangkan pada akhir masa kering
hijauan di kurangi dan diikuti dengan penambahan konsentrat tetapi tidak berlebihan. Menurut
Pezeshki et al (2012) Strategi manajemen pakan sapi pada periode kering yaitu jumlah hijauan dan
jumlah pemberian konsentrat seperti biasa serta pernyataan dari Meganck et al (2014) hal ini untuk
mengoptimalkan peran pakan ternak dalam meningkatkan bobot yang ideal dan tepat untuk
perkembangan janin bukan untuk produksi susu.
Sapi periode kering di beri pakan dua kali dalam sehari. Pakan yang diberikan yaitu berupa
rumput gajah dan konsentrat yang di combor. Pemberian air minum dilakukan secara ad libitum
hai ini sesuai dengan Santoso dkk (2013) yang menyatakan bahwa sistem pemberian pakan pada
umumnya dilakukan sebanyak dua kali yaitu pagi dan sore hari. Hijauan segar diberikan sebanyak
25-30 kg setiap hari. Pemberian pakan dilakukan setelah pemerahan. Pemberian konsentrat jadi

23
sebanyak 4-5 kg dan diberikan 2 kali sehari. Air minum tidak diberikan secara ad libitum sebab
peternak hanya memberikan air minum pada saat memberikan komboran.
Fase kering awal dimulai saat sapi dikeringkan hingga 2 3 minggu sebelum beranak. Pada
fase ini, sapi perah dengan kondisi baik hanya membutuhkan hijauan yang berkualitas baik. Induk
sapi yang kondisinya kurang baik membutuhkan makanan penguat untuk memperbaiki kondisi
akibat laktasi sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Syarif dan Harianto (2011) bahwa
pemberian pakan hijauan tetap berpatokan pada 10% dari bobot hidup
Fase kering akhir dimulai 2 3 minggu sebelum beranak. Sapi kering sebaiknya diberi
konsentrat yang setara dengan konsentrat puncak produksi. Tujuannya untuk pertumbuhan bakal
pedet, produksi kolostrum, dan pedet yang kuat waktu lahir. Pemberian berlangsung hingga sapi
mencapai produksi puncak 2 3 bulan setelah beranak. maksudnya untuk mempersiapkan tubuh
sapi dalam kondisi puncak sewaktu mulai berpoduksi. Jika nutrisi dalam pakan tidak mencukupi
maka cadangan zat gizi dalam tubuh dikuras sehingga sapi menjadi kurus, lemah, dan bahkan
lumpuh. Hal ini pun sebanding dengan pernyataan dari Utomo dan Miranti (2010) bahwa kering.
Kualitas pakan (hijauan dan konsentrat) yang rendah untuk perah akan berdampak tidak baik
terhadap produksi susu. Sehingga perlu di tambah dalam pemberian hijauan dan konsentrat.

2.4.3 Bobot Badan Dan BCS


Hasil fieltrip yang telah dilakukan dipeternakan bapak suwono memiliki sapi priode
kering satu ekor dimana memiliki Bcs 3 dan ld 173 hal ini sesuai dengan pernyataan SUKANDAR
dkk (2009) Pola perubahan BCS berkaitandengan perubahan komposisi tubuh sapi perah. Setelah
beranak, sapi perah akan mengalami peningkatan konsumsi pakan yang lambat, peningkatan
produksi susu yang cepat dan peningkatan mobilisasi cadangan lemak tubuh untuk melengkapi
ketidakcukupan konsumsi pakan akibat peningkatan kebutuhan produksi susu tinggi saat awal
laktasi. Untuk itu sejumlah cadangan lemak tubuh dimobilisasi saat awal laktasi yang menurunkan
cadangan lemak tubuh selama satu sampai dua minggu setelah beranak, sampai pengembalian
kondisi tubuh terjadi. Pola perubahan BCS secara umum akan menurun selama 2 3 bulan awal
laktasi kemudian berlangsung pengembalian kondisi sampai dengan pertengahan laktasi. Pada saat
periode kering diperlukan manajemen pemulihan. Deposit lemak tubuh diperlukan dalam
pemulihan kondisi tubuh sapi setelah mengalami proses produksi, sehingga bisa digunakan sebagai
energi untuk produksi susu pada periode laktasi berikutnya. Saat 100 hari terakhir laktasi
merupakan periode kritis untuk mengatur kondisi tubuh.
Sebagai ilustrasi, jika sapi dalam kondisi tubuh kurus, persediaan energi berlebih penting
untuk mengembalikan kondisi tubuh dan kehilangan bobot badan selama laktasi. telah
mengevaluasi hubungan antara BCS dan produksi susu pada laktasi pertama dan memperoleh
hubungan kuadratik antara BCS dan produksi susu 90 hari pertama laktasi. Produksi susu
meningkat lebih cepat saat BCS meningkat dari angka 1 sampai 3 dan mencapai stabil saat 3,50;
sedangkan BCS yang melebihi 3,50 menyebabkan penurunan produksi susu 90 hari laktasi
pertama.

24
Hasil fieltrip yang telah dilakukan dipeternakan bapak suwono BCS sapi yang sedang
dalam masa kering memiliki poin 3 tubuh menggambarkan cadangan lemak tubuh ternak yang
akan digunakan sapi periode laktasi pada saat tidak cukup mendapatkan nutrien untuk produksi
susu, sehingga saat periode kering perlu dijaga kondisi tubuh. Hal ini sesuai dengan pendapat
Purwanto dll (2013) tubuh dan bobot lahir anaknya yang baik akan mempengaruhi produksi susu
yang optimal. Kondisi tubuh menggambarkan cadangan lemak yang dapat digunakan sapi perah
sebagai energi untuk mengoptimalkan produktivitasinya terutama selama pertumbuhan fetus dan
produksi susu. Untuk memelihara kondisi tubuh ideal sesuai dengan status fisiologi laktasi dapat
digunakan Body Condition Score (BCS), yang merupakan suatu metode untuk memberi skor
kondisi tubuh ternak baik secara visual maupun dengan perabaan terhadap lemak tubuh pada
bagian tertentu tubuh ternak.
Besar kecilnya bobot lahir pedet berkaitan dengan kondisi tubuh induk pada saat bunting,
dengan manajemen yang baik dan pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan nutrisinya
diharapkan juga akan meningkatkan produksi susu. evaluasi dengan BCS efektif untuk mengukur
sejumlah energi metabolik yang disimpan sebagai lemak subcutan dan otot pada ternak. bahwa
kondisi tubuh saat periode kering diperlukan untuk pengembalian kondisi tubuh pada periode
laktasi berikutnya. Kondisi tubuh optimal dan saat mengalami periode kering diharapkan dapat
mencapai produksi maksimum. Pemberian pakan berenergi tinggi perlu diberikan pada saat
pertengahan laktasi sampai akhir laktasi sehingga memiliki cadangan lemak tubuh yang banyak
dan mampu digunakan sebagai energi untuk kebutuhan induk, perkembangan fetus serta produksi
susu secara optimal.

Grafik 1. Rataan body condition score berdasarkan periode laktasi dan periode kering

25
Gambar 2 menjelaskan rataan BCS dikelompokkan berdasarkan tahapan laktasi mulai dari saat
beranak, awal laktasi, puncak produksi, pertengahan laktasi, akhir laktasi dan periode kering.
Rataan BCS sapi dewasa saat beranak tidak ditemukan sampel penelitian. Rataan BCS sapi dewasa
di Cilumber menurun mulai dari awal laktasi sampai puncak produksi susu, kemudian rataan BCS
meningkat sampai akhir laktasi dan sedikit menurun saat periode kering. Rataan BCS sapi dewasa
masih berada dibawah rekomendasi Hal ini menunjukkan bahwa peternak kurang memperhatikan
manajemen pemeliharaan sapi perah.
Berdasarkan grafik 1 bahwa rataan BCS saat periode kering adalah 2,87 0,39. Hal ini
tidak sesuai dengan rekomendasi rataan BCS minimum saat periode kering adalah 3,25.
Selanjutnya, menambahkan bahwa BCS ideal saat periode kering adalah 3,50. Sebelumnya,
menyatakan bahwa saat 100 hari terakhir masa laktasi merupakan periode kritis untuk mengatur
kondisi tubuh. Energi berlebih saat periode kering penting untuk mengembalikan kondisi tubuh
dan bobot badan yang hilang selama laktasi. Kondisi tubuh saat periode kering memerlukan waktu
untuk penyesuaian, ketika BCS kurang optimal maka pemberian pakan berenergi tinggi harus
ditingkatkan selama pertengahan sampai akhir laktasi.
Hasil Fieldtrip yang telah dilakukan dipeternakan bapak Suwono menunjukkan bahwa
BCS periode kering menunjukkan bahwa antara produksi susu dengan BCS tidak memiliki
hubungan yang berarti. Hal ini sesuai dengan pendapat Bahroz et al (2010) Hasil analisis tersebut
menunjukkan bahwa antara produksi susu dengan BCS tidak memiliki hubungan yang berarti.
Kondisi tersebut diduga karena pakan tercerna yang diberikan pada ternak induk sapi perah masih
belum dapat mencapai maksimal dalam menyimpan cadangan lemak tubuh yang berpengaruh
terhadap nilai Body Condition Score (BCS) ternak sapi perah, meskipun TDN sudah memenuhi
standar sebesar 79,4 kg dan kekurangan protein kasar sebesar 0,24 kg menyebabkan nutrien
tersebut hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan pertumbuhan fetus
sehingga nilai BCS yang dihasilkan rendah.bahwa sapi perah yang diberikan supplemen by-pass
protein telah berhasil mempertahankan deposisi lemak selama masa kering dan telah menunjukkan
produksi susu sebanyak 17 % selama 12 minggu pertama laktasi. bahwa setelah beranak sapi perah
akan mengalami kesulitan menyediakan nutrisi untuk produksi susu karena konsumsi pakan
terbatas, sehingga cadangan lemak tubuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan.

Hasil Fieldtrip yang telah dilakukan dipeternakan bapak Suwono Body Condition Score
(BCS) sapi periode kering mencapai 3. Hal ini menunjukkan bahwa saat periode kering
penyimpanan cadangan lemak tubuh lebih sedikit daripada akhir laktasi. Hal ini dikarenakan
peternak kurang memperhatikan pemberian pakan, sehingga persediaan cadangan lemak tubuh
untuk produksi susu maksimum periode laktasi berikutnya akan terganggu. Menurutumpapol et al
(2010) bahwa kondisi tubuh saat periode kering diperlukan untuk pengembalian kondisi tubuh
pada periode laktasi berikutnya. Kondisi tubuh optimal dan saat mengalami periode kering
diharapkan dapat mencapai produksi maksimum.

26
Menurut sunarko dkk (2009) Penilaian dilakukan padasaat bunting tua mendekati kelahiran
(1 ulan prapartus) hal ini karena pemanfaatan energi pakan difokuskan pada reproduksi >
pertumuhan >hidup pokok > persiapan laktasi berikutnya. Standar BCS pada priode ini 3,5-4,0.
Menurut hasil Fieldtrip yang telah dilakukan dipeternakan bapak Suwono BCSsapi priode kering
tidak mencapai angka 3,5 dikarenakan manajemen yang kurang baik.

2.4.4 Kandang
Hasil fieltrip yang telah dilakukan dipeternakan bapak suwono pemersihan kandang
dilakukan pada pagi dan sore hari dengan menggunakan alat yang masih tradisonal seperto skop,
emer dan air yag mengalir melalui pipa air. Hal ini sesuai dengan Kasim (2011) ahwa mulai dari
pembersihan kandang dilakukan oleh pemilik ternak pada pagi hari dan sore karena pada
umumnya anak-anak mereka bersekolah. Secara geografis terletak antara koordinat 3o1436
3o500 LS dan antara 119o45 120o63 BS, serta berada pada ketinggian 47 3.329 m di
atas permukaan laut, kondisi ini menjadikan topografi wilayah dari sejumlah desa yang ada
dengan kondisi 90,97% berbukit (98 desa) dan sisanya 9,03% (10 desa) berupa dataran. Geografi
dan topografi wilayah tersebut mendukung untuk pengembangan peternakan khususnya sapi
perah.

Gambar 9. Kandang sapi priode kering

Hasil fieltrip yang telah dilakukan dipeternakan bapak suwono menggunakan karpet dari
bahan karet sebagai alas pijakan sapi, ini bertujuan agar sapi tidak mudah tergelincir dan
mempermudah pergeraka sapi. Hal ini sesuai dengan pendapat Wheeler and Professor (2012)
bahwa penggunaan karpet pada lantai kandang sapi perah ternyata dapat memperkecil kejadian
luka kaki dan infeksi terhadap puting yang menyebabkan kejadian mastitis.Bahan karet memiliki
daya tahan yang lebih lama dari pada bahan bambu dan kayu yang mengakibatkan kejadian
mastitis rendah. Cara membersihan kotoran pada bahan karet juga lebih mudah karena bahannya
rata, masif dan tidak menyerap air. Kesadaran peternakan juga kurang dalam membersihkan lantai
kandang sehingga menimbulkan penumpukkan kotoran.
Hasil fieltrip yang telah dilakukan dipeternakan bapak suwono bahan lantai kandang yang
digunakan bersifat permanen yaitu menggunakan eton seagai lantai dan termpat minum dan lantai
dieri alas karpet karet karenamenurut bahan eton awet dan mudah dilakukan pembersihan, hal ini
sesuai dengan pendapat Aziz dkk (2013) bahwa Peternak umumnya kurang memperhatikan bahan

27
lantai kandang yang mereka gunakan, padahal lantai kandang sangat penting sebagai tempat yang
paling dekat pada saat produksi khususnya susu, interaksi yang paling sering dilakukan oleh puting
dan ambing yaitu pada lantai, apabila lantai kandang kotor akan dapat dipastikan puting akan
terkontaminasi oleh bakteri yang berdampak pada turunnya kualitas susu. Lantai tidak boleh asal-
asalan dengan bahan yang seadanya, letak kemiringan antara 2-3%, adanya cekungan dalam lantai
juga dapat menyebabkan genangan kotoran ataupun air didalamnya yang akan menyebabkan
sumber penyakit. untuk mengetahui berapa besar korelasi bahan dapat mempengaruhi kejadian
mastitis adalah metode regresi dan korelasi berganda (Arikunto, 2006). Untuk mengetahui
hubungan antara bahan dan tingkat kebersihan lantai kandang terhadap kejadian mastitis dapat
menggunakan bentuk taksiran persamaan regresi linier berganda. Tingkat kebersihan lantai
kandang harus selalu dijaga, karena lantai merupakan tempat yang paling dekat dengan puting
yang memproduksi susu yang dapat mengkontaminasi puting dan merusak tingkat pertahanan
puting yang akan menyebabkan mastitis. lantai kandang kotor, ditunjukkan dengan adanya fases
dan urine yang cukup banyak, namun hasil uji CMT menunjukkan mastitis hanya berkisar antara
1-2 yang berarti terjadi mastitis subklinis, yang akan mengakibatkan menurunya kualitas dan
jumlah produksi susu.
Hasil fieltrip yang telah dilakukan dipeternakan bapak suwono menggunakan kandang yag
ersifat permanen dimana kandang di uat dari ahan eton dan tata letak kandang menghadap ke timur
agar sapi mendapat cahaya langsung dari matahari. Hal ini sesuai dengan pendapat Alejandro at
all (2012) ahwa Perbaikan lantaikandang dengan lantai diplester semen dan menggunakan karpet
karet, tempat pakan serta minum permanen.
Hasil fieltrip yang dilakukan dipeternakan bapak suwono kandang yag digunaka ternak
masa kering di pisah dari ternak yag sedang laktasi pemisahan ini ertujuan untuk mempermudah
recording, hal ini sesuai dengan sudono dkk(2009) peredaan kandang untuk sapi yag akan beranak
atau kandang kering sangat penting hal ini disebabkan Sapi yag akan beranak memerlukan exercise
atau latihan persiapan malehirkan (bisa berupa jalan-ajaln didalam kandang) untuk merangsang
kelahiran normal. Dikandang ini,sapi tidak diperah susunya selama sekitar 2 ulan. Dengan
demikian, pakan yag dimakan hanya untuk keutuhan ana yag berada didalam kandungan dan
keutuhan hidup dalam memersiapkan kelahiran.Kandang sapi kering dapat dibuat secara koloni
untuk 3-4 ekor sapi tanpa disekat satu sma lain. Ukuran ideal kandang sapi kering per ekor adalah
2-2,5x7x1 m (lear 2-2,5 m, panjang 7, dan tinggi 1m).

28
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1.1 Kesimpulan Dan Saran Untuk Lokasi Praktikum


Dipeternakan apak suwono memiliki sapi 8 ekor sapi perah jenis Peranakan Friesien
Holstain (PFH) dengan jumlah sapi laktasi 6 ekor, sapi kering 1 unting 1 ekor dan pedet 2
ekor.pakan yag dierikan 2 kali sehari yaitu di pagi hari dan sore hari dengan skala pemeria pakan
pedet , hijauan : rumput gajah 5 kg dan konsentrat 5 kg, pakan sapi laktasi rumput gajah 6 kg dan
konsentrat 7 kg, dan sapi priode kering , pakan hijauan 4 kg dan pakan konsentrat 7 kg. dan
pemeeria vitamin pada setiap ternak erupa mineral. Frekuensi pemerahan dilakukan di pagi hari
jam 06.00 dan sore hari 03.00 menggunakan teknik pemerahan dengan manual feildhand atau
tanpa menggunakan alat pemerah dengan jumlah produksi susu masing-masing ternak rata-rata
mencapai 4 liter. Susu hasil pemerahan akan disetor ke KUD dengan harga Rp.3000/liter .
penenganan limah kotoran ternak apak suwono memiliki penampungan yang erupa tempat seperti
sumur yag nantinya digunaka sendiri seagai iogas untuk memasak.

Saran Lokasi Praktikum


Manajemen kebersihan kandang dan sanitasi yang harus diperbaik, jenis pakan sebaiknya lebih
berpariasi dan penggunaan vitamin yang leih teratur. Adanya data recording yang lengkap
mencakup seluruh ternak.

3.1.2 Kesimpulan Dan Saran Untuk Kegiatan Praktikum


Factor penting yang harus diperhatikan adalah manajemen yang memegang perana
penting dala usaha ternak perah. Sehingga pengetahuan, keterampilan tentang
manajemen terna perah khususnya manajemen pemeliharaan pedet,sapi dara,
manajemen perkandangan, manajemen pakan, manajemen penanganam dan kesehatan
sapi perah. Pemeliharaan sapi perah di Desa pesagrahan dilakukan secara tradisional dan
produksi susu rata-rata di desa pesagrahan juga masih rendah, oleh karena itu diperlukan upaya
peningkatan kapasitas produksi. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
dengan jalan memperbaiki manajemen pemeliharaan, terutama faktor pakan dan sistem
perkandangan.
Produktivitas sapi perah yang masih rendah disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain
kualitas genetik ternak, tatalaksana pakan, umur beranak pertama, periode laktasi, frekuensi
pemerahan, masa kering kandang dan kesehatan. Penyebab rendahnya produksi susu adalah pakan
(kualitas dan kuantitas), tata cara pemerahan, sistem perkandangan, sanitasi dan penyakitterutama
mastitis .

29
Saran kegiatanPraktikum
Praktukum sebaiknya dilaksanakan ditempat fieltrip yang telah ditentukan oleh asisten dan
filtrip sebaiknya dilaukan di suatu peternakan yang besar dan memiliki system manjemen yang
baik sehingga dapat menjadi contoh dalam pelaksanaan penerapan ilmu yang dbierikan saat
perkuliahan dengan dilapangan.

30
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

AAK. 2007. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Yogyakarta: Kanisius


Adika Putra. 2009. Potensi Penarapan Produksi Bersih Pada Usaha Sapi Perah (Studi Kasus
Pemerahan Sapi Moeria Kudus Jawa Tengah). TESIS
Affandhy, L., M. A. Yusran dan M. Winugroho. 2010. Pengaruh Frekuensi Pemisahan Pedet Pra-
Sapih Terhadap Tampilan Reproduktivitas Induk Dan Pertumbuhan Pedet Sapi
Peranakan Ongole. Seminar Nasional Teknologi Petrenakan dan Veteriner: 147-154
Ahmad.R.Z. 2010. Beberapa Penyakit Dan Mikotik Pada Sapi Perah Yang Harus Diwaspadai.
Seminar Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas. Hal: 316
321
Alejandro.I.C;Xolalpa.C.V.M.Ruiz.L.C.G,Espinosa.C.R;Crdova.J.C.A;Jurez.M.M.d.L,Mndez
. M.M;Huerta.C.R;Villa.M.A. and Olivares.P.J. 2012. Effect Of Animal Welfare On
Reproductive Parameters In Dairy Cows. Journal of Applied Sciences Research. 8(6):2866-2867

Amanda D Cuellar1and Michael EWebber. 2008. Cow Power: The Energy And Emissions
Benets Of Converting Manure To Biogas. Environmental Research Letters. 3 : 1-9.
A Maria.2009. The Importance of Shade for Dairy Cattle in Sweden.2(3):1-40

Anang.S.A;Puguh.S; Sarwiyono.2013.Relationship Between Materials And Level Cleanliness Of


House Floors On The Incidence Of Mastitis Dairy Cattle In Tutur Subdistrict Pasuruan
Regency.Jurnal Peternakan 1(1):3-4
Anggraeni. A. 2012. Perbaikan Genetik Sifat Produksi Susu Dan Kualitas Susu Sapi Friesian
Holstein Melalui Seleksi. Wartazoa 22(1) : 1-11.
Anggraeni, A; Fitriani, Y; Atabani, A; Sumantri, C; Komala, I. 2010. Pengaruh Masa
Laktasi, Masa Kering, Masa Kosong dan Selang Beranak pada Produksi Susu Sapi
Friesian-Holstein di BPPT SP di Cikole, Lembang. Seminar Nasional dan Teknologi
Veteriner. 319 325.

Angrecka, S; Herbut, P. 2015. Conditions for Cold Stress Development in dairy Cattle Kept in
Free Stall Barn During Severe Frosts. Czech. Journal Animal Science. 60(2) : 81-87.

Anggraeni,anneke.2008.Milk Production and Reproductive Performances of Holstain

Friesian Dairy Cattle at Cikole Dairy Cattle Breeding Station, Lembang.Seminar

Nasional Teknologi Peternakan.

31
Aryogi, P. W., Prihandini dan D. B. Wijono. 2006. Pola Pembibitan Sapi Potong Lokal Peranakan
Ongole Pada Kondisi Peternakan Rakyat. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner: 192-199

Atabany.A,P.B.Purwanto.2011. Hubungan Masa Kosong dengan Produktivitas pada Sapi

Perah Friesian Holstein di Baturraden, Indonesia.Media Peternakan.2(34):77-80

Bahroz,M,S,Nazhad,N and Talal,Y.2010.Effect of Body Condiion Score On Productiv


Performance On Local Karadi Cows.Journal Of Zankoy Sulaimani.13(1):121-128
Bytyq. H., Urs Zaugg., Kurtesh Sheri., Afrim Hamidi., Muje Gjonbala., Skender Muji., and
Hajrip Mehmeti. 2010. Inuence Of Management And Physiological Factors On Somatic Cell
Count In Raw Cow Milk In Kosova. Veterinarski Arhiv 80 (2) : 173-183
Bugiwati, S. R. A. 2013. Pertumbuhan Dimensi Tubuh Pedet Jantan Sapi Bali Di Kabupaten One
Dan Barru Sulawesi Selatan. JITP. 1(2) : 1-9
Budiyanto. A dan S.Usmiati. 2008. Pemerahan Susu Secara Higienis Menggunakan Alat Perah
Sederhana. Seminar Nasional Tenologi Peternakan Dan Veteriner. Hal: 327 334
Bahroz M.S. Ahmed N.N. MaarofAnd T Y. Petrus 2013.Effect Of Body Condition Score On
Productive Performance Of Local Karadi Cows. (JZS) Journal Of Zankoy Sulaimani. 13(1):121-
122

Dameria holaho.Ruth,Siswanto Imam dan Sudiyono.2013.Analisis Profitabilitas pada Usaha

Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Semarang.Jurnal Pengembangan


Humaiora.1(13):66-70.
Dahlanuddin., K. Puspadi., C. McDonald., M. V. Wensveen., B. Pengelly dan A. Samad. 2008.
Percepatan Adopsi Model Pembibitan Sapi Bali Berbasis Kandang Kelompok Di
Pulau Lombok. Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong: 39-48
Endang,S,Kadarsih,LSutarno dan Gilbert,T.2008.Performans Produksi Susu Sapi Perah FH di
Desa Air Duku dan Air Putih Kali Bandung Kecamatan Selupu Rejong Kabupaten Rejang
LEbong Bengkulu.3(2):75-80
Eileen.F.W;Professor. 2012. Animal Welfare Education From An Engineering Perspective: USA
Penn State Initiative. Conference Presentation.12(8):4

Gayatri.S,A.Setiadi dan Brance.2005. Economic Analysis on Dairy Cattle Scheme of

Farmers in Pakem Sub Province Sleman Yogya.Seminar Teknologi Peternakan.328 330.

32
Hartati., Mariyono dan D. B. Wijono. 2006. Nilai Ekonomis Pembibitan Sapi Pada Kondisi Pakan
Low External Input. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner: 292-298
Hartati dan Dicky, M. D. 2007. Performans Pedet Sapi Peranakan Ongole (Po) Pada Kondisi Pakan
Low External Input. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner: 137-142
Hadziq, A. 2011. Status Fisiologis Dan Performa Pedet Peranakan Friesian Holstein Prasapih
Yang Diinokulasi Bakteri Pencerna Serat Dengan Pakan Bersuplemen Kobalt.
(SKRIPSI): Fakultas peternakan IPB
Isnaeni.W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta : Kansius
Islam, A.K.M. A. Rahman1, S. A Rony2 and M. S. Islam.2010. Prevalence and Risk Factors of
Mastitis In Lactating Dairy Cows at Baghabari Milk Shed Area Of Sirajganj. Bangl. J.
Vet. Med. 8(2) : 157 162

Imam Santoso,siswanto,Agus setiadi dan Ratih wukandari.2013. Potential Analysis of Dairy

Cattle Development Througt Agribussines Paradigma in Musuk Sub District

Boyolali Regency.Bulletin.2(37):126-128.
Hidayati. Y. A., Ellin. H., dan Eulis. T. M. 2010. Deteksi Jumlah Bakteri Total dan Koliform pada
Lumpur Hasil Ikutan Pembentukan Gasbio dari Feses Sapi Perah. Jurnal Ilmiah Ternak. 10(1) :
17-20
Joshua Liem Tiong Gie dan Yatri Drastini. 2015. Identifikasi Eschericia Coli 0157 : H7 Pada Susu
Sapi Perah dan Lingkungan Peternakan. Jurnal kedokteran Hewan Vol 9, no. 2 : 174-177

Krajniaakova,etal.2006.Functional and Morphological Evaluation of the Mucosa of Endometrium


and Oviduct in Postpartum Goats. ACTA VET. BRNO. 71: 517522
Kendall, C. Leonardi, P. C. Hoffman, and D. K. Combs.2009. Intake And Milk Production Of
Cows Fed Diets That Differed In Dietary Neutral Detergent Fiber And Neutral Detergent
Fiber Digestibility. J. Dairy Sci. 92:313323
Kadarmideent,H,N.2010Genetic Correlation Among Body Condition Score Somatic cell score,
Milk Production, Fertility and Conformation Trais in Dairy Cows.79:191-201
Kamal Asmayadi, Lia Budimulyati Salman, Elvia Hernawan. 2016. Kajian Produksi Sapi Perah
FRIES HOLLAND Berdasarkan Pemerahan Pagi Dan Sore Di Wilayah Kerja KSPBU
Lembang. Kajian Produksi Susu Sapi: 1-12
Kasim. S.N;Sirajuddin. S.N.;Irmayani.2011. Strategi Pengembangan Usaha Sapi Perah Di
Kabupaten Enrekang. Jurnal Agribisnis 5(3):87

33
Lili Zalizar, Rahayu Relawati dan Bambang Yudi Hariadi. 2011. Potensi produksi dan ekonomi
biogas serta implikasinya pada kesehatan manusia, ternak dan lingkungan. Jurnal ilmu
peternakan 23 (3) : 32-40
Lisa Praharani. 2010. Peningkatan Produksi Susu Sapi Di Daerah Tropis Melalui Persilangan
Sapi FRISIAN HOLSTIEN DAN BOS INDICUS. Semiloka nasional prospek insdutri sapi
perah menuju perdagangan bebas : 153-161

Laryska,nabila dan Tri nurhajati.2013.Peningkatan Kadar Lemak Susu Sapi Perah dengan

Pemberian Pakan Konsentrat Komersial di Bandingkan dengan Ampas Tahu.Agro

Veteriner.2(1):80-82.
Muhammad usamah amran. 2009. Produksi dan karakteristik fisik susu sapi perah dengan dengan
pemanfaatan bahan baku lokal berupa umbi ubi jalar (Ipomoea Batatas) sebagai pakan
alternatif. Skripsi :1-48
Muhammad Taufiq Rohman, Hermawan, Didin S.Tasripin. 2011. Evaluasi Produk Susu Sapi
Perah FRIESHOLLAND (FH) Keturunan Sapi Impor (Studi Kasus Di PT. UPBS)
Pagelengan, Jawa Barat.: 1-8
Mahrous.H, A.E. Attar, A.Sameh, and M.E.Soda. 2013. The Milk Borne Pathogens Of Raw Milk
From Some Egyptian Farms In Different Seasons. British Microbiology Research Journal.
4(3) : 317 327
Marce, C; Ezanno, P; Seegers, H; Pfeiffer, D. U; Fourichon, C. 2011. Predicting Fadeout Versus
Persistence of Paratuberculosis in a Dairy Cattle Herd for Management and Control
Purposes : a Modelling Study. Veterinary research. 42(6) : 1-13.

Meganck, V; Hoflack, G; Opsomer, G. 2014. Advance in Prevention and Therapy of


Neonatal Dairy Calf Diarrhoea : a Systematical Review With Emphasis on Colostrum
Management and Fluid Therapy. Acta Veterinaria Scandinavica. 56(7): 1-8.

Nuswantara,M,Soejono,M,Utomo dan B,P,Widyobroto.2008.Kecernaan Nutrient Ransum


Prekusor Nitrogen dan Energi Tinggi Pada Sapi Perah Yang Diberi Pakan Basal Jerami
Padi.Journal Indonesia Tropical Animal and Agriculture.30(3):172-178
Nugroho.W.S, M.Sudarwanto, D.W.Lukman, S.Setiyaningsih dan E.Usleber. 2009. Kajian
Deteksi Mycobacterium Avium Subspecies Paratuberculosis Pada Sapi Perah Di Bogor.
JITV. 14(4) : 307 -315
Purwanto,H A.T;Ari .S;Sri.U. 2013. Hubungan Antara Bobot Lahir Dan Body Condition Score
(Bcs) Periode Kering Dengan Produksi Susu Di Bbptu Sapi Perah Baturraden. Jurnal Ilmiah
Peternakan 1(1):135-136.

34
Putra, A. 2009. Potensi Penerapan Produksi Bersih Pada Usaha Peternakan Sapi Perah (Studi
Kasus Pemerahan Susu Sapi Moeria Kudus Jawa Tengah). (THESIS): Magister Ilmu
Lingkungan UNDIP
Pratiwi, W. C., L. Affandhy dan D. Ratnawati. 2008. Pengaruh Umur Penyapihan Terhadap
Performans Induk Dan Pertumbuhan Pedet Sapi Potong Di Kandang Kelompok.
Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong: 115-122
Pezeshki, A; Capuco, A. V; Spiegeler, B. D; Peelman, L; Stevens, M; Collier, R. J;
Burvenich, C. 2011. An Integrated View on How Management of Dry Period Length
of Lactating Cows Could Affect Mammary Biology and Defence. Journal of Anmimal
Physiology and Animal Nutritition. 7-30.

Pezeshki, A; Mehrzad, J; Ghorbani, G. R; Spigeler, B. D; Collier, R. J; Burvenich, C. 2012.


The Effect of Dry Period Length Reduction to 28 days on the Performance of Multiparous
Dairy Cows in the Subsequent Lactation. Canadian Journal of Animal Science. 449-456.

Poikalainen. V., J. Praks, I. Veerme and E. Kokin. 2012. Infrared Temperature Patterns Of Cows
Body As An Indicator For Health Control At Precision Cattle Farming. Agronomy Research
Biosystem Engineering. 1 : 187-194
Popescu. S., Cristin B., Eva. A. D., Marina. S., Ioan. S. G., and Carmen. D. S. 2013. Dairy Cows
Welfare Quality In Tie-Stall Housing System With Or Without Access To Exercise. Acta
Veterinaria Scandinavica. 55(43) : 1-11.
Ruth Dameria Haloho, Siswanto Imam Santoso, dan Sudiyono Marzuki. 2013. Efisiensi Usaha
Sapi Perah Di Kabupaten Semarang. ACROMEDIA, Vol. 31, NO. 2 : 1-8
Rusdiana dan Wahyuning sejati . 2009. Upaya Pengembangan Sapi Perah dan Peningkatan
Produksi Susu Melalui Pemberdayaan Kopersi Susu. FORUM PENELITIAN AGRO
EKONOMI VOL.27 N0. 1 : 43-51

Rusdiana dan Wahyunig K.sejati.2009. Measures for Dairy Cattle Agribusiness

Development and Milk Production Enhancement through Dairy Co-Operatives


Empowerment.Foru- Penelitian Agroekonomi.1(27):44-46.

Rahman, M. T; Hermawan; Tasripin, D. S; 2014. Evaluasi Performa Produksi Susu Sapi Perah
FriesHolland (FH) Keturunan Sapi Impor. Jurnal Animal science. 1-8.

Rahman, S; Rauf, A. 2013. IbM Kelompok Usaha Sapi Perah dan Pengolah Dangke di
Kabupaten Enrekang. Aplikasi Ipteks Ngayah. 4(1) : 48-62.
Sherly Puspa Ningrum, Madi Hartono dan Purnama Edy Santosa. 2014. The Effect of Temperature
and Duration of Thawing in High Altitude of Frozen Brahman Semen Quality. : 103-107

35
Susatyo Nugroho W.P.Darminto Pudjotomo dan Terzi Khoirina Tifani. 2011. Analisa Penyebab
Penurunan Daya Saing Produksi Susu Sapi Dalam Negeri Terhadap Susu Impor Pada
Industri Pengolahan Susu (IPS) Dengan Metode Fault TREE Analysis (FTA) Dan Barieer
Analysis. JATI UNDIP, VOL. 6 NO. 2 : 71-80

Susatyo Nugroho W.P.Darminto Pudjotomo dan Terzi Khoirina Tifani. 2011. Analisa Penyebab
Penurunan Daya Saing Produksi Susu Sapi Dalam Negeri Terhadap Susu Impor Pada
Industri Pengolahan Susu (IPS) Dengan Metode Fault TREE Analysis (FTA) Dan Barieer
Analysis. JATI UNDIP, VOL. 6 NO. 2 : 71-80
Sudono.A.Fina.R. Budi.S.S.2010. Beternak Sapiperah Secara Intensif.Gagasmedia.Yogyakarta.
Sukandar.A1;B.P. Purwanto Dan Anggraeni;A. 2008. Keragaan Body Condition Score Dan
Produksi Susu Sapi Perah Friesian-Holstein Di Peternakan Rakyat Kpsbu Lembang, Bandung.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan Veteriner :87

Sunarko.C. Bamang.S.Apsari.K.H.S.Akhmad.M.2009.Petunjuk Pemeliharaan Bibit Sapi Perah.


BBPTU Sapi Perah Baturaden.Perwokerto

Sughiri,Lukman,Hermawan dan Heni Indrijani.2011.Comparison of Production

Performance of Imported Holstein Dairy Cows With Their Progency (Case Studies in
PT. UPBS Pangalengan):3-5.

Syahrianto pura,Alvi.2011. Analisis Usaha Pendapatan Sapi Potong Peranakan Frisien Holst

Ain (PFH)Rakyat di Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali:10-11.


Sari. E.C, M.Hartonob, dan S.Suharyati. 2016. Faktor- Faktor Yang Memengaruhi Service Per
Conception Sapi Perah Pada Peternakan Rakyat Di Provinsi Lampung. Jurnal Ilmiah
Peternakan Terpadu. 4(4) : 313 -318
Sordillo.L.M and W.Raphael. 2013. Significance of Metabolic Stress, Lipid Mobilization, and
Inflammation on Transition Cow Disorders. Veterinary Clinics of North America Food
Animal Practice. 29 (1) :267-278
Sordillo.L.M. 2013. Selenium-Dependent Regulation of Oxidative and Immunity in Periparturient
Dairy Cattle. Veterinary Medicine International. 1(1) : 1-8
Surkar. S.H, S.W.Sawarkar, R.P.Kolhe, and V.K.Basunathe. 2014. Adoption Of Quality Milk
Production Practices By Dairy Farmers In Wardha District Of Maharashtra. Agricultural
Rural Development. 1(1) : 1-4
Sutarto.T.N dan Sutarto. 2009. Beternak Sapi Perah. Jakarta : musi perkasa utama.

36
Swadayana. A, P.Sambodho dan C Budiarti. 2012. Total Bakteri Dan pH Susu Akibat Lama Waktu
Dipping Puting Kambinf Peranakan Ettawa Laktasi. Animal agricultural journal. 1(1) : 12-
21
Sihombing, D. C. Efektivitas Inokulasi Isolat Bakteri Terhadap Serapan Mineral Pada Pedet
Peranakan Friesian Holstein Lepas Sapih. (SKRIPSI): Fakultas Peternakan IPB
Santosa, S. I; Setiadi, A; Wulandari, R. 2013. Analisis Potensi Pengembangan Usaha
Peternakan Sapi Perah dengan Menggunakan Paradigma Agribisnis di Kecamatan Musuk
Kabupaten Boyolali. Buletin Peternakan. 37(2) : 125-135.

Sudono, A; Rosdiana, S; Setiawan, B. S. 2011. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Jakarta
: PT Agromedia Pustaka.

Syarif, E. K; Harianto, B. 2011. Beternak & Bisnis Sapi Perah. Jakarta : PT Agromedia
Pustaka.
Santosa. S. I., Agus. S., dan Ratih. W. 2013. Analisis Potensi Pengembangan Usaha Peternakan
Sapi Perah Dengan Menggunakan Paradigma Agribisnis Di Kecamatan Musuk Kabupaten
Boyolali. Bulletin Peternakan. 37(2) : 123-135

Susatyo. N., Darminto. P., dan Terzi. K. T. 2011. Analisa Penyebab Penurunan Daya Saing Produk
Susu Sapi Dalam Negeri Terhadap Susu Sapi Impor Pada Industri Pengolahan Susu (Ips) Dengan
Metode Fault Tree Analysis (Fta) Dan Barrier Analysis. J@TI Undip. 6(2) : 71-80.
Syarif. E. K. dan Bagus. H. 2011. Buku Pintar Beternak Sapi Perah. Pt Agromedia Pustaka Jakarta
Selatan
Srujana. G., A.Rajender Reddy., V. Krishna Reddy And S. Ram Reddy. 2011. Microbial Quality
Of Raw And Pasteurized Milk Samples Collected From Different Places Of Warangal District,
(A.P.) India. International Journal of Pharma and Bio Sciences. 2(2) : 139-143.
Slana. I., R. Pribylova., A. Kralova., and I. Pavlik. 2011. Persistence Of Mycobacterium Avium
Subsp. Paratuberculosis At A Farm-Scale Biogas Plant Supplied With Manure From
Paratuberculosis-Affected Dairy Cattle. Applied And Environmental Microbiology. 31153119
Sukandar,B,P,Purwanto dan A,Anggraeni.2009.Keragaman Body Condiion Score dan Produksi
Susu Sapi Perah FH di Peternakan Rakyat KPSBU Lembang,Bandung.Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner.86-99
Susilawati,T.2011. Tingkat keberhasilan inseminasi buatan dengan kualitas Dan deposisi semen
yang berbeda pada sapi peranakan Ongole. J.Ternak Tropika Vol. 12(2):15-24

37
Triani.2011. Analisis Produksi Susu, Persentase Protein Susu dan Konsumsi Hijauan Sapi FH

(Fries Holland) pada Tingkat Laktasi yang Berbeda di UPT Ruminansia Besar Dinas

Peternakan Kabupaten Kampar.9-10.

Tri Aggriati.Gita,Sudjadmogo dan Teguh Hari.2015.The Efficiency and Persistency of Milk

Production on Friesian Holstein Dairy Cows Fed at Different Forage and Concentrate
Feeding Ratio.Journal Animal Agriculture.4(2):234-236.
Umpapo.H.Thradol.J.Choompol.S.Surachrat.T And Watchara.S.2010.Effect Of The Different
Feed Formulas On Phisiologycal Changes And Milk Production Performen Of Hostein Friesian
Cross Bread Dairy Cows. Pakistan Journal Nutrition 9(6):567-568

Utomo.B dan Miranti D P.2010. Milk Production Performance of Dairy Cattle Under The

Rearing Management Improvient.Caraka Tani XXV.1(5):45-48


Umiyasih, U dan Y. N. Anggraeny. 2011. Evaluasi Tatalaksana Pemberian Pakan Dan
Pemanfaatan Limbah Tanaman Pangan Sebagai Pakan Serta Pengaruhnya Terhadap
Produktivitas Sapi Potong Induk Di Jawa Timur. Seminar Nasional Sistem Intregasi
Tanaman Ternak : 319-328
Utomo, B., R. Oelviani dan Subiharta. 2015. Peningkatan Performa Pedet Sapi Peranakan Ongole
Pascasapih Melalui Perbaikan Manajemen Dengan Pemanfaatan Sumber Daya Lokal.
PROS. SEM. NAS. MASY. BIODIV INDO. 1 (4) : 838-842
Utami. K. B., Lilik. E. R., dan Puguh. H. 2013. Kajian kualitas susu sapi perah PFH (studi kasus
pada anggota Koperasi Agro Niaga di Kecamatan Jabung Kabupaten Malang). Jurnal Ilmu-Ilmu
Peternakan 24 (2): 58 66

Velly Fillian,Bagus dan Wahyu Diah Prastiwi.2016. Hubungan Paritas, Lingkar Dada dan

Umur Kebuntingan dengan Produksi Susu Sapi Friesian Holstein di BBPTU-HPT


Baturraden.Agripet.2(16):83-85.
. Vries, R. D. 2017. Dry Period Legth of Dairy Cows : Milk Composition and Quality.
Journal of veterinary madicine anda animal science. 3-15.

Yanovi,H.2013. Dinamika Pengembangan Sapi Pesisir Sebagai Sapi Local Sumatera Barat. J.
Litbang Per.32(1): 39-45
Yunitasari, N. S. 2011. Peran Isolat Bakteri Pencerna Serat Dalam Pencernaan Nutrien Pada Pedet
Lepas Sapih Yang Diberi Pakan Periode Pertumbuhan. (SKRIPSI): Fakultas
peternakan IPB

38
Yuli Prasetyo , Madi Hartono, Siswanto.2015. Calving Interval Sapi Perah Laktasi Di Balai
Pembibitan Ternak Unggul Dan Hijaun Pakan Ternak (BBPTU-HPT)Baturraden
Purwokerto Jawa Tengah. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. Vol.3.(1):7-14

Zainudin.M,M.Nur Ikhsan dan Suyadi.2009. Efisiensi Reproduksi Sapi Perah PFH pada

Berbagai Umur di CV. Milkindo Berka Abadi Desa Tegalsari Kecamatan

Kepanjen Kabupaten Malang.Jurnal Ilmu Peternakan.3(24):32-37.

39

Anda mungkin juga menyukai